01. Habibullah, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salaam
Syekh-Syekh dari Tarekat Naqsybandi dikenal sebagai Silsilah Keemasan karena koneksi mereka terhadap manusia paling sempurna, Nabi Muhammad (s), manusia paling agung, yang pertama diciptakan, yang pertama disebutkan, yang pertama dimuliakan.
Ketika Allah memerintahkan Qalam untuk menulis, ia bertanya, “Apa yang harus kutulis?” dan Allah berfirman, “Tulislah ‘La Ilaha Ill-Allah.’” Kemudian Qalam menulis, “La Ilaha Ill-Allah” selama tujuh puluh ribu tahunnya Allah dan kemudian berhenti. Satu tahun dalam perhitungan Allah setara dengan seribu tahun menurut perhitungan kita. Kemudian Allah memerintahkan Qalam untuk menulis kembali dan Qalam bertanya, “Apa yang harus kutulis?” dan Allah menjawab, “Tulislah ‘Muhammadun Rasul-Allah.’” Kemudian Qalam bertanya, “Ya Allah, siapakah Muhammad ini yang Kau sandingkan Nama-Mu dengan namanya?” Allah berfirman, “Kau harus tahu bahwa jika bukan untuk Muhammad, aku tidak akan menciptakan apa-apa di antara Makhluk.” Demikianlah, lalu Qalam menulis ‘Muhammadun Rasul-Allah’ selama tujuh puluh ribu tahun lagi.
Kapankah Allah memerintahkan Qalam untuk menulis? Kapan Qalam menulis? Kapankah penulisan “La ilaha ill-Allah Muhammadun Rasul-Allah” terjadi? Tidak ada yang tahu. Penyebutan nama Nabi (s) oleh Allah (swt) adalah sesuatu yang terjadi sebelum penciptaan segala sesuatu dan hakikatnya terjadi pada zaman pra azali. Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda, “kuntu Nabiyyan wa adamu bayni-l-ma’i wa-t-tin” – “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih berada di antara air dan tanah.”
Beliau adalah Insan Kamil. Beliau adalah Penutup seluruh Nabi dan Rasul. Apa yang dapat dikatakan oleh seorang hamba yang lemah untuk menghormati Junjungan seluruh Rasul? Jika bukan untuk beliau, tidak ada seorang pun yang akan mengenal Allah (swt). Tidak ada kain di alam semesta ini yang akan ditenun menjadi nyata sebagaimana ia telah ditenun. Oleh sebab itu Qalam tidak dapat mendeskripsikan manusia yang paling sempurna, Junjungan dari seluruh junjungan, Raja dari semua raja, Sultan dari semua sultan di Hadratillah.
Beliau adalah Kalbu Hadratillah. Beliau adalah Kalbu Inti yang Khas. Beliau adalah Tanda untuk Keesaan dan Tanda bagi Keesaan. Beliau dikenal sebagai Rahasia bagi semua Rahasia. Beliaulah satu-satunya yang akan dituju (diajak berbicara) oleh Allah (swt), karena beliaulah satu-satunya yang dianggap Bertanggung Jawab di Hadratillah, sebagaimana Allah berifirman, “Jika bukan untuknya, Aku tidak akan menciptakan satu pun makhluk.” Seluruh makhluk diberikan kepada Nabi (s) sebagai isyarat penghormatan yang diberikan oleh Allah (swt). Oleh sebab itu Nabi (s) bertanggung jawab atas ciptaan itu, yang merupakan kehormatan dan amanat baginya. Untuk itulah beliau menjadi satu-satunya yang akan ditanya di Hadratillah.
Status tunggal dari Nabi (s) adalah kalbu dan Dzat dari kalimat tauhid [La ilaha ill-Allah Muhammadun Rasul-Allah] dan fondasi Sufisme. Nabi (s) adalah “satu jiwa” sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat Qur’an, “[Wahai manusia] tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur itu) melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” [31:28]. Nabi (s) pulalah yang dikatakan sebagai “satu kehidupan” yang direpresentasikan di dalam ayat, ”Barang siapa membunuh seorang manusia… seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia: dan jika seseorang memelihara kehidupan satu manusia, seolah-olah ia telah menyelamatkan seluruh manusia.” [5:32]
Lebih jauh, tanggung jawab Nabi (s) disebutkan di dalam hadits, amalakum tu
radu `alayya kulla yawm, “Seluruh perbuatan kalian ditunjukkan kepadaku setiap hari. Jika amal itu baik, aku akan berdoa untukmu, jika buruk, aku memintakan ampunan kepada Allah untukmu.” Itu berarti Nabi (s) adalah orang yang mempertanggungjawabkan umatnya terhadap Allah (swt). Itulah sebabnya, sebagaimana yang kami katakan, beliau adalah “satu-satunya yang akan diajak berbicara oleh-Nya.” Itulah makna dari syafaat. Allah merujuk syafaat ini di dalam ayat, “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati bahwa Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” [4:64].
Biografinya yang mulia dan ucapan-ucapannya dan perbuatannya yang penuh berkah tidak akan pernah cukup dituliskan di dalam sebuah buku. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa beliau adalah Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim dan bahwa silsilahnya kembali kepada Nabi Ibrahim (s). Beliau dilahirkan di kota Mekah al-Mukarramah pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal, 570 M. pada tahun Gajah. Ibunya, Sayyida Amina, ketika melahirkannya melihat seberkas cahaya dari dalam dirinya yang menerangi seluruh kegelapan hingga Persia. Ketika beliau dilahirkan, yang pertama beliau lakukan setelah keluar dari rahim ibunya adalah melakukan sujud. Ayahnya telah wafat sebelum beliau dilahirkan. Beliau disusui oleh Tsuayba dan kemudian oleh Halima as-Sadiyya, beliau tinggal bersamanya hingga berusia empat tahun.
