Search Form

Daftar Isi

Tanwirul Qulub (1/2): Akidah

Bagian pertama dari terjemahan kitab Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘Allam al-Ghuyub, berisi tentang uraian akidah.

Karya

Sayyidi Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Khalidi QS.

Baca

± 119 Menit

Share

Facebook
WhatsApp

Daftar Isi

01. Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahim

Segala puji bagi Allah Yang Menyendiri dengan keagungan malakut-Nya dan Manunggal dengan keindahan jabarut-Nya. Yang memiliki sifat-sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Yang memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya. Dialah Dzat Yang Mahasuci dari sesembahan yang membingungkan akal hingga akal tidak mampu memahami hakikat Dzat-Nya yang abadi, Mahasuci Dia dari sesembahan yang membingungkan hati hingga hati tidak bisa memahami keagungan sifat-sifat-Nya yang sempurna nan lestari. Dialah Yang dikenal dengan sifat rububiyyah dan disifati dengan sifat uluhiyyah. Barangsiapa telah merasakan manis keakraban dengan-Nya, niscaya dia akan melihat berbagai keajaiban dari kelembutanNya, akan memperoleh segala yang dia dambakan. Sedangkan orang yang mengharap selain Dia, niscaya akan dijauhi dan dicelakakan-Nya.

Aku memuji-Nya dengan pujian seorang hamba yang tenggelam dalam lautan nikmat-Nya. Aku bersyukur kepada-Nya dengan syukur seorang hamba yang ikhlash dalam ketaatan kepada-Nya serta larut dalam kecintaan kepada-Nya.

Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah semata, Dia Yang tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia Yang Mahasuci dari kesertaan dan keserupaan, dengan kesaksian yang karenanya aku bisa selamat dari berbagai petaka dan terus mendaki hingga mencapai derajat-derajat yang tinggi. Dan aku bersaksi bahwa Sayyidina Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya yang telah diutus Allah untuk membawa risalah yang terang nan jelas, agama yang lurus yang datang menyempurnakaan semua agama yang telah diturunkan sebelumnya. Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam dan keberkahan kepada Sayyidina Muhammad Sang Pemimpin para nabi, Sayyidina Muhammad yang menjadi mahkota orang-orang suci, Sayyidina Muhammad yang telah diutus membawa ayat-ayat yang terang dan mukjizat-mukjizat yang agung, Sayyidina Muhammad yang merupakan manusia sejati dan sebab segala maujud. Ya Allah, sampaikanlah balasan dan terima kasih kami kepada beliau, balasan yang lebih dari para nabi dari umat-umat terdahulu. Ya Allah, berilah kami manfaat dari cinta kami kepada beliau saw. yang tersimpan di dalam hati kami, juga cinta kami kepada keluarga dan para sahabat beliau, serta cinta kami kepada putra-putrinya, istri-istrinya dan orang-orang yang dicintainya. Ya Allah, limpahkanlah padanya shalawat dan salam yang kekal, shalawat dan salam yang senantiasa mengalir dan tidak terputus dengan berlalunya waktu dan hari-hari.

Amma ba’d. Seorang hamba yang fakir dan senantiasa mengharap ampunan Rabbul-‘alamin, Muhammad Amin al-Kurdi yang dinisbatkan kepada Thariqah an-Naqsyabandiyyah—mudah-mudahan Allah Ta’alâ menguatkan kedudukannya yang tinggi—berkata, “Salah satu hal yang tidak samar lagi bagi orang yang berakal cerdas adalah bahwa hamba yang paling tinggi kedudukannya, hamba yang paling agung dan paling utama adalah hamba Allah yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang lain, hamba yang paling banyak mengajak ke jalan Allah. Dan di antara mereka yang paling besar manfaatnya serta paling baik karyanya adalah orang-orang yang mengajak dan membimbing hamba kepada Allah, yang memberikan petunjuk untuk menempuh jalan-Nya serta mengerjakan amal-amal yang diridhai-Nya. Betapa tidak, hal itu merupakan kebiasaan Nabi Muhammad saw., manusia paling mulia, sang pemimpin para nabi. Sungguh, untuk hal itu Allah Ta’ãlâ telah mengutus dan menugasi para nabi dan rasul, menyemangati dan mendorong mereka. Pada tugas itu pula para ulama al-‘ãmilin dan wali-wali yang salih pewaris para nabi itu mengikuti dan meneladani mereka. Namun sudah maklum bahwa kebanyakan ulama yang benar-benar mumpuni seperti mereka telah tiada. Dan di zaman sekarang ini tiada Iagi yang tersisa dari mereka selain jejaknya saja, seperti diungkapkan dalam sebuah syair:

Kemah itu sungguh seperti kemah mereka
Tetapi kulihat kaum Perempuan di kemah itu bukan Perempuan dari kemah mereka

Maka Anda hanya akan mendapati sedikit sekali orang yang mau mengingatkan tentang Allah, atau mencegah orang-orang dari perbuatan yang dilarang syariat, karena amat lemahnya semangat untuk menempuh jalan petunjuk serta menahan hati untuk tidak melintasi jalan kesesatan. Karena itu, Anda pun akan menyaksikan, betapa kebanyakan orang lebih memperhatikan kekurangan duniawi mereka daripada kekurangan dalam hal keberagamaan dan akhirat mereka. Anda lihat bagaimana mereka senang memperturutkan hawa nafsu dan hampir tidak memiliki kesadaran untuk melakukan amal-amal ketaatan. Buktinya mereka larut mengerjakan berbagai perbuatan haram. rasa takut kepada Allah sudah dilipat, penghargaan terhadap syariat telah hilang dari hati mereka. Bencana pun timbul merata dan kesengsaraan telah demikian dominan, sehingga kebanyakan orang bahkan hampir tidak tahu apa itu kebenaran, tidak tahu apa itu iman, tidak kenal akhirat dan tidak paham bahwa kita sedang bergerak menuju Maharaja Yang akan meminta pertanggungjawaban. Bahkan orang yang mengenal hal-hal itu pun malah mengenyampingkannya, lalu sibuk mengurusi harta benda yang pasti akan segera lenyap, sibuk mencapai berbagai kesenangan dan mengumpulkan harta. Kalau pun dia berdakwah dan beramal, itu semata-mata untuk tujuan-tujuan duniawi, untuk kepentingan pribadi dan kesenangan-kesenangan nafsu yang tidak abadi. Sementara Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui apa yang tersimpan dalam hati mereka. Dia senantiasa bersama mereka di mana pun mereka berada, senantiasa mendengar dan memperhatikan mereka. Tıdakkah mereka sadar bahwa kelak mereka akan dibangkitkan untuk menerima murka yang amat dahsyat, yang terornya bisa membuat bayi langsung beruban, karena pada saat itu mereka akan dimintai pertanggung jawaban atas semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan. Allah Ta’âlâ berfirman, “Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali, ” (QS al-Syu’arâ [26]: 227)

Sudah demikian lama kita mengalami hari-hari penuh bencana ini, dan sebagian di antaranya telah melemahkan kekuatan Islam. Karena itu aku—yang telah diberi ijazah yang sah dan jelas untuk memberikan bimbingan oleh pembesar dan pemuka utama di dalam tarekat agung al-Naqsyabandiyyah, semoga Allah menyucikan mereka dan menerangi kuburnya—mulai melakukan pembimbingan. Aku melakukannya sebagai bentuk pengamalan dan pemenuhan akan ijazah yang aku terima, dengan tetap mengikuti jejak-jejak para guru agung dari pendahulu-pendahuluku, sehingga aku mendapat pertolongan kekuatan dari Allah untuk mengembangkan tarekat ini di wilayah Mesir.

Ketika mulai membimbing para murid di jalan agung ini, aku menulis satu kitab bagi mereka yang berniat mengikutinya. Kitab itu aku beri nama al-‘Uhud al-Watsiqah fi al-Tamassuki bi al-Syari’ati wa al-Haqiqati, berisi uraian tentang hal-hal yang wajib diketahui oleh setiap murid. Di antaranya adalah masalah ushuluddin (pokok-pokok aqidah) berikut cabang-cabangnya yang harus diketahui oleh setiap orang yang sudah akil baligh agar dia terhindar dari kekeliruan dalam keimanannya. uraian dalam buku tersebut kami lengkapi pula dengan sejumlah hikmah dari jejak para pemuka kaum sufi yang agung, agar menjadi teladan dan pijakan bagi para peminat thariqah ini, serta menjadi peringatan bagi mereka yang sering melanggar perintah Allah.

Segala puji bagi Allah, buku tersebut hadir dengan kadar yang cukup untuk memenuhi tujuan ini, dengan susunan yang menarik dan makna yang mendalam. Kitab ini baik untuk disebarluaskan. Selain susunannya sistematis, juga mudah diperoleh oleh orang yang berminat terhadapnya. Kitab ini cukup laris hingga orang yang berminat membelinya harus menunggu cetak ulang. Kitab ini dicetak ulang karena kami mengharap pahala yang banyak dari Allah dan manfaat materi yang diperoleh darinya. Setelah pembahasannya diperluas, isi dan susunannya menjadi lebih lengkap.

Kemudian aku menambahkan uraian dalam kitab ini dengan menjelaskan berbagai masalah furu’, seperti bab nikah, thalaq, farâ’idh (ilmu waris), bab jual beli dan tambahan yang lain. Juga uraian masalah-masalah yang penting dengan sederhana, tidak terlalu ringkas dan tidak terlalu panjang, agar enak dipelajari dan dapat memenuhi harapan pembaca. Pada bentuknya yang baru, aku menamai kitab ini Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘Allam al-Ghuyub. Aku susun kitab ini terdiri dari satu pendahuluan dan tiga bagian isi. Pendahuluan berisi tentang dakwah kepada Allah dan Rasulnya. Bagian pertama berisi uraian tentang masalah-masalah pokok agama (ushul). Bagian kedua berisi uraian tentang masalah-masalah  furu’ berdasarkan mazhab Imam Syâfi’i. Bagian ketiga berisi uraian tentang tasawuf. Sekarang kami akan langsung menguraikan satu demi satu bagian yang sudah kami susun. Aku memohon pertolongan kepada Allah. Cukuplah Allah bagiku, Dia sungguh wali terbaik. Hanya Allah yang memberiku petunjuk, kepada-Nya aku berserah diri dan kepada-Nya aku kembali.[]

02. Pendahuluan

Allah Ta’ala berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..” [QS. an-Nahl 16:125]

Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” ‘[QS. al-Fushshilat 41:33]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali ‘Imran 3:104]

Ayat-ayat di atas merupakan dalil tentang kewajiban melaksanakan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Kewajiban ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Kewajiban ini merupakan salah satu kewajiban syar’i terbesar, salah satu pokok syariat paling agung dan tiang yang paling kokoh. Dengan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar tatanan syari’at menjadi kokoh dan mulia. Menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan dua kebaikan sempurna. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja orang yang mengajak (umat) ke jalan petunjuk, baginya pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tanpa sedikit pun mengurangi beban dosa mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibn Majah.

Kemudian mengajak umat untuk kembali kepada Allah, berdakwah ke jalan-Nya dan menyerukan agama serta ketaatan kepada-Nya merupakan sifat para nabi dan rasul. Itulah tugas yang diperintahkan dan diwasiatkan Allah kepada mereka. Hal ini pula yang diikuti oleh para pewaris mereka, yakni para ulama yang sungguh mengamalkan ilmunya dan para wali yang salih. Mereka senantiasa mengajak manusia ke jalan Allah dan menyerukan ketaatan kepada-Nya, dengan ucapan dan perbuatan yang penuh kesungguhan dan semangat demi mengharap ridha Allah Ta’ala. Mereka terus melakukannya karena rasa sayang mereka terhadap hamba-hamba-Nya, karena pahala yang dijanjikan-Nya dan demi meneladani rasul-Nya.

Dalam menjalankan tugas tersebut, para nabi dan rasul serta orang-orang yang mengikuti mereka, yakni para imam pemberi petunjuk telah mengalami banyak rintangan yang amat berat dari orang-orang bodoh dan para pembangkang, yang selalu menimpakan hal-hal menyakitkan kepada mereka. Namun mereka tetap sabar dan tabah, tidak patah semangat. Bahkan rintangan dan cobaan menyakitkan yang mereka hadapi itu justru membuat mereka semakin bersemangat untuk terus memberikan bimbingan dan petunjuk kejalan Allah Ta’ala serta memberikan nasihat tentang agama Allah. Mereka adalah ‘alim yang mengenal agama Allah, yang selalu mengingatkan hari-hari Allah serta menyerukan jalan-Nya. Melihat orang-orang bodoh yang lalai akan hari akhir dan hanya mengutamakan dunia, dia tidak memiliki pilihan selain memberikan penjelasan kepada mereka tentang hak-hak Allah yang wajib mereka penuhi, sebagai bentuk peneladanan terhadap Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. al-Ahzab 33:21]

Oleh karena itu, para da’i dan ulama yang melakukan tugas mengajak orang-orang ke jalan Allah Ta’ala mesti memiliki kesabaran dan ketabahan yang tinggi, berlapang dada, rendah hati dan lemah lembut.

Orang-orang di zaman ini telah didominasi dan diporakporandakan oleh kebodohan, sehingga kebanyakan dari mereka bahkan tidak tahu dan tidak paham kebenaran, tidak mengerti apa itu din. Mereka menganggap enteng masalah agama. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi, sibuk mengumpulkan dunia dan bersenang-senang dengan segala kenikmatannya. Mereka inilah yang digambarkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Mereka mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [QS. ar-Rum 30:7]

Kenyataan itu telah menjadi bencana besar. Bahayanya meliputi semua orang, yang bodoh maupun ulama, masyarakat kebanyakan maupun kalangan khusus. Si bodoh mendapat bahayanya karena dia menjadi abai terhadap hal-hal fardhu yang telah diwajibkan Allah terhadap dirinya, terutama di dalam mengetahui agamanya dan mempelajari hukum-hukumnya. Dan sikap tidak peduli ini jelas merupakan bencana keagamaan yang akan menyebabkan bencana dunia dan akhiratnya. Ulama mendapat bahaya dari kenyataan itu karena kekurangannya di dalam berdakwah, karena ketidaksungguhannya mengajak umat kejalan Allah, karena ketidakseriusannya dalam mengajari orang-orang tentang hukum-hukum agama yang tidak mereka ketahui. Sementara si ulama menyaksikan bagaimana mereka melakukan berbagai hal yang dilarang Allah serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan-Nya, tanpa seorang pun berusaha mengingatkan dan mencegah mereka, tanpa seorang pun mengembalikan mereka kepada kebenaran dan mengajari mereka mana hal yang merupakan bagian dari agama dan mana yang bukan. Padahal semestinya ulama memiliki sifat sebagaimana para nabi yakni, melaksanakan kewajiban al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar. Apalagi Rasulullah saw. telah bersabda di dalam salah satu hadisnya, “Orang ‘alim (berilmu) mendapat bahaya dari si bodoh karena si ‘alim itu tidak mengajarinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Seandainya mengajari orang yang bodoh itu bukan kewajiban si ‘alim, tentu si ‘alim tidak akan mendapat celaka hanya karena dia diam dan tidak mengajari si bodoh itu. Sungguh, Allah Ta’ala tidak akan menyiksa seseorang hanya karena meninggalkan yang sunnah, tetapi karena meninggalkan yang wajib. Dan hal ini bukan hanya bagi orang-orang ‘alim yang ilmunya mendalam sebagaimana dipahami orang banyak, tetapi ini berlaku bagi siapa saja yang mengetahui permasalahan agama, meski yang diketahuinya itu hanya satu masalah. Allah Ta’ala berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra’il dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [QS. al-Ma’idah 5:78-79]. Mereka mendapat laknat itu karena tidak melaksanakan kewajiban mencegah perbuatan mungkar. Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari pada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” [QS. Hud 11:116]. Allah menjelaskan bahwa Dia telah membinasakan mereka semua selain beberapa gelintir orang dari mereka yang terbukti berusaha mencegah tindak pengerusakan.

Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka melupakan doa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” [QS. al-A’raf 7:165]

Di dalam satu hadis marfu’ dan mauquf diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berarti dia adalah Khalifah Allah di bumi-Nya, khalifah rasul-Nya dan khalifah kitab-Nya.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Apabila tidak mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah dia mengubahnya dengan lisan. Apabila dengan lisan pun tidak mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan hati, dan ini merupakan iman yang paling lemah.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasa’i.

Mengubah kemungkaran dengan tangan merupakan tugas penguasa, aparat penegak hukum dan yang sebangsanya. Mengubah kemungkaran dengan lisan merupakan tugas para ulama. Sedangkan mengubah kemungkaran dengan hati merupakan tindakan orang-orang awam atau orang kebanyakan yang lemah.

Rasulullah saw. bersabda: “Suatu kesalahan, apabila ia tersembunyi, hanya akan membahayakan pelakunya. Tetapi apabila nampak dan tidak ada yang berusaha mengubahnya, maka ia akan membahayakan orang banyak.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath. Mereka semua terancam bahaya karena mereka meninggalkan kewajiban yang mestinya mereka lakukan, yakni mencegah dan tidak membenarkan orang yang melakukan kemungkaran tersebut.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Hendaklah kalian menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau Allah akan menguasakan kalian kepada seseorang yang paling kejam di antara kalian, lalu kalaupun orang-orang terbaik yang ada di antara kalian berdoa, mereka tidak akan dikabulkan.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan at-Thabrani. Mereka dikuasakan kepada orang paling sadis dan doa mereka tidak diterima karena mereka meninggalkan kewajiban al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar. Di dalam hadis ini juga ada peringatan dan ancaman berat bagi orang yang tidak melaksanakan kewajiban mencegah kemungkaran, yakni siksanya tidak akan ditangguhkan dan doanya tidak akan dikabulkan.

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu kaum, apabila mereka diam saat melihat kemungkaran, tidak berusaha mengubahnya, Allah akan menimpakan siksa kepada mereka secara keseluruhan.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tarmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasa’i. Redaksinya adalah redaksi dari an-Nasa’i.

Di dalam satu hadis yang diterima dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Ya Rasulullah, apakah suatu kaum akan dibinasakan sementara di antara mereka ada orang-orang salih?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Dikatakan kepada beliau, “Mengapa?” Rasulullah saw. menjawab, “Sebab mereka menganggap enteng dan diam saja melihat berbagai pembangkangan terhadap Allah.”

Ketahuilah, manusia memiliki kewajiban mencegah orang lain dari kemungkaran. Demikian pula dia wajib mencegah dirinya sendiri dari kemungkaran, bahkan kewajiban ini lebih utama. Jangan sampai seperti seseorang yang melihat di balik bajunya ada ular dan kalajengking yang akan mengigitnya, tetapi sibuk mengambil kipas untuk mengusir lalat dari wajah orang lain. Tindakan mencegah orang lain dari kemungkaran akan efektif jika dirinya sendiri tidak melakukan kemungkaran itu. Allah Ta’ala befirman kepada ‘Isa ibn Maryam a.s., “Nasihatilah dirimu sendiri. Jika engkau telah melakukannya, nasihatilah orang-orang. Apabila tidak demikian, malulah kepada-Ku.”

Di dalam satu riwayat disebutkan, “Apabila seseorang duduk menasihati orang-orang, maka malaikat akan berseru kepadanya, ‘Nasihatilah dirimu dengan apa yang engkau nasihatkan kepada saudaramu! Apabila tidak, malulah engkau kepada Tuhanmu. Sungguh Dia memperhatikanmu.” 

Maka, wahai saudaraku, nasihatilah orang-orang dengan hati yang tulus dan qalbu yang penuh takwa. Jangan menasihati mereka dengan mempercantik penampilanmu sementara hatimu busuk. Sebab, bila hati terang, nasihat akan meresap. Apabila ungkapan itu keluar dari hati, maka hati pula yang akan menerimanya, sehingga nasihat itu dapat memberikan pengaruh, entah berupa rasa takut yang mencekam atau kerinduan yang menggelora. Sedangkan ungkapan yang hanya sebatas lisan, tidak bersumber dari hati, maka ia hanya akan sampai di telinga.

Ketahuilah bahwa melaksanakan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar itu, juga diperuntukkan bagi orang yang melakukan tindakan yang terlarang itu. Sehingga para ulama berkata, “…Tugas itu wajib, bahkan bagi si peminum arak. Si peminum arak itu wajib untuk tidak membenarkan orang-orang yang menjadi teman minumnya.”[]

03. Bagian Pertama: Aqidah Islam yang Wajib Diketahui Setiap Muslim

Bagian ini terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab isi dan satu bab penutup. Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang macam-macam hukum akal, uraian tentang sifat-sifat Allah serta penjelasannya. Bab pertama berisi uraian tentang masalah-masalah ketuhanan, bab kedua tentang kenabian dan bab ketiga tentang sam’iyyat (hal-hal gaib yang wajib diimani). Sedangkan bab penutup menguraikan makna Iman, Islam, dan kaidah-kaidah agama dan yang lainnya. []

04. Muqaddimah: Hukum Akal

Hukum akal, yaitu menetapkan atau meniadakan sesuatu pada sesuatu tanpa perlu dipertimbangkan lagi kebenarannya karena tak terbantahkan menurut akal, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu wajibmustahil dan ja’iz atau mumkin. Yang dimaksud dengan perkara wajib di sini adalah sesuatu yang menurut akal tidak benar tiadanya (mesti adanya). Seperti Adanya Allah Ta’ala dan bahwa Allah Ta’ala itu Terdahulu serta Baqa’ (tidak fana). Sedangkan yang dimaksud dengan mustahil adalah sesuatu yang menurut akal tidak benar adanya. Misalnya, keberadaan sekutu bagi Allah Ta’ala adalah mustahil. Adapun yang ja’iz atau mumkin adalah sesuatu yang menurut akal bisa ada atau tiada, seperti keberadaan langit dan bumi, diutusnya para rasul dan diturunkannya Kitab-kitab. Begitu juga memberi pahala kepada orang yang berdosa dan menyiksa orang yang taat.

Adapun sifat (ash-shifah) yakni sesuatu yang tetap melekat pada yang disifati (maushuf), terbagi pada tujuh macam. Pertama, sifat nafsiyyah, yaitu sifat yang tanpanya sesuatu tidak masuk akal ada, seperti sifat wujud (Allah Ada, tidak mungkin tiada). Yang kedua adalah sifat salabiyyah, yaitu sifat yang meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi yang disifati, seperti sifat qidam (Allah Maha Terdahulu, tidak mungkin baru). Yang ketiga adalah sifat ma’ani, yaitu sifat yang secara nalar mesti ada pada yang disifati, seperti sifat qudrat (Allah Mahakuasa, tidak mungkin lemah). Yang keempat adalah sifat ma’nawiyyah, yakni sifat yang tetap yang merupakan kelaziman sifat ma’ani, seperti kaunuhu qadiran (kenyataan bahwa Allah Mahakuasa). Yang kelima adalah sifat filiyyah, yaitu sifat yang berkaitan erat dengan Qudrah dan Iradah (Kuasa dan Kehendak), seperti mencipta dan memberi rezeki. Yang keenam adalah sifat jami’ah, yakni sifat yang menghimpun sifat-sifat lainnya, seperti sifat al-Jalalal- ‘Uzhmah dan al-Kibriya’. Sedangkan yang ketujuh adalah sam’iyyah, yaitu ibarat makna yang disebutkan sama’, yakni Alqur’an dan Sunnah yang mutawatir.

Dilihat dari sudut pandang yang lain, sifat terbagi menjadi dua bagian, yakni muta ‘allaq dan ghair muta’allaq. Yang muta’allaq adalah sifat yang menuntut adanya hal yang mengikut atas keberadaannya, seperti sifat qudrat (Mahakuasa) dan Iradah (Maha Berkehendak). Sifat qudrah (Mahakuasa) menuntut adanya al-maqdur ‘alaih (sesuatu yang dikuasai), sedangkan sifat iradah (berkehendak) menuntut adanya murad (sesuatu yang dikehendaki). Sedangkan sifat ghair muta ‘allaq tidak menuntut adanya hal yang mengikut atas keberadaannya. Seperti sifat al-Hayat (Allah Mahahidup). Setelah anda memahami semua itu, kami akan melanjutkan pembahasan pada bab ketuhanan.[]

05. Bab I – Ketuhanan (Ilahiyyat)

Bab ini berisi uraian tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Ketuhanan. Setiap mukallaf wajib berma’rifah terhadap sifat-sifat yang wajib dan yang mustahil bagi Allah Ta’ala, juga sifat untuk tidak atau mengadakan sesuatu bagi-Nya. Mukallaf adalah semua yang mempunyai nalar, berakal dan sehat inderanya, walaupun hanya pendengaran atau penglihatannya saja, yang sudah menerima dakwah, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, dari golongan manusia maupun jin. Hanya saja jin sudah dihukumi mukallaf sejak awal penciptaan, seperti Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa’. Ma’rifah berarti keyakinan yang mantap yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Maka kita semua, orang-orang yang sudah bernalar dan berakal sehat, berkewajiban mengetahui sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil dan sifat yang ja’iz bagi Allah Ta’ala, baik secara global maupun terperinci.

Mengetahui secara global adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan yang luput dari segala kekurangan, dan wenang bagi-Nya untuk melakukan dan mengadakan semua yang mungkin atau tidak. Sedangkan mengetahui secara rinci adalah mengetahui sifat-sifat tersebut beserta dalilnya.

Sifat yang wajib ada pada Allah Ta’ala ada dua puluh. Maksudnya adalah sifat-sifat yang berdasarkan akal sehat, bahwa Allah Ta’ala pasti disifati dengan sifat-sifat tersebut, karena ketiadaannya merupakan kemustahilan dan kebatilan. Sifat-sifat yang musthail adanya pada Allah Ta’ala juga ada dua puluh, yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang wajib adanya bagi Dia.

Sifat-sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala adalah al-Wujud (Ada), al-Qidam (Terdahulu), al-Baqa’ (Kekal), Mukhalafatul-lil-hawadisi (berbeda dengan makhluk), qiyamu binafsihi (berdiri sendiri atau tidak bergantung kepada yang lain), al-Wahdaniyyah (Esa), al-Qudrah (Kuasa), al-Iradah (Berkehendak), al-Ilmu (Mengetahui), al-Hayat (Hidup), al-Sama’ (Mendengar), al-Bashar (Melihat), al-Kalam (Berfirman), Kaunuhu Qadiran (kenyataan-Nya yang Mahakuasa), Kaunuhu Muridan (kenyataan-Nya Maha Berkehendak), Kaunuhu ‘Aliman (kenyataan-Nya Maha Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (kenyataan-Nya Mahahidup), Kaunuhu Sami’an (kenyataan-Nya Maha Mendengar), Kaunuhu Bashiran (kenyataan-Nya Maha Melihat) dan Kaunuhu Mutakalliman (kenyataan-Nya Berfirman).

Adapun kebalikan-kebalikannya yang dua puluh yakni, yang mustahil ada pada Allah Ta’ala adalah: al-Adam (tiada), al-Huduts (baru), al-Fana’ (rusak), al-Mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan makhluk), Ihtiyajila mahalllin wa mukhashashin (membutuhkan tempat dan pencipta), al-Ta’ddud (berbilang), al-‘Ajzu’an mumkinin (lemah dan tidak berdaya dari yang mumkin), al-Karahah (terpaksa), al-Jahl (tidak mengetahui), al-Maut (mati), ash-Shamam (tidak dapat mendengar), al-’Ama (tidak melihat), al-Bukm (bisu), Kaunuhu ‘ajizan (kenyataan-Nya lemah), Kaunuhu Karihan (kenyataan-Nya tidak berkehendak atau terpaksa), Kaunuhu Jahilan (kenyataan-Nya tidak mengetahui), Kaunuhu Mayyitan (kenyatann-Nya mati), Kaunuhu Ashamm (kenyataan-Nya tidak mendengar), Kaunuhu A’ma (kenyataan-Nya tidak melihat) dan Kaunuhu Abkam (kenyataan-Nya tidak berfirman). Mahasuci Allah dari semua sifat itu, sifat-sifat yang mustahil adanya pada Dia.

Sifat pertama yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah wujud. Makna wujud adalah ada secara nyata sekira dapat diindera. Wujud merupakan sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala karena Dzat-Nya, secara azali dan selama-lamanya. Kebalikannya adalah al-Adam (tiada). Dalil yang menunjukkan wajibnya Allah Ta’ala wujud dan mustahil Allah tiada berdasarkan akal adalah adanya semua makhluk di alam semesta ini. Semua makhluk, jika Anda perhatikan dengan seksama, niscaya akan Anda dapati bahwa semua itu mengalami perubahan dari tiada menjadi ada dan dari ada menjadi tiada, dari bergerak menjadi diam dan dari diam menjadi bergerak. Bermacam-macam rupa dan berbeda-beda bentuk. Ada yang putih, hitam, merah dan sebagainya. Sebagian ada di satu sudut dan tiada di sudut lain. Sebagian ada di satu tempat dan tiada di tempat lain. Sebagian ada di satu masa dan tiada di masa yang lain. Ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang terang dan ada yang gelap. Ada yang lembut dan ada yang kasar, dan lain sebagainya. Itu semua menunjukkan bahwa alam semesta ini adalah hadits (adanya didahului ketiadaan, atau menjadi ada dari tiada), dan al-hadits ini tentu merupakan sesuatu yang mumkin, karena semuanya membutuhkan Sang Pencipta Yang Menentukan, Yang wajib ada-Nya, Yang menentukan ada dari tiada, menentukan gerak dari diam, menentukan ukuran atau arah tertentu, waktu dan tempat tertentu atau sifat yang tertentu pula. Seandainya Allah tidak wajib ada-Nya, niscaya tidak sesuatu pun dari alam ini akan mengada. Sebab tidak tergambar dalam akal pikiran adanya sesuatu yang baru tanpa adanya pencipta yang azali. Kalaulah bukan karena adanya Sang Pencipta Yang menentukan beradaan dan karakter tertentu pada sesuatu yang dikehendaki-Nya, tentu sesuatu itu akan tetap berada dalam ketiadaannya, tidak mungkin menjadi ada, selamanya. Sesuatu menjadi ada karena Sang Pencipta menentukan keberadaannya, dengan karakter tertentu, zaman tertentu, tempat tertentu, arah tertentu, ukuran dan sifat tertentu.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan wajibnya Allah Ta’ala wujud adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi” (QS. Al-A’raf 7:54) dan firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)” (QS. Ath-Thur 52:35).

Sifat kedua yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah al-Qidam (Terdahulu). Makna qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujud-Nya, yakni adanya Dzat Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya itu tidak berpermulaan. Kebalikannya adalah al-huduts, yakni ada permulaan wujud. Dalil aqli yang menunjukkan adanya wajibnya sifat qidam bagi Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala serta mustahil Dia huduts adalah, bila Allah Ta’ala tidak terdahulu, Dia mesti baru dan tentu membutuhkan pencipta yang membuatnya mengada untuk baru. Perkara ini akan tasalsul tak berujung, dan itu batil. Atau dengan kata lain, jika sudah tegas bahwa alam semesta ini huduts dan membutuhkan pencipta yang meng-ada-kannya secara baru, lalu penciptanya itu ternyata tidak ada, tentu jelas-jelas mustahil. Karena alam semesta ini bukan ada dengan sendirinya, tidak pula bias menciptakan wujud lain sehingga ia menjadi yang mesti ada. Inilah makna Qidam. Lalu seandainya sifat-sifat Allah Ta’ala tidak qidam, pasti sifat-sifatn-Nya itu huduts, dan ini batil. Sebab, bila sifat-sifat-Nya huduts, tentu akan menuntut kebaharuan Dzat Allah Ta’ala. Karena, segala sesuatu yang dzatnya tidak menjadi nyata tanpa yang baru berarti ia baru. Sedangkan keterdahuluan Allah Ta’ala sudah terdahulu.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bersifat wajib Qidam adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,”(QS. Al-Hadid 57:3) dan firman Allah Ta’ala, “(Yang memiliki sifat-sfat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.”(QS. Al-An’am 6:102)

Sifat ketiga yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah al-Baqa’ (kekal abadi), yaitu tiada penghabisan wujud. Artinya, keberadaan Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala tidak berakhir dan tidak berhenti. Kebalikannya adalah al-Fana’ (rusak, berakhir). Allah Ta’ala mesti bersifat baqa’ dalam Dzat dan sifat-sifat, dan Dia mustahil fana’. Dalil akalnya adalah, seandainya Dzat Allah Ta’ala bisa rusak dan berakhir, tentu Dia adalah yang baru. Sebab, sejatinya yang qadim itu mesti adanya serta tidak akan rusak dan berakhir. Demikian pula sifat-sifat-Nya. Jika sifat-sifat-Nya itu bisa rusak dan berakhir, tentu sifat-sifat-Nya itu adalah baru, dan kebaruan sifat ini menuntut kebaruan dzat, karena kelaziman bagi yang baru adalah kebaharuan. Sementara Allah sudah jelas qadim (terdahulu).