Ketika kembali dari mengunjungi pamannya di Madinat al-Munawwarah (pada saat itu disebut Yatsrib), ibunya jatuh sakit dan kemudian wafat. Beliau masih berusia enam tahun. Beliau kemudian dibesarkan oleh kakeknya selama dua tahun, sampai beliau juga wafat. Menjadi yatim tiga kali, akhirnya beliau tinggal bersama pamannya, Abu Thalib. Allah (swt) memerintahkan Malaikat Israfil menemaninya sepanjang waktu hingga berumur sebelas tahun. Kemudian Allah memerintahkan malaikat Jibril (a) untuk menemaninya dan menjaganya di dalam pengawasannya, serta mengirimkan Kekuatan Surgawi dan Kekuatan Spiritual ke dalam kalbunya.
Beliau melakukan perjalanan bersama pamannya ke Syam (Damaskus). Di tengah perjalanannya, mereka melewati Basra dan bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhaira, yang tinggal di sebuah biara di sekitar sana. Pendeta itu berkata kepada sang paman, “Bawalah ia kembali, itu lebih aman baginya.” Pada saat itu beliau berumur dua belas tahun. Bertahun-tahun kemudian beliau kembali bepergian ke Syam bersama Maysara, untuk berdagang atas nama Siti Khadija (r). Mereka sangat sukses. Maysara bercerita kepada Khadija (r) mengenai keistimewaannya dan ketajaman dagangnya, sehingga Khadija (r) menjadi tertarik kepadanya dan mengajaknya untuk menikah. Beliau (s) menerimanya dan akhirnya mereka menikah ketika Nabi (s) berumur 25 tahun sementara Khadija (r) empat puluh tahun.
Di lingkungan sukunya, beliau dikenal sebagai ash-Shadiq al-Amin, Orang yang Jujur dan Dapat Dipercaya. Ketika beliau (s) berusia 35 tahun, suku Quraisy ingin merenovasi Baitullah, Ka’bah. Mereka berselisih satu sama lain mengenai siapa yang akan meletakkan hajaru-l-aswad di tempatnya. Akhirnya mereka setuju bahwa orang yang paling terpercayalah yang akan melakukannya, dan orang itu adalah Nabi (s).
Pada saat itu sebuah ilham dan wahyu datang ke dalam kalbunya. Beliau selalu berada dalam keadaan penglihatan dan pencerahan spiritual, tetapi beliau tidak diberi otorisasi untuk membicarakannya. Beliau lebih senang menyendiri dan menggunakan sebuah gua di sebuah gunung yang disebut al-Hira untuk bertafakur dan merenung. Beliau melakukan pengasingan sebagai jalan untuk meraih Hadirat Allah `Azza wa Jalla.
Beliau menghindari segala jenis keterikatan, bahkan dengan keluarganya. Beliau selalu dalam keadaan meditasi dan tafakur, melayang di Samudra Zikir Kalbu. Beliau memutuskan dirinya sepenuhnya terhadap segala sesuatu, hingga tampak padanya cahaya Allah Azza wa Jalla, yang menghiasi dirinya dengan kondisi kedekatan dan kebahagiaan yang lengkap. Kedekatan itu membuat cermin wahyu semakin murni dan cerah, sampai beliau mencapai maqam kesempurnaan tertinggi, di mana beliau dapat mengamati munculnya makhluk yang baru. Tanda-tanda primordial keindahan bersinar, tersebar mengiasi seluruh alam. Pepohonan, batu-batuan, tanah, bintang-gemintang, matahari, bulan, awan, angin, hujan, dan binatang-binatang akan menyapanya dengan bahasa Arab yang fasih dan mengucapkan, “as-Salamalayka Ya Rasul-Allah” — “Salam sejahtera bagimu, wahai Utusan Allah.”
Pada usia empat puluh tahun, ketika beliau berdiri di Gunung Hira, di cakrawala tampak sebuah sosok yang tidak dikenalinya berbicara kepadanya, “Wahai Muhammad, aku adalah Jibril dan engkau adalah Nabi Allah yang diutus kepada umat ini.” Kemudian ia membawakan sehelai kain sutra yang dihiasi dengan permata. Ia letakkan kain itu ditangannya dan berkata kepadanya, “Bacalah!” Beliau bertanya, “Apa yang harus kubaca?” Ia memeluk Nabi (s) dan berkata, “Bacalah!” Kemudian beliau berkata lagi, “Apa yang harus kubaca?” Malaikat Jibril kemudian memeluknya lagi dan berkata,
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu, yang Menciptakan,
Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah
Yang mengajar (manusia) dengan Kalam,
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya! [96:1-5]
Kemudian ia memerintahkannya untuk turun gunung menuju dataran di bawahnya; ia lalu menempatkannya pada sebuah batu putih yang besar dan memberinya dua jubah hijau. Kemudian Jibril menghantam tanah dengan kakinya. Dengan segera air memancar dari tempat itu dan Jibril melakukan wudu dan memerintahkannya untuk melakukan hal yang sama. Kemudian Jibril (a) mengambil segenggam air dan memercikannya ke wajah Nabi (s). Para awliya mengatakan bahwa air yang dipercikkan itu merupakan tanda bahwa Nabi (s) telah diberi otoritas untuk menyebarkan Ilmu mengenai Rahasia Hadratillah kepada manusia, baik dengan jalan fisik maupun spiritual. Kemudian Jibril (a) melakukan salat dua rakaat dan mengatakan kepada Nabi (s), “Beginilah caranya beribadah,” kemudian ia menghilang.
Nabi (s) kemudian kembali ke Mekah dan berkata kepada istrinya apa yang telah terjadi. Ia mempercayainya dan menjadi Muslim pertama. Kemudian ia pergi bersama Nabi (s) ke rumah sepupunya, Waraqah bin Nawfal, yang dipandang sebagai orang yang berilmu dalam hal spiritualitas. Nabi (s) menceritakan apa yang telah terjadi. Ia pun mempercayainya dan ia menjadi pria pertama yang percaya kepada Nabi (s). Ia berkata, “Ini adalah Roh Kudus yang datang kepada Musa (a).” Ia berkata, “Apakah aku masih hidup ketika umatmu mengusirmu dari Mekah?” Nabi (s) bertanya, “Apakah umatku akan mengusirku dari Mekah?” Ia berkata, “Ya, itulah yang tertulis.”