Adapun dalil naqlli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat baqa’ adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir..”(QS. Al-Hadid 57:3) dan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah..”(QS. Al-Qashash 28:88)

Sifat keempat  yang mesti ada pada Allah ta’ala adalah mukhalafah lil-hawaditsi (berbeda dari semua yang selain Dia). Artinya, Allah tidak serupa dengan sesuatu pun yang selain Dia, tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam sifat-sifat-Nya, dan tidak pula dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Dzat Allah bukan jisim, tidak pula menempati atau bersandar pada jisim. Allah tidak di atas atau di bawah sesuatu, tidak di belakang atau samping kiri dan kanan sesuatu. Tidak disifati dengan gerak atau diam dan bagian-bagian yang dimiliki oleh makhluk. Allah tidak mempunyai tangan, mata, telinga atau ciri-ciri makhluk yang lainnya. Adapun keterangan yang ada di dalam al-Qur’an atau hadis yang mengungkapkan seolah-olah Allah serupa dengan makhluk, seperti yadullah fauqa aydihim (tangan Allah di atas tangan mereka), harus ditakwil dari makna lahiriahnya yang bersifat umum.

Ilmu Allah tidak seperti ilmu kita. Pengetahuan Allah tidak diambil dari dalil, tidak pula muncul karena darurat. Allah tidak lupa atau lalai, tidak pula bodoh. Kuasa Allah tidak membutuhkan alat atau sarana. Allah berkehendak tidak karena maksud tertentu. Hidup Allah tidak dengan ruh (nyawa) seperti hidup kita. Pendengaran dan penglihatan Allah tidak dengan indera. Kalam Allah tidak dengan suara atau huruf sebagai lambang suara, dan Allah tidak diam. Perbuatan Allah Ta’ala tidak dengan anggota tubuh, tidak pula sekedar gurauan. Sungguh, Mahasuci Allah dari semua itu. Adapun kebalikan dari sifat mukhalafah lil-hawaditsi adalah mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia).

Dalil aqli yang menunjukkan kemestian Allah bersifat tidak serupa dengan segala yang selain Dia adalah, bila Allah serupa dengan sesuatu dari yang selain Dia, entah Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya ataupun perbuatan-perbuatan-Nya, tentu Allah juga baru seperti sesuatu yang selain Dia itu. Dan ini sungguh batil.

Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura 42:11)

Sifat kelima yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri). Artinya, Allah Ta’ala tidak membutuhkan tempat atau dzat untuk mengada, tidak pula membutuhkan sesuatu pun untuk menegaskan keberadaan-Nya. Kebalikannya adalah Ihliyajuhu ila dzatin aw murajjahin (butuh terhadap dzat atau sesuatu yang mewujudkan). Dalil aqli yang menunjukkan kenyataan bahwa Allah Ta’ala mandiri adalah, seandainya Allah butuh tempat, berarti Allah adalah sifat. Sementara sifat tidak bisa disifati dengan sifat-sifat. Dan Allah sudah jelas disifati dengan sifat Qudrah (Kuasa), Iradah (Berkehendak) dan lainnya. Kemudian bila Allah butuh pada sesuatu yang membuatnya mengada, berarti Allah baru, dan ini sungguh keliru, karena Allah Ta’ala bersifat Qidam.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat Mandiri adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Al-Ankabut 29:6). Allah Ta’ala juga berfirman, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji).”(QS. Fathir 35:15)

Sebagaimana Allah tidak butuh terhadap tempat, Dia juga tidak membutuhkan segala bentuk kemanfaatan, tidak pula tujuan di dalam semua perbuatan dan ketetapan-Nya. Benar bahwa perbuatan dan ketetapan Allah mengadung berbagai hikmah dan kemaslahatan, tetapi manfaat semua hikmah dan kemaslahatan itu bagi makhluk, sebagai kemurahan dan kebaikan Allah kepada makhluk-Nya. Bukan berarti bahwa hikmah dan kemaslahatan itu bermanfaat bagi Allah Ta’ala. Ketaatan kita sama sekali tidak bermanfaat bagi Allah. Demikian juga maksiat kita tidak membahayakan Allah. Perintah dan larangan yang Allah gariskan kepada kita, manfaat dan bahayanya akan kembali kepada kita juga.

Allah sama sekali tidak membutuhkan manfaat dari semua perintah dan larangan-Nya terhadap kita. Betapa tidak, Allah sungguh tidak membutuhkan sesuatu pun dari makhluk. Ada banyak sekali kesaksian yang menunjukkan hal ini di dalam Alqur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang salih maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri.”(QS. Fushshilat 41:46). Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri..”(QS. Al-Isra’ 17:7), Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sungguh Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Al-‘Ankabut 29:6).

Allah sungguh Mahakaya dan tidak membutuhkan apa pun selain Dia. Dilihat dari sudut pandang akal, jika Allah membutuhkan manfaat dari ketaatan hamba-Nya, niscaya Allah hanya akan menciptakan ketaatan dan tidak menciptakan kemaksiatan. Jika tidak, berarti Allah tidak mampu menangkal sesuatu yang membahayakan-Nya, dan ini mustahil.

Kesimpulannya, Allah sungguh tidak membutuhkan seluruh bentuk kemanfaatan dari semua yang selain Diri-Nya. Dan Dialah yang menunjukkan makhluk yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Sifat keenam yang mesti ada pada Allah Ta’ala adlah al-Wahdaniyyah, yaitu tiada berbilang. Sifat wahdaniyyah atau ketidakberbilangan Allah ini terpilah dalam tiga bagian. Pertama, tidak berbilang dalam Dzat-Nya. Maksudnya, Dzat Allah tidak tersusun dari bagian-bagian dan tidak ada bandingan bagi Dzat-Nya. Kedua, tidak berbilang di dalam sifat-sifat-Nya. Maksudnya, Allah tidak bersifat dengan dua sifat sejenis atau lebih. Misalnya, Allah bersifat dengan dua sifat Qudrah, dua sifat Iradah atau dua sifat ‘Ilmu. Dan tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang sama seperti sifat Allah. Ketigatidak berbilang di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Artinya, Allah-lah Yang menciptakan secara bebas segala sesuatu yang mungkin mengada, entah dzat, sifat maupun perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, “..Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(QS. Ash-Shaffat 37:96). Tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya di dalam semua itu. Matahati, bulan, bintang, air, debu, udara, api dan lainnya, semuanya tidak ada yang berpengaruh terhadap lainnya. Demikian juga makanan tidak akan membuat kenyang dan pisau tidak bisa memotong tanpa kehendak Allah.

Suatu tindakan bebas seorang hamba, adalah ciptaan Allah, bukan milik hamba. Allah menciptakan perbuatan itu dengan qudrah-Nya berbarengan dengan kemampuan hamba untuk melakukannya, bukan karena kemampuan hamba. Hamba sama sekali tidak memiliki kuasa, yang ada padanya hanya usaha (al-kasb). Al-kasb adalah keselarasan al-qudrah al-haditsah (kuasa yang baru muncul) terhadap al-maqdur (objek) ketika al-maqdur itu menjadi tujuan. Saat itu Allah memunculkan tidakan, dengan mewujudkan musabbab (akibat) ketika ada sebab. Meskipun yang tampak secara lahiriah sepertinya si hambalah yang menjadi pelaku, seperti api yang secara lahiriah tampak membakar. Dari sini dipahami bahwa sesungguhnya pahala merupakan kemurahan Allah Ta’ala, dan siksa murni merupakan keadilan-Nya. Allah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas pebuatan-perbuatan-Nya, kitalah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan kita. Sebab, Allah Ta’ala berbuat sesuatu dengan perbuatan hamba-Nya.

Apabila Anda memahami hal ini, Anda akan tahu bahwa perbuatan yang diupayakan hamba (ikhtiyariyyah) hanya merupakan tanda-tanda syara’ atas pahala atau siksa yang diciptakan Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, untuk menunjukkan apa yang Allah kehendaki bagi mereka di akhirat. Semua hamba dimudahkan oleh perbuatan Allah untuk mencapai tujuan mereka.

Jika ditanyakan, “Apabila Allah yang menciptakan perbuatan hamba, berarti Dialah yang berdiri, duduk, makan, minum dan lain sebagainya?” Jawabannya, “Pendapat ini sungguh bodoh dan tolol. Karena, yang disifati dengan sesuatu adalah ia yang dengan sesuatu itu menjadi, bukan yang menciptakan sesuatu itu. Apakah tidak Anda lihat, Allah-lah Yang menciptakan putih, hitam dan lain sebagainya, tetapi bukan berarti Allah disifati dengan putih atau hitam.

Kebalikan dari sifat wahdaniyyah adalah ta’addud (berbilang), dalam dzat, sifat maupun perbuatan. Dalil yang menunjukkan ketunggalan Allah dalam Dzat-Nya diambil dari dalil tentang kemestian Allah bersifat mukhalafah lil-hawaditsi. Sebab jika Dzat Allah itu tersusun, berarti ia serupa dengan hawadits dan membutuhkan sesuatu yang menyusunnya. Dengan demikian berarti Dia baru, dan itu mustahil.

Dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam sifat-sifat-Nya adalah kenyataan bahwa Allah tidak bersifat dengan dua sifat yang sejenis. Sebab jika sifat-Nya itu berbilang, tentu sifat-Nya itu baru, padahal sudah ditegaskan bahwa sifat-Nya itu terdahulu.

Dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam Dzat dan sifat-Nya adalah kenyataan bahwa Allah tidak berbanding di dalam Dzat-Nya dan tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bersifat dengan sifat-sifat-Nya. Adapun dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam perbuatan-Nya, yakni kenyataan tidak adanya sesuatu pun selain Dia yang bisa menciptakan perbuatan, itu karena keberbilangan di dalam perbuatan berarti persekutuan. Dan persekutuan merupakan aib serta kekurangan, karena menunjukkan kelemahan. Sedangkan ketunggalan dan ketidakberbilangan adalah sifat kesempurnaan. Semakin besar kuasa seorang raja, akan semakin besar pula kebenciannya terhadap sekutu yang menyainginya. Lalu bagaimana pendapat Anda berkenaan dengan kerajaan dan kekuasaan Allah Yang ketuhanan-Nya menuntut penguasaan mutlak? Bayangkan seandainya di dunia ini ada dua Tuhan dan salah satunya ingin mengalahkan yang lain. Apabila yang satu ini sanggup mengalahkan saingannya, berarti yang kalah itu lemah dan fakir, dan tentu dia bukan Tuhan. Lalu apabila yang satu itu tidak dapat mengalahkannya, berarti dia yang lemah, dan itu berarti dia bukan Tuhan, tetapi yang kedualah yang tuhan.

Selain dalil aqli, ada banyak dalil naqli yang disebutkan di dalam Alqur’an tentang ketidakberbilangan Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah 2:163)

Allah Ta’ala berfirman, “Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan.”(QS. Al-Anbiya’ 21:22)

Allah Ta’ala berfirman, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) berserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.”(QS. Al-Mu’minun 23:91)

Semua rasul Allah dan kitab-kitab-Nya telah menyatakan kemestian Allah bersifat tidak berbilang. Seperti diungkapkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?””(QS. Az-Zukhruf 43:45). Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhak (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.”(QS. Al-Anbiya’ 21:25)

Sifat-sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala sudah enam sifat yang kami uraikan. Sifat yang pertama, yakni wujud, merupakan sifat nafsiyyah. Sedangkan lima sifat yang dibahas setelahnya merupakan sifat-sifat salabiyyah, karena sifat-sifat ini menunjukkan penafian perkara-perkara yang tidak layak adanya pada Allah Ta’ala. Sifat qidam (terdahulu) meniadakan sifat huduts (kebermulaan). Sifat Baqa’ (kekal tak berakhir) meniadakan sifat fana’ (rusak dan berakhir). Sifat al-mukhalafahh lil-hawaditsi (berbeda dengan yang selain Dia) meniadakan sifat al-mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia). Sifat qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) meniadakan iftiqar ilal-mahalli wal-fa’ili (membutuhkan tempat dan pencipta). Dan sifat wahdaniyyah (tunggal) meniadakan sifat ta’addud (berbilang), baik dalam dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya.

Sifat ketujuh yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah qudrah, yaitu sifat kuasa yang ada tanpa mula dan lekat pada dzat Allah Ta’ala. yang dengannya Allah mewujudkan atau meniadakan segala sesuatu yang mumkin sesuai dengan kehendak-Nya, entah hal yang mumkin itu umum maupun rinci, berupa jisim (materi) maupun sifat. Yang mumkin itu meliputi sesuatu yang bersebab. Misalnya, tingkah kita yang diupayakan, seperti gerak atau diam kita ketika adanya sabab (Sabab adalah hubungan antara al-qudrah al-haditsah (kemampuan makhluk) dan al-maqdir (objek kemampuan) menurut hukum keterkaitan). Atau peristiwa terbakar ketika api menyentuh sesuatu, atau kenyang setelah makan dan sejuk setelah minum. Selain meliputi sesuatu yang ber-sabab, hal mumkin juga meliputi sesuatu yang tidak ber-sabab, seperti adanya langit dan bumi. Sungguh, tidak ada sesuatu pun selain Allah Ta’ala yang memiliki pengaruh terhadap sesuatu, sebagaimana telah kami terangkan di muka.

Kami menggunakan kata dengan sifat itu…, bukan dengan kata karena sifat itu…, untuk menunjukkan bahwa pengaruh itu milik Dzat Allah, bukan milik qudrah. Barangsiapa menyandarkan pengaruh itu kepada qudrah secara hakiki, berarti dia kufur.

Ada sebagian orang awam yang berkata, “Al-Qudrah (kuasa) itu menentukan, maka lihatlah apa yang diperbuat qudrah.” Apabila pendapat itu muncul dari keyakinan dan kesengajaan, maka dia kafir karena keyakinan ini mengandung kemusyrikan, sebagaimana kafirnya orang yang berkeyakinan api ialah yang membakar, atau rotilah yang membikin kenyang dan pisaulah yang menimbulkan potongan. Namun bila tidak berkeyakinan seperti itu, dia tidak kafir.

Yang wajib bagi kita adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala bersifat qudrah yang qudrah-nya itu berkaitan dengan semua yang mumkin. Kebalikan dari sifat qudrah (kuasa) adalah ‘ajzu (lemah), yakni tidak kuasa atas segala yang mumkin.

Akal telah menunjukkan kemestian adanya sifat qudrah pada Allah Ta’ala, dan bahwa sifat qudrah-Nya itu berkaitan dengan semua maujud. Semua maujud selain Dia adalah hadits, yang didahului ketiadaan, sebagaimana telah kami kemukakan. Setiap yang baru sudah pasti harus ada yang menciptakan. Yang menciptakan sudah pasti harus mempunyai kuasa yang dengannya dia mewujudkan atau meniadakan. Sebab tidak mungkin ada pengaruh tanpa ada kuasa. Jika Dia tidak kuasa, tentu Dia lemah. Dan jika Dia lemah, tentu tidak ada sesuatu pun dari alam ini. Karena itu, Allah Ta’ala niscaya bersifat qudrah. Apabila qudrah Allah Ta’ala itu hanya berkaitan dengan sebagian yang mumkin dan tidak berkaitan dengan sebagian lainnya, berarti qudrah Allah itu hadits, karena membutuhkan mukhashshish (yang mengkhususkan). Hali itu tidak mungkin, sebab qudrah Allah Ta’ala itu terdahulu dengan ke-terdahulu-an Dzat-Nya.

Selain dalil akal, ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian adanya sifat qudrah pada Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu [QS. Al-Baqarah 2:20].”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa [QS. Fathir 35:44].” Allah Ta’ala berfirman, “Adakah pencipta selain Allah?[QS. Fathir 35:3].” Dan Allah pun berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (bi-qadarin) [QS. Al-Qamar 54:49].” Para nabi a.s. pun tidak mengingkari hal ini.

Kesimpulannya, segala sesuatu pada mulanya bergantung kepada Allah Ta’ala tanpa perantara berdasarkan pilihan, baik menurut akal, dalil Al-Qur’an dan hadis, maupun menurut ijma’.

Sifat kedelapan yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah iradah (berkehendak). Iradah merupakan sifat wujud terdahulu yang ada secara nyata pada Dzat Allah Ta’ala. Dengan sifat-Nya in Allah Ta’ala memberi karakter khusus pada sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya, karakter yang berbeda dari karakter yang Dia khususkan pada sesuatu lainnya yang saling berlawanan. Maka, segala sesuatu yang diketahui ada dan tiadanya merupakan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sesuatu pun yang nyata di kerejaan Allah Ta’ala selain yang dikehendaki-Nya.

Kami menggunakan kata merupakan sifat yang dengannya…, bukan kata merupakan sifat yang karena…, itu untuk menunjukkan bahwa kuasa memberikan karakter khusus itu milik Dzat, bukan sifat.

Di alam ini, hal yang saling berlawanan itu ada enam. Yaitu, ada-tiada, ukuran, sifat, zaman, tempat dan arah. Segala sesuatu yang mumkin (semesta alam), memiliki kemungkinan untuk menerima secara sama masing-masing kategori berlawanan itu. Masing-masing pihak dari dua hal berlawanan itu tidak lebih utama untuk diterima daripada yang lainnya. Allah Ta’ala mengkhususkan sesuatu dengan ada sebagai ganti dari kebalikannya, yakni tiada, atau Dia mengkhususkannya dengan tiada sebagai ganti dari kebalikkannya, yakni ada. Hal mumkin memiliki potensi untuk menerima kekhususan tersebut secara sama, antara menerima ada dan tiada.

Allah juga mengkhususkan al-mumkin dengan ukuran tertentu seperti, panjang-pendek dan besar-kecilnya. Lalu mengkhususkannya dengan sifat tertentu sebagai ganti dari sifat kebalikannya, seperti hitam sebagai ganti dari putih atau merah, gerak sebagai ganti dari diam, atau mengetahui sebagai ganti dari tidak mengetahui. Allah juga mengkhususkannya dengan keberadaannya pada masa tertentu sebagai ganti dari keberadaannya pada masa sebelumnya atau sesudahnya. Misalnya, sesuatu itu ada pada jam sekian pada hari tertentu di bulan anu pada tahun tertentu, sebagai ganti dari keberadaannya pada masa sebelum atau sesudahnya. Selain itu, Allah juga mengkhususkan sesuatu itu dengan keberadaannya di tempat tertentu dan tidak di tempat lain, misalnya berada di Bolaq, tidak di Irak. Kemudian Allah juga mengkhususkannya dengan keberadaannya di arah tertentu, seperti di timur atau di barat.

Karena itu, kita wajib meyakini benar bahwa Allah Ta’ala berkehendak yang kehendak-Nya itu berkaitan dengan seluruh al-mumkinat (semesta selain Dia). Kebalikan dari sifat iradah adalah karahah (terpaksa).

Akal telah menunjukkan kemestian Allah Ta’ala memiliki sifat berkehendak dan mustahil terpaksa, dan bahwa kehendak-Nya itu berkaitan umum dengan seluruh makhluk. Seandainya Allah Ta’ala tidak berkehendak, tentu Dia terpaksa. Dalam hak Allah Ta’ala, terpaksa merupakan kekurangan (ketidaksempurnaan), sedangkan berkehendak merupakan kesempurnaan. Dan kekurangan merupakan sifat yang mustahil ada pada Allah. Selain itu, jika Allah Ta’ala tidak berkehendak dan tidak merdeka menentukan pilihan, berarti Dia terpaksa dan terjajah. Dan itu berarti Allah tidak kuasa. Padahal telah jelas dan tegas argumen kemestian Allah Ta’ala bersifat kuasa, dan bahwa kuasa-Nya itu meliputi seluruh mumkinat.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian adanya sifat iradah pada Allah Ta’ala adalah firman-Nya, “Dan jika Tuhanmu mengehendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?[QS. Yunus 10:99].”

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia [QS. An-Nahl 16:40].” Tidak ada perbedaan antara al-masyi’ah dan al-iradah.

Ketahuilah bawah qudrah dan iradah tidak berkaitan dengan hal yang wajib adanya atau yang musthil adanya. Qudrah dan iradah hanya berkaitan dengan segala sesuatu yang mumkin. Kami tidak akan menjelaskannya di sini karena terlalu bertele-tele.

Kesimpulannya, kita wajib meyakini dan menegaskan bahwa segala sesuatu yang digelar di kerajaan Allah dari ketiadaan menjadi ada adalah makhluk yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya di zaman azali. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, pasti tidak akan terjadi. Sungguh, Dia Sang Penguasa taufiq.

Sifat kesembilan yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah al-’ilmu (mengetahui). Sifat mengetahui merupakan sifat terdahulu yang ada bersamaan keberadaan Dzat-Nya. Pengetahuan Allah Ta’ala terhadap sesuatu apa adanya bersifat meliputi dan tidak terdahului oleh kesamaran. Yang dimaksud sesuatu di sini mencakup semua yang wajib adanya, yang mustahil adanya dan yang mungkin adanya, keseluruhannya dan bagiannya, secara umum maupun terperinci. Dengan ilmu-Nya yang terdahulu, Allah Ta’ala mengetahui Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya, mengetahui ketidakadaan hal yang mustahil bagi-Nya, seperti kemustahilan Dia bersifat baru, lemah dan mempunyai sekutu. Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu apa adanya di zaman azali serta kemenjadiannya di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kebalikan dari al-’ilmu adalah al-jahl (tidak mengetahui) dan yang semakna dengannya, seperti zhann (menyangka), syakk (meragu), wahm (menduga), ghaflah (lalai), nisyan (lupa) dan sahwu (keliru).

Dalil yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui dan mustahil Dia bersifat tidak mengetahui adalah kenyataan bahwa tidak mengetahui merupakan sifat ketidaksempurnaan bagi Allah Ta’ala. Sifat ketidaksempurnaan merupakan hal yang mustahil ada pada Dzat Allah Ta’ala, Allah mesti suci darinya. Allah Ta’ala mesti disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan, yang di antaranya adalah sifat mengetahui. Selain itu, kita juga sungguh menyaksikan alam raya yang demikian agung dan indah, tertata dengan sistem-sistem hukumnya yang rumit, berikut aktivitas dan bentuk-bentuk yang sempurna dan indah. Di dalamnya banyak sekali kreasi yang amat menakjubkan, hukum-hukum, kemanfaatan-kemanfaatan dan berbagai keindahan yang bahkan tidak bisa ditelusuri akal secara menyeluruh. Itu semua pasti diciptakan oleh Sang Kreator Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.

Ketika kita melihat tulisan yang bagus atau mendengar kata-kata yang indah, yang muncul dari makna-makna yang mendalam, kita tentu tahu bahwa yang membuatnya pasti orang yang pintar. Demikian pula ketika manusia memandang langit atau memandang dirinya sendiri, merenungi hubungan antara alam atas dan alam bawah, mengamati dunia binatang yang amat beragam, mengamati bagaimana perilaku mereka, bagaimana mereka membangun sarang, berburu makan di gunung-gunung dengan perangkat tubuh yang sesuai dengan kebutuhannya, tentu ia tidak akan ragu bahwa Dia Yang Menciptakan semua itu sungguh Mahatahu dan Mahabijaksana.

Allah mesti bersifat mengetahui, dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu secara seluruh, tidak sekadar meliputi sebagian tanpa sebagian lainnya. Sebab, jika pengetahuan-Nya tidak meliputi keseluruhan dan hanya sebagian, tentu Dia jahl (tidak mengetahui), dan ini sungguh batil.

Ada banyak sekali dalil  dari Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui. Di anatranya adalah firman Allah Ta’ala “…Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS. Al-Anfal 8:75].”

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan DIa Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [QS. Al-Mulk 67:14]”

Allah Ta’ala berfirman, “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan, Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati [QS. At-Taghabun 64:4].”

Demikian pula para rasul telah bersepakat akan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui. Seperti ditegaskan di dalam Al-Qur’an, “(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka): “Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)-mu?” Para rasul menjawab: “Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib [QS. Al-Ma’idah 5:109].” Maksudnya adalah, pada Hari Kiamat Allah Ta’ala berfirman kepada para rasul, “Apa jawaban umat kalian terhadap kalian? Bagaimana penerimaan mereka terhadap kalian saat kalian mengajak mereka untuk mengesakan Aku dan menaati-Ku?” Lalu para rasul berkata, “Pengetahuan kami tentang mereka tidak seperti pengetahuan-Mu tentang mereka, Engkau sungguh Maha Mengetahui alam-alam gaib. Engkau sungguh mengetahui apa pun yang mereka sembunyikan dan apa pun yang mereka tampakkan, sedangkan kami hanya mengetahui apa yang mereka tampakkan. Pengetahuan-Mu tentang mereka lebih meliputi dan lebih sempurna daripada pengetahuan kami.”

Sifat kesepuluh yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah al-hayat (hidup)Al-hayat yang mesti adanya pada Allah Ta’ala merupakan sifat wujudi terdahulu yang ada dengan keberadaan Dzat-Nya, yang merupakan syarat mutlak bagi adanya sifat al-qudrah, al-iradah, al-’ilm, as-sama’, al-bashar dan al-kalam. Sifat hayat Allah Ta’ala tidak berkaitan dengan apa pun. Kebalikannya adalah al-maut (mati).

Dalil akal yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup dan mustahil mati adalah kenyataan bahwa hidup merupakan sifat kesempurnaan, sedangkan maut merupakan sifat kekurangan. Allah Ta’ala mesti suci dari semua sifat kekurangan dan mesti bersifat sempurna. Karena itu Allah Ta’ala mesti bersifat hidup. Lalu, seandainya Allah tidak bersifat hidup, niscaya tidak sah Dia bersifat kuasa dan memiliki sifat-sifat sempurna lainnya.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan selain Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam [QS. Al-Mu’min 40:65].”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa ham-hamba-Nya [QS. Al-Furqan 25:58].” Demikian pula para rasul dan seluruh orang berakal menyatakan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup.

Sifat kesebelas yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah as-sama’ (mendengar)as-sama’ merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah dan berkaitan dengan semua maujud secara utuh apa adanya, yang keterkaitannya dengan semua itu lain dari keterkaitan ilmu dan bashar-Nya. Kaitan sifat sama’ Allah dengan maujud bukan merupakan kaitan sifat ilmu-Nya dengan maujud, sebagaimana maklum kita saksikan sifat itu pada makhluk.

Kita wajib meyakini bahwa ilmu Allah mustahil tercemari kesamaran, pada semua segi. Dan keberlainan antara kaitan pendengaran-Nya dan kaitan pengetahuan-Nya dengan semua maujud, itu bukan seperti yang kita bayangkan, bahwa kejelasan yang dihasilkan dari penglihatan itu lebih banyak daripada kejelasan dengan ilmu, karena semua sifat Allah Ta’ala sungguh sempurna, mustahil tercemar oleh kesamaran, kekurangan dan tambahan. Apabila sifat Allah tidak sempurna demikian, tentu sifat-sifat-Nya itu serupa dengan sifat-sifat hawadits dan menuntut kebaharuan Dzat-Nya. Padahal sebagaimana telah kami jelaskan bahwa Allah Ta’ala bersifat qadim dan mustahil bersifat huduts.

Maksud ungkapan kami, “…berkaitan dengan semua maujud”, adalah bahwa pendengaran Allah berkaitan dengan semua maujud secara utuh dan menyeluruh, entah maujud itu terdahulu maupun baru, dzat maupun sifat. Dan pendengaran-Nya itu tidak hanya menangkap suara. Berbeda dengan pendengaran kita yang umumnya hanya menangkap suara, meskipun terjadinya perbedaan pendengaran di antara kita juga merupakan hal yang lazim terjadi. Seperti yang terjadi pada Rasulullah saw. yang mendengar kalam Allah Ta’ala yang qadim. Tidak diragukan bahwa kalam Allah Ta’ala yang didengar Rasulullah saw. itu bukan suara.

Allah Ta’ala mesti bersifat sama’, dan mustahil Dia bersifat kebalikannya, yakni al-shamam (tuli). Dalilnya menurut akal, setiap yang hidup pasti punya salah satu dari dua sifat berlawanan tersebut, mendengar atau tuli. Dan jika Allah disifati dengan sifat tuli, itu sungguh merupakan kekurangan dalam hak-Nya. Karena itu Allah Ta’ala mesti bersifat mendengar, karena mendengar merupakan sifat kesempurnaan dalam hak Allah Ta’ala.

Ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mendengar dan mustahil tuli. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [QS. Asy-Syura 42:11].”

Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat [QS. Thaha 20:46].”

Di dalam kitab ash-Shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rendahkanlah suara kalian. Sungguh kalian tidak sedang berdoa kepada si tuli yang tiada. Kalian sedang berdoa kepada Dia Yang Maha Mendengar nan Maha Melihat.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Dan para ahli Filosuf pun telah sepakat bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat sama’.

Sifat kedua belas yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah al-bashar (melihat)Al-bashar merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah dan berkaitan dengan semua maujud secara utuh apa adanya, yang berkaitannya dengan semua itu lain dari keberkaitan ‘ilmu dan sama’-Nya. Allah Ta’ala melihat semua maujud secara utuh dan menyeluruh, entah yang qadim maupun yang hadits, yang berupa dzat maupun sifat. Kebalikannya adalah al-’umyu (buta). Dalil yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat melihat dan mustahil buta, dalil aqli maupun naqli, telah kami ungkapkan di dalam penjelasan tentang sifat sama’-Nya. Kami tidak perlu mengulangnya di sini.

Sifat ketiga belas yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah al-kalam (berfirman). Al-kalam merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah Ta’ala, berkaitan dengan semua yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin. Keberkaitannya dengan semua itu adalah ta’alluq dilalah (penunjukkan).

Kami sudah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala berbeda dengan makhluk, dalam dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dan sifat kalam Allah tentu berbeda dengan sifat kalam makhluk. Sifat kalam Allah tidak dengan huruf, tidak pula dengan suara. Kalam Allah tidak bermula dan tidak berakhir. Kalam Allah tidak mengenal diam, tidak pula rusak seperti bicara anak kecil atau orang yang gagu atau seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk. Sebab, jika kalam Allah Ta’ala tidak sempurna, tentu sifat kalam-Nya baru seperti sifat-sifat kita. Padahal sebagaimana telah ditegaskan bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat qidam (terdahulu), Dzat-Nya maupun sifat-sifat-Nya.

Ketahuilah bahwa kalam Allah Ta’ala bersifat satu, seperti sifat-sifat Dia yang lainnya, sebagaimana telah kami terangkan pada penjelasan sifat wahdaniyyat-Nya. Hanya saja, sifat kalam Allah berargam dengan keragaman relasinya. Apabila berkaitan dengan tuntutan mengerjakan shalat atau menunaikan zakat misalnya, maka sifat kalam-Nya itu amar (perintah), seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.. [QS. Al-Baqarah 2:43].” Apabila berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan zina, membunuh tanpa hak dan menggunjing misalnya, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman nahyi (larangan). Seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan jangalah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk [QS. Al-Isra 17:32].” Atau di dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar… [QS. Al-Isra 17:33].” dan di dalam firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, susungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…[QS. Al-Hujurat 49:2].”

Apabila berkaitan semisal Nabi Musa mengerjakan sesuatu, maka sifat kalam Allah memberi kefahaman khabar (berita). Seperti firman Allah Ta’ala, “Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata [QS. Asy-Syu’ara’ 26:32].”

Apabila berkaitan dengan ketentuan bahwa orang yang taat akan beroleh surga, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman al wa’d (janji). Seperti firman Allah Ta’ala, “…dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa [QS. Ali ‘Imran 3:133].”

Apabila berkaitan dengan ketentuan bahwa orang yang bermaksiat akan masuk ke neraka, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman al-wa’id (ancaman). Seperti firman Allah Ta’ala, “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir [QS. Ali ‘Imran 3:131].”

Selain ragam sifat kalam tersebut, masih ada ragam sifat kalam lainnya sesuai dengan keragaman relasinya.

Kebalikan dari sifat kalam adalah al-bukmu (bisu). Dalil akal yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat kalam dan mustahil bisu adalah kenyataan bahwa bisu merupakan sifat kekurangan yang tidak mungkin ada pada Allah Ta’ala. Allah mesti bersifat kalam yang merupakan sifat kesempurnaan. Dalil naqli-nya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung [QS. An-Nisa’ 4:164].” Dalil naqli ini sudah mayshur di kalangan para nabi dan para rasul. Demikian pula ulama sepakat bahwa Allah Ta’ala mutakallim (berfirman).