Kemudian Abu Bakar (r) menyusul menjadi seorang mukmin dan diikuti oleh Ali (r). Di hadapan umum Nabi (s) memberi nasihat yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, dan di lingkungan privat beliau memberi nasihat untuk mencapai Maqamul Ihsan. Itulah sebabnya mengapa Abu Huraira (r) berkata di dalam sebuah hadits sahih yang disebutkan di dalam Bukhari bahwa, “Nabi (s) telah mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku sebarkan kepada orang-orang, tetapi yang lain jika aku ungkapkan, mereka akan memenggal leherku.”
Ilmu yang dimaksud oleh Abu Huraira (r) itu adalah ilmu rahasia, ilmu yang tersembunyi yang diberikan oleh Nabi (s) kepada para Sahabat. Beliau (s) tidak mengizinkannya untuk menyebarkan ilmu itu, karena itu adalah ilmu rahasia kalbu. Dari rahasia-rahasia semua mursyid dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi dan semua tarekat lainnya menerima ilmu mereka. Ilmu ini ditransmisikan hanya dari kalbu ke kalbu, baik melalui Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r) maupun Sayyidina `Ali (r).
Selama tiga tahun, seiring dengan bertambahnya jumlah Muslim, mereka menggunakan Dar al-Arqam sebagai masjid untuk menyampaikan pengajaran, untuk beribadah dan sebagai tempat bersembunyi. Kemudian Nabi (s) diperintahkan untuk memproklamirkan agamanya secara terbuka. Allah menurunkan sebuah surat dari al-Qur’an yang menantang semua orang untuk menulis sesuatu yang menyerupainya. Para penyair, pemimpin dan orang-orang terkenal berusaha melakukannya sampai mereka sendiri secara terbuka menerima kenyataan bahwa jelas itu adalah mustahil. Namun demikian tetap saja orang-orang kafir mendatangi paman Nabi (s), untuk mengeluh dan berkata, “Serahkan Muhammad (s) kepada kami, agar kami dapat membunuhnya.” Beliau berkata, “Tidak ada orang yang boleh menyentuhnya selama aku masih hidup.” Orang-orang kafir itu menyiksa semua orang yang percaya kepada Nabi (s). Mereka menculik istri-istrinya, membunuh anak-anak mereka dan memperkosa putri-putri mereka. Muslim-muslim baru itu menderita berbagai kesulitan di tangan orang-orang kafir.
Selama tiga belas tahun Nabi (s) tinggal di Mekah, berdakwah menyeru orang-orang kepada agama Allah.
Orang-orang kafir meminta mukjizat atau sebuah tanda di langit. Nabi Suci (s) membelah bulan purnama menjadi dua di depan mata mereka. Sebagian dari mereka percaya tetapi sebagian lagi tidak. Setelah ini penyiksaan masih terus berlangsung dan sebagian Muslim meminta izin untuk hijrah. Mereka hijrah ke Ethiopea, di mana raja di sana memberi mereka suaka dan melalui pengaruh mereka, raja menjadi percaya kepada Nabi (s). Mereka tinggal di sana selama lima tahun sebelum sebagian dari mereka kembali ke Mekah. Paman Nabi (s) dan kemudian istri beliau, Khadija al-Kubra (r) wafat. Keduanya merupakan pendukung yang setia. Itu adalah tahun yang penuh dengan kesedihan.
Satu setengah tahun kemudian, beliau (s) diundang ke Hadratillah, `Azza wa Jalla. Dari Mekah ke Jerusalem (Quds), beliau ditemani oleh Malaikat Jibril (a). Dari Jerusalem beliau naik ke langit dengan mengendarai Buraq. Semua Nabi dalam tingkatan langit yang berbeda-beda menyambut kedatangannya. Beliau naik dan naik lebih tinggi lagi, sampai beliau mendengar guratan Kalam, yang menulis Qadha Allah. Beliau (s) mendekati Hadratillah, lebih dekat dan dekat lagi sampai Jibril (a) berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa melanjutkan perjalananku, bila terus aku akan musnah.” Nabi (s) berkata, “Wahai Jibril, temani aku!” Ia berkata, “Aku tidak bisa menemanimu, aku akan terbakar di dalam Nurullah, Cahaya Allah.” Jadi, Nabi Muhammad (s), yang paling sempurna dari yang sempurna, melanjutkan perjalannya sendiri. Didorong oleh cintanya kepada Hadratillah, beliau (s) mendekat dan mendekat, mencapai Maqamul Fana yang lengkap dalam lima tahap yang berbeda.
Dari satu tahap ke tahap berikutnya, Nabi (s) bergerak ke dalam Sirrullah, Rahasia Ilahiah Allah. Antara satu tahap dengan tahap berikutnya berjarak lima ratus ribu tahun. Beliau menembus Samudra Ilmu Ilahiah yang luas ini, yang telah diciptakan Allah, sampai beliau benar-benar larut di dalam Eksistensi Allah, tidak melihat yang lain kecuali Allah. Kemudian Allah memanggilnya agar kembali ke alam nyata setelah beliau mencapai Maqamul Fana. Beliau (s) kembali dan Allah berfirman kepadanya, “Wahai Muhammad, Mendekatlah.” Dari sini dapat dipahami bahwa ketika Nabi (s) mencapai Maqamul Fana sepenuhnya, beliau (s) dipanggil namanya oleh Allah, dan itu menunjukkan bahwa beliau (s) muncul lagi dengan Penampilan Ilahiah. Beliau sampai begitu dekat dengan Cahaya Ilahi, di mana beliau sampai pada maqam “Qaaba Qawsayni aw Adnaa” “Sejarak Dua Busur atau lebih dekat lagi.” [53:9]. Allah bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wahai Muhammad?” Pada saat itu Nabi (s) tidak menyadari dirinya dan beliau (s) menjawab, “Engkau, wahai Tuhanku.” Ini adalah kesempurnaan dari maqam tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu. Itu merupakan tanda kesempurnaan Tauhid, ketika tidak ada yang ada kecuali Kemulian-Nya, Dzat-Nya, Dia Sendiri.
Dari ilmu rahasia para Awliya, Syekh Nazim al-Haqqani menceritakan tentang beberapa kejadian yang terjadi dalam perjalanan Nabi (s) yang menakjubkan. Ini adalah ilmu dari Nabi (s) yang dirujuk oleh Abu Hurayrah (r) di dalam hadits yang diriwayatkannya, ilmu yang diturunkan dari kalbu Abu Bakr as-Siddiq (r). Nabi (s) bersabda, “Apapun yang Allah tuangkan ke dalam kalbuku, aku tuangkan ke dalam kalbu ash-Shiddiq.” Ilmu ini kemudian diteruskan kepada para Syekh Sufi Naqsybandi dan menjadi warisian spiritual mereka.
Syekh Nazim al-Haqqani berkata, “Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) pada malam Isra Mi’raj, ‘Wahai Muhammad, Aku telah menciptakan seluruh makhluk demi engkau, dan Aku serahkan semuanya untukmu. Pada saat itu Allah mengaruniai Nabi (s) kekuatan untuk melihat semua ciptaan-Nya, dengan seluruh cahaya mereka dan semua nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka dengan menghiasi mereka dengan Atribut-Nya dan dengan Cinta dan Keindahan Ilahiah-Nya.
“Muhammad (s) terpikat dan terpesona karena Allah telah memberinya pemberian berupa seluruh makhluk itu. Allah berkata kepadanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau senang dengan ciptaan ini?’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, wahai Tuhanku.’ Dia berkata, ‘Aku serahkan mereka kepadamu sebagai amanat untuk dijaga, dan untuk dikembalikan kepada-Ku sebagaimana ketika Aku menyerahkan mereka kepadamu.’ Muhammad (s) melihat mereka dengan suka cita karena mereka diterangi dengan cahaya-cahaya yang indah, dan beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku terima.’ Allah bertanya, ‘Apakah kau menerima?’ Beliau (s) menjawab, ‘Aku menerima, aku menerima.’ Setelah beliau menjawab ketiga kalinya, Allah memberinya sebuah ru’ya, pemandangan spiritual di mana mereka akan jatuh ke dalam berbagai dosa, kesedihan, kegelapan dan kelalaian.
“Ketika Muhammad (s) melihat hal ini, beliau (s) menjadi khawatir, memikirkan bagaimana beliau akan mengembalikan mereka kepada Tuhannya dalam keadaan suci seperti keadaan awalnya. Beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, apakah ini?’ Allah menjawab, ‘Wahai Kekasih-Ku, ini adalah tanggung jawabmu. Kau harus mengembalikan mereka kepada-Ku dalam keadaan suci seperti ketika Aku menyerahkannya kepadamu.’ Kemudian Muhammad (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikan aku penolong untuk membantuku membersihkan mereka, untuk mensucikan ruh mereka, dan membawa mereka dari kegelapan dan kealpaan menuju maqam ilmu, kesalehan, kedamaian dan cinta.’
“Kemudian Allah `Azza wa Jalla memberinya penglihatan spiritual di mana Allah memberitahu Nabi (s) bahwa Dia telah memilih di antara umatnya 7.007 Wali Naqsybandi. Dia berkata kepadanya, ‘Wahai Kekasih-Ku, wahai Muhammad, para wali ini berasal dari Wali-Wali yang paling mulia yang Aku ciptakan untuk membantumu menjaga ciptaan ini agar tetap suci. Di antara mereka terdapat 313 Wali yang tingkatannya tertinggi, dengan Maqam yang paling sempurna di Hadratillah. Mereka adalah para pewaris rahasia dari 313 Rasul. Kemudian Aku memberimu empat puluh, yang membawa kekuatan paling tinggi, dan mereka dianggap sebagai Pilar bagi semua wali. Mereka akan menjadi Penghulu di masanyadan mereka akan menjadi Pewaris Rahasia Hakikat.’
“‘Di tangan para wali ini, setiap orang akan disembuhkan dari luka-lukanya baik lahir maupun batin. Para wali ini akan mampu membawa seluruh umat dan seluruh makhluk tanpa tanda-tanda kelelahan. Setiap orang di antara mereka akan menjadi Ghawts di masanya, dan di bawahnya akan ada lima Qutub.’
“Nabi (s) gembira dan beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikan aku lebih banyak! Kemudian Allah menunjukkan kepadanya 124.000 wali dan Dia berkata, ‘Wali-wali ini merupakan pewaris dari 124.000 Nabi. Masing-masing merupakan pewaris dari satu Nabi. Mereka juga akan berada di sana untuk membantumu membersihkan umat ini.’
“Ketika Nabi (s) melakukan mi’raj ke Hadratillah, Allah membuatnya dapat mendengar suara manusia. Suara itu adalah suara Sahabat terdekatnya, Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Allah (swt) meminta Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) untuk memanggil semua Wali Naqsybandi: yang 40, 313, dan 7.007, serta seluruh pengikut mereka, dalam wujud spiritual, untuk datang ke Hadratillah. Semuanya menerima Cahaya dan Berkah yang istimewa itu.