CATATAN

  1. Sifat yang tujuh dari dua puluh sifat yang mesti ada pada Allah Ta’ala, yakni al-qudrah (kuasa), al-iradah (berkehendak), al-’ilmu (mengetahui), al-hayat (hidup), as-sama’ (mendengar), al-bashar (melihat) dan al-kalam (berfirman) disebut sifat ma’ani, karena sifat-sifat itu nyata adanya, yang sekiranya penghalang antara kita dan Allah disingkapkan atau dihilangkan, niscaya kita dapat melihatnya. Telah jelas di muka bahwa sifat ma’ani adalah semua sifat yang nyata adanya.
  2. Dari penjelasan yang telah kami uraikan, Anda paham bawah sifat-sifat memiliki ta’alluq (kaitan dengan maujud) yang tidak sama. Sifat qudrah berkaitan dengan semua yang mumkin dari segi ta’tsir (pengaruh), sedangkan iradah berkaitan dengan semua yang mumkin dari segi takhshish (pengkhususan). Sifat ‘ilmu berkaitan dengan yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin dalam bentuk al-ihathah (meliputi) dan al-inkisyaf (ketersingkapan). Sedangkan sifat kalam berkaitan dengan yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin dalam bentuk dilalah (penunjukkan). Sifat sama’ (mendengar) dan bashar (melihat) berkaitan dengan semua yang maujud yang wajib dan mungkin dalam bentuk inkisyaf (ketersingkapan). Sedangkan sifat hayat (hidup) tidak berkaitan dengan segala sesuatu. Karena hayat tidak menuntut sesuatu yang lebih daripada Dzat-Nya.
  3. Adapun sifat kaunuhu qadiran (kenyataan Allah Mahakuasa), kaunuhu muridan (kenyataan Allah Berkehendak), kaunuhu ‘aliman (kenyataan Allah Mengetahui), kaunuhu hayyan (kenyataan Allah Hidup), kaunuhu sami’an (kenyataan Allah Mendengar), kaunuhu bashiran (kenyataan Allah Melihat) dan kaunuhu mutakalliman (kenyataan Allah berfirman), itu semua merupakan sifat-sifat ma’nawiyyah, yakni sifat-sifat yang dinisbatkan pada sifat ma’ani. Karena berdasarkan akal, penyifatan dengan sifat-sifat tersebut merupakan cabang dari penyifatan dengan sifat-sifat ma’ani. Penyifatan Dzat Allah dengan kaunuhu ‘aliman (kenyataan Dia Mengetahui) hanya akan sah bila Dia memiliki sifat ‘ilmu (mengetahui). Demikian pula sifat-sifat ma’nawiyah lainnya. Kami telah menjelaskan bahwa sifat-sifat ma’nawiyyah adalah semua sifat yang tetap dan menjadi kelaziman bagi sifat-sifat ma’ani.
  4. Kebalikan dari sifat-sifat ma’nawiyah tersebut (yang mesti adanya pada Allah Ta’ala) berikut dalilnya, diambil dari sifat-sifat ma’ani yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Kebalikan dari sifat kaunuhu qadiran adalah kaunuhu jahilan (kenyataan Allah tidak mengetahui). Kaunuhu jahilan merupakan sifat ma’nawiyah dari al-jahl yang merupakan sifat ma’ani. Demikian pula sifat-sifat ma’nawiyah lainnya, yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Kami tidak perlu mengulang dalilnya di sini.


Selain yang wajib dan yang mustahil, ada pula yang mungkin adanya pada Allah Ta’ala. Yang Ja’iz adanya pada Allah Ta’ala adalah fi’lu kulli mumkinin aw tarkuhu (melakukan semua yang mumkin atau tidak melakukan). Misalnya: menciptakan dzat, menciptakan sifat, menciptakan tindakan refleks atau tindakan bebas, menciptakan rezeki, menghidupkan, mematikan, memberi petunjuk, menyesatkan, menimpakan siksa, memberikan pahala dan lain sebagainya. Siksa semata-mata merupakan keadilan-Nya, dan pahala semata-mata merupakan kemurahan-Nya. Penerimaan pahala atas keimanan dan ketaatan serta penetapan siksa atas kekufuran dan kemaksiatan semata-mata merupakan pilihan bebas Allah Ta’ala. Kalaupun Allah memilih penetapan yang sebaliknya, pilihan-Nya itu tetap benar dan baik. Karena Allah Ta’ala tidak berkewajiban menciptakan sesuatu pun hal yang mumkin, tidak pula sesuatu pun hal yang mumkin itu mustahil bagi-Nya.

Dalil akal menunjukkan kenyataan tersebut. Apabila Allah Ta’ala berkewajiban menciptakan segala sesuatu yang mumkin, maka sesuatu yang mumkin itu menjadi yang wajib. Apabila sesuatu yang mumkin itu mustahil bagi Allah Ta’ala, tentu yang mumkin itu menjadi mustahil bagi-Nya. Ini sungguh batil, jelas-jelas batil.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kenyataan tersebut di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia) [QS. Al-Qashash 28:68].”

Sampai di sini tema hukum yang menjadi target uraian kami pada bab ini telah selesai. Dari uraian tersebut Anda sudah mendapat kejelasan bahwa Allah Ta’ala wajib ada-Nya sejak azali dan selama-lamanya. Telah jelas pula bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan apa pun yang selain Dia, dan bahwa segala sesuatu yang selain Dia itu sungguh membutuhkan-Nya. Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Allahlah yang memiliki pengaruh terhadap sesuatu. Sementara manusia, jin, malaikat atau makhluk-makhluk lainnya sama sekali tidak memiliki pengaruh tanpa pengaruh-Nya. Allah Mahasuci dari semua yang dirasa sebagai kekurangan, Allah suci dari sakit, lupa, ngantuk, terputus atau membutuhkan penolong, atau teman, anak, istana, kursi, pena, buku, pasukan, sekretaris, atau penjaga dan lain sebagainya. Sebaliknya, semua makhluk berada dalam kuasa paksa keagungan dan kuasa Allah Ta’ala. Allah Yang mengatur segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak sesuatu pun yang membuat Dia telah mengatur makhluk-Nya. Dia telah Ada saat sesuatu tidak ada bersama-Nya, dan Dia akan senantiasa ada apa Ada-Nya. Dia tidak berpindah, tidak berganti, tidak berubah oleh keadaan apa pun. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan [QS. Yasin 36:82-83].”

Maka, wahai saudaraku, engkau mesti mengetahui semua yang telah kami paparkan, agar engkau menjadi bagian dari orang-orang yang selamat, bahagia, menang dan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Janganlah engkau sampai menyalahi sesuatu pun dari akidah tersebut. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi bagian dari mereka yang merugi, sesat dan menyesatkan.

Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menunjukkan kita ke jalan petunjuk dan menolong kita agar senantiasa berada pada jalan yang diridhai-Nya, sehingga kita menjadi bagian orang-orang yang bahagia di Hari panggilan Allah. Dan semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke surga bersama golongan hamba-hamba-Nya yang didekatkan, yang “doa mereka di dalamnya ialah, Subhanakallahuma, dan salam penghormatan mereka ialah ‘Salam’. Dan penutup doa mereka ialah, Alhamdulillah rabbil-’alamin [QS. Yunus 10:10].” Shalawat dan salam senantiasa melimpahi paduka kami yang mulia, Muhammad saw., serta keluarga dan para sahabatnya.[]

06. Bab II – Kenabian (Nubuwwah)

Bab ini berisi uraian tentang permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan para nabi, yang merupakan bagian kedua dari dua bagian iman. Iman tersusun dari dua bagian. Pertama, iman kepada Allah Ta’ala, yakni haditsun-nafsi yang mengikuti pengenalan sifat yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin bagi Allah Ta’ala. Uraian tentang bagian iman yang pertama ini sudah kami jelaskan pada Bab I. Adapun bagian iman yang kedua adalah iman kepada para rasul, yakni haditsun-nafsi yang mengikuti pengenalan sifat yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin bagi para rasul Allah. Yang dimaksud dengan haditsun-nafsi adalah penerimaan dan keyakinan hati akan apa yang diketahuinya walaupun kesombongan tidak bisa menghalangi dia untuk membenarkannya.

Ketahuilah bahwa rasul adalah manusia laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, untuk menyampaikan hukum-hukum-Nya yang bersifat taklifi dan wadh’i kepada mereka. Yang dimaksud dengan hukum taklifi dan wadh’i ialah kewajiban syariat yang pasti, kenyataan sesuatu menjadi syarat, atau menjadi sebab, atau penghalang, atau sah, atau rusak, serta hal-hal lain yang menjadi ikutannya, seperti janji dan ancaman-Nya. Adapun nabi adalah manusia laki-laki merdeka yang diberi wahyu oleh Allah Ta’ala berupa syari’at yang harus diamalkannya, entah kemudian dia diperintah untuk menyampaikan syari’at yang diterimanya itu kepada yang lain maupun tidak.

Kerasulan para rasul merupakan kelembutan dan rahmat dari Allah Ta’ala yang dengannya Dia mengistimewakan hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan kenabian tidak bisa diupayakan, entah dengan riyadhah (latihan spiritual), dengan mujahadah (memerangi nafsu) maupun dengan upaya-upaya lainnya. Kenabian semata-mata merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, yang mengandung hikmah dan kemaslahatan.

Adapun jalan untuk menegaskan kerasulan, dilakukan dengan mukjizat. Mukjizat ialah perkara luar biasa yang menyalahi kebiasaan, dimunculkan untuk membenarkan dan memperkuat pengakuan kenabian para nabi. Seperti peristiwa keluarnya air dari jari-jari (Nabi Muhammad) dan peristiwa tidak terbakarnya Nabi Ibrahim saat dilempar ke dalam kobaran api. Mukjizat-mukjizat itu merupakan penegas yang amat jelas dari Allah Ta’ala akan kebenaran pengakuan kenabian para nabi.

Iman kita tidak akan sempurna sebelum kita mengenal para rasul Allah, dan iman kepada para rasul itu tidak akan didapat selain dengan mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang ja’iz bagi mereka. Karena itu di sini kami akan menguraikan sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang ja’iz adanya pada diri para rasul. 

Ada empat sifat yang mesti ada dalam diri para rasul Allah, dan empat sifat pula yang mustahil adanya pada diri mereka. Pertama, ash-shidqu (benar dan jujur) di dalam semua hal yang mereka sampaikan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Para rasul mustahil bersifat al-kidzbu (tidak benar, bohong) di dalam semua itu. Karena al-kidzbu merupakan kebalikan dari ash-shidiq.

Ash-shidq adalah kesesuaian berita yang disampaikan dengan kenyataan dan hakikat berita itu. Misalnya berita yang disampaikan mereka, “Sesungguhnya Allah Mahaesa, tidak ada selain Dia.” Mereka telah berkata benar dan jujur, karena apa yang mereka sampaikan itu sesuai dengan kenyataan. Sedangkan al-kidzbu adalah ketidaksesuaian berita dengan kenyataan dan hakikat berita itu. 

Dalil akal yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat jujur dan mustahil bersifat bohong adalah, apabila para rasul itu berbohong di dalam berita menyampaikan kepada orang lain, berarti berita dari Allah yang berupa mukjizat itu juga bohong. Karena, Allah menegaskan kebenaran seorang rasul dengan mukjizat yang Dia munculkan di tangannya. Penegasan kebenaran dengan pemunculan mukjizat ini menempati posisi penegasan kebenaran dengan firman yang tegas. Pemunculan mukjizat ini menempati posisi firman Allah Ta’ala, “hamba-Ku ini benar dan jujur di dalam setiap kabar yang disampaikannya dari-Ku.”

Apabila para rasul itu berbohong, berarti Allah Tabaraka wa Ta’ala juga berbohong dalam penegasan-Nya akan kebenaran diri mereka. Dan bohong, sungguh hal yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Sebab, berita dari Allah itu sesuai dengan ilmu-Nya, dan ilmu-Nya tidak megandung sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, demikian pula firman-Nya. Maka nyatalah bahwa para rasul itu mustahil bersifat bohong. Karena itu mereka mesti bersifat benar dan jujur.

Selain dalil akal, ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat jujur dan mustahil bersifat bohong. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” [QS. Al.Ahzåb 33: 22] Allah Ta’ala berfirman, “Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul-Nya.” [QS. Yasin 36: 52]

Sifat kedua yang mesti adanya di dalam diri para rasul Allah adalah al-amanah (terpercaya), mustahil mereka bersifat al-khiyanah (khianat)Amanah ialah menjaga diri lahir batin dari hal-hal yang terlarang, yang haram maupun yang makruh, seringan apa pun keterlarangan itu. Sedangkan khiyanah adalah kebalikannya.

Secara argumentatif akal menunjukkan kemestian para rasul bersifat amanah dan mustahil bersifat khiyanah. Kita tahu bahwa para rasul merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Allah Ta’ala, paling bertakwa kepada-Nya, paling mengenal-Nya dan paling takut kepada-Nya. Allah telah memilih dan mengistimewakan mereka lebih dari manusia lainnya. Allah menjadikan mereka sebagai duta untuk menyampaikan hukum-hukum syariat-Nya kepada umat manusia, disertai dengan penegasan kebenaran dari-Nya akan kebenaran hukum yang mereka sampaikan itu. Karena itu mereka mesti menjadi panutan bagi umat. Sungguh, Allah telah menegaskan kemestian mereka untuk diikuti tanpa komentar, dan kita diperintah untuk mengikuti semua perkataan, perbuatan dan perilaku mereka. Jika ternyata para rasul Allah itu berkhianat dengan melakukan perbuatan haram atau makruh, tentu perbuatan tersebut akan menjadi perbuatan yang diperintahkan sekaligus dilarang. Menjadi diperintahkan karena perbuatan tersebut dilakukan rasul yang menjadi panutan dan mesti kita ikuti, sekaligus dilarang karena rasul telah menyampaikan keterlarangannya. Dan ini sungguh batil, karena mengandung kontradiksi. Karena itu para rasul mestilah bersifat amanah, mustahil mereka bersifat khiyanah.

Dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu.” [QS. ad-Dukhan 44:18]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” [QS. al-Anfal 8:58]. Sebagaimana Anda ketahui, para rasul adalah orang-orang yang dicintai Allah Ta’ala, dan tentunya mereka bukan pengkhianat.

Para ulama telah sepakat tentang keterpercayaan para nabi dan rasul Allah. Mereka juga sepakat bahwa para nabi dan rasul disucikan dari segala kekurangan dan dosa. Karena itu kita wajib membenarkan keterpercayaan mereka.

Sifat ketiga yang wajib adanya dalam diri pada rasul adalah at-tabligh (menyampaikan semua yang diperintahkan Allah kepada mereka untuk mereka sampaikan kepada manusia). Mereka tidak menyembunyikan sesuatu pun dari semua yang telah Dia perintahkan kepada mereka untuk mereka sampaikan—sesuai perintah-Nya—kepada umat, entah dengan sengaja atau karena lupa, kepada sebagian umat ataupun kepada semua.

Dalil akal yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat tabligh dan mustahil menyembunyikan sesuatu dari yang telah diperintahkanNya untuk mereka sampaikan, sudah sangat jelas dari argumen kemestian mereka bersifat amanah. Sungguh, apabila mereka menyembunyikan sesuatu yang telah diperintahkan untuk disampaikan, berarti mereka telah berkhianat. Dan ini mustahil, sebab para rasul Allah sungguh terjaga dan terpelihara (ma’shum) dari sifat khianat. 

Dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” [Qs. al-Ahzab 33:39]

Alqur’an suci telah menjelaskan kesempurnaan tabligh yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Qs. al-Ma’idah 5:3]

Sifat keempat yang mesti adanya dalam diri para rasul adalah al-fathanah (cerdas dan tidak lupa). Mustahil para rasul bersifat ghaflah (lupa) dan baladah (idiot). Rasul diutus untuk menegakkan hujjah (argumen), untuk mengatasi musuh dan membatalkan pengakuan mereka yang batil. Seandainya para rasul tidak mempunyai sifat fathanah, tentu mereka tidak akan mampu menegakkan hujjah untuk mengatasi musuh. Dan hal ini adalah keliru. 

Dalil naqli yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat fathanah adalah firman Allah Ta’ala, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-An’am 6:83]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. an-Nahl 16:125]. Membantah dengan cara yang terbaik hanya bisa dilakukan oleh orang yang cerdas, si tolol tentu tidak akan bisa melakukannya.

Kesimpulannya, sifat-sifat yang wajib ada dalam diri para rasul berjumlah empat sifat, yakni al-shidqal-amanahat-tabligh dan al-fathanah. Dan mereka mustahil tersifati dengan sifat-sifat kebalikannya, yakni al-kidzbual-khiyanahal-kitman dan al-baladah.

Adapun sifat yang wenang ada dalam diri para rasul adalah al-a’radh al-basyariyyah, yakni sifat-sifat manusiawi yang tidak sampai menafikan keluhuran derajat mereka. Di antaranya adalah mengalami sakit, lapar, fakir, makan, minum dan tidur. Hanya saja, meski mata para rasul itu kadang tidur, hati mereka tetap terjaga. Dalilnya sebagaimana disaksikan akal, sifat-sifat manusiawi itu nyata terjadi pada diri semua rasul Allah. Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” [QS. al-Furqan 25:20]. Yakni, “Engkau, wahai Muhammad, memiliki sifat manusiawi seperti mereka.”

Apa faedah kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi layaknya manusia lain? Faedahnya adalah untuk menambah kemuliaan mereka, menambah keluhuran derajat mereka dan menambah kebesaran pahala mereka. Hal ini didukung oleh kesaksian sabda Rasulullah saw., “Yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para wali, kemudian mereka yang berderajat di bawahnya, lalu yang di bawahnya lagi.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menimpakan ujian berat kepadanya, untuk mendengar tadharru’-nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Sya’b aliman, dan oleh ad-Dailamî di dalam Musnad al-Firdaus.

Faedah lainnya dari kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi adalah penghiburan hati dan pelipur lara bagi kita saat kita ditimpa derita yang serupa menimpa para rasul. Selain itu juga untuk memperingatkan kita akan ke-hina-an dunia dan kerendahan nilai duniawi.

Apabila seorang berakal sehat merenungi keadaan yang dialami para rasul: bagaimana rasa sakit yang mereka derita, bagaimana kemiskinan yang mereka alami dan tindakan menyakitkan yang mereka terima dari para penentangnya, tentu dia akan tahu betapa semua derita itu tidak berarti di hadapan Allah Ta’ala. Lalu dia akan berpaling dengan hatinya dari dunia ini serta menggatungkan qalbunya kepada Allah Ta’ala.

Kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi juga merupakan petunjuk dari Allah Ta’ala bahwa mereka adalah hamba-hamba-Nya. Sehingga orang-orang yang lemah tidak merasa lemah hati melihat mukjizat-mukjizat agung yang muncul di tangan para rasul.

Kami mengatakan bahwa yang mungkin adanya dalam diri para rasul itu adalah sifat-sifat manusiawi yang tidak menafikan keluhuran derajat mereka, untuk mengecualikan sifat-sifat yang dapat menghilangkan keluhuran derajat mereka, seperti buta, lepra, gila dan sifat lain yang membuat orang lari dari mereka. Atau seperti makan di tengah jalan dan perbuatan-perbuatan lain yang dinilai rendah. Atau mimpi (ihtilam) yang muncul dari setan.

07. Para Nabi dan Rasul Allah yang Wajib Diketahui

Salah satu bagian dari kewajiban orang mukallaf adalah mengetahui para nabi yang diriwiyatkan secara rinci juga berkenaan dengan para nabi yang ditutur secara rinci, mengetahui para nabi yang tidak diriwiyatkan secara rinci. Secara umum kita mesti meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai para rasul dan nabi. Tetapi kita tidak wajib mengetahui nama dan bilangan mereka secara keseluruhan, karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” [QS. al-Mu’min 40:78]

Ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahih-nya, dari Abu Dzarr al-Ghifari, yang mengisahkan bahwa Abu Dzarr pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, berapa banyak jumlah para nabi?” Rasulullah saw. menjawab, “Seratus dua puluh empat ribu.” Kemudian Abu Dzarr bertanya lagi, “Berapa banyak jumlah rasul?” dan Rasulullah saw. menjawab, “Tiga ratus tiga belas.”

Namun hadis ini tidak cukup untuk dijadikan dalil di sini. Karena kabar dari satu orang yang kesahihannya masih disangsikan dan hanya bisa sampai pada derajat zhann. Lagipula hadis ini diungkapkan bukan dalam masalah-masalah akidah, melainkan di dalam bab amaliah. 

Para rasul yang wajib kita ketahui secara rinci ada dua puluh lima. Mereka itu adalah, Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Dzul-Kifli, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariyya, Yahya, ‘Isa dan baginda Rasulullah Muhammad saw.

Adapun para rasul yang termasuk ulul-‘azmi, yakni yang memiliki tingkat kesabaran yang lebih dalam menanggung cobaan berat dari para penentangnya, ada lima. Penyebutan mereka terangkum dalam bait syair salah seorang ‘arif berikut ini:

Muhammad, Ibrahim, Musa Kalimullah, ‘Isa dan Nuh adalah ulul- ‘azmi. Ketahuilah!

Tingkatan keutamaan dari kelima rasul tersebut secara gradual sesuai dengan urutan penyebutan namanya. Al-Muhaqqiq al-Amir berpendapat dalam komentarnya terhadap kitab al-Jauhar, setelah merinci nama-nama nabi yang wajib diimani, “Ihwal Nabi Ilyasa’, kebanyakan orang awam tidak mengetahui namanya, apalagi kerasulannya. Secara lahir, dia seperti nabi-nabi lainnya yang diriwiyatkan secara mutawatir. Tidak mengetahuinya tidak dihukumi kafir. Tetapi menjadi kafir jika seseorang menentang kenyataan Ilyasa’ sebagai rasul setelah dia diberitahu.” Ini adalah hasil penelitian yang berharga, camkanlah!

08. Kerasulan Nabi Muhammad SAW

Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah mengaku diutus oleh Allah Ta’ala kepada semesta alam sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Kebenaran pengakuannya didukung oleh banyak mukjizat agung yang nampak pada diri beliau dan tidak seorang pun mampu menolaknya. Setiap orang yang mempunyai mukjizat demikian, tentu dia adalah rasul Allah. Dan itu secara tegas membuktikan bahwa Sayyidina Muhammad saw. adalah rasul Allah.

Ada banyak sekali mukjizat Nabi Muhammad saw. Di antaranya, beliau memberitahukan hal-hal ghaib yang akan terjadi di masa depan, seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” [QS. al-Rum 30:2-3]. Apa yang dikhabarkan itu benar-benar terjadi. Kerajaan Romawi mengalahkan kerajaan Persia setelah Romawi pernah dikalahkan oleh Persia. Atau seperti di dalam firman Allah Tal’ala, “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alqur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali” [QS. Al-Qasas 28:85], yakni ke Mekkah. Dan ternyata di kemudian hari memang Allah mengembalikan Nabi Muhammad saw. ke kota Mekkah.

Rasulullah saw. juga mengabarkan, sesuai firman Allah Ta’ala, “Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.” [QS. Al-Fath 48:16].  Apa yang dikabarkannya itu benar-benar terjadi. Yang dimaksud dengan kaum yang mempunyai kekuatan besar di dalam ayat ini adalah Bani Hanifah. Abu Bakar telah mengajak kaum Muslimin untuk memerangi mereka.

Contoh lainnya adalah penyampaian kabar yang diungkapkan oleh Rasulullah saw. tentang kekhalifahan. Rasulullah saw. bersabda, “Kekhalifahan setelah aku selama 30 tahun.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya. Di kemudian hari sepeninggal Rasulullah saw., kekhalifahan Khulafa’ ar-Rasyidin memang berlangsung selama tiga puluh tahun.

Rasulullah saw. bersabda, “Ikutilah dua orang sesudah aku, Abu Bakr dan ‘Umar.” [Diriwayatkan al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, juga diriwayatkan Oleh at-Tirmidzi dan yang lainnya]. Ini adalah berita dari Rasulullah saw. bahwa Abu Bakr dan ‘Umar r.a. masih akan hidup setelah beliau wafat. Dan nyatanya memang Abu Bakr dan ‘Umar masih hidup saat Rasulullah saw. wafat. Apa yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. nyata terjadi.

Rasulullah saw. bersabda kepada ‘Umar r.a., “Nanti yang akan membunuhmu adalah golongan penentang.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya, dan diriwayatkan pula oleh yang lainnya]. Yang dimaksud sebagai golongan penentang adalah yang menyalahi kebenaran, meski mereka bukan merupakan pendosa.

Rasulullah saw. bersabda kepada al-‘Abbas r.a. saat para sahabat menawan al-‘Abbas sebelum dia masuk Islam, “Tebuslah dirimu, engkau mempunyai harta yang banyak.” Al-‘Abbas berkata, “Aku tidak mempunyai harta.” Rasulullah saw. bersabda, “Lalu di mana hartamu yang kau titipkan pada Ummu al-Fadhl, saat tidak ada orang selain kalian berdua dan engkau berpesan kepadanya, ‘Apabila aku mendapat musibah dalam perjalananku, maka sebagian dari harta itu untuk al-Fadhl dan sebagian lagi untuk ‘Abdullah.”‘ Al-‘Abbas berkata, “Demi Dia Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada yang mengetahui hal itu selain aku sendiri. Engkau sungguh Rasulullah.” Kemudian akhirnya al-‘Abbas masuk Islam.

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya adalah terbelahnya bulan di Mekkah ketika kaum Quraisy meminta beliau menunjukkan tanda kenabiannya. Bulan itu terbelah menjadi dua. Yang sebelah berada di atas gunung dan yang sebelah lagi di lereng gunung. Kejadian ini disaksikan tidak hanya oleh kaum Quraisy, tetapi oleh semua penduduk bumi. Tentang ini Allah Ta’ala berfirman, “Telah dekat Hari Kiamat dan bulan terbelah.” [QS. al-Qamar 54:1]

Dalam sebuah riwayat dari Anas disebutkan bahwa suatu hari, penduduk Mekkah meminta Rasulullah saw. memperlihatkan tanda kenabiannya. Kemudian Rasulullah saw. memperlihatkan keterbelahan bulan menjadi dua bagian. Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Kita mesti percaya dan yakin bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, karena kesaksian Alqur’an agung tentang kejadiannya. Kesaksian itu merupakan dalil yang paling kuat yang menegaskan terjadinya peristiwa tersebut. Orang beriman tidak akan meragukan kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut setelah dikabarkan oleh orang yang paling jujur dan terpercaya. Sebab, bulan adalah makhluk Allah, Dia kuasa memperlakukannya sesuka Dia, sebagaimana Dia juga kuasa untuk menghilangkannya di akhir zaman. Tidak ada yang akan mengingkari kenyataan ini selain si pelaku bid’ah yang sesat dan menyesatkan, yang menyalahi agama yang lurus. Allah membutakan hati mereka sehingga mereka mengingkari kebenaran Al-qur’an agung dan hadis Nabi saw.

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya antara lain: memancarnya air dari sela-sela jemari beliau dan memperbanyak air yang sedikit dengan berkahnya. Peristiwanya terjadi di berbagai waktu dan kesempatan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis-hadis yang shahih. Beliau juga dapat memberkahi makanan yang sedikit hingga bisa mencukupi orang banyak.

Mukjizat lainnya adalah kesaksian sebatang pohon yang berbicara dan menjawab panggilan beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar r.a. Suatu ketika di dalam sebuah perjalanan, Rasulullah saw. bertemu dengan seorang Arab Badui, lalu beliau mengajaknya masuk Islam. Orang Arab Badui itu bertanya, “Siapa saksi yang bisa membuktikan kebenaran ucapanmu?” Rasulullah menjawab, “Pohon itu.” Kemudian beliau memanggil pohon tersebut. Pohon yang dipanggil itu bergerak membelah tanah menghampiri beliau sampai berada di hadapannya, lalu pohon itu berucap sebanyak tiga kali, “Aku bersaksi tidak Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau sungguh rasul Allah.” Setelah itu, pohon tersebut kembali ke tempatnya semula.

Mukjizat lainnya adalah rintihan batang pohon kurma. Rasulullah saw. biasa bersandar pada batang kurma saat berkhotbah. Namun setelah dibuatkan mimbar, beliau berkhotbah di atas mimbar. Tiba-tiba batang pohon kurma itu menangis. Orang-orang mendengar tangisannya hingga mereka pun ikut menangis. Tangisannya baru berhenti ketika beliau datang lalu mengelusnya seperti seorang ibu mengelus-elus anaknya yang menangis. Hadis tentang peristiwa ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya dari sepuluh orang pembesar sahabat.

Mukjizat lainnya adalah tasbih kerikil dan ucapan benda-benda. Di dalam satu riwayat disebutkan, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, “Kami tengah bersama Rasulullah saw. di Mekkah, lalu saat itu kami pergi menuju suatu tempat di pinggiran Mekkah. Setiap kali menjumpai pohon atau bukit, pohon dan bukit itu selalu mengucapkan, “Salam bagimu, wahai Rasulullah.”

Pada kali yang lain, ada seekor unta datang mengadu kepada Rasulullah saw. Unta itu mengatakan bahwa pemiliknya telah mempekerjakannya dalam waktu yang lama tanpa istirahat. Tetapi setelah unta itu tua, si pemilik hendak menyembelihnya. Unta itu minta perlindungan kepada Rasulullah saw., dan beliau menolongnya. Hadis tentang peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak sahabat.

Mukjizat lainnya adalah ucapan daging kambing yang disuguhkan kepada Rasulullah saw. yang ternyata dibubuhi racun. Peristiwa itu terjadi saat seorang perempuan Yahudi di Khaibar memasakkan daging kambing dan menyuguhkannya kepada beliau.

Pada saat haji wada’, Rasulullah saw. sempat menemui seorang anak yang saat itu baru dilahirkan. Rasulullah saw. bertanya kepada anak yang baru lahir itu, “Siapa aku?” Si anak menjawab, “Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Engkau benar. Semoga Allah memberkahimu. ” Anak kecil itu kemudian diberi nama Mubarak al-Yamamah.

Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak mukjizat Rasulullah saw. lainnya yang tidak bisa kami tuliskan di sini. Riwayat yang kami tuliskan tentang mukjizat-mukjizat itu, juga yang tidak kami tuliskan di sini, dapat dilihat di dalam kitab-kitab para hafidz. Seperti kitab Dala’il an-Nubuwwah karya al-lmam al-Baihaqi, Mu’jam Abu Na’imMu’jam ath-Thabranial-Kutub as-Sittah, dan di dalam berbagai Musnad, seperti Musnad al-lmam Ahmad. 

Mukjizat Rasulullah saw. yang paling agung adalah Alqur’an al-Karim. Rasulullah saw. pernah menantang orang Arab untuk menandingi satu surah saja dari Alqur’ansurah yang terpendekDan ternyata mereka semua tidak ada yang sanggup. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alqur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alqur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakamya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” [Qs. al-Baqarah 2:23-24]

Seandainya mereka mampu, tentu mereka akan melakukannya. Saat Rasulullah saw. menantang mereka, nyata bahwa mereka tidak mampu, bahkan untuk membuat satu saja surah pendek. Padahal di kalangan orang-orang Arab yang memusuhi Rasulullah saw. itu ada banyak sekali ahli bahasa dan mereka amat fasih. Dengan demikian, tampak nyata bahwa Alqur’an merupakan mukijzat yang paling agung.

09. Rasulullah SAW sebagai Rahmat bagi Semesta Alam

Salah satu hal yang wajib kita yakini adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam. Buktinya antara lain: penangguhan siksa bagi kaum kafir di alam dunia; peniadaan siksa bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat; peniadaan hukum-hukum syari’at yang berat yang pernah diberlakukan bagi umat-umat sebelum beliau, semisal ketentuan hukum Qishash dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, atau kemestian memotong anggota tubuh yang bersalah, memotong pakaian yang terkena najis dan bertobat dengan cara bunuh diri.

Suatu hari di masa lampau, seorang lelaki Bani Isra’il melakukan perbuatan dosa. Lalu di pagi hari setelah dia berbuat dosa itu, di pintu rumahnya terdapat tulisan: Untuk menebus dosa tersebut, engkau harus mencongkel kedua matamu. Kemudian si lelaki itu mencongkel kedua matanya.

Berkat diutusnya Nabi Muhammad saw., hukum-hukum yang berat seperti itu dihapuskan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. al-Anbiya’ 21:107]. 

Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alqur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. al-A’raf 7:157]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj 22:78] Semoga Allah memberi balasan terbaik bagi beliau.