“Kemudian Allah memerintahkan Nabi (s), yang kemudian memerintahkan kepada Abu Bakr (r) untuk memanggil 124.000 wali dari 40 tarekat lainnya dan para pengikut mereka untuk diberi Cahaya dalam Hadratillah itu. Semua Syekh mulai muncul dalam pertemuan itu dengan seluruh pengikutnya. Allah lalu meminta Nabi (s) untuk memandang mereka dengan kekuatan dan cahaya kenabiannya, untuk mengangkat mereka semua ke Maqam Ash-Shiddiqin. Kemudian Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) dan kemudian Nabi (s) menyampaikannya kepada para wali, ‘Kalian semua dan pengikut kalian akan menjadi bintang yang bersinar di antara seluruh manusia, untuk menyebarkan cahaya yang telah Kuberikan kepada kalian pada zaman pra Azali kepada seluruh manusia di bumi.’”
Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, “Itu hanyalah satu rahasia yang telah diungkapkan mengenai Laylatul Isra wal Mi’raj kepada kalbu para awliya melalui transmisi Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi.” Banyak lagi ru’ya (penglihatan) yang diberikan kepada Nabi (s), tetapi belum ada izin untuk mengungkapkannya.
Pada malam itu, Nabi (s) diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan salat 50 kali sehari. Atas nasihat Nabi Musa (a), Nabi (s) memohon untuk menguranginya hingga 5 kali sehari. Beliau (s) kembali dari Isra Mi’raj itu dan orang yang mempercayainya adalah Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Orang-orang kafir berharap dapat mempermalukannya dengan bertanya mengenai gambaran kota Jerusalem. Nabi (s) lalu menggambarkannya secara mendetail sehingga malah membuat mereka dipermalukan.
Penganiayaan terhadap Nabi (s) dan Sahabatnya semakin meningkat. Kemudian Allah mengirimkan orang-orang Anshar dari Madinah kepadanya. Islam mulai tersebar di antara suku-suku dari oasis kecil yang tak jauh dari Mekah ini. Allah mengizinkan kaum Mukmin untuk hijrah ke Madinah, kampungnya kaum Anshar. Abu Bakr (r) ingin melakukan hijrah, tetapi Nabi Muhammad (s) berkata kepadanya, “Jangan pergi dulu, tunggulah, kau akan berangkat denganku. Ada sebuah peristiwa penting yang akan terjadi.”
Nabi (s) berangkat di malam hari bersama Abu Bakr (r) dan meninggalkan `Ali (r) di tempat tidurnya untuk berpura-pura sebagai dirinya. Dalam perjalanannya, beliau berhenti untuk bersembunyi di Gua Tsur. Abu Bakr (r) berkata, “Wahai Nabi (s), jangan masuk dulu, aku akan memeriksanya dulu.” Di dalam hatinya ia berpikir bahwa barangkali ada sesuatu yang berbahaya di dalam gua itu dan ia memilih untuk menghadapinya duluan. Ia menemukan sebuah lubang di dalam gua. Ia lalu memanggil Nabi (s) untuk datang dan ia menutupi lubang itu dengan kakinya. Nabi (s) datang dan membaringkan kepalanya pada paha Abu Bakar (r). Seekor ular di dalam lubang itu mulai menggigit kaki Abu Bakar (r). Ia berusaha untuk tidak bergerak meskipun ia sangat kesakitan. Air mata mengalir ke pipinya. Setetes air matanya yang hangat jatuh mengenai wajah Nabi (s) yang diberkati. Saat itu, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, “Beliau (s) berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.’” [9: 40] dan beliau (s) juga berkata, “Bagaimana menurutmu terhadap keduanya bila Allah menjadi yang Ketiga di antara mereka?” [57: 4]. Abu Bakar (r) berkata kepada Nabi (s), “Wahai Nabiullah (s), aku bukannya sedih, tetapi aku kesakitan. Seekor ular menggigit kakiku dan aku khawatir bahwa ia akan menggigitmu. Aku menangis karena hatiku mendidih memikirkan keselamatanmu.” Nabi (s) sangat senang mendengar jawaban Sahabat terdekatnya, lalu beliau (s) memeluk Abu Bakar ash-Shiddiq (r), menempelkan tangannya pada kalbu Abu Bakar (r) dan menuangkan semua ilmu yang Allah berikan kepadanya ke dalam kalbu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Itulah sebabnya beliau (s) bersabda di dalam sebuah hadits, “Apapun yang Allah tuangkan ke dalam kalbuku, aku tuangkan ke dalam kalbu Abu Bakar (r).”
Grandsyekh kita Muhammad Nazim al-Haqqani (q) berkata, “Kemudian Nabi (s) meletakkan tangannya yang lain pada kaki Abu Bakar ash-Shiddiq (r) dan membaca, “Bismillah ir-Rahman ir-Rahim,” kemudian kaki itu menjadi sembuh. Beliau (s) lalu memerintahkan ular itu untuk keluar, dan ia pun keluar, menggulung dirinya di hadapan Nabi (s). Kamudian Nabi (s) bersabda kepada ular itu, ‘Apakah engkau tidak tahu bahwa menggigit daging seorang Shiddiq diharamkan bagimu? Mengapa engkau menggigit daging Sahabatku?’ Ular itu menjawab dalam bahasa Arab yang murni dan fasih, ‘Wahai Nabiullah, bukankan semua makhluk diciptakan untuk dirimu dan sebagai kecintaan terhadapmu? Wahai Nabi, aku juga sangat mencintaimu. Ketika aku mendengar bahwa Allah `azza wa Jalla berfirman bahwa umat terbaik adalah umatmu, aku berdoa agar Allah memanjangkan umurku dan mengaruniaiku kehormatan untuk menjagi bagian dari umatmu dan memberiku kesempatan untuk melihat wajahmu. Dan Allah mengabulkan permintaanku. Ketika Abu Bakar (r) meletakkan kakinya di lubang itu, ia menutupi pandanganku. Aku ingin agar ia memindahkan kakinya agar aku dapat memandangmu. Nabi (s) bersabda, “Sakarang, pandangilah aku dan penuhi keinginanmu.” Ular itu memandangi wajah Nabi (s); setelah itu ia wafat. Nabi (s) memerintahkan jin untuk membawanya dan menguburkannya.”
Mawlana Syekh Nazim berkata, “Ini adalah rahasia-rahasia yang telah diberikan ke dalam kalbu para Wali Naqsybandi.” Beliau melanjutkan ceritanya, “Kemudian Nabi (s) berkata kepada Abu Bakar (r), ‘Tidak perlu berhenti di gua ini, kecuali bahwa ada suatu peristiwa penting yang akan terjadi di sini. Cahaya dari akar Pohon spiritual yang akan menyebar ke seluruh penjuru manusia, Cahaya yang langsung berasal dari Hadratillah itu akan muncul di sini. Allah telah memerintahkan aku untuk menyampaikannya kepadamu dan kepada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi.’
“Silsilah ini tidak disebut Naqsybandi pada saat itu, tetapi dikenal sebagai Bani Abu Bakar ash-Shiddiq (r), dan beliau dikenal sebagai ‘Ayah’ bagi garis silsilah ini.
“Kemudian Allah meminta Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) untuk memanggil seluruh Mursyid Silsilah Keemasan yang merupakan para pewaris Abu Bakar (r). Kemudian beliau memanggil seluruh Grandsyekh dari Silsilah Keemasan ini, mereka semua, dari zaman beliau hingga zaman Mahdi (a). Mereka semua dipanggil melalui ruh mereka dari Alam Arwah. Kemudian beliau diperintahkan untuk memanggil 7007 Wali Naqsybandi. Kemudian Nabi (s) memanggil 124.000 Nabi.
“Abu Bakar ash-Shiddiq (r), atas perintah Nabi (s) memerintahkan setiap Grandsyekh untuk memanggil semua pengikutnya untuk muncul secara spiritual (rohani). Kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq (r) memerintahkan semua Syekh untuk memegang tangan para pengikutnya untuk menerima bay’at. Beliau meletakkan tangannya di atas mereka semua, dan kemudian Nabi Muhammad (s) meletakkan tangannya di atas tangan mereka semua, kemudian Allah meletakkan Tangan-Nya, Tangan Kekuasaan (Qudrah) di atas mereka semua. Allah Sendiri memberikan talqiin adz-Dzikir kepada setiap orang yang hadir, dan Dia mengatakan kepada Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) untuk memerintahkan seluruh wali yang hadir bersama para pengikutnya untuk membaca apa yang mereka dengar dari Suara Kekuasaan:
Semua yang hadir mengikuti Syekh mereka dan mengikuti apa yang mereka dengar dari apa yang dibaca oleh Nabi (s). Kemudian Allah (swt) mengajarkan rahasia zikir yang dikenal dengan Khatm-il-Khwajagan, kepada Abdul Khaliq al-Ghujduwani, yang kemudian memimpin zikir untuk pertama kalinya di antara para wali dari Tarekat ini. Nabi (s) mengumumkan kepada Abu Bakar (r), yang kemudian mengumumkan kepada seluruh wali, bahwa
Abdul Khaliq al-Ghujdawani adalah imam Khatm-i-Khwajagan. Setiap orang mendapat kehormatan untuk menerima rahasia dan cahaya dari Khwaja `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), dalam hadirat seluruh wali, dalam hadirat Abu Bakar ash-Shiddiq (r), dalam hadirat Nabi (s), dalam Hadratillah.
Mawlana Syekh Nazim berkata, “Setiap orang yang menerima bay’at dari kami atau menghadiri zikir kami harus tahu bahwa ia berada di dalam gua pada saat yang diberkati itu, dalam hadirat Nabi (s), dan bahwa ia kemudian menerima semua rahasia ini. Rahasia-rahasia ini telah ditransmisikan kepada kita dari para mursyid dalam Silsilah Keemasan melalui Abu Bakar ash-Shiddiq (r).”
Abu Bakar ash-Shiddiq (r) sangat bergembira dan terkejut dengan apa yang terjadi di gua itu, dan beliau mengerti bahwa Nabi (s) telah memilihnya untuk menjadi pendampingnya dalam hijrahnya. Para Syekh Naqsybandi menganggap bahwa peristiwa di gua itu sebagai fondasi dari Tarekat. Bukan hanya itu menjadi sumber bagi wirid harian, tetapi juga bahwa ruh dari seluruh pengikut Tarekat ini hadir secara bersama-sama pada saat itu.
Setelah kejadian di dalam gua itu, mereka melanjutkan perjalanannya ke Madinat al-Munawwarah. Ketika mereka sampai di Quba, sebuah desa dekat Madinah, pada hari Senin di bulan Rabi’ul Awwal, mereka singgah selama beberapa hari. Di sana Nabi (s) membangun masjid pertamanya. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka pada hari Jumat, setelah salat Jumat di Quba. Itu adalah Jumat pertama yang beliau lakukan. Beliau (s) lalu memasuki Madinah dengan sahabatnya, di antara teriakan takbir (ALLAHU AKBAR) dan tahmid (AL-HAMDU LILLAH) serta keceriaan dan kegembiraan setiap orang yang menyambutnya. Beliau lalu pergi ke tempat di mana untanya berhenti, dan di sanalah beliau membangun masjid dan rumahnya. Beliau tinggal sebagai tamu di rumah Abu Ayyub al-Anshari (r) sampai masjidnya selesai dibangun.
Ketika Nabi (s) datang ke Madinah, banyak wabah penyakit di sana. Segera setelah beliau tiba, wabah penyakit itu lenyap. Berikut ini adalah beberapa kejadian utama selama sepuluh tahun berikutnya.
Tahun Pertama
Nabi (s) terinspirasi untuk memanggil orang-orang untuk salat melalui suara manusia (adzan).