Kita wajib meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah makhluk yang paling utama di antara seluruh makhluk, entah jin, manusia maupun malaikat. Ini adalah kesepakatan kaum muslimin. Dalilnya, umat Muhammad adalah umat yang paling utama (kami akan menguraikan pembahasannya nanti). Tidak diragukan lagi bahwa keunggulan suatu umat dihitung berdasarkan tingkat kesempurnaannya dalam agama, dan ini tentu mengikuti tingkat kesempurnaan nabi yang diikutinya. Pemuliaan terhadap suatu umat juga merupakan pemuliaan terhadap nabi umat tersebut.

Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah saw., “Dalam pandangan Allah, aku adalah orang yang paling mulia di antara semua, yang awal maupun akhir, bukan bangga.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam at-Tirmidzi.

Dalil yang lain adalah kenyataan bahwa beliau adalah sang empunya syafa’ah al-‘uzhma di akhirat, yang pada saat itu tidak seorang pun memiliki syafa’at selain Allah Ta’ala. Selain itu, kenabian Rasulullah Muhammad saw. juga lebih dahulu daripada semua nabi, sebagaimana masyhur di kalangan umum. Bahkan para nabi telah disumpah untuk mengikuti beliau bila mereka sempat berjumpa dengannya.

Allah Ta’ala telah memberlakukan semua kemaslahatan agama dan akhirat untuk hamba-hamba-Nya di tangan Rasulullah saw. Dialah manusia yang merupakan ‘ainul-wujud (inti wujud) dan as-sabab fi kulli maujud (yang menjadi sebab semua maujud). Semua nabi dan rasul selain beliau adalah wakil dan khalifahnya, seperti diungkapkan oleh al-Nabilsi di dalam syairnya,

Semua nabi dan rasul yang mulia datang

sebagai wakil darinya dalam menyampaikan dakwah

Dialah sang rasul yang diutus bagi semua makhluk

di sepanjang zaman, dan darinya tumbuh mulut-mulut

Sang Penyair yang terkenal dengan julukan Ibn al-Khathib berkata,

kalau bukan karena dirimu, tidak seorang pun akan diciptakan

Tidak, bahkan semesta ini tidak akan diciptakan kalau bukan karena engkau

 dari cahayamu bulan berjubah purnama

dan matahari bersinar dengan cahaya keindahanmu

engkau saat diangkat ke langit

langit berhias karena gembira menyambut kedatanganmu

disambut oleh Tuhanmu, ‘Selamat Datang’

Dia sungguh memanggilmu untuk dekat pada-Nya. Dia mencintaimu

Engkaulah yang mintakan syafa’at

tidak ada makhuk lain yang patut selain darimu. Tuhan memanggilmu

ketika Adam bertawassul melalui engkau dalam tobatnya

Adam berhasil mendapat ampunan, padahal dia bapakmu

Dengan wasilah dirimu al-Khalil berdoa hingga api menjadi dingin

api itu padam oleh cahaya keagunganmu

Ayyub menyerumu karena sakit yang dideritanya

hingga sakitnya dilenyapkan saat dia memanggil-manggilmu

Dan karena engkau pula al-Masih datang sebagai pembawa berita gembira

dia mengabarkan sifat-sifat baikmu sambil terus memuji keluhuranmu

Begitu pula Musa terus bertawassul denganmu

di hari kiamat dia beruntung karena panggilanmu

Para nabi dan makhluk di alam dunia

Para rasul dan malaikat, semua berada di bawah panjimu

Engkau mempunyai mukjizat yang melemahkan semua

dan bagimu keutamaan-keutamaan agung tak berbanding

Cahayamu, wahai Thaha, menerangi semua nabi

Mahasuci Dia Yang telah menyempurnakanmu

Demi Allah, wahai Yasin, di semesta ini tidak ada yang sepertimu

benar adanya orang bemunajat kepadamu

Para penyair, wahai yang berselimut, tak mampu menyifatimu

mereka terlalu lelah untuk bisa menyebut-nyebut keluhuranmu

Injil ‘Isa telah datang mengabarkan dirimu

Dan al-Kitab telah datang kepada kami membawa sanjungan akan kemuliaanmu

Apa yang dikatakan para penyanjung dan goresan pena para penulis tak sampai 

menghimpun maknamu

Demi Allah. kalau pun lautan jadi tinta mereka

dan pepohonan sebagai penanya

Niscaya manusia dan jin tidak akan mampu menghimpun secuil pun, selamanya

mereka tak kan mampu menemukan maknamu

Hatiku rindu kepadamu, wahai tuanku

mabuk kepayang ingin bertemu denganmu

saat aku diam, sungguh seluruh diamku padamu

dan bila aku bicara, aku penyanjung keagunganmu

Saat aku mendengar, yang kudengar puja-puji tentang dirimu

Dan saat aku mengarahkan pandangan, tidak ada yang kulihat selain engkau

Wahai makhluk paling mulia, wahai simpanan semesta

dermalah kepadaku dengan kedermawananmu dan ridhailah aku dengan ridhamu

Aku sungguh tamak akan derma darimu

bagi Ibn al-Khathib, tidak ada manusia yang lebih dermawan daripada engkau

Semoga engkau memberinya syafaat saat dia dihisab

Dia sungguh telah bersegera berpegang pada pertolonganmu

engkaulah pemilik syafaat yang paling mulia

siapa mengiba perlindunganmu, dia akan beroleh pemenuhan darimu

Maka jadikanlah sebutanku padamu sebagai syafa’at untukku kelak hingga di mahsyar aku tampak di bawah panjimu

Allah bersalawat kepadamu, wahai makhluk paling agung

betapa rindu si pencinta rumahmu

Dalam urutan keutamaan, setelah Rasulullah Muhammad saw. secara berurut ditempati oleh Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa, Nabi ‘Isa dan Nabi Nuh. Urutan selanjutnya adalah para rasul selain mereka, lalu para nabi, kemudian para penghulu malaikat (yakni Jibril, Mikail, Israfil dan Malaikat maut [‘Izrail]). Kemudian urutan selanjutnya adalah Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat, lalu para malaikat selain yang lima, baru manusia biasa lainnya.

Khalifah yang paling utama adalah Abu Bakr r.a. Beliau menjabat kekhalifahan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari. Kemudian ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau menjabat kekhalifahan selama sepuluh tahun enam bulan delapan hari. Kemudian ‘Utsman ibn ‘Affan r.a. yang menjabat kekhalifahan selama sebelas tahun sebelas bulan sembilan hari. Lalu Imam ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. yang menjabat kekhalifahan selama empat tahun sembilan bulan tujuh hari.

Keutamaan para khalifah ini diikuti secara gradual dan berurut oleh enam sahabat dari sepuluh sahabat yang digembirakan dengan kabar kepastian mereka masuk surga (yang empat adalah khulafa ar-rasyidin). Yakni: Thalhah ibn ‘Ubaidillah, az-Zubair ibn al-Awwam, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Sa’id ibn Zaid dan Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibn al-Jarrah. Kemudian disusul oleh para syuhada yang gugur pada Perang Badar, mereka berjumlah 313 orang. Ada ulama yang berpendapat bahwa jumlah syahid di Perang Badar sebanyak 370 orang.

Setelah para syuhada Perang Badar, urutan selanjutnya ditempati para syuhada yang gugur pada Perang Uhud. Mereka berjumlah kurang lebih seribu orang. Kemudian para sahabat yang mengikuti Bai’ah ar-Ridhwan, berjumlah 1400 orang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah mereka 1500 orang. Peristiwa tersebut dinamakan peristiwa bai’ah ar-ridhwan karena firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” [QS. al-Fath 48:1]

Urutan selanjutnya baru ditempati semua sahabat yang tidak masuk dalam kategori di atas. Mereka semua adalah orang-orang yang adil. Kita mesti menangguhkan penilaian (jangan menilai buruk) setiap pertentangan yang terjadi di antara para sahabat, atau kita harus menakwilnya dengan takwil yang baik. Sebab pertentangan yang terjadi di antara mereka merupakan hasil ijtihad. Seperti yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a. Ketika itu para sahabat terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berijtihad dan tampak bagi mereka bahwa yang benar adalah Imam ‘Ali, lalu mereka berperang bersamanya. Kelompok yang kedua berijtihad dan nampak bagi mereka bahwa yang benar adalah Mu’awiyyah, maka mereka bergabung bersamanya. Sedangkan kelompok yang ketiga berijtihad mengambil sikap diam, tidak memihak. Karena itu, siapa pun di antara tiga golongan ini tetap mendapat pahala. Yang ijtihadnya tepat mendapat dua pahala, sedangkan yang ijtihadnya tidak tepat hanya mendapat satu pahala. 

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah, Allah, tentang sahabat-sahabatku, kalian jangan sampai menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggal aku.” Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Kalian jangan mencaci-maki sahabat-sahabatku. Barangsiapa yang mencaci-maki sahabat-sahabatku, maka laknat Allah, laknat para malaikat dan semua manusia. Dan Allah tidak akan menerima amal ibadahnya, tidak yang sunnah dan tidak pula yang fardhu.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan yang lainnya. 

Wanita paling utama adalah Siti Maryam binti ‘Imran—sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ar-Ramli—kemudian Siti Fathimah, Siti Khadijah, ‘A’isyah, dan Asiyah istri Fir’aun. Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” [QS. Ali ‘Imran 3:42]

Ath-Thabrani meriwayatkan, “Wanita terbaik di alam semesta ini adalah Maryam binti ‘Imran, kemudian Khadijah binti Khuwailid, lalu Fathimah binti Muhammad saw., lalu Asiyah istri Fir’aun.”

Di dalam riwayat tersebut, ath-Thabrani menempatkan penyebutan Khadijah sebelum Fathimah, berbeda dengan ar-Ramli. Tetapi ini tidak berarti bahwa riwayat ini bertentangan. Karena, pengutamaan Khadijah atas Fathimah dalam penyebutan di dalam riwayat tersebut lebih dikarenakan ke-ibu-an Khadijah, bukan dari sisi ke-penghulu-an.

Pendapat lain mengatakan bahwa urutan tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Dan pendapat ini yang lebih aman.

Hal lain yang merupakan bagian dari hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf adalah kenyataan bahwa kurun waktu yang paling utama adalah kurun waktu mereka yang sempat berkumpul bersama Nabi Muhammad saw. dalam keadaan iman. Kemudian kurun waktu mereka yang setelahnya, lalu kurun waktu selanjutnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, “Generasi terbaik adalah generasiku, kemudian mereka yang setelahnya, lalu mereka yang sesudahnya.”

‘Imran ibn Hashin berkata, “Aku lupa apakah Rasulullah saw. mengucapkan setelah generasi beliau itu dua kali atau tiga kali.”

Yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kurun (al-qarn) di sini adalah generasi. Kurun pertama adalah generasi para sahabat sampai mereka semua tiada. Kurun kedua adalah generasi para tabi’in sampai mereka semua tiada. Dan kurun ketiga adalah generasi tabi’it-tabi’in sampai mereka semua tiada.

Pendapat yang paling absah tentang interval waktu satu kurun adalah seratus tahun (satu abad). Pendapat ini berdasar pada sabda Rasulullah saw. ketika beliau mengusap kepala anak yatim, “Hiduplah engkau satu qarn.” Dan anak itu ternyata hidup selama seratus tahun. 

Setiap kurun itu lebih baik dari kurun sesudahnya, sebagaimana ditegaskan oleh beliau, “Tidak ada tahun, atau tidak ada hati, melainkan yang sesudahnya itu lebih buruk darinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan at-Tirmidzi.

Kita juga wajib mengikuti para ulama salaf yang shalih di dalam perkataan dan perbuatan mereka, mengikuti ta’wil dan istinbath hukum mereka, serta mengikuti jejak-jejak mereka lahir batin. Barangsiapa mengikuti mereka hanya pada lahiriahnya saja, tidak beserta batinnya, berarti dia seorang penentang, bukan orang yang taat.

Al-‘Allamah al-Laqani berkata,

Jadilah engkau sebagaimana makhluk pilihan,

adil dan bijak mengikuti kebenaran

Setiap kebaikan ada dalam mengikuti salaf

dan setiap keburukan ada dalam bid’ah khalaf

Asy-Syaikh ‘Abdussalam menjelaskan bait tersebut, “Jangan sampai engkau mengikuti akhlak yang buruk dan perbuatan yang tidak diridhai seperti dilakukan orang khalf yang buruk. Sebab setiap keburukan muncul dari bid’ah jelek yang diada-adakan orang khalf yang mengabaikan shalat dan mengikuti syahwat.” Kata al-khalfu dalam kata-kata beliau dibaca dengan lam yang sukun (bukan khalaf tetapi khalf).

Hal lain yang wajib diimani setiap mukmin adalah adanya para wali Allah. Barangsiapa mengingkari keberadaan wali Allah, dia telah kafir, karena dia menolak keterangan yang ada dalam Alqur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS. Yunus 10:62]

Begitu juga kita wajib mengimani keberadaan karamah para wali Allah, dan karamah mereka itu ada di saat mereka masih hidup maupun setelah mereka wafat. Karamah adalah perkara luar biasa (menyalahi adat) yang muncul pada diri hamba Allah yang shalih dan tidak disertai dengan pengakuan kenabian. Hal ini diterangkan di dalam Alqur’an dan hadis. Umat juga telah sepakat atas keberadaan karamah mereka sebelum munculnya orang-orang yang melakukan penentangan.

Kita juga harus meyakini bahwa para imam dalam agama (a’immatuddin) adalah orang-orang yang adil. Siapa yang mengikuti salah seorang di antara mereka, maka ia akan selamat.

Para imam itu dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, imam yang menekuni dan mendalami bidang fikih, menggali dan menetapkan hukum-hukum dari Alqur’an dan hadis dalam masalah fikih. Di antara mereka yang paling masyhur adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Hanbali r.a. Mereka semua adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Mengikuti salah satu di antara imam yang empat tersebut hukumnya fardhu, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl 16:43]. Selain itu, juga karena sabda Rasulullah Muhammad saw., “Ingatlah, bertanyalah kalian apabila kalian tidak tahu.” 

Setelah ijma’ diputuskan, mengikuti selain dari madzhab yang empat itu tidak boleh. Karena mazhab-mazhab selain yang empat tidak tersusun secara sistematis, berbeda dengan mazhab yang empat.

Barangsiapa tidak mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan ia berkata, “Aku beramal menurut Alqur’an dan sunnah”, seraya mengaku diri faham hukum-hukum dari Alqur’an dan sunnah, dia tidak diterima. Karena dia telah keliru, sesat dan menyesatkan. Terutama di zaman ini, zaman yang penuh dengan kefasikan dan banyak pengakuan yang keliru. Dia keliru dan sesat karena telah tampil mengungguli para imam, padahal dia lebih rendah dari para imam, baik dalam derajat keilmuannya, amalnya, keadilannya maupun dalam ketelitiannya. Sebab belum terdengar ada dari selain para imam itu yang punya ilmu dan keadilan yang lebih unggul atau setingkat dengan mereka. Begitu juga dalam penguasaaan ilmu-ilmu bahasa Arab, penguasaan aqwal (ungkapan dan pendapat) para sahabat, ushuluddin, tafsir, hadis dan hal-hal lain yang menjadi syarat-syarat ijtihad.

Imam Abu Hanifah dari kalangan tabi’in, demikian pula Imam Malik. Sedangkan Imam asy-Syafi’i dan Imam Hanbali dari kalangan tabi’it tabi’in. Masa mereka hidup adalah masa orang-orang yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih, “Generasi terbaik adalah generasiku, kemudian mereka yang setelahnya, lalu mereka yang sesudahnya.”

Adanya perbedaan di dalam masalah furu’iyyah (syariat fikih) tidak menjadi soal, bahkan merupakan rahmat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw., “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.” (HR. al-Baihaqi)

Menurut para imam, sebaiknya kita menjaga dan tidak mempertentangkan perbedaan, lalu berusaha mengambil pendapat yang lebih berhati-hati.

Kategori kedua adalah imam yang menekuni dan menjelaskan masalah-masalah ushuluddin (ketauhidan). Di antara mereka adalah al-Asy’ari dan al-Maturidi. Mereka menetapkan dalil aqli dan dalil naqli untuk menjelaskan masalah-masalah tersebut, dan mereka telah berhasil menolak ketidakjelasan yang muncul dari orang-orang yang berkeyakinan sesat.

Kategori ketiga adalah imam di bidang tasawuf, yang menekuni pembersihan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran batin dan penyakit-penyakit hati seperti sombong dan hasad. Mereka mewajibkan mukallaf agar menjaga kebersihan hati dan anggota badan dari semua hal yang tidak disukai, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak memberikan manfaat, kecuali orang-orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih.” [QS. as-Syu’ara’ 26:88-89]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-Isra’ 17:69].

Mereka yang menjadi imam di bidang tasawuf ini di antaranya adalah AbYazid al-Busthami, asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani, as-Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi, asy-Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, al-Junaidi al-Baghdadi, Hujatul-lslam Abu Hamid al-Ghazali, asy-Syaikh as-Suhrawardi, Ma’ruf al-Karkhi, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan lainnya. Mereka itu adalah para sufi, demikian pula orang-orang yang mengikuti mereka menjalankan kewajiban bertakwa kepada Allah di dalam kesendirian maupun di keramaian. Para imam sufi itu berada dalam petunjuk Allah Ta’ala sebagaimana halnya imam-imam fikih. Mereka mendasari ajaran mereka dengan akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan fikih para Imam Mujtahid. Karena itu semua imam sufi itu juga ahli fikih. Dan yang menjadi langkah awal perjalanan mereka adalah melarikan diri kepada Allah Ta’ala dari segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” [QS. adz-Dzariyat 51:50].

Target urusan mereka adalah bergantung hanya kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan Penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia “. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Alqur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” [QS. al-An’am 6:91]

Menaati imam merupakan hal yang wajib, selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Dengan dalil firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. an-Nisa 4:39]

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ulil-amri adalah ulama yang mengamalkan ilmunya serta memerintahkan berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ulil-amri adalah para pemimpin yang hak, yang mengamalkan perintah Allah dan perintah Rasulullah.

Namun demikian, tidak dibenarkan menaati mereka di dalam kemaksiatan. Karena sabda Rasulullah saw., ‘Tidak ada ketaatan bagi makhluk di dalam maksiat kepada Allah. ” (HR. al-lmam Ahmad dan al-Hakim)

Tentang tema ini, di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab pernah berkata, “Siapa saja di antara kalian yang melihat ada penyimpangan pada diriku—yakni melenceng dari kebenaran—maka ingatkanlah aku.” Lalu Bilal atau Salman maju dan berkata kepada ‘Umar, “Seandainya kami melihat ada penyimpangan pada dirimu, niscaya kami akan meluruskanmu dengan pedang kami. Kemudian ‘Umar memuji, “Alhamdulilah, segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan di antara umat ini orang yang mau meluruskan aku dengan pedangnya bila melihat ada penyimpangan pada diriku.”

Hal lain tentang kerasulan Muhammad saw. yang wajib diyakini adalah bahwa Allah Ta’ala mengutus Muhammad sebagai rasul bagi semua manusia dan jin, sesuai dengan sabda Rasulullah saw. di dalam hadis riwayat al-Bukhari dan yang lainnya, “Aku diutus untuk seluruh umat manusia.” Kenyataan ini juga ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. [QS. Saba’ 34:28]

Barangsiapa menafikan keumuman risalah Nabi Muhammad saw. dengan menganggap bahwa risalahnya hanya berlaku bagi sebagian orang, berarti dia telah kafir sebagaimana orang yang telah menafikan Islam. Bahkan pendapat lain yang lebih absah mengatakan bahwa selain diutus kepada seluruh manusia dan jin, Rasulullah Muhammad saw. juga diutus kepada para malaikat.

Selain mengimani keumuman kerasulan Muhammad saw., kita juga wajib mengimani kenyataan bahwa Allah Ta’ala telah menutup kenabian dan kerasulan dengan Nabi Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Ahzab 33:40]

Tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Semua hukum yang telah disyariatkannya, melalui Alqur’an maupun hadis, tidak bisa diganti atau dihapus oleh syari’at manapun, sebagiannya maupun keseluruhannya. Bahkan Nabi Muhammad-lah yang datang untuk menasakh syari’at yang turun sebelumnya. Adapun penggantian sebagian syari’at beliau dengan sebagian syari’at beliau yang lainnya, itu merupakan hal yang wenang. Misalnya tentang ‘iddah (masa tenggat) perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada syari’at yang awal, ‘iddah-nya adalah satu tahun, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah bewasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. al-Baqarah 2:240]] Kemudian ayat hukum ini di-nasakh dengan firman Allah Ta’ala, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” [QS. al-Baqarah 2:234]

Hal lain yang wajib kita imani adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala telah memperjalankan Nabi Muhammad saw. pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunggulınya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. al-Isra’ 17:1]

Kita wajib mempercayai bahwa peristiwa isra’ tersebut dialami Rasulullah saw. dengan jasad dan ruhnya. Ketika Rasulullah saw. sedang berada di rumahnya, dalam keadaan antara tidur dan terjaga di antara dua orang lelaki, yakni pamannya yang bernama Hamzah dan anak pamannya yang bernama Ja’far, tiba-tiba malaikat datang membangunkannya. Lalu Jibril membelah dadanya, mengeluarkan jantungnya, membasuhnya dengan air zam-zam, lalu mengembalikannya ke tempatnya semula setelah mengisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian Rasulullah naik Buraq yang dihias dan diberi tali kendali, lalu berangkat sampai tiba di Masjidil Aqsha. Beliau menyaksikan banyak keajaiban selama dalam perjalanan. Di Masjidil Aqsha, para nabi dihadirkan, lalu Rasulullah saw. shalat mengimami mereka dan para malaikat.

Selesai shalat di Masjidil Aqsha, mi’raj (tangga) pun dipasang untuknya. Rasulullah saw. naik sampai tiba di langit dunia. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Adam dan mengucap salam kepadanya. Lalu Rasulullah saw. naik ke langit kedua. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi ‘Isa, dan beliau mengucap salam pada keduanya.

Setelah itu Rasulullah saw. naik ke langit ketiga. Di sana beliau bertemu Nabi Yusuf dan mengucapkan salam kepadanya. Dari langit ketiga, Rasulullah saw. naik lagi ke langit keempat. Di sana beliau bertemu Nabi Idris dan mengucapkan salam kepadanya. Dari sana Rasulullah saw .naik ke langit kelima, di sana beliau bertemu Nabi Harun dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian Rasulullah saw. naik ke langit keenam. Di sana beliau bertemu Nabi Musa dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu Rasulullah saw. naik ke langit ketujuh. Di sana beliau bertemu Nabi Ibrahim al-Khalil dan mengucap salam kepadanya.

Setelah itu Rasulullah saw. melihat al-Bait al-Ma’mur, Beliau menyaksikan al-Bait al-Ma’mur dimasuki tujuh puluh ribu malaikat tiap harinya, dan setelah masuk ke sana para malaikat itu tidak keluar lagi hingga Hari Kiamat. Posisi al-Bait al-Ma’mur itu tegak lurus dengan Ka’bah di bumi.

Lalu beliau ke Sidrah al-Muntaha. Semua yang naik dari bumi berhenti dan tertahan di sana, demikian pula semua yang turun dari atasnya. Sidrah al-Muntaha berupa pohon, di akarnya terdapat empat sungai. Dua sungai batin dan dua sungai lahir. Dua sungai yang batin itu ada dalam surga, sedangkan yang lahir adalah Sungai Nil dan Sungai Furat (Eufrat). Di Sidrah al-Muntaha Rasulullah saw. menyaksikan berbagai keajaiban yang luar biasa.

Dari Sidrah al-Muntaha, Rasulullah saw. terus ke Mustawa. Di sana beliau mendengar geritan pena, lalu diliputi awan berwarna warni. Sampai di situ, Jibril—yang sejak awal menemani beliau—berhenti, tidak ikut menyertai Rasulullah yang terus naik. Setelah awan itu lenyap, Rasulullah Muhammad saw. melihat Allah Ta’ala, tidak di arah tertentu dan tanpa batas, suci dari sifat-sifat makhluk. Rasulullah saw. menyaksikan tidak hanya dengan hati, melainkan juga dengan mata kepalanya. “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya.” [QS. al-Najm 53:17]

Kemudian Rasulullah bersujud dan Allah mengajak-Nya berdialog dikehendaki-Nya. Allah mewajibkan shalat kepada nabi dan umatnya sebanyak lima puluh kali tiap sehari semalam. Setelah menerima perintah shalat lima puluh waktu, beliau turun dan bertemu Nabi Musa. Musa bertanya, “Apa yang telah difardhukan Tuhanmu kepada umatmu?” Rasulullah saw. menjawab, “Lima puluh shalat.” Musa berkata’ “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah keringanan. Umatmu tidak akan kuat melaksanakannya.” Rasulullah saw. kembali menghadap Allah Ta’ala, lalu berkata, “Ya Rabbi, berilah keringanan untuk umatku.” Allah menguranginya lima. Rasulullah saw. terus bolak-balik menghadap Allah untuk meminta keringanan setelah disarankan oleh Musa. Dan setiap kali menghadap, Allah menguranginya lima hingga akhirnya tinggal lima dan Allah berfirman, “Ya Muhammad, itu adalah shalat lima waktu sehari semalam. Setiap satu shalat setara dengan sepuluh shalat. Jadi lima shalat itu setara dengan lima puluh shalat. Putusan-Ku ini tidak bisa diubah.”

Perjalanan Rasulullah saw. dari Mekkah ke Baitul Muqaddas dinamakan isra’. Barangsiapa tidak percaya (mengingkari) setelah mengetahui, berarti dia telah kafir. Dan naiknya beliau dari Baitul Muqaddas menuju tempat beliau bicara langsung dengan Allah Ta’ala dinamakan mi’raj. Barangsiapa mengingkarinya setelah tahu, berarti dia fasiq. [Siapa pun yang berminat mengetahui kisah Isra Mi’raj Rasulullah saw. dan hal yang berkaitan dengannya, silakan baca kitab Dhaw’ al-Siraj fi al-lsra’ wa al-Mi’raj, karya penulis kitab ini (asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi).]

Hal lain yang wajib diimani oleh setiap mukmin adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa di gunung (Thursina), berdasarkan firman Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di dalam Al-qur’an, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. [QS. an-Nisa 4:164]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfiman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” [QS. al-A’raf 7:143]

Maksudnya, saat itu Allah menyingkapkan hijab antara Dia dan Nabi Musa, lalu Allah memperdengarkan firman-Nya yang qadim kepada Musa. Setelah itu hijab ditutup kembali. Bukan berarti bahwa Allah mulai berfirman lalu setelah berfirman itu Dia diam. Sebab Allah senantiasa bersifat kalam (berfirman), dan kalam-Nya qadim (tidak bermula dan tidak berakhir). Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa sekembalinya dari munajat itu, Musa menutup telinganya agar tidak sampai dia mendengar suara makhluk.

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adallah keterlarangan mencuri dengar tentang kebangkitan Rasulullah Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman, “… Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [al-Jinn 72:9]

Kita juga mesti meyakini bahwa jasad Nabi Muhammad yang mulia itu tidak rusak. Demikian pula jasad para nabi dan rasul Allah lainnya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. Selain itu, kita mesti yakin pula bahwa Rasulullah Muhammad saw. itu hidup di dalam kuburnya. Demikian pula halnya para nabi dan rasul selain beliau. Karena itu istri-istri Nabi saw. tidak mempunyai masa ‘iddah setelah menjanda dan tidak boleh dinikahi orang lain.

Kenyataan Rasulullah saw. hidup di kuburnya terbukti dengan adanya peristiwa dialog sejumlah orang ‘arif dengan beliau. Seperti riwayat mutawatir tentang al-Quthb ar-Rifa’i r.a. saat ia berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. , sebagaimana terungkap di dalam syairnya,

Dari jauh ruhku aku kirimkan

menciumi bumi itu mewakiliku 

Dan ini, negeri impian telah hadir 

Ulurkanlah tangan kananmu agar bisa kukecup

Kemudian Rasulullah saw. mengulurkan tangannya yang mulia kepada ar-Rifa’i, dan ar-Rifa’i pun menciuminya. Peristiwa tersebut disaksikan oleh para ‘arif yang hadir saat itu.

Kenyataan bahwa Rasulullah saw. serta para nabi dan rasul lainnya hidup di kubur mereka diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang pun hamba bershalawat kepadaku melainkan shalawatnya itu sampai kepadaku.” Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, walaupun setelah engkau wafat?” Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun setelah aku wafat. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi menghancurkan jasad para nabi.”

Al-‘arif billah al-Wafa’i berkata, “Aku mimpi bertemu Rasulullah saw., dan saat itu beliau bersabda kepadaku tentang dirinya yang mulia, ‘Aku bukan mayat. Karena sesungguhnya kematianku itu hanya merupakan ketertabiran aku dari orang yang tidak mengenal Allah. Adapun bagi orang yang mengenal Allah, inilah aku, aku melihat dia dan dia bisa melihat aku.”

Salah satu hal yang perlu diketahui tentang Rasulullah saw. adalah kelahirannya. Rasulullah saw. dilahirkan di Mekkah, di tempat yang dikenal sebagai Pasar Malam. Beliau lahir menjelang fajar pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul-Awwal. Malam kelahiran beliau ini lebih utama daripada Lailatul-Qadar. Karena itu, doa yang dipanjatkan pada setiap malam saat beliau dilahirkan (menjelang fajar) akan dikabulkan.

Rasulullah saw. dibangkitkan di Mekkah, lalu hijrah ke Madinah al-Munawwarah pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul-Awwal. Beliau wafat di Madinah pada usia enam puluh tiga tahun, dan di sana pula beliau dikuburkan.

Kita juga mesti mengetahui nasab Rasulullah saw. dari pihak ibu dan ayahnya. Dari pihak ayahnya, Sayyidina Muhammad adalah putra Abdullah ibn ‘Abdul-Muththallib ibn Hasyim ibn ‘Abdu Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn an-Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizaar ibn Ma’add ibn ‘Adnan. Setelah ‘Adnan sampai kepada nabi Adam tidak ada riwayat yang shahih. Hanya saja kita wajib mengetahui bahwa nasab ‘Adnan sampai ke Nabi Isma’il adz-Dzabih ibn Ibrahim Khalilullah.

Adapun nasab Rasulullah saw. dari pihak ibu adalah Muhammad ibn Aminah bint Wahab ibn ‘Abdu Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab. Nasab beliau dari pihak ibu bertemu dengan nasab beliau dari pihak ayahnya pada Kilab ibn Murrah.

Selain mengetahui nasab Rasulullah saw., kita juga harus mengetahui putra-putri beliau yang mulia. Putri-putri Rasulullah ada empat. Yang pertama bernama Zainab, yang kedua bernama Ruqayyah, yang ketiga bernama Ummu Kultsum dan yang keempat bernama Fathimah az-Zahra. Sedangkan putra-putranya ada empat, yakni al-Qasim, ‘Abdullah yang dijuluki ath-Thayyib, lalu ath-Thahir dan Ibrahim. Semua putra-putri Rasulullah saw. selain Ibrahim lahir dari rahim Siti Khadijah, Ibrahim lahir dari Mariyah al-Qibthiyyah.

Paman Rasulullah saw. dari pihak ibunya ada tiga, sedangkan bibinya ada dua. Nama-namanya sebagaimana disebutkan dalam syair,

Paman nabi dari ibu adalah Aswad, ‘Umair dan Abdu Yaghuts

tentang Paman-paman Nabi itu tidak ada perselisihan

Bibi nabi dari ibu adalah Furaidah dan Fakhitah

Semuanya meninggal dunia sebelum beliau diutus menjadi nabi

Para ibu kaum mukmin, yakni istri-istri Rasulullah saw., ada sebelas. Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah bint Abu Bakr, Hafshah binti ‘Umar, Ummu Salamah bint Abu Umayyah, Ummu Habibah bint Abu Sufyan, Saudah bint Zam’ah, Zainad bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Maimunah bint al-Harits, Juwairiyyah bint al-Harits dan Shafiyyah bint Huyay. Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah wafat semasa Rasulullah saw. masih hidup.

Paman Nabi saw. dari pihak ayah (Bani ‘Abdul Muththallib) ada dua belas. Mereka adalah al-Harits, Abu Thalib, az-Zubair, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaq, al-Muqawwim, Dhirar, al-‘Abbas, Qutsam, ‘Abdul Ka’bah dan Hajl.

Bibi Nabi saw. dari pihak ayah ada enam. Mereka adalah ‘Atikah, Umayyah, al-Baidha, Burrah, Shafiyyah dan Arwa.