Tahun Kedua
Beliau (s) diperintahkan untuk melembagakan bulan puasa Ramadan, dan beliau (s) mengarahkan wajahnya ke Ka`bah di Mekah ketika salat, tidak lagi menghadap ke Jerusalem sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya. Pada tahun ini beliau (s) memerangi kaum kafir dalam sebuah pertempuran yang penting, yaitu Perang Badar.
Tahun Ketiga
Nabi (s) memerangi kaum kafir di Jabal Uhud.
Tahun Keempat
Terjadi Perang Bani Nadiir, dan diperbolehkan untuk memendekkan salat selama dalam perjalanan dan ketika perang. Alkohol dilarang. Tayammum, atau ritual bersuci dengan debu ketika tidak ada air diperbolehkan dan “Salat Khauf (salat dalam keadaan perang atau ketakutan)” diperbolehkan.
Tahun Kelima
Perang Khandaq terjadi dan terjadi pembelotan Banu Quraizah dan Mustaliq.
Tahun Keenam
Perjanjian Hudaibiyyah berlangsung di bawah pohon, sebagaimana Ikrar Kesetiaan–seperti bay’at di kalangan Sufi. Rukun kelima dari agama, yaitu kewajiban menunaikan ibadah haji (bagi yang mampu) juga muncul pada tahun ini.
Tahun Ketujuh
Terjadi Perang Khaibar.
Tahun Kedelapan
Peristiwa Mu’ta, penaklukan damai Mekah dan pertempuran Hunayn terjadi.
Tahun Kesembilan
Perang Tabuk dan Hajinya ash-Shiddiq berlangsung. Ini disebut Tahun Wufud.
Tahun Kesepuluh
Nabi (s) melakukan apa yang dikenal sebagai Haji Wada atau Haji Perpisahan.
Tahun Kesebelas
Nabi (s) wafat.
Deskripsi mengenai Ciri-Ciri Nabi Suci (s)
Allah (swt) menghiasi Nabi (s) dengan Nurillah dan Akhlakul Karimah, kemudian Dia menambahkannya lagi dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” [68:4].
Nabi (s) tidak tinggi maupun pendek, tinggi beliau sedang. Beliau mempunyai bahu yang lebar. Warna kulitnya terang, tidak gelap maupun putih. Beliau mempunyai dahi yang lebar dengan alis yang tebal dan tidak tersambung, namun terdapat sebuah bagian yang bersinar bagaikan perak di antara kedua alisnya itu. Matanya besar. Giginya sangat putih, bagaikan mutiara. Rambutnya tidak ikal dan tidak pula lurus, tetapi di antaranya. Lehernya panjang. Dadanya lebar, tanpa banyak daging. Warna dadanya terang, dan antara tulang dada dengan pusarnya terdapat sebaris rambut. Beliau tidak mempunyai rambut lain di dadanya selain sebarin rambut tersebut. Bahunya lebar dan berambut. Pada bahu tersebut terdapat dua tanda Nubuat. Semua Sahabatnya biasa melihat tanda itu. Pada bahu kanan terdapat tanda hitam yang indah, dan di sekelilingnya ditumbuhi rambut-rambut yang halus, seperti rambut pada seekor kuda. Lengan bawahnya besar. Pergelangan tangannya panjang. Jari-jemarinya juga panjang. Telapak tangannya lebih lembut daripada sutra. Setiap kali beliau meletakkan tangannya di atas kepala seorang anak atau pria dewasa, wangi yang harum terpancar darinya. Ke mana pun beliau pergi, segumpal awan senantiasa menaunginya dari panasnya matahari. Keringatnya bagaikan mutiara, dan wanginya bagaikan amber dan kesturi. Para Sahabat berkata bahwa mereka tidak pernah melihat sesuatu yang seperti itu sebelumnya.
Nabi Suci (s) lebih banyak merendahkan pandangannya daripada mengangkat kepalanya. Siapapun yang melihatnya dari kejauhan akan terpesona dengannya dan siapapun yang mengenalnya dengan baik akan jatuh cinta kepadanya. Beliau adalah makhluk yang paling tampan, baik dalam penampilan eksternal maupun internalnya.
Amr ibn al-`As said (r) berkata, “Tidak ada orang yang lebih kusayangi daripada Nabi Suci (s) dan tidak ada pula orang yang lebih mulia daripada beliau di mataku. Begitu cemerlangnya kemuliaan beliau sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya untuk beberapa saat, sehingga bila aku diminta untuk menggambarkannya aku tidak akan mampu karena aku tidak dapat memandangnya cukup lama.”
Nabi (s) adalah yang paling berani di antara semua orang, beliau juga yang paling adil dan yang paling dermawan. Beliau biasa berjalan sendiri di antara para musuhnya di malam hari tanpa kehadiran seorang pengawal. Beliau tidak pernah merasa takut terhadap sesuatu di dunia ini. Beliau juga adalah orang yang paling sederhana, paling tulus, dan paling saleh. Beliau tidak pernah bicara hanya untuk mengisi waktu. Beliau lebih senang diam daripada bicara, dan tidak pernah memperlihatkan kesombongan, walaupun beliau adalah orang yang paling fasih dalam berbicara.
Allah memberi Nabi (s) keahlian di bidang politik dan keahlian dalam kepribadian. Meskipun beliau tidak menulis atau membaca, Allah mengangkatnya dari tanah jahiliah, mengajarinya akhlak dan perilaku terbaik.
Beliau adalah orang yang paling lembut, paling toleran dan paling penyang, sebagaimana Allah (swt) sendiri menyebutnya, “ar-Raufu ‘r-Rahiim” [9:128]. Beliau tersenyum kepada setiap orang dan senang bergurau dengan setiap orang dengan cara yang pantas. Ketika sendiri beliau selalu menangis dan memohon ampunan kepada Allah bagi umatnya. Beliau selalu melakukan kontemplasi dan tafakur. Beliau selalu duduk untuk mengingat Allah dengan membaca Zikir.