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah bahwa Allah Ta’ala memuliakan dan mengunggulkan umat Nabi Muhammad saw. lebih dari umat-umat lain di dunia, sebagaimana firman Allah Ta’-ala, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali ‘Imran 3:110]

Di dalam kitab al-Hilyah, Abu Na’im meriwayatkan dari Anas r.a .bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah mewahyukan kepada Musa Sang Nabi Bani Isra’il, “Siapa saja yang menjumpai Aku dalam keadaan mengingkari Ahmad, akan Aku masukkan ke dalam neraka.” Musa bertanya, “Ya “Tuhanku, Siapakah Ahmad?” Allah berfirman, “Tidak Aku ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada dia. Aku tuliskan namanya beserta nama-Ku di ‘Arsy sebelum Aku menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya surga telah Aku haramkan bagi siapa pun sebelum dia dan umatnya masuk.” Musa bertanya lagi, “Ya Tuhanku, siapakah umatnya?” Allah berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memanjatkan puja dan puji kepada-Ku, saat mereka sendirian maupun dalam keramaian. Di dalam setiap keadaan mereka selalu mengingat-Ku. Mereka berpuasa di siang hari dan bermunajat di malam hari. Aku menerima (amal) yang sederhana dari mereka, dan Aku masukkan mereka ke dalam surga dengan hanya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku nabi umat itu.” Allah berfirman, “Nabi mereka berasal dari mereka.” Musa memohon, “Ya Tuhanku, jadikan aku bagian dari umat dari nabi itu.” Allah berfirman, “Engkau telah diutus lebih dahulu, sedangkan dia terakhir. Tetapi Aku akan menghimpunkan kamu dengannya di surga yang kekal.”

Selain hadis tersebut, ada banyak hadis masyhur lainnya yang meriwayatkan keutamaan umat Muhammad. Sungguh, Allah Ta’ala telah menjadikan umat Muhammad saw. sebagai ummatan wasathan (umat pilihan) [wasath asy-syai’ berarti bagian paling istimewa dari sesuatu] dan saksi bagi manusia di hari kiamat. Dalam hal ini Allah menempatkan mereka pada kedudukan para rasul yang menjadi saksi atas umat yang lain.

Di dalam hadis-hadis shahih dijelaskan bahwa di Hari Kiamat kelak para rasul dimintai pertanggungjawaban tentang apakah mereka telah menyampaikan kebenaran kepada umat mereka. Para rasul itu mengaku telah menyampaikan semua apa yang diwahyukan Allah. Lalu orang-orang yang kafir dari umat mereka membantah dengan berkata, “Tidak. Mereka tidak menyampaikan apa-apa kepada kami.” Kemudian umat Muhammad saw. bertindak menjadi pembela bagi para rasul dengan keterangan yang ada di dalam Alqur’an, mereka memberi kesaksian bahwa para rasul telah menyampaikan wahyu kepada umat mereka. Kebenaran kesaksian umat Muhammad saw. ini kemudian dikuatkan oleh kesaksian Muhammad saw. atas kebenaran mereka. Itulah firman Allah Ta’ala, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” [QS. al-Baqarah 2:143]

Allah menyebut umat Muhammad dengan sebutan hamba-hamba-Ku yang shalih. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhmahfuz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” [QS. al-Anbiya 21:105].  Yakni semua wilayah yang ditundukkan oleh kaum Muslimin, seperti Hijaz, Irak, Syam dan Mesir. Ada juga ulama yang menafsirkan bahwa al-ardh (bumi) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah surga. 

Allah Ta’ala berfirman, “…padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” [QS. al-Ma’idah 5:84]. 

Allah Ta’ala menyifati umat Muhammad sebagai al-falah (yang beruntung), seperti di dalam firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” [QS. al-Mu’minun 23:1]

Ketika Nabi Musa membaca al-alwah [papan-papan bertulisan perintah Allah Ta’ala yang diterima Musa.], dia mendapati keterangan tentang keunggulan umat Muhammad saw. Lalu dia bertanya kepada Allah, “Ya Tuhanku, siapa umat terkasih yang aku dapati di papan papan ini?” Allah menjawab, “Umat Muhammad saw. Mereka ridha menerima yang sedikit dari-Ku dan Aku memberi mereka banyak. Aku ridha dengan amal yang sedikit dari mereka. Bahkan ada di antara mereka yang Aku masukkan ke dalam surga hanya karena dia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Musa berkata Iagi, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku membaca ada umat yang kelak di Hari Kiamat akan dibangkitkan dengan wajah laksana bulan di malam purnama. Jadikanlah mereka itu sebagai umatku.” Allah Ta’ala berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. Aku bangkitkan mereka di Hari Kiamat dengan dahi bertanda putih bersinar”. Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang membawa perbekalan di punggung dan pedang di bahu mereka. Mereka amat bersemangat untuk berjihad di setiap penjuru hingga mereka membunuh Dajjal. Jadikanlah mereka umatku.” Allah Ta’ala berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati penduduk bumi yang mempunyai masjid dan kesucian, bahkan harta rampasan perang pun dihalalkan bagi mereka. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. ” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang menunaikan haji ke Baitul Haram bukan untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Mereka menangis menjerit dan meneriakkan talbiyyah. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa bertanya, “Apa yang Engkau limpahkan kepada mereka atas semua itu?” Allah berfirman, “Aku memberi ampunan dan memberikan hak syafaat kepada mereka atas orang-orang yang ada di belakang mereka.” Musa berkata’ “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati kaum yang kurus kering memberi makan binatang-binatang ternak sambil memohon ampunan dari dosa. Salah seorang dari mereka mengangkat suapan mulutnya dengan senantiasa memohon ampunan. la memulainya dengan menyebut nama-Mu dan mengakhirinya dengan memuji-Mu. Jadikanlah mereka sebagai umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang di akhirat mereka lebih dahulu (masuk surga), padahal penciptaan mereka (diturunkan ke bumi) paling akhir. Jadikanlah mereka umatku.” Allah berfirman, “Itu adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang apabila mereka berniat melakukan kebaikan dan dia tidak melakukannya, baginya satu pahala. Dan apabila setelah niat itu mereka melakukannya, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Jadikanlah mereka umatku.” Allah befirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang apabila berniat melakukan suatu keburukan namun tidak jadi melakukannya, baginya tidak dituliskan satu keburukan. Tetapi bila setelah niat itu ia melakukannya, baginya hanya dicatatkan satu keburukan. Jadikanlah mereka umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. ” Musa berkata Iagi, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang merupakan umat terbaik, mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Itu adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, Engkau telah membentangkan semua ini untuk Ahmad dan umatnya, maka jadikanlah aku sebagai bagian dari umatnya.” Maka Allah berfirman, “Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [QS. al-A’raf 7:144]. Musa berkata, “Aku ridha, Wahai Tuhanku.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ahli hadis dengan redaksi yang beragam.

10. Mengimani Kitab-Kitab Samawi

Salah satu bagian dari kewajiban seorang mukallaf adalah mengimani kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah Ta’ala, secara global maupun rinci. Secara global kita harus meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai beberapa kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya, yang di dalam kitab itu Allah menerangkan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya. Secara rinci pula kita harus mengenal kitab Allah yang empat. Yaitu, at-Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, az-Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud, al-lnjil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa dan Alqur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Kita juga harus meyakini bahwa Allah Ta’ala menjaga kitab-Nya yang mulia—Alqur’an—dari penggantian dan perubahan. Sebagaimana ditegaskan di dalam firman-Nya, “Yang tidak datang kepadanya (Alqur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [QS. al-Fushshilat 41:42]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alqur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” [QS. al-Hijr 15:9]. Yakni Allah menjaganya dari perubahan, pengurangan dan penambahan. Seandainya ada seseorang di dunia ini yang mencoba mengubahnya dengan satu huruf saja, atau satu titik saja, niscaya penduduk bumi akan berkata, “Engkau sungguh pendusta.” Kalau pun yang menyetujui perubahan itu seorang syaikh yang sangat agung dan dihormati, niscaya anak kecil pun akan berkata kepadanya, “Engkau salah, wahai syaikh, yang benar adalah ini.”

Berbeda halnya dengan kitab-kitab selain Alqur’an. Sebab kitab-kitab samawi selain Alqur’an telah dirasuki berbagai penyimpangan dan perubahan dari ulama-ulama busuk (‘ulama as-su’). Alqur’an tetap terjaga, meskipun banyak sekali pemuka kaum kafir, Yahudi dan Nasrani yang berusaha membatalkan dan merusaknya.

Kita mesti meyakini bahwa Alqur’an telah mencakup semua kandungan kitab-kitab samawi terdahulu. Kita juga mesti yakin bahwa Allah telah memberikan kemudahan hafalan bagi orang mempelajarinya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alqur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” [QS. al-Qamar 54:32]. Sehingga Alqur’an mudah dihafal, bahkan oleh anak kecil dalam waktu yang singkat. Sedangkan umat-umat terdahulu tidak mampu menghafal kitab mereka. Selain itu, Alqur’an merupakan ayat yang akan tetap eksis selagi alam dunia ini masih ada. Alqur’an telah menasakh semua kitab samawi yang diturunkan sebelumnya. Karena itu semua mukallaf wajib mempelajari Alqur’an, mengamalkannya dan menjadikannya sebagai pegangan hidup.

Ya Allah, limpahkanlah taufiq dan hidayah kepada kami agar dapat mengamalkan Alqur’an dan berpegang padanya, wahai Yang Maha Mulia.[]

11. Bab III – Beriman kepada yang Gaib

Bab ini berisi uraian tentang sam’iyyat. Yakni hal-hal yang tidak bisa diketahui dan dipahami dengan akal semata, bahkan hanya bisa dikenal melalui informasi dari Alqur’an dan sunnah.

Wahai saudaraku, Anda sudah memahami dari bab terdahulu bahwa setiap orang mukallaf wajib mengimani semua yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Sungguh, tidak ada keraguan akan kerasulannya. Kerasulan Muhammad saw. bersifat umum bagi semua makhluk, dengan dalil-dalil yang pasti dan meyakinkan.

12. Malaikat

Setiap orang mukallaf wajib beriman kepada malaikat, secara global dan rinci. Malaikat adalah jisim lembut bersifat cahayaa dan mampu mewujud dalam beragam bentuk, ilmunya sempurna dan mampu melaksanakan amal-amal yang sangat berat. Kesaksian dari Alqur’an dan sunnah tentang keberadaan malaikat sungguh banyak, tidak terhitung.

Seperti firman Allah Ta’ala, “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” [QS. an-Nisa 4:172]

Allah Ta’ala berfirman, “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” [QS. al-Anfal 8:12]

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab 33:56]

Beriman kepada malaikat secara total adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat, yang tidak berjenis kelamin, tidak makan, tidak minum, tidak tidur dan tidak menikah. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, …yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS. at-Tahrim 66:6]. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. [QS. al-Anbiya’ 21:20]. Dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. [QS. QS. al-Anbiya’ 21:28]. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka selain Allah Ta’ala.

Para malaikat yang wajib diketahui secara rinci adalah Jibril sang penyampai wahyu, Mika’il yang diberi tugas mengatur rezeki, Israfil yang bertugas meniup sangkakala, Malaikat Maut yang bertugas mencabut ruh, Munkar dan Nakir yang bertugas menanyai mayit di dalam kubur, Raqib dan ‘Atid yang bertugas mencatat setiap yang dilakukan oleh hamba Allah [pada diri setiap hamba ada dua malaikat yang bertugas mencatat perbuatannya. Yang satu dinamakan raqib(yang mengawasi), dan satu lagi ‘atid(yang hadir)], Malik yang bertugas menjaga neraka, Ridhwan yang bertugas menjaga surga, dan malaikat penyangga ‘Arsy yang berjumlah delapan. Barangsiapa mengingkari keberadaan mereka, atau mengingkari keberadaan salah satu dari mereka, berarti dia telah kafir dan akan kekal di neraka. Hanya saja mengingkari malaikat Munkar dan Nakir tidak sampai membuat seseorang menjadi kafir, melainkan fasik, karena adanya perselisihan tentang keduanya.

Kita mesti percaya dan yakin bahwa malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, “Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. at-Tahrim 66:6]

Adapun cerita yang populer tentang Harut dan Marut, yang mengisahkan bahwa keduanya adalah malaikat yang mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, dengan bumbu kebohongan tukang dongeng yang mengatakan bahwa keduanya disiksa dan dialih rupa karena perbuatannya, itu merupakan cerita bohong dan sesat. Tidak boleh dipercaya.

Tentang Harut dan Marut yang perlu kita percaya adalah keberadaannya. Jika keduanya bukan malaikat, maka perkara mereka mengajarkan sihir sudah jelas. Sedangkan jika mereka berdua adalah malaikat, maka tindakan mereka mengajarkan sihir kepada manusia itu bukan untuk diamalkan, melainkan agar manusia yang diajarinya itu bisa menjaga diri dari serangan sihir, dengan mengetahui hakikat sihir dan memahami secara jelas keburukan dan siksanya. Karena itu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Harut dan Marut, tidak mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir” [QS. al-Baqarah 2:102]. Harut dan Marut mengajarkan sihir bukan untuk diamalkan, melainkan untuk menerangkan berbagai masalah seperti hakikat zina dan macam-macam riba, agar si mukallaf bisa menghindarkan diri darinya. Karena kejahatan dan keburukan dapat dihindari dengan pengetahuan tentangnya. Khudzaifah r.a. berkata, “Orang-orang bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang kebaikan. Tetapi aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut terjerumus ke dalamnya.”

13. Jin

Berdasarkan kesepakatan para ulama, selain beriman kepada malaikat, kita juga wajib mempercayai keberadaan jin. Sungguh, keberadaan jin telah ditegaskan di dalam Alqur’an dan sunnah. Seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” [QS. ar-Rahman 55:1]

Allah Ta’ala berfirman, “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” [QS. ar-Rahman 55:33]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alqur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan-(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya) “. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” [QS. al-Ahqaf 46:29]

Jin adalah jisim lembut yang bisa mewujud dalam beragam bentuk dan bisa melakukan pekerjaan yang berat dan sulit. Di antara mereka ada yang taat dan ada yang pembangkang. Ada yang beriman dan ada yang kafir. Di antara mereka juga ada yang setan, yang kerjaannya berbuat jahat dan menyesatkan, menjerumuskan manusia ke dalam kerusakan dengan merangsang sebab-sebab maksiat dan kenikmatan tubuh.

Tidak tertutup kemungkinan malaikat, jin dan setan itu bisa tampak pada waktu dan keadaan tertentu.

14. Al-‘Arsy, Al-Kursi, Al-Lauh Al-Mahfuzh dan Al-Qalam

Hal lain yang wajib diyakini keberadaannya adalah al-Arsy, al-Kursi, al-Lauh al-Mahfuzh dan al-QalamAl-Arsy adalah jisim yang besar nan agung bersifat cahaya, tinggi yang meliputi semua jisim. Menurut satu pendapat, bentuknya adalah bulat. Menurut hadis yang masyhur, al- ‘Arsy berupa Kubah yang amat besar yang sekarang disangga oleh empat malaikat, dan kelak di akhirat disangga oleh delapan malaikat, karena demikian agungnya tajalli Dzat Allah Ta’ala. Kita tidak perlu memastikan bentuk sejatinya, karena tidak ada pengetahuan tentangnya.

Al-Kursi adalah jisim yang besar nan agung bersifat cahaya, berada di bawah al-‘Arsy, di atas langit ketujuh. Jarak antara langit ketujuh dan al-Kursi tak terukur, hanya Allah yang mengetahuinya. Kita tidak perlu memastikan bentuk sejatinya, karena tidak ada pengetahuan tentangnya. Di dalam riwayat dari Abu Musa disebutkan bahwa al-Kursi itu berupa intan. Sayidina ‘Ali dan Muqatil berkata, “Panjang masing-masing kaki al-Kursi sepanjang langit yang tujuh dan bumi yang tujuh.”

Al-Lauh al-Mafuzh adalah jisim bersifat cahaya, yang padanya— dengan izin Allah—al-Qalam (pena) menuliskan semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi sampai Hari Kiamat. 

Al-Qalam adalah jisim yang besar nan agung bersifat cahaya. Allah menciptakannya dan memerintahnya untuk menuliskan semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi hingga Hari Kiamat.

Allah Ta’ala menciptakan keempat makhluk besar itu untuk hikmah dan faedah yang diketahui-Nya, meski akal kita terlalu kerdil untuk bisa memahaminya. Allah menciptakannya bukan karena Dia membutuhkannya. Allah menciptakan al-‘Arsy bukan untuk bernaung seperti kita bernaung di bawah atap, atau menciptakan al-Kursi untuk tempat duduk-Nya. Allah menciptakan al-Qalam dan al-Lauh al-Mahfuzh untuk menjaga yang hilang atau ghaib dari ilmu-Nya. Sungguh, Allah Mahasuci dari semua itu. Allah Mahatinggi nan Mahaagung.

15. Kematian, Barzakh dan Akhirat

Salah satu hal yang wajib diimani keberadaannya adalah al-maut (kematian). Kematian pasti akan menimpa setiap yang bernyawa, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ 21:35] Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” [QS. az-Zumar 39:30]

Selain keterangan dari Alqur’an, banyak pula keterangan hadis yang menegaskan adanya kematian. Kematian merupakan hal yang wenang menurut akal dan dijelaskan oleh syara’. Karena itu keberadaannya wajib diimani.

Mati adalah keterputusan hubungan yang terjalin di dunia antara ruh dan badan, keterpisahan dan keterhalangan antara ruh dan badan, pergantian dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan perpindahan dari alam ke alam lain. Di dalam khotbah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz disebutkan, “Sesungguhnya kalian diciptakan untuk selamanya. Tetapi kalian akan berpindah-pindah dari satu alam ke alam yang lain.” Keterangan tersebut absah dari ‘Utbah bin Ghazwan, seorang sahabat agung Rasulullah saw.

Kita harus yakin bahwa malaikat yang mencabut ruh, yaitu ‘Izra’il pasti akan bisa mencabut semua ruh dengan izin Allah. Sungguh, Allah Ta’ala telah berfirman, Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” [QS. as-Sajdah 32:11]

Di dalam hadis tentang Malaikat Maut yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani disebutkan, “Demi Allah, kalaupun ruh seekor nyamuk yang hendak aku cabut, niscaya aku tidak akan sanggup mencabutnya sebelum Allah mengizinkan.”

Ada ulama yang berpendapat, Allah Ta’ala sendiri yang mencabut ruh malaikat maut dan ruh para syuhada, begitu juga ruh orang yang selalu membaca Ayat Kursi setiap usai shalat dan orang yang ahli lapar (berpuasa) di dunia. Pendapat ini berdasarkan hadis.

Apabila Anda berkata, “Di dalam Alqur’an ada keterangan yang menyandarkan langsung pencabutan ruh kepada Allah, sedangkan pada ayat lainnya pencabutan ruh itu disandarkan kepada malaikat. Sebagaimana tampak pada firman Allah Ta’ala, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” [QS. az-Zumar 39:42] Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “…Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” [QS. al-An’am 6:61]

Jawabannya adalah: proses mematikan disandarkan kepada Allah karena pada hakikatnya Dialah sang pelaku, yakni Dialah yang menciptakan perbuatan mematikan itu. Sedangkan penyandarannya kepada Malaikat Maut karena dialah yang dipercaya oleh Allah untuk melakukannya, karena para malaikat adalah pembantu-pembantu-Nya.

Apabila banyak orang mati secara bersamaan di tempat yang berbeda, bagaimana bisa Malaikat Maut mencabut semua ruh orang-orang yang mati itu sendirian? Tentu bisa. Karena baginya, dunia ini bagai piring di hadapan orang makan. Dia akan dengan mudah mengambil apa pun darinya yang dia kehendaki.

Anas ibn Malik berkata, “Suatu kali, Jibril menemui Malaikat Maut di sungai Faris (Persia), lalu bertanya, “Wahai Malaikat Maut, bagaimana engkau sanggup mencabut banyak nyawa ketika terjadi wabah penyakit. Pada waktu yang bersamaan, di sini ada sepuluh ribu manusia mati, di tempat lain juga demikian?” Malaikat Maut menjawab, “Bumi ini didekatkan kepadaku seakan-akan berada di kedua pahaku. Aku tinggal mengambilinya dengan tanganku.”

Makna ‘Izra’il di dalam bahasa Arab adalah ‘Abdul Jabbar. Malaikat ‘Izra’il adalah malaikat yang besar yang tampilannya amat menakutkan dan mengerikan. Makhluk yang ada dunia ini berada di depan matanya. la mempunyai pembantu yang sangat banyak. Jika mendatangi orang yang beriman, dia berwujud baik dan menyenangkan, tidak menakutkan. Tetapi bagi orang yang tidak beriman, dia tampak dalam rupa yang amat mengerikan. Dan kematian akan terasa ringan bagi orang yang shalih.

Hal lain yang dapat meringankan kematian adalah bersiwak, sebagaimana dituturkan oleh ulama. Pendapat ini didasari dengan hadis ‘A’isyah di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim tentang kisah Nabi Muhammad saw. bersiwak sebelum wafat. Hal lain yang dapat meringankan kematian dan semua teror setelah kematian—sebagaimana dituturkan oleh al-Muhaqqiq as-Sanusi dan lainnya—adalah shalat dua rakaat yang dilakukan tiap malam Jumat setelah maghrib, yang pada tiap rakaatnya membaca Surah az-Zalzalah lima belas kali usai membaca al-Fatihah.

Kita harus yakin bahwa dalam ilmu Allah Ta’ala, ajal semua yang bernyawa itu satu, tidak berbilang. Orang yang terbunuh tidak akan mati selain karena ajalnya yang—di dalam pengetahuan Allah Ta’ala— telah purna di saat dia terbunuh itu, yang kalaupun bukan karena sebab terbunuh, dia tetap akan mati pada waktu itu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka (dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya.” [QS. an-Nahl 16:61]

Ketahuilah bahwa ruh merupakan hal yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, dan Dia tidak menyilakan seorang pun makhluk untuk bisa melihatnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” [QS. al-Isra’ 17:85] Yakni, ruh merupakan urusan yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, untuk menunjukkan betapa lemahnya manusia hingga tidak dapat melihat hakikat dirinya padahal nyata adanya. Allah mengembalikan pengetahuan tentang ruh itu kepada Diri-Nya disertai penegasan akan ketidakmampuan siapa pun untuk mengetahui sesuatu yang tidak Dia beri pengetahuan tentangnya.

Rasulullah saw. beranjak dari dunia ini setelah Allah Ta’ala memperlihatkan semua hal yang Dia samarkan bagi kita (termasuk di antaranya urusan ruh). Hanya saja Allah menyuruh beliau untuk menyembunyikan sebagian dan memberitahukan sebagian lainnya. Yang terbaik bagi kita adalah menahan diri agar tidak terlalu dalam membahas hakikat ruh. Kita tidak boleh membahasnya lebih dari sekadar mengetahui bahwa ruh itu nyata adanya, karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-ISra’ 17:36]. Ini adalah sikap yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas dan kebanyakan ulama salaf. Mereka juga tidak berusaha memastikan tempat tertentu (satu bagian tertentu) di dalam badan sebagai tempat menetap ruh.

Ada memang kelompok lain yang berbicara tentang ruh, bahkan berusaha meneliti hakikatnya. Tetapi an-Nawawi berkata, “Pendapat yang dianggap paling unggul mengenai masalah ruh adalah pendapat Imam al-Haramain. Beliau mengatakan bahwa ruh adalah jisim halus nan lembut yang hidup dan menubuh dijasad kasar seperti air menubuh di kayu yang segar.” 

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah kenyatan bahwa pada diri setiap hamba, sejak masa taklif, ada malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan dan perkataannya, meski sekadar rintihannya saat sakit. Allah memberi tanda-tanda bagi amal hatinya agar malaikat dapat membedakan antara amal hatinya yang baik dan yang buruk. Tanda-tanda itu berupa bau wangi bila amal hatinya baik dan bau busuk bila amal hatinya buruk.

Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya, “Bagaimana malaikat bisa mengetahui bahwa si hamba bermaksud melakukan perbuatan yang baik atau buruk?” Beliau jawab, “Apabila si hamba berniat melakukan amal yang baik, mereka mencium wangi misik. Namun apabila si hamba berniat melakukan keburukan, mereka mencium bau busuk.”

Kenyataan adanya malaikat pencatat amal pada diri setiap mukallaf berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi AlIah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. al-Infithar 82:10-12]. Keterangan ini juga diperkuat dengan hadis dan ijmak, kita wajib meyakininya. Barangsiapa mendustakannya atau meragukannya, berarti dia kafir. 

Bagi setiap orang ada dua malaikat, yang satu pencatat amal baik dan yang satu lagi pencatat amal buruk. Malaikat yang pertama (pencacat amal baik) sebagai pemimpin bagi yang kedua (pencatat amal buruk). Malaikat pencatat amal buruk hanya akan menuliskan amal buruk si hamba bila amal buruk tersebut sudah berlalu beberapa saat tanpa diikuti dengan pertobatan atau perbuatan-perbuatan lain yang bisa menjadi kifarat baginya. Apabila di sela-sela perbuatan buruk itu si hamba membaca istighfar, malaikat pencatat amal baik akan menuliskan satu kebaikan baginya. Tetapi apabila perbuatan buruk itu sama sekali tidak disertai istighfar atau hal-hal Iain yang bisa menjadi kifaratnya, maka malaikat pencatat amal baik akan berkata kepada malaikat pencatat amal buruk, “Catatlah (amal buruknya)! Semoga Allah mengistirahatkan kita darinya.”

Kedua malaikat itu tidak akan berpisah dari setiap hamba selama dia hidup, kecuali saat si hamba buang hajat dan menggauli istrinya. Karena itu si hamba dituntut meminta perlindungan kepada Allah ketika masuk kakus dan membaca basmallah ketika hendak bersetubuh.

Apabila seorang hamba mati dan dia mati dalam keadaan mukmin, kedua malaikat penyertanya itu akan duduk di atas kuburnya dan memohonkan ampun kepada Allah hingga Hari Kiamat. Apabila hamba yang mati itu mati dalam keadaan kafir, maka kedua malaikat itu akan duduk di atas kuburnya sambil terus mengutuknya hingga Hari Kiamat. 

Jika Anda bertanya, “Bukankah kita tahu bahwa Allah tidak membutuhkan catatan amal.” Saya jawab: ada dua faedah pencatatan itu. Pertama, bersifat duniawi, yakni mencegah maksiat di dunia. Apabila manusia tahu bahwa semua perbuatan dirinya akan dicatat oleh kedua malaikat itu, niscaya ia akan menjaga diri dari maksiat. Kedua, bersifat ukhrawi, yakni sebagai hujjah bagi mereka di Hari Kiamat kelak bila mereka mungkir dan berkata bahwa mereka tidak melakukan amal perbuatan itu.

Selain meyakini adanya dua malaikat pencatat amal hamba, kita juga mesti meyakini adanya pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir yang akan diterima si mayit di dalam kubur. Yakni, setelah usai penguburan dan para pengiring beranjak pergi. Allah akan mengembalikan ruh ke dalam mayat secara purna. Jalaluddin as-Suyuthi berkata di dalam salah satu syairnya, “Menurut jumhur ulama, semua(bagian diri)nya hidup, bukan hanya sebagian, berdasarkan hadits yang ma’tsur.”

Setelah mayit selesai dikubur, Allah Ta’ala akan mengembalikan panca inderanya, akalnya dan pengetahuannya, yang dengan semua itu dia bisa memahami pertanyaan dan memberi jawaban saat Munkar dan Nakir menanyainya.

Al-lmam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari sahabat Anas dengan status marfu’, “Sungguh, apabila seorang hamba telah diletakkan di dalam kubur dan orang-orang yang mengiringnya telah pulang, dua malaikat akan segera mendatanginya, lalu mendudukkannya dan berkata, ‘Apa yang telah engkau katakan tentang Nabi Muhammad saw?’ Hamba yang mukmin akan menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan rasul Allah.’ Lalu dikatakan kepadanya’ ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantikannya untukmu dengan tempat duduk di surga.’ Kemudian si hamba yang mukmin itu melihat kedua-duanya. Sedangkan hamba yang kafir atau munafik akan menjawab, ‘Aku tidak tahu. Aku telah berkata sebagaimana orang-orang mengatakannya.’ Lalu dikatakan kepadanya, “Engkau tidak tahu dan tidak mengerti.” Kemudian dia dipukul dengan palu besi hingga menjerit-jerit karenanya, dan jeritannya itu bisa didengar oleh makhluk di sekelilingnya selain jin dan manusia.”

Abu Dawud meriwayatkan hadis serupa dengan redaksi yang berbeda. Abu Dawud meriwayatkan, “…lalu kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ‘Siapa Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa laki-laki yang telah diutus kepada kamu itu?” Hamba yang mukmin akan menjawab, ‘Tuhanku Allah, agamaku Islam, dan laki-laki yang telah diutus itu adalah Rasulullah saw.’ Sedangkan hamba yang kafir akan menjawab tiga pertanyaan tadi dengan jawaban, ‘Tidak tahu.”‘

Ketika menanyai mayit di dalam kubur, Munkar dan Nakir menyebut Rasulullah saw. dengan sebutan ‘hadzar-rajul (laki-laki ini)’, seperti tanpa penghormatan kepada beliau, karena dimaksudkan untuk menguji, guna membedakan antara orang yang benar imannya dan yang tidak benar. Hamba yang benar imannya akan bisa menjawab. Sedangkan yang tidak benar imannya akan berpikir, “Seandainya lelaki ini mempunyai derajat tinggi di sisi Allah Ta’ala sesuai pengakuannya di dalam kerasulannya, tentu malaikat ini tidak akan menyebutnya dengan sebutan seperti ini (tidak hormat).’ Dan saat itu dia akan berkata, “Aku tidak tahu.”—na’udzu billah. Kemudian dia akan disiksa dan mendapat kesengsaraan abadi.

Munkar dan Nakir menanyai mayit dengan bahasa si mayit. Keduanya pasti akan menanyai si mayit walaupun anggota tubuhnya telah remuk, atau dimakan binatang buas, atau diterbangkan angin. Sungguh, kuasa Allah Ta’ala bisa mengembalikan ruh ke tubuh si mayit meski anggota tubuhnya terpisah-pisah. Tidak sulit bagi Allah untuk melakukannya.

Keadaan mayit cli dalam kubur saat ditanyai malaikat itu beragam. Ada yang ditanyai oleh kedua malaikat secara bersamaan dan sangat menekan. Ada pula yang hanya ditanyai oleh salah satunya saja, sebagai keringanan. Apabila ada banyak orang meninggal di daerah berbeda dalam waktu yang bersamaan, Allah Ta’ala bisa saja memperbesar jasad kedua malaikat itu agar keduanya bisa menanyai semua mayit di kubur mereka masing-masing secara serempak dalam satu kali bertanya. Sementara al-Hafizh as-Suyuthi berkata, “Boleh jadi malaikat yang bertugas menginterogasi mayit itu banyak. Yang sebagian dinamakan Munkar, yang sebagian lain dinamakan Nakir. Lalu untuk masing-masing mayit dikirimkan dua malaikat dari mereka.

Proses interogasi di alam kubur ini tidak berlaku umum bagi semua mayit. Karena ada pengecualian bagi sejumlah orang yang disebutkan di dalam atsar bahwa bagi mereka tidak ada pertanyaan Munkar dan Nakir. Di antaranya adalah para nabi a.s., shiddiqun, orang-orang yang mati syahid, orang yang tiap malamnya membaca Surah Tabarak dan yang membaca Surah al-Mulk sejak ia mendapat kabar tentangnya, entah dia membacanya menjelang tidur atau sebelumnya. Juga orang-orang yang saat sakit menjelang kematiannya membaca Surat al-lkhlash. Demikian pula orang yang mati karena sakit perut, atau mati saat terjadi wabah tha’un dalam keadaan sabar dan mengharap pahala Allah, entah dirinya ikut terserang tha’un ataupun tidak. Atau mayit yang mati pada hari atau malam Jum’at, walaupun dikuburnya pada hari Sabtu. Demikian pula orang yang mengalami kegilaan atau idiot sejak sebelum menginjak masa taklif.

Hikmah adanya interogasi di alam kubur, Allah menampakkan apa yang disembunyikan hamba saat di dunia. Iman atau kafir, taat atau maksiat. Allah ridha terhadap kaum mukmin dan mencemarkan yang tidak beriman, na’udzu billah.

Hal lain yang wajib diyakini keberadaannya adalah siksa kubur dan nikmat kubur. Siksa kubur nyata adanya berdasarkan hadis Rasulullah saw. “Siksa kubur itu hak (nyata adanya).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” [QS. al-Mu’min 40:46]. Yakni di dalam kubur, dengan dalil firman Allah Ta’ala, “.. .dan Pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras,” [QS. al-Mu’min 40:46] dan firman Allah Ta’ala, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” [QS. al-An’am 6:93]

Yang dimaksud dengan wal-mala’ikatu basithu aydihim adalah, malaikat memukulkan tangannya ke wajah dan pungung mereka seraya berkata kepada mereka, “Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan kepada Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”

Di dalam Shahih-nya, al-lmam al-Bukhari menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk menegaskan adanya siksa kubur. Siksa yang akan dialami sejak kematian sampai selamanya.

Al-lmäm al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata saat melintasi dua kuburan, “Sungguh, kedua orang yang berada dalam kubur itu sedang disiksa, bukan karena melakukan dosa besar. Salah satu dari mereka disiksa karena tidak bersuci dari kencing. Yang satu lagi disiksa karena suka mengadu domba.”

Ath-Thabrani meriwayatkan hadis, “Bersucilah kalian sehabis kencing, karena siksa kubur kebanyakan timbul darinya (tidak bersuci sehabis kencing).”

Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Sa’id al. Khudri, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Allah menguasakan orang kafir di dalam kuburnya kepada sembilan puluh sembilan ekor ular berbisa yang akan terus menggigit dan menyengatnya hingga Hari Kiamat, yang kalau satu ekor saja dari ular-ular itu menyembur bumi, niscaya bumi ini tidak akan dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.” 

Siksa kubur itu tidak hanya menimpa ruh, tetapi juga badan si mayit. Tidak ada bedanya antara mayit yang jasadnya terpisah-pisah, hancur lebur atau dimakan binatang buas dan ikan di laut. Sebab, hal itu merupakan hal yang mungkin menurut akal, dan syari’at pun telah menegaskannya. Karena itu kita wajib meyakini dan menerima keberadaannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. [QS. al-Hajj 22:18]. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. [QS. Hud 11:4]

Siksa kubur ada dua macam. Pertama, yang langgeng, yakni siksaan bagi orang kafir, munafik dan sebagian pelaku maksiat. Kedua, yang terputus, yakni siksaan bagi pelaku maksiat yang dosanya ringan. Mereka disiksa sesuai kadar dosanya, kemudian siksanya dihilangkan berkat doa, bacaan Alqur’an, sedekah atau yang lainnya. Orang yang termasuk kategori orang yang tidak akan diinterogasi Munkar Nakir tidak akan mendapat siksa kubur. 

CATATAN

Salah satu bentuk siksa kubur berupa himpitan dinding kubur. Tidak ada seorang pun yang bebas dari himpitan ini, orang shalih maupun pendosa. Kecuali para nabi a.s., Fathimah bint Asad ibunda Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a., dan orang yang membaca Surat al-lkhlas saat menjelang kematiannya, sebagaimana dikabarkan Rasulullah saw.

Kenapa Fathimah binti Asad selamat dari jepitan kubur? Karena dia memperoleh berkah al-Mushthafa saw. Rasulullah saw. mengafani Fathimah binti Asad dengan gamisnya, beliau juga turun ke liang lahadnya dan berbaring di sana seraya berdoa, “Ya Allah, kasihilah Fathimah binti Asad dan luaskanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan para nabi yang sebelum aku.” (HR. ath-Thabrani)

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa himpitan kubur itu laksana pelukan seorang ibu yang penyayang kepada anaknya yang sakit demam, dia mengelus kepala anaknya dengan lembut. Ini bagi mayit yang taat. Adapun bagi si pendosa, sekalipun dia beriman, himpitannya amat keras dan dahsyat hingga tulang belulang si mayit berantakan. Ya Allah, kami memohon keselamatan kepada-Mu, dengan anugerah dan kemurahan-Mu, amin. 

Kita juga wajib meyakini adanya nikmat kubur, karena ada nash mutawatir yang menyebutkan keberadaannya. Nikmat kubur itu dirasakan oleh ruh dan badan setelah ruh dikembalikan ke dalam badan. Nikmat kubur tidak khusus bagi umat Nabi Muhammad saw. dan orang mukmin yang mukallaf, tetapi bagi semua orang yang beriman.

Salah satu bentuk nikmat kubur berupa perluasan ruang kubur hingga tujuh puluh hasta panjang dan lebarnya. Lalu dari kuburnya terbuka berkas ke surga. Bentuk lainnya berupa semerbak wewangian yang memenuhi kubur, sehingga kuburnya menjadi taman surga. Lalu di dalam kubur itu dinyalakan lentera yang meneranginya laksana bulan di malam purnama.

Di dalam atsar disebutkan, “Allah berfirman kepada Sayyidina Musa, ‘Belajarlah kebaikan dan ajarkanlah kepada manusia. Sebab, Aku akan menerangi kuburan orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajarinya hingga mereka merasa betah di dalamnya

‘Umar ibn al-Khaththab berkata, “Barangsiapa menerangi masjid-masjid Allah, Allah akan memberi dia terang di kuburnya.”

Siksa dan nikmat tersebut disandarkan pada kubur (siksa dan nikmat kubur), karena umumnya orang mati dikuburkan. Tetapi tidak berarti bahwa orang yang mati dimakan binatang buas, atau yang mayatnya tidak dikuburkan tidak akan mengalami siksa atau nikmat kubur. Sungguh, semua mayit yang dikehendaki Allah mendapat siksa atau nikmat kubur, dia pasti akan mendapatkannya, dikubur maupun tidak.

Jika Anda berkata, “Kita bisa melihat keadaan mayit setelah dikubur, dan kita tahu dia tetap mayit, yang kafir dan yang mukmin kondisinya sama, pendosa maupun hamba yang taat. Lalu bagaimana maksudnya dia mengalami siksa atau nikmat di dalam kuburnya setelah ruh dikembalikan kepada tubuhnya?”

Kami jawab: pertanyan ini muncul hanya dari orang yang hatinya tidak kokoh mengimani semua yang telah dikhabarkan oleh Sang Nabi yang sungguh jujur nan terpercaya, yang tidak percaya bahwa rasul diberi keistimewaan berupa kemampuan melihat malaikat. Padahal, tentang iblis dan pasukannya saja Allah Ta’ala berfirman, “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan iłu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” [QS. al-A’raf 7:27]. Tidak ada keraguan akan kebenaran hal itu. Perhatikanlah bagaimana orang yang tidur merasakan kesenangan, kesusahan atau rasa sakit pada dirinya yang dia alami dalam mimpi. Seperti saat dia mimpi melihat ular yang menggigitnya dan ia merasakan sakit gigitannya hingga menjerit-jerit. Bahkan keningnya sampai berkeringat dan posisi tubuhnya berubah-ubah. Semua itu dia rasakan dałam mimpinya seperti orang yang sedang terjaga. Dan kita yang bahkan berada di sampingnya tidak menyadari sesuatu pun dari peristiwa yang dia alami di dalam mimpinya.

Kubur merupakan persinggahan pertama di akhirat, dan setiap yang berhubungan dengan akhirat merupakan alam malakut. Mata yang biasa kita gunakan untuk melihat tidak akan mampu melihat hal-hal yang bersifat malakut. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para sahabat mempercayai turunnya malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw., padahal mereka tidak melihatnya. Mereka juga percaya bahwa Rasulullah saw. melihat Jibril. Bila Anda tidak percaya akan hal ini, perbaharuilah iman Anda kepada Rasulullah saw. dan wahyu Allah. Dan jika Anda sudah percaya dan yakin akan Rasulullah saw. dan wahyu Allah kenapa Anda tidak percaya akan terjadinya berbagai hal yang menimpa si mayit di alam kubur, padahal tidak ada perbedaan di antara keduanya?

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menjadikan kita sebagai orang yang beriman kepada-Nya, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari akhir. Kita juga memohon agar Dia mematikan kita dengan akhir yang bahagia serta menjaga kita dari kelalaian dan kesesatan. Sungguh, Allah Mahamulia dan Maha Penyayang. 

Dalam masalah kubur ini, kita juga meyakini bahwa para syuhada hidup di dalam kuburan mereka dengan kehidupan yang sempurna, dengan alasan firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” [QS. Ali ‘Imran 3:169]

Hidup para syuhada di kubur merupakan kehidupan yang nyata, berdasarkan lahiriah ayat tersebut. Mereka sungguh dilimpahi rezeki yang mereka inginkan, sebagaimana orang hidup di dunia diberi rezeki makan, minum dan lain sebagainya. Al-Jazuli berkata, “Kehidupan mereka tidak dapat dipikirkan dan dibayangkan akal manusia. Kita wajib percaya bahwa mereka hidup tanpa perlu membahas bagaimana hakikat atau bentuk kehidupan mereka.”

Yang dimaksud syuhada’ adalah orang-orang beriman yang terbunuh dalam peperangan melawan orang kafir demi menegakkan kalimah Allah Ta’ala. 

KIAMAT

Kita wajib meyakini akan terjadinya as-sa’ah, yakni al-qiyamah (kiamat). Kiamat pasti terjadi setelah habisnya alam dunia. Kepastian akan terjadinya kiamat tidak perlu diragukan, dengan alasan firman Allah Ta’ala, ”Dan sesungguhnya Hari Kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” [QS. al-Hajj 22:7]. Allah Ta’ala juga berfirman, ”Bahkan mereka mendustakan Hari Kiamat. Dan Kami menyediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat.” [QS. al-Furqan 25:11]

Kiamat terjadi diawali dengan an-nafkhah ats-tsaniyah (tiupan sangkala yang kedua) sampai manusia berada di dua tempat, surga dan neraka. Tidak ada yang mengetahui kapan kiamat akan terjadi selain Allah Ta’ala. Tetapi kiamat itu ada tanda-tandanya, tanda-tanda yang kecil (ash-shughra) dan tanda-tanda besar (al-kubra).

Ada banyak tanda-tanda kecil akan kedatangan kiamat. Di antaranya adalah kebangkitan Nabi Muhammad saw. dan umatnya, orang yang khianat dipercaya dan orang yang dipercaya khianat, bermegah-megahan dalam membangun rumah dan gedung, menghias masjid-masjid dengan kemewahan, semakin banyaknya kebodohan, sedikit ilmu, ramainya anak-anak, banyaknya perempuan dan sedikitnya laki-laki hingga lima puluh berbanding satu, maraknya perzinaan, minuman keras, riba, banyaknya pertentangan antara kaum muslimin karena provokasi musuh dan terjadinya paceklik. Itu semua diterangkan oleh banyak hadis Nabi Muhammad saw.

Tanda-tanda besar akan terjadinya kiamat ada sepuluh: 

Satu, keluarnya Imam Mahdi. Dia adalah seorang lelaki agung keturunan Fathimah binti Rasulullah saw. Dia datang memenuhi bumi dengan kebaikan dan keadilan menggantikan kezaliman dan kemaksiatan yang sebelumnya memenuhi bumi.

Ar-Rauyani dan Abu Na’im meriwayatkan dari Khudzaifah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Al-Mahdi adalah seorang lelaki dari keturunanku. Warna kulitnya warna kulit seorang Arab. Badannya seperti badan seorang keturunan Isra’il. Di pipi sebelah kanannya ada tahi lalat laksana bintang yang terang. Dia datang memenuhi bumi dengan keadilan menggantikan kemaksiatan yang telah memenuhinya. Penduduk bumi dan langit ridha akan kekhalifahannya, bahkan burung di udara pun demikian.” 

Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dunia tidak akan lenyap, tidak pula akan berakhir sebelum diperintah oleh seorang lelaki dari ahli bait-ku, yang menjelajah bumi dan namanya adalah namaku.” Di dalam riwayat lain ditambahkan, “dan rupa lahirnya adalah rupa lahirku.”

Dua, kemunculan Dajjal di akhir zaman. Dengan kehadirannya Allah hendak menguji hamba-hamba-Nya. Allah memberi dia kemampuan dan kesanggupan untuk melakukan berbagai hal yang menakjubkan serta mengagumkan hati, sehingga banyak hamba yang terperdaya olehnya, kecuali hamba-hamba Allah yang telah ditetapkan akan beroleh kebahagian.

Tanda-tanda telah dekatnya masa kemunculan Dajjal adalah sedikitnya amar makruf nahi mungkar, terjadinya banyak pembunuhan, ulama condong kepada kezaliman dan mendekati penguasa. Dajjal muncul dari arah timur, dari salah satu dusun di wilayah Ishfahan. Bila dia berkata kepada awan, “Turunkan hujan!” dengan serta hujan akan turun. Saat dia memerintahkan agar hujan berhenti, hujan langsung berhenti. Dia tinggal di muka bumi selama empat puluh hari.

Di dalam hadis disebutkan, “Ya Rasulullah, berapa lama dia tinggal di muka bumi?” Rasulullah saw. menjawab, “Empat puluh hari. Satu hari pertamanya setara dengan satu tahun. Satu hari berikutnya setara dengan satu bulan, satu hari berikutnya setara dengan satu Jumat. Sisanya sama seperti hari-hari biasa.” Para sahabat bertanya, “Apakah pada satu hari yang setara dengan satu tahun itu kami cukup melakukan shalat sehari (yakni lima waktu)?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak. Setarakanlah ukurannya.”

Tiga, turunnya Nabi ‘Isa di atas Menara Hijau sebelah timur Damaskus. Saat turun, dia turun sambil meletakkan kedua telapak tangannya di sayap dua malaikat, pada waktu shalat subuh. Kemudian orang-orang mengundangnya untuk shalat mengimami mereka, namun dia tidak mau. Dia berkata, “Imamnya dari kalian.” Lalu al-Mahdi maju dan shalat mengimami Nabi ‘Isa dan mereka. Ini merupakan pemuliaan bagi umat ini dan nabinya (Muhammad saw.).

Pada saat yang bersamaan dengan turunnya Nabi ‘Isa, Dajjal sedang mengepung penghuni Baitul-Maqdis yang pintunya dikunci. Dajjal berkata, “Buka pintunya!” saat mereka membukakan pintu, Dajjal melihat ‘Isa, sehingga dia segera berbalik dan melarikan diri bersama para pengikutnya. Kemudian ‘Isa dan al-Mahdi keluar melakukan pengejaran. Allah mempersempit bumi bagi Daijal sehingga ‘Isa bisa menangkapnya bersama para pengikutnya di tempat yang berjarak sepuluh hasta dari Pintu masuk Ludd, sebuah desa dekat Ramallah. ‘Isa menatapnya seraya berkata, “Dirikanlah shalat!” Daijal menjawab, “Wahai Nabi Allah, shalat sudah dilaksanakan.” ‘Isa berkata, “Hai musuh Allah, engkau mengaku-aku sebagai Tuhan semesta alam. Lalu kepada siapa engkau shalat?” Kemudian ‘Isa menusuk Daijal dengan tombak hingga menembus badannya. Saat ‘Isa mencabutnya, tombak itu berlumur darah Dajjal. ‘Isa berkata, “Wahai kaum muslimin, lihatlah Daijal ini!” ‘Isa menjalankan hukum dengan syari’at Nabi Muhammad saw.

Pada masa kemunculan ‘Isa, alam dunia menjadi aman, subur, menyenangkan dan penuh keberkahan. Keadaan demikian itu berlangsung selama 40 tahun. ‘Isa menikah dan mempunyai dua orang anak. Imam Mahdi kemudian wafat. Nabi ‘Isa mengurusi jenazahnya, menyalatinya dan menguburnya di Baitul-Maqdis. Selanjutnya Nabi ‘Isa wafat dan dikuburkan di Madinah, di samping makam Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.

Empat, kemunculan Ya’juj dan Ma’juj. Mereka adalah anak keturunan Yafits ibn Nuh a.s. Mereka amat banyak dan bermacam-macam. Setelah mereka muncul dan melakukan berbagai kerusakan, Allah mewahyukan kepada ‘Isa, “Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba yang tidak seorang pun mampu membinasakan mereka. Karena itu, bawalah hamba-hamba-Ku berlindung di bukit Thur agar selamat.” Maka, ‘Isa pun segera membawa kaum mukmin ke bukit Thur. Lalu Allah Ta’ala mengirimkan Ya’juj dan Ma’juj dari setiap lereng. Mereka turun dan bergerak cepat mengepung ‘Isa dan pengikutnya di bukit Thur. Kemudian mereka mendatangi Baitul-Maqdis dan berkata, “Kita telah membunuh (menguasai) penduduk bumi. Sekarang, perangilah penduduk langit!” Lalu mereka melesatkan anak panah mereka ke atas, dan saat anak panah itu turun lagi ke bumi, warnanya telah memerah darah. 

‘Isa dan orang-orang yang bersamanya berdoa sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala hingga Allah mengabulkan doanya. Allah menghujani Ya’juj dan Ma’juj dengan ulat yang sangat banyak, dan ulat-ulat itu menggerogoti leher mereka. Mereka menjerit-jerit kesakitan sebelum akhirnya semua binasa. Setelah itu ‘Isa dan orang-orang yang bersamanya turun dari bukit Thur. Ternyata bumi dipenuhi bangkai Ya’juj dan Ma’juj, sehingga ‘Isa tidak mendapati satu tempat pun yang kosong dari bangkai. Kemudian Allah Ta’ala mengirimkan burung yang lehernya seperti leher unta. Burung itu melemparkan bangkai-bangkai ke tempat yang dikehendaki Allah.

 Lima, munculnya hewan yang di dalam satu riwayat disebut-sebut merupakan anak unta Nabi Shalih. Ketika induknya dibunuh oleh kaum Nabi Shalih, anak unta itu kabur dan masuk ke dalam batu yang saat itu tiba-tiba terbuka. Anak unta itu mendekam di sana, dan akan terus di sana sampai masa kemunculannya kelak.

Setelah muncul, hewan itu akan menuliskan kata mukmin di antara kedua mata orang mukmin, sehingga wajah mukmin itu bersinar. Sedangkan di antara kedua mata orang kafir, hewan itu akan menuliskan kata kafir, hingga wajah si kafir itu menghitam pekat. Hewan itu akan memanggil orang muslim dengan sebutan, “Hai Muslim.” Sedangkan terhadap orang kafir ia akan berkata, “Hai Kafir.”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami” [QS. an-Naml 27:82].

Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka (yakni apabila telah dekat saat kejadian yang telah dijanjikan kepada mereka, yaitu masa pembangkitan dan siksa), Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka (tentang kebatilan agama-agama selain Islam, dan binatang itu berkata, “Hai fulan, engkau bagian dari ahli surga. Hai fulan, engkau bagian dari ahli neraka) bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami (Kami keluarkan binatang itu kepada mereka karena mereka tidak meyakini ayat-ayat Kami).

Enam, Kiamat terjadi ditandai dengan terbitnya matahari dari barat. Itu terjadi setelah ‘Ísa a.s. wafat.

Di dalam riwayat disebutkan bahwa sebelum terbit dari barat, pada hari sebelumnya matahari itu tenggelam dan ditahan selama tiga hari tiga malam. Waktu untuk ibadah pada saat itu diukur dengan ijtihad. Manusia kebingungan karena panjangnya malam itu.

Abú Dzarr berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Ketika matahari saat itu tenggelam, apakah engkau tahu ke mana ia pergi?’ Aku menjawab, ‘Tidak. Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Saat itu, matahari pergi sampai bersujud di bawah ‘Arsy. la memohon izin, dan ia tidak diberi izin. Hampir saja sujudnya tidak diterima. la meminta izin lagi, tetapi tidak diberi izin. Lalu dikatakan padanya, ‘Kembalilah ke tempat dari mana engkau datang.’ Maka matahari pun muncul dari tempat dia terbenam. Pada saat itulah pintu tobat ditutup.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya)

Tujuh, terjadinya kiamat ditandai dengan kemunculan asap yang kemudian menyelimuti bumi. Asap itu keluar dari hidung orang-orang kafir, juga dari mata mereka, dari mulut dan dubur mereka. Kondisi itu berlangsung selama empat puluh hari dan membuat orang-orang yang beriman mengalami demam.

Delapan, tanda-tanda besar lain akan terjadinya kiamat adalah api yang keluar dari dasar ‘Adn. Api itu menggiring manusia menuju Syam. la tidur siang, dan bermalam bersama mereka.

Sembilan, terjadinya kiamat juga ditandai dengan lenyapnya Alqur’an dan ilmu yang bermanfaat dari kitab dan dada manusia, sehingga seluruh manusia di bumi menjadi kafir.

Sepuluh, menjelang terjadinya kiamat, Ka’bah roboh di tangan orang-orang Habasyah.

Hal lain yang wajib kita yakini kejadiannya adalah tiupan sangkakala. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ditiuplah sangkakala maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali tagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” [QS. az-Zumar 39:68]

Dan ditiuplah sangkakala [yakni terompet berbentuk tanduk yang ditiup oleh Israfil], maka matilah siapa yang di langit dan di bumi [yakni seketika itu semua yang masih hidup mengalami kematian, sedangkan yang sudah mati mengalami pingsan] kecuali siapa yang dikehendaki Allah [yakni, Jibril, Mika’il, Israfil dan Malaikat Maut. Karena mereka tidak seperti malaikat lainnya yang mati saat tiupan sangkakala yang pertama. Tetapi mereka mati setelah itu dan dihidupkan kembali sebelum tiupan yang kedua. Selain Jibril, Mika’il, Israfil dan ‘Izra’il, yang tidak ikut mati pada saat tiupan pertama adalah para malaikat pemanggul ‘Arsy, penjaga surga dan neraka, para bidadari, wildan (yang mati saat kanak-kanak) dan para syuhada. Sungguh, mereka sedang sibuk dalam kenikmatan mereka hingga tidak mengalami guncangan dahsyat yang muncul dari tiupan itu]*. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi [yakni tiupan yang kedua, yaitu setelah Allah memerintahkan langit menurunkan air hujan], maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing) [setelah turun hujan yang menumbuhkan mereka laksana tanaman]. Tenggang waktu antara dua tiupan itu adalah empat puluh tahun.

*Tentang firman Allah Ta’ala, “Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” [QS. al-Qashash 28:88] Apabila yang dimaksud dengan binasa itu adalah mengalami kesirnaan dzat (fisik), memang secara umum segala sesuatu mengalami kesirnaan. Karena semua yang selain Allah Ta’ala mungkin adanya dan bisa tiada. Sedangkan bila yang dimaksud binasa adalah lenyapnya manfaat yang disebabkan oleh kematian atau berpisahnya bagian-bagian, maka dari segala sesuatu itu ada yang dikecualikan, yaitu al-’Arsy, al-Kursi, al-Lauh, al-Qalam, surga, neraka dan ruh-ruh yang ada di dalamnya.

16. Kebangkitan, Mahsyar dan Hisab

Selain meyakini akan terjadinya Kiamat, kita juga wajib yakin bahwa Allah akan membangkitkan semua hamba-Nya dan menggiring mereka ke sebuah tempat yang datar (mahsyar) untuk memutuskan amal mereka. Keterangan ini berdasarkan Alqur’an, hadis dan kesepakatan ulama salaf. Pembangkitan merupakan hal mumkin yang telah diberitakan syara’. Barangsiapa mengingkarinya, maka dia kafir.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwasannya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” [QS. al-Hajj 22:7]

Allah Ta’ala juga berfirman, “…ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh ?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” [QS. Yasin 36:78-79]

Allah Ta’ala berfirman, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya.” [QS. Anbiya’ 21:104]

Al-Ba’ts (bangkit) maksudnya adalah Allah Ta’ala menghidupkan orang yang sudah mati dan mengeluarkannya dari kubur setelah Allah mengumpulkan bagian-bagiannya yang asli (sosok utuh di awal penciptaan). Yakni, bagian-bagian dari keutuhan yang dengannya dia mengada dari awal sampai akhir usia, walaupun bagian-bagian itu ada yang terpisah sebelum dia mati.

Al-Hasyr maksudnya adalah Allah menggiring semua makhluk menuju suatu tempat (mahsyar) perhentian—tanah datar yang padanya tidak ada pembangkangan terhadap Allah Ta’ala—untuk menerima putusan pengadilan. Tidak ada perbedaan antara makhluk yang diberi balasan (yakni malaikat, manusia atau jin) dan makhluk yang tidak diberi balasan (seperti hewan ternak dan binatang buas).

Ketahuilah bahwa yang dibangkitkan dan digiring itu adalah badan lahir duniawi (badan asli yang menjadi sosoknya saat di dunia), bukan bayangannya (yang serupa aslinya). Jika tidak, maka yang mendapat pahala dan siksa itu bukan yang taat atau yang bermaksiat saat di dunia, dan hal ini adalah batil.

CATATAN

1. Orang yang paling awal dibangkitkan dan digiring menuju mahsyar adalah Sayyidina Muhammad saw., sebagaimana beliau juga adalah orang yang paling awal masuk ke surga.

2. Keadaan makhluk yang digiring ke mahsyar itu bermacam-macam. Ada yang naik kendaraan (hewan), yaitu orang yang bertakwa. Ada yang berjalan kaki, yaitu orang mukmin yang sedikit amal baiknya. Ada yang berjalan dengan mukanya, yaitu orang kafir.

Hal lain yang wajib diyakini setiap mukallaf adalah al-hisab (perhitungan). Allah Ta’ala akan mengadili hamba-hamba-Nya atas amal-amal mereka secara rinci, amal baik dan amal buruk, perkataan dan perbuatan, setelah mereka menerimam buku catatan amal. Hisab ini diberlakukan bagi semua mukmin dan kafir dari kalangan manusia dan jin, selain mereka yang dikecualikan.

Di dalam satu hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah memberikan janji kepadaku bahwa Dia akan memasukkan tujuh puluh ribu orang umatku ke dalam surga. Bersama tiap seribu orang dari yang tujuh puluh ribu itu disertakan pula tujuh puluh ribu orang lainnya dan tiga hatsayat Tuhanku. Tidak ada hisab dan siksa bagi mereka” (HR. At-Tırmidzi dan İbnu Hibban di dalam Shamh-nya)

Hatsayat artinya gelombang. Maksudnya, Allah memberikan janji kepadaku dengan jumlah bilangan yang tidak terhitung. Mereka masuk surga tanpa hisab dan siksa.

Adanya hisab ini telah ditegaskan di dalam Alqur’an, hadis dan ijma’ kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [QS. al-Baqarah 2:202]

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” [QS. al-Ghasyiyah 88:25-26]

‘Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata, “Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung.”

Di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya…”

Barangsiapa tidak percaya adanya hisab atau meragukannya, dia sungguh kafir. Saat hisab Allah Ta’ala memberi perhitungan terhadap hamba-hamba-Nya atas amal-amal mereka saat di dunia, dan hal itu terjadi sebelum mereka beranjak dari mahsyar. Allah berbicara kepada mereka tentang kenyataan diri mereka dan balasan yang harus mereka terima, pahala atau siksa. Allah berbicara langsung kepada mereka dengan menyingkapkan hijab yang menutupi mereka dan memampukan mereka mendengar kalam-Nya yang qadim atau mendengar suara— yang menunjukkan kalam-Nya yang qadim—yang Dia ciptakan pada setiap telinga mukallaf. Allah Ta’ala berfirman, “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” [QS. al-Hijr 15:92-93]

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari ‘Adi ibn Hatim bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang akan ditanyai langsung oleh Tuhannya jika tidak ada penerjemah antara dia dan Tuhannya. Karena itu, peliharalah dirimu dari neraka, meski hanya dengan sebiji korma.”

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa saat hisab, orang kafir mengingkari keburukan mereka, namun kemudian anggota tubuh mereka memberikan kesaksian atas semuanya.

CATATAN

1. Proses hisab yang dialami hamba bermacam-macam. Ada yang ringan, ada yang susah, ada yang terang-terangan, ada yang tersamar dan ada yang dipermudah, berdasarkan nilai amalnya masing-masing. Allah Ta’ala mengampuni orang yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendaki-Nya. Umat yang pertama kali di hisab adalah umat Muhammad.

2. Hikmahnya adalah menampakkan keragaman derajat kesempurnaan dan kebusukan orang-orang yang kurang amal.

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah kenyataan bahwa setiap umat akan diberi lembaran catatan amal. Yakni catatan amalnya selama di dunia yang ditulis oleh malaikat. Orang yang beriman akan menerimanya dengan tangan kanan, sedangkan orang kafir akan menerimanya dengan tangan kiri. Kenyataan ini telah ditegaskan di dalam Alqur’an, hadis dan ijma’ ulama ahli hak.

Dalil Alqur’an tentang hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku ” [QS. al-Haqqah 69:19-20] dan firman Allah Ta’ala, “Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.” [QS. al-Haqqah 69:25-27]

Kelompok yang pertama berkata dengan gembira kepada mereka yang ada di padang mahsyar, “Ambillah dan bacalah kitabku. Aku tahu bahwa aku akan mendapatkan perhitungannya. ” Sedangkan kelompok yang kedua, ketika melihat akibat buruk yang akan mereka terima, berkata, “O alangkah baiknya jika tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Andai saja semuanya terputus dengan kematian dan aku tidak dibangkitkan setelahnya.”

Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya yang sama-sama beriman dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku!’ dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” [QS. al-Insyiqaq 87:7-12]

Orang kafir mengambil kitab dengan tangan kirinya dari belakang punggung karena tangan kanannya terbelenggu di leher. la mengulurkan tangan kirinya ke belakang punggungnya untuk menerima catatan amalnya.

Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” [QS. al-Isra’ 17:13]

CATATAN

1. Setiap manusia mengambil kitabnya, kecuali para nabi, para malaikat dan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab yang dipimpin oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.

2. Apabila seorang hamba meninggal dunia, buku catatan amalnya disimpan di dalam lemari di bawah ‘Arsy. Kelak setelah semua manusia berkumpul di mahsyar, Allah mengutus angin yang akan membawa terbang buku catatan amal mereka dari lemari itu sampai bergantung di leher mereka masing-masing tanpa keliru. Kemudian malaikat memanggil dan mengambil buku catatan dari leher mereka, lalu memberikannya pada tangan mereka. Ketika menerima buku catatan masing-masing, yang mukmin akan mendapati huruf-huruf catatan amalnya ada yang terang dan ada yang gelap, sesuai amalnya. Sedangkan si kafir akan mendapati huruf-huruf catatan amalnya hitam semua. Kemudian dikatakan kepada mereka, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” [QS. al-Isra’ 17:14]

Wajah orang mukmin akan bersinar saat membaca catatan amalnya, sedangkan wajah si kafir akan menghitam muram. Allah Ta’ala berfirman, “…pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” [QS. Ali ‘Imran 3:106]

3. Setiap orang akan membaca kitabnya dengan jelas, walaupun saat di dunia dia tidak dapat membaca.

Kita harus yakin bahwa amal buruk akan dibalas setara dengan keburukannya. Sedangkan balasan amal kebaikan akan dilipatgandakan, berdasarkan firman Allah Ta’ala di dalam Alqur’an, “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” [QS. al-An’am 6:160]. Hal ini semata-mata merupakan anugerah dan kemurahan dari Allah Ta’ala.

Pelipatgandaan pahala amal kebaikan beragam tingkatnya. Pertama, pahala dilipatgandakan hingga sepuluh kali. Ini untuk amal badan seperti berzikir. Dalilnya adalah ayat di atas dan hadis Nabi saw., “Barangsiapa membaca satu huruf saja dari Alqur’an, maka baginya satu kebaikan, dan balasan satu kebaikan itu adalah sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” Hadis ini diriwayatkan oleh at-Timidzi, dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih.

Kedua, pahala dilipatgandakan hingga lima belas kali lipat. Di dalam hadis disebutkan, “Berpuasalah dua hari, maka bagimu pahala hari-hari berikutnya [yakni, hari-hari dalam satu bulan itu].” Dengan puasa dua hari di awal bulan, seorang hamba bisa mendapatkan pahala puasa satu bulan. Yakni, pahalanya lima belas kali lipat. 

Ketiga, pahala dilipatgandakan hingga tiga puluh kali. Di dalam hadis disebutkan, “Berpuasalah satu hari, maka bagimu pahala hari-hari berikutnya.” Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Muslim. Satu kebaikan dibalas tiga puluh kali lipat.

Keempat, pahala dilipatgandakan hingga lima puluh kali. Di dalam hadis disebutkan, “Barangsiapa membaca Alqur’an dan dia meng-i’rab-nya, maka baginya lima puluh kebaikan atas setiap hurufnya.” Yang dimaksud meng-i’rab adalah mengetahui makna-makna lafadznya, bukan kebalikan dari lahn (cadel). Sebab membaca Alqur’an dengan lahn dianggap bukan membaca, tidak pula akan mendapat pahala.

Kelima, pahala dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali. Yakni pahala menafkahkan harta benda di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman’ “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-Baqarah 2:261]

Keenam, pahala dilipatgandakan sampai tak terhingga, yaitu pahala amalan hati seperti sabar. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS. az-Zumar 39:10]

Perlu diketahui bahwa keragaman tingkat pelipatangandaan pahala amal kebaikan itu disesuaikan dengan kadar keikhlasan dan niat. Ini sudah jelas.

17. Ampunan dan Siksa

Bagian dari kewajiban setiap mukmin adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala memberi anugerah ampunan bagi pelaku dosa besar yang bertobat, dan Dia mengampuni hamba atas dosa kecil karena dia meninggalkan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” [QS. an-Nisa’ 4:31]

Perlu diyakini bahwa orang yang mati sebelum sempat bertobat dari dosa-dosa besar selain dosa kekafiran (syirik), ia berada dalam kehendak Allah. Jika menghendaki, Dia akan menyiksanya dengan adil. Jika menghendaki, Dia juga bisa mengampuninya dengan kemurahan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [QS. an-Nisa’ 4:48]

Kita juga mesti yakin bahwa Allah akan menyiksa sebagian hambaNya dari umat ini yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertobat, karena ada keterangan dari syara’. Yang dimaksud “umat ini” adalah ummatul-ijbah, yakni kaum mukminin, karena itu sebagian yang disiksa tersebut tentu dari kalangan mukminin. Namun kalaupun ancaman Allah terhadap pelaku dosa itu pasti berlaku, mereka tidak kekal di neraka. Setelah disiksa sesuai kadar dosanya, mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan kekal di dalamnya. Lain halnya dengan orang kafir yang akan tetap disiksa dan kekal di dalam neraka.

Kesimpulannya, manusia terbagi dua kelompok, mukmin dan kafir. Yang kafir akan kekal di dalam neraka. Sedangkan yang mukmin terbagi lagi dalam dua kelompok, yang taat dan yang bermaksiat. Yang taat akan masuk surga dan menetap selamanya. Yang bermaksiat terbagi dua golongan, yang tobat dan tidak tobat. Yang tobat pasti akan masuk surga. Sedangkan yang tidak bertobat, dia berada dalam kehendak Allah. Kalau pun disiksa, dia tidak akan kekal di dalam neraka.

18. Huru-hara Mahsyar

Harus diyakini bahwa huru-hara di alam mahsyar itu benar adanya. Berbagai kesengsaraan dan musibah akan dialami orang-orang di alam mahsyar. Di antaranya, perhentian yang sangat lama, banjir keringat yang hampir menenggelamkan (setinggi telinga) dan meresap ke bumi hingga sedalam tujuh puluh hasta; matahari merendah di atas kepala hingga tinggal berjarak satu mil; buku-buku catatan amal yang beterbangan lalu melilit di leher masing-masing; kesaksian lidah dan anggota badan seperti tangan, kaki, telinga, mata, kulit; kesaksian bumi, malam, siang dan malaikat pencatat amal; dan keberubahan warna serta rupa manusia.

Allah Ta’ala berfirman, “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.” [QS. al-Hajj 22:1-2]

Allah Ta’ala berfirman, “Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban.” [QS. al-Muzzammil 73:17]

Allah Ta’ala berfirman, “…pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” [QS. Ali ‘Imran 3:106]

Namun para nabi dan para wali serta orang-orang shalih tidak mengalami berbagai kesengsaran itu. Allah Ta’ala berfirman di dalan Alqur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” [QS. Fushshilat 41:30] 

Allah Ta’ala juga berfirman, “Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada Hari Kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata): “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.” [QS. al-Anbiya’ 21:103]

Ketakutan yang dialami para nabi dan para malaikat saat itu hanya berupa rasa dahsyat menghadapi wibawa dan keagungan Allah, bukan karena siksa. Sungguh, mereka aman dari siksa Allah ‘Azza wa Jalla.

Secara umum, huru-hara dan kesengsaraan yang dialami saat itu beragam sesuai keadaan masing-masing. Ya Allah, ringankanlah untuk kami kedahsyatan hari itu, dengan anugerah dan kemurahan-Mu.

CATATAN

Rasulullah saw. bersabda, “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah Ta’ala pada hari di mana tiada naungan selain naungan Allah. Yaitu: imam yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah; lelaki yang hatinya selalu terpaut ke masjid apabila keluar dari masjid sampai ia kembali lagi ke masjid, dua insan yang saling mencinta karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; seseorang yang berzikir kepada Allah dalam kesunyian hingga menangis; lelaki yang diundang oleh seorang wanita cantik jelita untuk menemuinya (berzina), namun lelaki itu berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam’; dan seseorang yang bersedekah seraya menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.

19. Timbangan Amal (Al-Mizan)

Kita wajib meyakini bahwa penimbangan amal itu benar adanya Allah Ta’ala berfirman, “Timbangan pada hari itu ialah benar…” [QS. al-A’raf 7:8]

Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” [QS. al-Anbiya’ 21:47]

Allah Ta’ala berfirman , “…maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. al-A’raf 7:8-9]

Timbangan amal itu sungguh nyata terindera, dengan satu tangkai dan dua neraca. Satu neraca terang bercahaya, yakni yang sebelah kanan dan disediakan untuk menaruh catatan amal baik. Sedangkan neraca yang satunya lagi, yakni yang sebelah kiri, gelap pekat, disediakan untuk amal buruk. Yang ditimbang adalah lembar-lembar catatan amal. 

Rasulullah saw. bersabda, “Pada Hari Kiamat, Allah mengadili seorang lelaki dari umatku di hadapan semua makhluk. Lalu dibentangkanlah sembilan puluh sembilan lembar catatan amalnya. Panjang tiap lembarnya sejauh mata memandang. Allah berfirman, ‘Apakah engkau akan mengingkarinya? Apakah dua malaikat-Ku yang mencatatkannya telah bertindak zalim kepadamu?’ dia jawab, ‘Tidak, ya Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Apakah engkau punya alasan?’ dia menjawab, ‘Tidak, ya Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Apakah engkau punya kebaikan?’ dia menjawab, ‘Tidak, ya Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Tentu. Engkau masih punya satu amal baik yang ada pada-Ku, dan saat ini tidak ada kezaliman terhadap dirimu.’ Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang berterakan tulisan: Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Kemudian Allah berfirman, “Coba letakkan di timbanganmu!’ dia berkata, “Ya Tuhanku, apalah artinya kartu ini bila ditimbang dengan lembaran-lembaran itu?’ Allah berfirman, ‘Sungguh, engkau tidak akan dizalimi.’ Kemudian lembar catatan amal yang sembilan puluh sembilan itu diletakkan di salah satu neraca, ditimbang bersama sehelai kartu di neraca lainnya. Ternyata lembaran yang sembilan puluh sembilan itu lebih ringan daripada sehelai kartu. Memang tidak ada sesuatu pun yang berat bila ditimbang bersama nama Allah.” (HR. Al-Imam Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi)

CATATAN

Allah Ta’ala menegakkan timbangan, walaupun Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dengan timbangan itu Allah Ta’ala menguji hamba-hamba-Nya, apakah hamba-hamba-Nya itu percaya akan timbangan tersebut selagi mereka berada di alam dunia atau tidak. Selain itu, keimanan akan adanya timbangan amal tersebut menjadi tanda siapa yang akan berbahagia dan siapa yang akan celaka di akhirat kelak.

20. Telaga Nabi SAW. (Al-Haudh)

Kita wajib yakin bahwa haudh (telaga) Nabi Muhammad saw. benar adanya. Telaga Nabi Muhammad saw. itu merupakan jisim tertentu yang besar dan luas. Umat Rasulullah Muhammad saw. akan mendatanginya setelah mereka keluar dari kubur dalam keadaan haus.

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim ada satu hadis dari ‘Abdullah ibn ‘Amru ibn al-‘Ash r.a., dengan status marfu’, yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Telagaku seluas perjalanan satu bulan. Kedua sisinya sama. Airnya lebih putih dari susu, baunya lebih wangi dari misik dan gayungnya lebih banyak dari bintang di langit. Barangsiapa minum darinya seteguk saja, dia tidak akan lagi merasa haus, selamanya.”

Dalam wahyu yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Nabi ‘Isa tentang sifat-sifat Nabi Muhammad disebutkan, “Dia (Muhammad) mempunyai telaga yang luasnya lebih jauh daripada jarak antara Mekkah sampai ke tempat terbit matahari. Di telaga itu ada wadah sebanyak bintang di langit. Airnya memiliki warna semua jenis minuman dan rasa semua buah-buahan surga.”

Ada banyak keterangan yang berbeda tentang seberapa luas telaga Nabi Muhammad saw. Tetapi riwayat-riwayat itu tidak saling menafikan. Sungguh, Allah Ta’ala telah menganugerahkan keutamaan dengan meluaskan telaga beliau secara bertahap. Mula-mula Rasulullah saw. dikabari bahwa luas telaganya sejarak perjalanan pendek. Lalu pada kali berikutnya beliau dikabari bahwa ukuran telaganya amat luas. Al-Imam an-Nawawi  mengisyaratkan bahwa riwayat yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang mengabarkan batasan yang paling luas.

Di dalam satu riwayat disebutkan pula bahwa anak-anak muslim berada di sekitar telaga itu. Mereka memakai pakaian sutra dan sapu tangan cahaya. Tangan mereka memegang kendi emas dan gelas perak. Mereka memberi minum bapak ibu mereka yang sabar atas kehilangan mereka saat mereka meninggal. Tetapi mereka tidak diizinkan memberi minum orang tua yang tidak rela saat ditinggal mati oleh mereka.

Ketahuilah, tidak semua orang dari umat ini mendatangi telaga Nabi saw. , melainkan hanya orang-orang yang berpegang teguh pada syari’at Nabi Muhammad saw. dan tidak menggantinya dengan yang lain, tidak pula mengubah atau mencampurnya dengan akidah lain yang tidak dianut oleh beliau dan para sahabatnya. Adapun orang-orang yang mengubah atau mengganti syariat Nabi Muhammad saw. , akan ditolak dari telaga Nabi saw., seperti orang yang murtad dan menyalahi kaum muslimin. Misalnya golongan Khawarij, Rafidhah dan Mu’tazilah beserta firqah-firqahnya. Demikian juga orang yang zalim dan pembangkang, orang yang terang-terangan melakukan dosa besar dan menganggap enteng maksiat, orang yang menyimpang, ahli bid’ah dan orang kafir.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan, “Umatku mendatangi telaga dan aku melindungi mereka seperti seorang lelaki yang melindungi untanya dari unta orang lain.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mengenali kami saat itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Tentu. Kalian mempunyai tanda khusus yang tidak dimiliki oleh umat lain. Kalian datang kepadaku dengan wajah bercahaya dari bekas wudhu. Lalu ada sekelompok orang dari kalian yang disingkirkan dariku hingga mereka tidak bisa sampai. Aku berkata, “Ya Tuhanku, sahabatku, sahabatku… ” Lalu Allah berfirman, “Apakah engkau tahu apa yang diperbuat mereka setelah kepergianmu?” 

Orang yang melakukan perubahan terhadap syariat beliau tetapi tidak sampai kafir masih akan mendapat minum dari telaga Nabi setelah dihalang-halangi, seperti para pelaku bid’ah yang tidak sampai derajat kekafiran. Adapun orang kafir sama sekali tidak akan mendapat minum dari telaga itu, selamanya.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadis marfu’ yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Semua nabi mempunyai telaga masing-masing. Mereka saling membanggakan siapa yang paling banyak pengunjungnya. Dan aku berharap akulah pemilik telaga yang paling banyak pengunjungnya.” 

21. Jembatan (Ash-Shirath)

Salah satu bagian yang wajib diyakini keberadaannya adalah ash-shirath (jembatan). Keberadaan ash-shirath itu benar adanya. Ash-shirath adalah jembatan atau titian panjang yang terbentang di atas neraka Jahanam, yang harus dilintasi oleh semua manusia, sejak manusia yang pertama sampai yang terakhir.

Jembatan itu lebih tipis dari helai rambut dan lebih tajam dari pedang. Terbentang dari mahsyar sampai ke satu lapangan yang luas dan datar tempat undakan pertama tangga menuju pintu surga. Jembatan itu sepanjang tiga ribu tahun perjalanan. Seribu tahun menaik, seribu tahun menurun dan seribu tahun lagi rata. Namun al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan di dalam syarahnya, Fathul-Bari ‘ala Shahih al-Bukhari, bahwa panjang jembatan itu lima belas ribu tahun perjalanan.

Di kedua sisi jembatan itu terdapat sejenis duri tajam seperti duri sa’dan [tumbuh-tumbuhan sejenis ilalang]. Para malaikat berbaris di sisi kiri dan kanannya untuk menjaga mereka dari duri-duri itu.

Kebenaran adanya ash-shirath telah ditunjukkan Alqur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman, “Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” [QS. al-Balad 90:11]. Mujahid dan adh-Dhahhak berkata, “Al-‘aqabah adalah jembatan yang dibentang di atas neraka Jahanam. ” Jadi makna ayat itu adalah, “Berhati-hatilah terhadap al-aqabah, nafkahkan harta pada sesuatu yang bisa membantu meringankan perjalanan untuk melintasinya, seperti memerdekakan budak dan yang lainnya.”

Di dalam Shahih Muslim ada satu hadis marfu’ yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jembatan itu dibentangkan di antara kedua sisi Jahanam. Aku dan umatku merupakan yang pertama melintasinya. Pada saat itu tidak ada yang berbicara selain para rasul, dan doa mereka saat itu adalah, “Ya Allah, selamatkanlah kami, selamatkanlah kami.” 

Waktu untuk melewati jembatan itu adalah setelah usai hisab (perhitungan amal). Barangsiapa mampu melintasi jembatan itu sampai ujung, dia tentu selamat dan beruntung. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai golongan orang yang selamat dan beruntung.

Tingkat keselamatan orang-orang saat itu bermacam-macam. Ada yang selamat tanpa sempat jatuh ke dalam neraka Jahanam, ada pula yang sempat jatuh dulu ke dalam neraka Jahanam. Dan yang jatuh itu ada yang sejenak dan ada yang lama, tergantung kehendak Allah. Mereka itu adalah orang-orang beriman yang berdosa. Lain halnya dengan orang kafir yang setelah jatuh ke dalam neraka itu tidak akan pernah diangkat lagi, selamanya.

Cepat lambatnya seseorang melewati jembatan tergantung kadar amalnya. Yang paling cepat melintasinya dalam keadaan selamat adalah orang yang paling unggul amal salihnya dan terbebas dari amal buruk, yakni orang-orang yang telah diistimewakan Allah dengan sabiqatul husna. Mereka melintasi jembatan dalam sekejap mata. Setelah mereka, ada orang-orang yang melintasi jembatan secepat kilat. Lalu ada yang secepat angin, ada yang secepat burung terbang, ada yang secepat kuda pacu. Di antara mereka juga ada yang melintasinya sambil berlari kecil, berjalan kaki dan ada pula yang merangkak.

Kesimpulannya, kemantapan mereka dalam melewati ash-shirath al-hisi (jembatan yang nyata) di akhirat sesuai kadar kemantapan mereka dalam menetapi ash-shirath al-ma’nawi (syariat Rasulullah) saat di dunia.

Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai, bukan pula jalan mereka yang sesat, amin.

Hikmah adanya jembatan itu untuk membuat sedih orang kafir dengan kebahagiaan orang mukmin setelah sama-sama berada di persinggahan mahsyar. Selain itu, juga untuk menampakkan bahwa selamat dari neraka bagi orang yang beriman itu merupakan anugerah dan kemurahan dari Allah. Sungguh, Allah Ta’ala Mahakasih terhadap orang-orang yang beriman.

22. Sungai di Surga (Al-Kautsar)

Salah satu hal yang wajib diyakini keberadaannya adalah al-kautsar, yakni sungai yang ada di surga. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar.” [QS. al-Kautsar 108:1]

Di dalam hadis shahih yang meriwayatkan kisah isra’, Rasulullah saw. bersabda, “Ketika aku berjalan di dalam surga, tiba-tiba aku dihadapkan pada sebuah sungai yang di kedua tepinya terdapat kubah-kubah intan. Aku bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, apa ini?” dan Jibril menjawab, “Ini adalah al-Kautsar yang telah Allah berikan kepadamu.” Lalu Jibril mengambil lumpur sungai itu, ternyata berupa misik yang sangat wangi.

Di dalam hadis dari Ibn ‘Umar disebutkan, “Al-Kautsar adalah sungai yang ada di surga, kedua tepinya adalah emas, tempat alirannya adalah intan dan mutiara, lumpurnya lebih wangi daripada misik, airnya lebih manis daripada madu, lebih putih daripada susu dan lebih sejuk daripada es.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi, dan ia berkata bahwa derajat hadis ini hasan shahih.

23. Syafa’at

Pada Hari Kiamat, Rasulullah saw. akan memberikan syafa’at kepada umatnya, kita wajib meyakininya. Syafa’at Rasulullah saw. sungguh diterima oleh Allah. Beliaulah yang terdepan di antara semua yang bisa memberi syafa’at kelak, yakni para nabi, para rasul dan para malaikat yang didekatkan (al-muqarrabun).

Rasulullah saw. bersabda, “Di Hari Kiamat kelak, aku adalah orang yang pertama memberi syafa’at dan menerima syafa’at, bukan sombong.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadis tentang syafa’at ini mutawatir. Saat Hari Kiamat terjadi, manusia bangkit dari kubur sambil mengirapkan debu dari kepala dan wajah. Lalu mereka membuka mata seperti orang mabuk, padahal tidak mabuk, melainkan sibuk dengan diri masing-masing. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menugaskan malaikat kepada masing-masing mereka, untuk menggiring mereka menuju al-mauqif (persinggahan), didampingi oleh saksi dari dirinya, yakni anggota tubuh dan jasadnya. Kemudian mereka digiring menuju padang mahsyar, yakni dataran seputih perak yang disediakan oleh Allah untuk mengumpulkan seluruh umat sejak yang awal sampai yang terakhir. Setelah mereka berkumpul, matahari mendekat di atas kepala mereka hingga hanya berjarak sekitar satu mil, dan panasnya dilipatgandakan sampai tujuh puluh kali lipat. Kondisi itu membuat otak mereka mendidih. Mereka semakin menderita dan berdesakan, hingga di atas setiap kaki bertumpuk seribu kaki. Keringat pun demikian deras dan membanjir, seperti disabdakan Rasulullah saw., “Sesungguhnya pada Hari Kiamat, keringat merasuk ke dalam bumi hingga sedalam tujuh puluh hasta, dan keringat mereka membanjir hingga setinggi mulut dan telinga mereka.” (HR. Muslim)

Tetapi keadaan seperti itu berlaku tidak untuk semua. Karena, keringat masing-masing orang pada waktu itu berbeda sesuai kadar dosanya. Di antara mereka ada yang terendam keringat hanya sampai mata kaki, ada yang sampai lutut, sampai ketiak, ada yang sampai leher, dan ada yang sampai tenggelam. Ada juga yang sama sekali tidak tersentuh banjir keringat. Di antara mereka juga ada yang mendapat keteduhan naungan ‘Arsy, yakni mereka yang dimuliakan oleh Allah, sebagaimana ditunjukkan di dalam hadis-hadis shahih Nabi saw.

Kemudian manusia berdiam—ma sya’ Allah—demikian lama hingga kepayahan dan kesusahan semakin mendera. Mereka menengadahkan wajah ke atas tanpa berucap sepatah kata pun. Menurut satu pendapat, keadaan itu berlangsung selama empat puluh tahun waktu dunia.

Setelah demikian lama menunggu dan kepayahan semakin mendera mereka, mereka berusaha mencari orang yang dapat menolong mereka, agar mereka bisa istirahat dari diam dan derita. Mereka bicara satu sama lain, “Mari kita mendatangi Adam bapak moyang kita, kita minta syafa’atnya pada Allah.” Mereka mendatangi Adam a.s. dan berkata, “Engkau adalah bapak manusia, Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya sendiri, dan Dia telah memerintahkan malaikat bersujud kepadamu. Maka syafa’atilah kami, mohonkanlah kepada Allah agar Dia memindahkan kami dari tempat ini.” Adam menjawab, sungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala amat murka, tidak pernah Dia semurka hari ini, tidak pula kelak. Sesungguhnya aku punya masalah vang membuatku amat khawatir dan tidak berani memohonkan syafa’at kepada Allah. Diriku, diriku, diriku,.. Pergilah kepada Nuh! Dia akan menyafa’ati kalian.”

Mereka mendatangi Nuh dan berkata, “Wahai Nuh, syafa’atilah kami, mohonkan kepada Allah agar Dia memindahkan kami dari tempat perhentian ini. Sungguh Allah telah menjadikanmu sebagai orang pilihan dan menamaimu dengan sebutan ‘abdan syakuran (hamba yang sungguh bersyukur).” Nuh memberikan jawaban kepada mereka sama seperti jawaban Adam. Nuh menyarankan mereka agar menemui Ibrahim a.s. Mereka pun mendatangi Ibrahim dan berkata kepadanya, “Engkau Khalilullah (kekasih Allah), syafa’atilah kami pada Allah.” Ibrahim memberikan jawaban kepada mereka sama seperti jawaban Adam dan Nuh. Ibrahim menyarankan mereka agar menemui Musa a.s. Mereka mendatangi Musa dan berkata, “Engkau kalimullah, syafa’atilah kami.” Namun Musa pun memberikan jawaban yang sama kepada mereka. Musa menyarankan mereka agar meminta syafa’at kepada ‘Isa a.s. Mereka pun mendatangi ‘Isa dan berkata, “Engkau adalah rasul Allah, engkau adalah kalimah-Nya yang telah dia titipkan di rahim Maryam, dan engkau pun adalah ruh dari-Nya. Berilah kami syafa’at.” Nabi ‘Isa memberikan jawaban yang sama kepada mereka. Lalu dia menyuruh mereka pergi kepada Sayyidina Muhammad saw.

Pada akhirnya mereka mendatangi Rasulullah Muhammad saw. Wajah beliau sungguh bercahaya menerangi seluruh makhluk. Lalu mereka memanggil-manggil beliau dari bawah mimbarnya yang tinggi, “Wahai sang kekasih Tuhan semesta alam, wahai sang penghulu para nabi dan rasul. Sungguh, masalah kami demikian berat. Telah lama kami berada di tempat ini, kepayahan dan kesusahan pun semakin dahsyat mendera kami. Berilah kami syafa’at, mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk memutus perkara kami, agar siapa di antara kami yang bakal menghuni surga segera diperintahkan masuk surga, dan siapa yang bakal menghuni neraka segera diperintahkan masuk neraka. Tolonglah kami…tolonglah kami, ya Muhammad. Engkaulah sang pemangku kebesaran yang telah diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Rasulullah saw. bersabda, “Ya. Aku akan memberi syafa’at, Insya Allah.”

Kemudian Rasulullah saw. berdiri di suatu tempat yang tidak seorang pun makhluk selain beliau bisa berdiri di tempat itu. Beliau bersujud kepada Allah Ta’ala. Beliau memuji-Nya dengan pujian yang Dia ilhamkan langsung saat itu kepada beliau, pujian yang tidak pernah diungkapkan siapa pun selain beliau. Lalu beliau diseru, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah syafa’at, engkau bisa memberi syafa’at. Mintalah, engkau pasti diberi. Berbicaralah, engkau pasti didengar.” Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kepala dan memohonkan syafa’at untuk seluruh umat agar segera dipindahkan dari tempat penantian itu. Beliau berucap, “Ya Rabb, perintahkanlah hamba-hamba-Mu untuk segera menjalani hisab. Sungguh, derita sudah sangat dahsyat mendera mereka.” Permohonan beliau dikabulkan. Inilah syafa’at yang pertama digelar, untuk mengistirahatkan umat dari derita penantian. Inilah al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang disanjung-sanjung oleh semua makhluk, dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Mereka tidak langsung diilhami untuk mendatangi Muhammad saw. pada kali yang pertama, itu untuk menampakkan keunggulan dan kemuliaan beliau.

Ketahuilah bahwa syafa’at terdiri dari beberapa macam. Syafa’at terbesar adalah syafa’at untuk segera memutus perkara dan mengistirahatkan umat dari penantian yang amat lama. Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Rasulullah Muhammad saw. Kedua, syafa’at untuk memasukkan ahli surga ke surga tanpa hisab. Al-lmam an-Nawawi mengatakan bahwa syafa’at ini juga khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. Ketiga, syafa’at untuk menahan orang dari neraka, padahal orang itu harus masuk neraka. Keempat, syafa’at untuk mengeluarkan ahli tauhid dari neraka. Selain dimiliki oleh Rasulullah saw., syafa’at yang keempat ini juga dimiliki oleh para nabi, para malaikat dan kaum mukmin. Kelima, syafa’at untuk memberikan tambahan derajat di dalam surga bagi yang berhak. Keenam, syafa’at untuk meringankan siksa bagi orang yang mendapat siksa abadi. Syafa’at ini khusus dimiliki RasuluIlah Muhammad saw.

24. Neraka

Neraka sungguh nyata adanya, kita wajib meyakini keberadannya. Kenyataan ini ditegaskan di dalam Alqur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. at-Tahrim 66:6]

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya api kalian di dunia ini hanya satu bagian dari tujuh puluh bagian api (neraka) Jahanam. Seandainya api yang hanya satu bagian itu tidak aku padamkan dua kali dengan air, niscaya kalian tidak dapat memanfaatkannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam Ahmad, Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya, dan al-Baihaqi. Ibnu Majah dan al-Hakim menilai hadis ini shahih, dan dalam riwayat mereka ada tambahan, “Dan api itu berdoa kepada Allah agar tidak dikembalikan lagi ke dalam neraka.”

Yang dimaksud dengan neraka adalah rumah penyiksaan dengan semua tingkatannya. Allah Ta’ala telah menciptakannya dan menyediakannya untuk orang-orang kafir yang akan abadi berada di dalamnya, juga untuk sebagian mukmin yang berdosa yang akan menghuni neraka dalam waktu tertentu dan kemudian dikeluarkan darinya, sesuai kehendak Allah Ta’ala.

Kesimpulannya, golongan yang selamat dari neraka ada dua. Pertama, yang selamat dari semua siksa neraka. Ini adalah kelompok muslim yang taat dan terbebas dari berbagai keburukan. Kedua, kelompok yang mendapat siksa ringan, seperti tergores duri. Kelompok ini adalah sebagian kaum muslim yang berdosa, tetapi kebaikannya masih lebih banyak daripada keburukannya.

Golongan yang tidak selamat dari neraka juga ada dua. Pertama, orang kafir yang akan kekal di dalam neraka. Kedua, orang mukmin yang amal buruknya melebihi amal baiknya. Mereka tidak kekal di dalam neraka.

Neraka yang merupakan rumah penyiksaan itu bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Mudah-mudahan Allah melindungi kita hingga tidak sampai terjerumus ke dalamnya.

Neraka terdiri dari tujuh tingkatan. Yang paling atas adalah Jahannam, diperuntukkan bagi orang mukmin yang dihisab sesuai kadar dosanya. Neraka ini kelak akan lenyap setelah semua kaum mukmin yang sempat memasukinya diangkat keluar. Di bawah Jahannam adalah Lazha, diperuntukkan bagi orang Yahudi. Kemudian di bawahnya lagi ada al-Huthamah, disediakan bagi orang Nasrani. Di bawahnya lagi adalah as-Sa’ir, disediakan untuk kaum Shabi’in, yakni kelompok Yahudi yang bertambah-tambah kesesatannya. Kemudian di bawahnya lagi adalah Neraka Saqar, diperuntukan bagi orang Majusi, yakni para penyembah api. Lalu al-Jahim, disediakan untuk para penyembah berhala. Yang terakhir adalah al-Hawiyah, disediakan untuk kaum munafiq.

25. Surga

Keberadaan surga sungguh benar, kita wajib meyakininya. Kenyataan ini telah ditegaskan di dalam Alqur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman, “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” [QS. Maryam 19:63]

Rasulullah saw. bersabda di dalam satu hadis riwayat Muslim, “Kita adalah umat terakhir, namun paling awal di Hari Kiamat. Akulah orang yang paling awal masuk surga.”

Allah Ta’ala telah menciptakan surga sebagaimana Dia juga telah menciptakan neraka. Surga diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, murni sebagai anugerah-Nya. Di dalam surga, mereka menikmati berbagai kesenangan yang wujudnya tak terbayangkan akal. Di dalamnya ada sesuatu yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terbesit di dalam hati manusia. Surga berada di atas langit ke tujuh, sedangkan neraka berada di bawah bumi ke tujuh.

Surga terdiri dari beberapa tingkatan. Yang paling sempurna dan utama adalah al-Firdaus. Itulah surga yang tertinggi. Atapnya adalah ‘Arsy ar-Rahman, dan dari ‘Arsy itu mengalir sungai-sungai surga. Surga mempunyai beberapa nama. Yaitu, Jannatul-Ma’wa, Jannatul-Khuld, Jannatu-‘Adn, Darus-Salam, Darul-Jalal dan Darun-Na’im.

Ketahuilah bahwa surga merupakan tempat yang suci dari segala kotoran dan najis seperti air kencing, berak, haid, nifas, ludah dan mani. Ampas makanan mereka yang keluar dari depan dan belakang laksana tetesan misik.

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa debu surga berupa misik dan za’faran. Di setiap istananya ada satu dahan dari pohon Thuba yang bisa mengeluarkan buah apa pun yang diinginkan. Apabila sang penghuni menginginkan makan misalnya, ia akan berucap, subhanakallahumma, serta merta di hadapannya akan tersedia hidangan berisi semua hal yang dia inginkan. Apabila selesai makan, ia akan berucap, Alhamdulillahi rabbil-‘alamin, dan hidangan itu pun diangkat.

26. Memandang Wajah Mulia Sang Kekasih

Di akhirat, Allah Ta’ala akan memuliakan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memberi mereka kesempatan untuk melihat wajah mulia-Nya dengan mata kepala, setelah mereka masuk surga dan sebelumnya. Tetapi, mereka melihat wajah-Nya tanpa bagaimana dan seperti apa. Alqur’an dan hadis telah menegaskan kenyataan ini. Allah Ta’ala berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” [QS. al-Qiyamah 75:22-23]

Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti kalian melihat bulan di malam purnama.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Yang diserupakan di dalam hadis ini adalah penglihatan, yakni tiadanya keraguan dan kesamaran dalam penglihatan, bukan penyerupaan objek penglihatan (sungguh, Allah tidak bisa diserupakan dengan sesuatu pun selain Dia). Dalil akal tentang mungkin-nya melihat Allah, itu karena melihat merupakan salah satu bentuk ketersingkapan dan ilmu bagi subjek yang melihat objek, ketersingkapan yang diciptakan Allah ketika indera berhadapan langsung dengan objek. Dan Allah bisa saja menciptakan ketersingkapan yang sama bagi subjek yang tidak berhadapan langsung dengan objek. Seperti kenyataan Rasulullah saw. yang dapat melihat orang yang berada di balik punggungnya seperti beliau melihat orang yang berada di hadapan matanya. Atau, seperti kenyataan bahwa Allah Ta’ala melihat kita bukan dengan berhadapan atau dari arah tertentu.

Telah maklum bahwa ‘melihat’ merupakan pertalian khusus antara yang melihat dan yang dilihat. Berdasarkan akal, bila salah satu di antara yang melihat dan yang dilihat itu ada di arah tertentu, maka yang satunya lagi juga demikian. Demikian pula bila salah satunya jelas tidak berada di arah tertentu, maka yang satunya lagi juga tidak di arah tertentu.

Kami mengatakan bahwa pemuliaan tersebut hanya bagi orang yang beriman, untuk menafikan orang kafir. Karena orang-orang kafir sungguh tidak akan pernah melihat Allah di Hari Kiamat. Allah Ta’ala berfirman, ”Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” [QS. al-Mutaffifin 83:15]. Tidak pula orang-orang kafir itu akan melihat Allah di surga, karena mereka sungguh tidak akan masuk surga. Bagi yang berminat mengetahui lebih jauh tentang pembahasan ini, silakan merujuk kitab kami yang berjudul Dhau’ as-Siraj fi al-lsra’ wa al-Mi’raj.

27. Bab IV – Iman, Islam, Ihsan, Din, Qadha dan Qadar (Bag. Iman)

Iman adalah membenarkan dengan hati. Yaitu tunduk patuh dan menerima perkara yang niscaya dari agama Sayyidina Muhammad saw. Yakni yang tampak dan masyhur yang diketahui oleh umum, seperti keesaan Sang Pencipta Yang Mahasuci, kenabian Muhammad saw., adanya kebangkitan manusia dari kubur, adanya balasan amal, wajibnya shalat, zakat dan haji, haramnya khamar, zina, riba dan lainnya.

Beriman secara utuh tentang hal-hal yang diterangkan secara menyeluruh dianggap cukup sebagai iman. Seperti mempercayai adanya para malaikat yang umum diketahui, mempercayai kitab-kitabnya dan para rasul-Nya. Namun untuk hal-hal yang diriwayatkan secara rinci, disyaratkan untuk beriman pula. Seperti mempercayai Jibril, Mika’il, Musa, ‘Isa, Taurat, Zabur, Injil dan yang lainnya. Sehingga orang yang tidak membenarkan salah satunya saja setelah dia mengetahui bahwa keterangannya ada di dalam Alqur’an dan hadis, maka dia kafir.

Beriman kepada Allah dan rasul-Nya adalah tunduk patuh dan menerima semua yang dikabarkan Allah Ta’ala melalui lidah rasul-Nya dan tunduk patuh serta menerima semua yang disampaikan sang rasul dari-Nya.

Iman adalah amalan hati yang tidak berkaitan dengan lisan dan anggota badan. Hanya saja, karena iman merupakan amal batin yang tidak dapat dilihat mata sehingga tidak bisa dikenai hukum-hukum syara, maka sang pemangku syariat membuat penanda bagi hal yang ada di hati seseorang, yaitu al-iqrar bil-lisan (pernyataan lisan). Pernyataan lisan ini menjadi penanda bagi keyakinan hati sekaligus menjadi syarat (landasan) untuk memberlakukan hukum-hukum dunia kepadanya. Seperti, shalat di belakangnya (boleh bermakmum kepadanya), boleh dishalati saat mati, dikubur di pekuburan muslim, darah dan harta bendanya dilindungi, boleh menikahi wanita muslimah dan lainnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka terpeliharalah darah dan harta benda mereka dariku, kecuali pelaksanaan kalimah itu, perhitungannya urusan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud mengucapkan la ilaha ilallah di dalam hadis itu bukan sekadar mengucapkan la ilaha ilallah, melainkan disambung dengan muhammad rasulullah. Sebab kesaksian la ilaha ilallah menjadi batal bila tidak disertai kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Simpulannya, iman adalah membenarkan dengan hati saja, dan baginya berlaku hukum-hukum akhirat. Sedangkan pernyataan lisan adalah syarat untuk memberlakukan hukum-hukum dunia. Barangsiapa mengungkapkan pernyataan dengan lisannya tetapi tidak membenarkan dengan hatinya (beriman dengan lisan tetapi tidak dengan hati), maka dia adalah mukmin menurut kita dan kafir menurut Allah Ta’ala, dan dia menjadi ahli neraka. Barangsiapa membenarkan dengan hati tetapi tidak mengungkapkan pernyataan dengan lisannya karena udzur, maka dia kafir menurut kita dan mukmin menurut Allah Ta’ala’ dan dia menjadi ahli surga. Sedangkan orang yang tidak mengungkapkan pernyataan dengan lisan dan tidak pula membenarkan dengan hatinya, maka dia adalah kafir menurut kita dan menurut Allah Ta’ala.

Para ulama telah sepakat bahwa bila pernyataan lisan itu dituntut, maka seseorang akan dihitung beriman hanya bila dia mengungkapkan pernyataan lisan. Apabila dia tidak mau mengungkapkan pernyataan lisannya karena sombong, dia sungguh kafir yang melawan. Inilah makna qaul ulama bahwa meninggalkan perlawanan merupakan syarat kebenaran iman.

Kesimpulannya, di dalam kebenaran dan ketegasan iman, pembenaran hati meliputi banyak hal yang bila dilanggar berarti melanggar iman. Di antaranya, bersujud kepada patung, membunuh nabi, menganggap remeh nabi, mushhaf atau Ka’bah. Apabila ada satu saja dari hal-hal itu di dalam diri seseorang, maka iman orang itu rusak, dalam pandangan kita dan Allah Ta’ala.

CATATAN

Ulama berbeda pendapat tentang kenyataan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Mazhab Jumhur Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan berkurang dengan berkurangnya ketaatan. Pendapat ini ditunjukkan oleh Alqur’An dan hadis-hadis yang shahih. Makna bertambah dan berkurangnya iman adalah menguatnya sebagian unsur iman hingga lebih kuat dari unsur iman lainnya di dalam tingkat keyakinan. Seperti, kenyataan bahwa satu sebagai setengah dari dua, lebih meyakinkan daripada kenyataan bahwa alam ini adalah sesuatu yang baru.

Allah Ta’ala berfrman, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” [QS. al-Fath 48:4]

Allah Ta’ala berfirman, “…supaya orang yang beriman bertambah imannya…” [QS. al-Muddatsir 74:31]

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Ibrahim, “Tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” [QS. al-Baqarah 2:260]. Maksudnya agar ketenangan hatinya bertambah. Sebab ketenangan itu sudah ada pada hati Ibrahim. Ayat ini juga menampakkan bahwa iman siapa pun tidak ada yang sesempurna iman Rasulullah Muhammad saw.

Iman Abu Bakr lebih kuat daripada iman umat Islam yang lain. Hal ini ditegaskan di dalam sebuah hadis mauquf, “Abu Bakr mengungguli kalian bukan karena shalat atau puasanya. Dia mengungguli kalian dengan apa (iman) yang tertanam kuat di dadanya.”

Ibnu ‘Umar r.a. ditanya, “Apakah iman bisa bertambah dan berkurang?” dan dia menjawab, “Ya. Iman bertambah sampai orang yang memilikinya masuk surga. Iman juga bisa berkurang sampai pemiliknya masuk neraka.”

Para ulama berbeda pendapat apakah seorang mukmin boleh atau tidak untuk berkata, “Saya seorang yang beriman, jika Allah menghendaki.” Yang jelas, jika yang dimaksud dengan iman adalah murni iman sebagai keyakinan, maka tidak boleh ta’liq (mengaitkannya dengan jika Allah menghendaki), sebab dalam ke-kini-annya iman itu sudah ada. Namun jika yang dimaksud iman di sini adalah penentu keselamatan dan pahala, maka ta’liq diperbolehkan. Sebab, saat itu belum diketahui kepastian hasilnya. Tentang hal ini terdapat dua kelompok pendapat sebagaimana diriwayatkankan oleh al-‘Allamah at-Taftazani.

Iman terdiri dari empat tingkatan. Pertama, iman orang-orang munafik, yakni iman yang hanya di lisan mereka, tetapi tidak dengan hati. Iman mereka hanya bermanfaat bagi mereka di dunia, untuk memelihara darah dan harta benda mereka. Sedangkan di akhirat, mereka seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka” [QS. an-Nisa 4:145]

Kedua, iman kebanyakan orang mukmin. Mereka beriman dengan hati dan lisan, tetapi mereka berperilaku tidak sesuai dengan tuntutan-tuntutan iman. Pada diri mereka tidak nampak buah keyakinan. Mereka tidak sepenuhnya pasrah pada pengaturan dari Allah. Mereka merasa takut dan berharap kepada yang selain Dia, mereka berani menyalahi perintah dan larangan-Nya.

Ketiga, iman orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-Muqarrabn). Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadirkan simpul-simpul keimanan, dan batin mereka tercetak demikian. Mata hati mereka menjadi seakan-akan melihat segala sesuatu muncul dari sumber kuasa azali. Buah iman pun tampak pada diri mereka. Mereka tidak melihat sesuatu pun lebih tinggi daripada Allah. Mereka tidak takut dan tidak berharap selain kepada-Nya. Sebab mereka mengetahui bahwa makhluk tidak memiliki kemanfaatan dan kemadharatan, tidak memiliki mati, hidup ataupun kebangkitan. Mereka tidak cinta kepada selain Allah. Sebab, bagi mereka tidak ada yang berbuat baik selain Allah. Karena itu asy-Syaikh Abu al-Hasan r.a. berdoa, “Anugerahilah kami iman sejati, hingga kami tidak lagi takut selain kepada-Mu, tidak berharap selain kepada-Mu, tidak mencintai selain diri-Mu dan tidak menghamba selain kepada-Mu.”

Mereka tidak sedikit pun menolak perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pula hukum-hukum-Nya. Sungguh, mereka yakin Dia adalah al-Hakim (Yang Mahabijak). Mereka melihat bahwa akhirat adalah tempat menetap abadi, maka mereka pun menempuh hidup dunia ini sebagai jalan menuju akhirat.

Keempat, iman orang-orang yang sudah fana di dalam tauhid dan tenggelam di dalam musyahadah (penyaksian Allah). Seperti yang tampak di dalam ungkapan Sayyidi ‘Abdussalam, “Allah telah menenggelamkan aku di samudera kesatuan, hingga aku tidak melihat, tidak mendengar, tidak mendapati dan tidak merasakan selain yang satu,” Sayyidi ‘Abdussalam juga berkata, “Kumpulkanlah antara aku dan Engkau, dan pisahkanlah antara aku dan selain Engkau.” Maqam ini kadang didapat dan kadang terputus.

Iman model yang keempat ini juga tampak dalam ungkapan salah seorang ‘arif, “Aku melihat Tuhanku dengan mata hatiku. Maka aku berkata: tidak ragu Iagi Engkau adalah Engkau.” Atau seperti yang tampak dari ungkapan asy-Syaikh Abu al-Hasan, “Sesungguhnya aku melihat Allah dengan mata keyakinan dan keimanan.”

Keterangan di atas sudah cukup bagi kami, sehingga tidak perlu lagi dalil dan bukti untuk menjelaskan kepada orang-orang. Apakah di dalam wujud ada sesuatu selain Allah Yang Haqq? Kita tidak melihatnya. Sekalipun ada, kita melihatnya laksana debu di udara yang saat Anda perhatikan dengan seksama, akan Anda dapati semua itu bukan apa-apa. Tentang kenyataan ini ada seorang ‘ãrif yang berkata, “Pemandangan itu tampak besar di hadapanku hingga seakan-akan dia sungguh nyata, padahal ia sekadar angan-angan.”

Seorang ‘arif lainnya berkata,

Sejak aku mengenal Tuhan, aku tidak melihat selain Dia

demikian pula yang selain Dia, bagiku terlarang

Sejak aku berkumpul, aku tidak khawatir berpisah

sungguh, sekarang aku telah sampai dan berkumpul

Ketahuilah bahwa iman merupakan anugerah nikmat yang paling utama di atas segalanya. Engkau mengerti bahwa Allah Ta’ala telah memuliakan Anda dengan nikmat iman hingga iman jadi menyenangkan bagimu,  dan engkau tidak menyukai kekufuran, kefasikan dan maksiat. Engkau juga paham bahwa nikmat ini murni merupakan anugerah dan nikmat dari-Nya, yang tidak seorang pun berhak mendapatkannya. Engkau mengerti bahwa dengan iman itu, Allah telah melebihkanmu dari kebanyakan orang sepertimu. Karena itu, nilailah nikmat iman sesuai dengan nilainya. Lalu laksanakan kewajiban mensyukurinya.

Sungguh, iman adalah modal dasar keselamatan dan kemuliaan. Iman sebagai modal keselamatan, sebab dengan iman akan diperoleh pertolongan Allah dari dahsyatnya siksa kubur, Hari Kiamat, timbangan amal, jembatan, neraka, pengusiran, pengasingan dan murka. Iman juga merupakan modal kemuliaan, karena dengan iman engkau akan memperoleh nikmat kubur, berupa perluasan ruang kubur, keramahan kubur dan pembukaan pintu ke surga untuk jalan ruhmu memasukinya dan menikmati berbagai kesenangannya. Dengan iman engkau bisa menikmati kesenangan surga: bidadari-bidadari, istana-istana, bermacam-macam pakaian, makanan dan minuman. Dengan iman pula engkau akan memperoleh kenikmatan puncak, yakni memandang Wajah Mulia Sang Kekasih.

Di dalam satu riwayat disebutkan, “Tidak ada kalimat yang lebih disukai oleh Allah dan tidak ada ungkapan syukur yang lebih besar dalam pandangan-Nya daripada ucapan seorang hamba, “Segala puji bagi Allah Yang telah melimpahkan nikmat dan membimbing kami kepada Islam.”

Sayyidina Yusuf a.s. berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takbir mimpi. (Ya Tuhan), Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” [QS. Yusuf 12:101]

Kalaupun dalam iman hanya ada keselamatan dari huru-hara Hari Kiamat, tentu hal itu sudah cukup dipandang sebagai nikmat terbesar. Sungguh, kedahsyatan pada Hari Kiamat telah membuat para nabi dan rasul selain Muhammad saw. berucap, “diriku… diriku… pada hari ini aku hanya bisa memohon untuk diriku kepada-Mu”, dan kalau pun seseorang memiliki amal sebanyak amal tujuh puluh nabi, dia akan mengira dirinya tidak akan selamat.

28. Islam

Islam adalah al-imtitsal wal-inqiyad (merealisasikan dan tunduk patuh) pada semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., yang telah diketahui dari agama secara pasti. Yang dimaksud dengan al-imtitsal adalah pengakuan dan pernyataan lisan akan kebenaran semua yang disampaikan Nabi Muhammad saw., meliputi tetapnya keesaan Allah Ta’ala dan kerasulan Muhammad saw. Pengakuan dan pernyataan lisan ini bisa dicapai (dianggap cukup) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Jadi, dalam kondisi apa pun, inti Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tetapi Islam akan menyelamatkan hanya jika diikuti dengan kepatuhan hati yang merupakan bagian dari iman. Maka ketahuilah bahwa islam yang menyelamatkan dan iman adalah dua hal yang saling berkaitan erat (tak terpisahkan).

Ikrar keislaman memiliki syarat yang jika tidak dipenuhi, keislamannya tidak diterima. Syarat itu adalah an-nafyi (penafian) dan al-itsbat (pengukuhan/penetapan). Dalam ikrar keislaman, seseorang dianggap tidak cukup islam bila hanya berucap, “Allah itu esa dan Muhammad adalah rasul-Nya.” Ini pendapat kebanyakan ulama, di antaranya para ulama Syafi’iyyah. Ada memang pendapat yang tidak mensyaratkan nafyi dan itsbat, yang penting pernyataan yang menunjukkan pengakuan akan keesaan Allah Ta’ala dan kerasulan Muhammad saw., dan ini pendapat yang dipegang oleh mazhab Maliki.

Menurut pendapat yang pertama, selain disyaratkan adanya nafyi dan itsbat, ikrar keislaman juga memiliki syarat sah lainnya. Di antaranya adalah menyertakan kata asyhadu (aku bersaksi) dan memahami makna ucapan yang dipersaksikannya, yakni dengan mengucapkan asyhadu al-la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar-rasulullah disertai pemahaman maknanya, meski hanya makna umumnya saja. Karena itu, bila seorang non Arab di-talqin mengucapkan dua kalimah syahadat dalam bahasa Arab, lalu dia mengucapkannya tanpa memahami maknanya, keislamannya belum bisa diterima.

Syarat lainnya adalah tertib. Pengucapan dua kalimah syahadat harus berurut secara tertib. Yakni, asyhadu al-la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar-rasulullah. Jika pengucapannya dibalik menjadi asyhadu anna muhammadar-rasulullah wa asyhadu al-la ilaha illallah, maka ikrar keislamannya tidak sah. Ini menurut pendapat yang paling kuat.

Selain menyertakan kata asyhadu, memahami maknanya dan tertib dalam pengucapannya, pengucapan dua kalimah syahadat sebagai ikrar keislaman juga harus beruntun. Apabila pengucapan kalimat syahadat yang kedua (asyhadu anna muhammadar-rasulullah) sampai terpaut dari syahadat yang pertama dalam jeda yang lama, maka keislamannya dianggap tidak sah, menurut pendapat yang paling kuat.

Syarat lainnya adalah baligh dan berakal. Ikrar syahadat keislaman seseorang yang belum baligh atau tidak berakal dianggap tidak sah. Statusnya hanya ikut-ikutan. Selain itu, orang yang melakukan ikrar disyaratkan untuk tidak menampakkan hal yang menafikan kesaksiannya. Ikrar tidak sah dilakukan oleh seseorang yang sedang bersujud kepada berhala.

Ikrar keislaman juga harus berdasarkan kemauan sendiri. Tidak sah ikrar keislaman orang yang dipaksa. Kecuali bila dia kafir harbi atau orang yang murtad. Itu pun dengan syarat dia harus mengakui kembali apa yang sempat dingkarinya dan kembali dari kesesatannya.

29. Ihsan

Hakikat ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari Jibril.

Al-Jalal al-Mahalli berkata, “Hakikat ihsan adalah merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di dalam semua peribadatan yang meliputi iman dan islam, sehingga semua peribadatan sang hamba itu sampai pada tingkat kesempurnaan dalam keikhlasan.”

Ilmu (kesadaran) hamba akan kenyataan bahwa Allah senantiasa melihatnya, itu lebih sempurna di dalam tanzih (penyucian) daripada penyaksiannya terhadap al-Haqq. Sebab, hamba hanya akan menyaksikan-Nya sesuai kadar akalnya, padahal Allah Mahasuci dari semua citraan akal. Lain halnya dengan kesadaran hamba bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihatnya. Apabila hamba beribadah kepada Tuhannya seakan-akan dia melihat-Nya, tentu dia akan mendapati bahwa perbuatan itu milik Allah, hamba sama sekali tidak memiliki andil apa pun dalam perbuatan itu. Hamba dihukumi berbuat hanya karena dia menjadi tempat pemunculan perbuatan itu, tiada lain. Barangsiapa telah menyaksikan kesaksian ini, berarti dia telah memurnikan amalnya kepada Allah, tidak menyekutukan Dia dengan dirinya dalam perbuatan itu.

Ketahuilah bahwa orang yang menduduki maqam ihsan, pada diri mereka tidak akan terbersit kemaksiatan selagi mereka berada dalam keihsanan. Karena itu para nabi senantiasa ma’shum (terjaga dari perbuatan maksiat). Hal serupa terjadi pula pada diri para wali, karena kediaman mereka dalam ihsan. Bedanya, para nabi senantiasa ihsan di semua keadaannya, sedang para wali tidak di semua keadaannya, tetapi hanya di sebagian besar keadaannya.

30. Din (Agama)

Ad-din, asy-syar’, asy-syari’ah dan al-millah memiliki makna yang sama. Yakni, hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah Ta’ala melalui lisan Rasulullah Muhammad saw.

Apabila Anda bertanya, “Apakah orang yang menghina agama dihukumi kafir dan ikatan pernikahan dengan istrinya menjadi rusak (cerai)?” Kami jawab, “Ya. Demikianlah hukumnya. Seperti halnya orang yang mengingkari perkara-perkara agama yang niscaya diketahui.”

Jika Anda bertanya, “Bagaimana hukumnya jika dia bertobat dan kembali kepada Islam, apakah istrinya kembali berada dalam perlindungannya atau tidak?” Aku jawab, “Apabila dia bermazhab Syafi’i dan dia merujuk sang istri sebelum habis masa ‘iddah-nya, maka sang istri kembali menjadi istrinya. Apabila dia bermazhab Maliki atau Hanafi, dia hanya bisa mengembalikan istrinya dengan akad dan mahar baru, tidak bisa dengan sekadar rujuk. Tidak ada perbedaan antara yang murtad itu suami atau istri. Keduanya berada di dalam hukum yang sama.”

31. Qadha dan Qadar

Qadha’ adalah hubungan azali kehendak Allah dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan sesuai ilmu-Nya, dan ini merupakan sifat Dzat. Sedangkan qadar adalah pewujudan sesuatu dengan ukuran tertentu dan arah tertentu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala, dan ini merupakan sifat af’alQadha’ bersifat qadim, sedangkan qadar bersifat hadits.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli kebenaran tentang kenyataan qadha’ dan qadar sebagai bagian dari akidah yang wajib diimani. Karena itu, kita wajib meyakini bahwa ilmu dan kehendak Allah berhubungan di zaman azali dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan. Kita juga harus yakin bahwa kuasa Allah berhubungan dengan segala sesuatu dalam kesinambungan sesuai hubungan ilmu dan iradah-Nya dengan segala sesuatu itu di zaman azali. Dengan demikian, tidak ada hal baru (apa pun yang selain Dia), entah yang baik maupun yang buruk, melainkan keluar dari kehendak dan kuasa-Nya yang selaras dengan ilmu-Nya.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga dia beriman kepada qadar, terhadap yang baiknya maupun terhadap yang buruknya, dan hingga dia tahu bahwa apa yang telah menimpa dirinya itu menimpa dirinya bukan karena salah sasaran, dan apa yang tidak menimpa dirinya itu memang tidak untuk ditimpakan kepada dirinya.” 

Sayyidina ‘Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga ia beriman pada empat hal. Yakni, menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; menyaksikan bahwa aku sungguh rasul Allah yang telah Dia utus membawa kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian; dan beriman kepada qadar, yang baiknya maupun yang buruknya, yang manisnya maupun yang pahitnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam Ahmad di dalam Musnad-nya. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim.

Ada kalanya seorang hamba yang kerdil berdalih bahwa jika kenyataannya demikian, si hamba bisa beralasan, “Mengapa Engkau menyiksa aku, sementara semua perbuatan adalah perbuatan-Mu?” Alasan ini ditolak. Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu apa adanya di azali secara rinci. Sebelum makhluk mewujud, Dia tahu keburukan dan kebaikan yang akan diupayakan oleh hamba setelah mengada, dan Dia menuliskannya sesuai ilmu-Nya.

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abu al-Aswad ad-Duali berkata, “lmran ibn Hushain berkata kepadaku, ‘Perhatikanlah apa yang diperbuat manusia pada hari ini, yang mereka usahakan dengan sungguh-sungguh. Apakah itu sesuatu yang telah diputuskan untuk mereka dan telah berlaku pada mereka dari qadar yang sudah lewat atau yang akan datang, apakah merupakan hal yang telah dikabarkan Nabi saw. dan hujjahnya tegas atas mereka?’ Aku menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang sudah diputuskan dan telah berlaku pada mereka.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Dia (Allah) tidak zalim?’ Aku kaget alang kepalang mendapati pertanyaan itu, lalu aku berkata, ‘Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan merupakan milik-Nya. Dia tidak dituntut tanggung jawab atas apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban.’ Lalu dia berkata kepadaku, ‘Mudah-mudahan Allah memuliakanmu. Sesungguhnya apa yang aku tanyakan ini hanya untuk menguji akal dan pemahamanmu.” 

Abu Dawud dan Ibnu Majah menutur satu riwayat dari Ibnu ad-Dailami di dalam Sunan-nya. Ibnu ad-Dailami berkata, “Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku tentang qadar. Aku khawatir masalah ini akan merusak agamaku. Maka aku pun mendatangi Ubay ibn Ka’ab. Aku bertanya, ‘Wahai Abu al-Mundzir, ada yang mengganjal dalam hatiku, yakni masalah qadar. Aku khawatir masalah ini merusak agamaku. Ceritakanlah padaku sesuatu tentang qadar, mudah-mudahan Allah memberiku manfaatnya.’ Maka Ubay ibn Ka’ab pun berkata, ‘Seandainya Allah hendak menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Allah tentu akan menyiksa mereka, dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka. Seandainya Allah menyayangi mereka, sungguh bagi mereka rahmat-Nya itu lebih baik daripada amal mereka[*]. Kalaupun engkau mempunyai emas segunung Uhud dan engkau nafkahkan semuanya dijalan Allah, itu tidak akan diterima sebelum engkau beriman kepada qadar dan engkau harus mengerti bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan yang luput darimu tidak akan menimpa dirimu. Sesungguhnya jika engkau mati tetapi tidak meyakini hal ini, engkau akan masuk neraka. Jika belum yakin, datanglah kepada saudara ‘Abdullah ibn Mas’ud dan tanyakanlah kepadanya.’ Aku mendatangi ‘Abdullah ibn Mas’ud dan menanyakan hal yang sama seperti yang aku tanyakan kepada Ubay. Dan ternyata ‘Abdullah ibn Mas’ud pun memberikan penjelasan seperti yang diuraikan oleh Ubay. Lalu dia berkata ‘Jika keyakinanmu belum mantap, datanglah kepada Khudzaifah.’ Aku mendatangi Khudzaifah dan bertanya tentang hal yang sama. Jawaban Khuzhaifah ternyata sama dengan Ubay dan ‘Abdullah. Lalu dia berkata, ‘Jika engkau belum mantap, datanglah kepada Zaid ibn Tsabit dan tanyakan kepadanya.’ Maka aku pun mendatangi Zaid ibn Tsabit dan bertanya kepadanya. Zaid ibn Tsabit menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Seandainya Allah hendak menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Allah tentu akan menyiksa mereka, dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka. Seandainya Allah menyayangi mereka, sungguh rahmat-Nya itu lebih baik daripada amal mereka[*]. Kalaupun engkau mempunyai emas segunung Uhud dan engkau nafkahkan semuanya di jalan Allah, itu tidak akan diterima sebelum engkau beriman kepada qadar dan engkau mengerti bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan yang luput darimu tidak akan menimpa dirimu. Sesungguhnya jika engkau mati tetapi tidak meyakini hal ini, engkau akan masuk neraka.”‘

[*] Yakni, selamat dari siksa itu sungguh murni sebagai rahmat dari Allah, bukan karena amal mereka. Karena itu, bagi mereka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka.

Al-Imam asy-Syafi’i r.a. Berkata,

Apa yang Engkau kehendaki, pasti terjadi, walau aku tidak menghendakinya

Sedangkan apa yang aku kehendaki

tidak akan terjadi bila Engkau tidak menghendakinya

Engkau telah menciptakan hamba selaras dengan ilmu-Mu

Dan di dalam ilmu-Mu, si muda dan orang tua itu berjalan

Yang ini Engkau beri petunjuk, yang itu Engkau nistakan

Yang ini Engkau tolong, yang itu tak Engkau bantu

yang ini sengsara, yang itu bahagia

yang ini buruk, yang itu baik

yang ini kuat, yang itu lemah

semua dikendalikan oleh af’al-Nya

Rasulullah saw. bersabda, “Semua jiwa telah Allah tetapkan tempatnya di surga atau di neraka.”

An-Nawawi berkata dalam komentarnya tentang hadis tersebut, “Al-Imam Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani berkata, ‘Untuk memahami masalah ini harus bersumber pada Alqur’an dan hadis, tidak cukup dengan qiyas dan nalar akal. Barangsiapa mengesampingkan Alqur’an dan hadis, dia akan tersesat dan jatuh ke dalam samudera kebingungan, tidak sampai pada kepuasan jiwa dan tidak akan memperoleh ketenangan hati. Sebab qadar adalah salah satu rahasia Allah Ta’ala yang dibungkus berlapis tabir. Allah memonopolinya sendiri dan menabirinya dari akal dan pengetahuan makhluk, untuk hikmah yang diketahui-Nya. Kewajiban kita adalah tawaqquf, menerima batasan dari Alqur’an dan hadis untuk pemahaman kita, tidak perlu melangkahinya. Pengetahuan tentang qadar Allah telah Dia sembunyikan dari semua makhluk, bahkan nabi utusan pun tidak Dia beritahu, demikian pula para malaikat yang didekatkan.”

Pahamilah paparan yang telah kami suguhkan ini, dan yakinilah akidah yang telah kami jelaskan ini. Jangan sampai engkau tertipu ucapan manis orang yang sesat dan menyesatkan. Jika tidak, niscaya engkau akan binasa bersama mereka yang rusak binasa. “Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. [QS. al-Baqarah 2:213]. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. [QS. az-Zumar 39:37]. Dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.” [QS. al-Mu’min 40:33]

Ketahuilah bahwa orang yang bahagia (as-sa’id) adalah orang yang dalam ilmu Allah yang azali telah ditentukan dia mati dalam keadaan Islam, walaupun sebelumnya dia sempat kafir. Sedangkan orang yang celaka (asy-syaqi) adalah orang yang dalam ilmu Allah yang azali telah ditentukan dia mati dalam keadaan kafir, walaupun sebelumnya dia sempat Islam. Bahagia adalah mati dalam keadaan Islam. Celaka adalah mati dalam keadaan kafir. Keduanya telah ditakdirkan Allah sejak azali. Bukan berarti bahwa yang bahagia itu mengalami perubahan takdir Allah dari kafir menjadi Islam, tidak pula yang sengsara itu mengalami perubahan takdir dari Islam menjadi kafir. Tetapi dalam ilmu Allah, yang tampak sebagai keberubahan itu adalah perjalanan yang sudah ditentukan dan tidak berubah dalam ilmu Allah yang azali, sebagaimana yang Anda maklumi. Dengan demikian, orang yang sudah diputuskan sebagai orang yang bahagia tidak akan menjadi orang yang celaka, dan orang yang telah diputuskan sebagai orang yang celaka tidak akan menjadi yang selamat. Keselamatan tidak berganti posisi dengan celaka atau sebaliknya, seperti yang telah ditetapkan. Bila tidak demikian, berarti Allah tidak bersifat ilmu, melainkan jahl (tidak tahu), dan ini sungguh mustahil.

Kondisi di akhir hayat (al-khatimah) menjadi petunjuk akan ketentuan Allah yang terdahulu (as-sabiqah). Apabila usia hamba ditutup dengan keislaman, itu menunjukkan bahwa dalam ketentuan azalinya dia tercatat sebagai orang yang bahagia, walaupun di dunia didahului kekufuran. Apabila usia hamba ditutup dengan kekafiran—na’udu billah min dzalik—itu menunjukkan bahwa di azalinya dia tercatat sebagai orang yang celaka, meskipun di dunianya sempat mengalami keislaman. Karena itu, ada ulama yang berkata,

Apabila seseorang dicipta tidak untuk bahagia

Prasangka pengasuhnya akan tertinggal, dan si pengharap pun jadi frustasi

Musa yang diasuh Jibril ternyata kafir

Sedang Musa yang diasuh Fir’aun ternyata rasul Allah

Allah Ta’ala akan memudahkan masing-masing orang untuk melakukan hal yang sesuai dengan penciptaan dirinya. Dengan anugerah-Nya Allah memudahkan orang yang bahagia untuk beriman dan melakukan ketaatan. Dan dengan keadilan-Nya Allah memudahkan orang yang celaka untuk melakukan kekafiran dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” [QS. al-Lail 92:5-10]

Al-lmam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Suraqah ibn Malik berkata, “Ya Rasulullah, terangkan kepada kami tentang agama kami, seperti kenyataan bahwa kami telah diciptakan saat ini. Di mana posisi amal? Apakah pada kenyataan yang telah dicatat dan telah digariskan takdir, atau akan ditentukan kemudian?” Rasulullah bersabda, “Telah dicatat dan telah digariskan takdir. ” Suraqah berkata, “Lalu, untuk alasan apa amal dilakukan (jika takdir kita telah ditentukan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Beramallah. Sebab semua orang dimudahkan untuk berbuat hal yang untuknya dia diciptakan. Dan setiap orang akan melakukan apa yang harus diperbuatnya.”

Adapun tentang firman Allah Ta’ala, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan,” [QS. ar-Rahman 55:29] maksudnya adalah kesibukan yang tidak bermula.

Penulis kitab al-Kasysyaf berkata, “Suatu hari ‘Abdullah ibn Thahir berkata kepada al-Husain ibn al-Fadhl, ‘Aku menemukan kesulitan dalam memahami firman Allah Ta’ala, Setiap waktu Dia dalam kesibukan, sehubungan dengan adanya hadis shahih yang menyatakan bahwa pena telah kering dengan segala yang sudah ada sampai Hari Kiamat.’ Kemudian al-Husain berkata, ‘Kesibukan yang dimaksud adalah kesibukan menampakkan realitas (yang sudah tercatat) sesuai dengan ketentuan azali yang telah dicatat-Nya, bukan kesibukan mengerjakan sesuatu saat ini, karena takdir Allah telah terdahulu (sabiq).’ Setelah mendengar jawaban itu, ‘Abdullah pun berdiri, lalu mengecup kepala al-Husain.”

Salah seorang ulama berkata, “Suatu hari Ibnu al-Syajari duduk di kursi tempatnya biasa memberikan wejangan kepada murid-muridnya. Saat dia berbicara dan sampai pada ayat: setiap waktu Dia dalam kesibukan, tiba-tiba seorang laki-laki di hadapannya berdiri seraya bertanya, ‘Apa yang dikerjakan Tuhanmu saat ini?’ Beliau diam lalu menangis sedih. Malam harinya dia mimpi bertemu al-Mushthafa saw. Lalu dia bertanya kepada beliau tentang pertanyaan yang didapatnya siang tadi, dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Lelaki yang bertanya kepadamu itu adalah Khidhir, dan dia akan kembali lagi kepadamu. Maka jawablah dia: Kesibukan mewujudkannya, bukan memulainya. Dia merendahkan kaum tertentu dan mengangkat kaum lainnya.’ Keesokan harinya ternyata Khidhir datang lagi dan bertanya seperti kemarin. Maka Ibn asy-Syajari pun menjawabnya sebagaimana disarankan Rasulullah saw. Setelah mendengar jawaban itu Khidhir pun berkata kepadanya, ‘Bershalawatlah pada beliau yang telah mengajarimu.”

Inilah akhir uraian kami pada bagian yang pertama. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.