Beliau sering berjalan bersama janda-janda dan anak-anak yatim. Beliau menunjukkan kerendahan hati kepada orang-orang kafir dan mendoakan mereka untuk menjadi orang yang beriman. Seseorang pernah memintanya, “Berdoalah pada Allah untuk mengutuk orang-orang kafir.” Beliau berkata, “Aku tidak diutus untuk mengutuk, tetapi sebagai Rahmat. Aku akan berdoa agar mereka mendapat hidayah karena mereka tidak mengetahui (apa yang mereka lakukan).”
Beliau menyeru semua orang kepada Allah. Beliau tidak pernah menghina orang miskin. Beliau tidak pernah takut terhadap seorang raja. Beliau selalu memilih jalan yang mudah, sesuai dengan Kehendak Allah [2:185, 20:2]. Beliau tertawa tetapi tidak terbahak-bahak. Beliau selalu berkata, “Layani orang-orangmu.” Beliau biasa memerah susu kambingnya, dan melayani keluarganya, menambal pakaiannya, kadang berjalan tanpa alas kaki, menjenguk orang yang sakit, bahkan jika mereka adalah orang kafir atau seorang yang munafik, berziarah ke makam orang-orang yang beriman dan memberi salam pada mereka, berlatih menggunakan pedang, belajar memanah, mengendarai kuda, unta, dan keledai. Beliau biasa makan dengan orang-orang miskin dan yang sedang ditimpa kemalangan. Beliau selalu menerima hadiah dengan senang hati, bahkan jika itu hanya sesendok yoghurt, dan beliau selalu menghargainya. Beliau tidak pernah makan dari sedekah, tetapi segera menyalurkannya kepada fakir miskin. Beliau tidak pernah menyimpan satu dinar atau satu dirham di dalam rumahnya, kecuali beliau berikan kepada fakir miskin. Beliau tidak pernah pulang ke rumah sampai beliau habiskan semua yang telah Allah berikan kepadanya.
Beliau sangat baik kepada keluarga dan sahabatnya. Beliau mendesak sahabat-sahabatnya untuk berjalan di depan beliau dan beliau berjalan di belakang mereka. Beliau berkata, “Tinggalkan punggungku untuk para malaikaat.” Persahabatannya adalah persahabatan dengan kesabaran dan rasa malu. Siapa yang berdebat dengannya akan melihat kesabarannya, dan beliau tidak membalas orang-orang yang menghinanya. Beliau tidak pernah menentang seseorang dengan kemarahan atau menggunakan kata-kata yang kasar. Beliau tidak pernah marah untuk dirinya sendiri, beliau hanya marah demi Allah. Beliau biasa makan bersama para pelayannya. Beliau tidak pernah menampar seseorang dengan tangannya. Beliau tidak pernah memberi hukuman untuk suatu kesalahan, melainkan selalu memaafkan. Seorang pelayannya, Anas (r) berkata, “Sepanjang hidupku, beliau tidak pernah sekalipun bertanya padaku: mengapa kau melakukan ini, atau mengapa kau tidak melakukan itu?”
Busana Nabi Suci (s)
Beliau biasa memakai apapun yang beliau dapati, katun atau wol, tetapi kebanyakan beliau mengenakan busana berbahan katun. Beliau menyukai pakaian berwarna hijau. Abu Huraira (r) mengatakan, “Beliau memakai gamis panjang yang longgar, dengan burdah dan habrah serta jubbah, dan beliau memakai turban dengan sebuah cadar dan ujung yang longgar, izar dan rida’.” Jabir ibn Samurah (r) mengatakan, “Aku melihat Nabi (s) pada malam purnama. Beliau (s) memakai mantel berwarna merah yang menutupi seluruh tubuhnya, dan aku melihatnya dengan penuh perhatian ke arahnya dan ke arah bulan. Tentu saja, bagiku beliau lebih indah daripada bulan itu sendiri.” Beliau (s) biasa memakai turban putih dan hitam serta kadang-kadang turban merah. Beliau (s) biasa meninggalkan ekor di bagian belakang turbannya. Imam Tabari berkata, “Beliau (s) biasa mempunyai turban sepanjang tujuh hasta.” Beliau mempunyai sebuah turban yang dinamakan Sihaab (Awan) yang diberikan kepada `Ali (r). Beliau (s) biasa memakai cincin perak pada tangan kanannya dan bertuliskan kalimat, “Muhammadun Rasul-Allah.” Beliau (s) biasa memakai khuff (kaos kaki kulit) di kakinya. Beliau (s) menyukai minyak wangi dan wewangian lainnya.
Beliau (s) tidak pernah melihat kemudahan dan beliau (s) tidak memiliki apa-apa, bahkan sebuah tempat tidur pun tidak, karena beliau (s) ingin membangun tempat tinggalnya di akhirat. Kasurnya terbuat dari dedaunan. Beliau (s) mempunyai sebuah mantel yang besar di mana beliau (s) sering meletakkannya di lantai dan kemudian duduk di atasnya. Kadang-kadang beliau (s) tidur di atas tikar atau langsung di atas lantai.
Mukjizat Nabi Suci (s)
Beliau (s) adalah seorang tabib baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Beliau (s) biasa menyembuhkan penyakit dengan membacakan al-Qur’an kepada orang yang sakit. Beliau (s) memberi peringatan kepada orang-orang agar tidak makan secara berlebihan. Beliau (s) menunjukkan begitu banyak mukjizat. Beliau (s) berdoa agar Ali (r) tidak merasakan cuaca panas dan dingin, dan nyatanya beliau tidak pernah merasakannya. Beliau (s) berdoa untuk Ibn
Abbas (r) agar menjadi seorang yang pintar dalam agama, fiqh dan tafsir Qur’an dan itu menjadi kenyataan. Ketika mata Qutada (r) keluar dari tempatnya, beliau (s) mengembalikannya kembali, dan Qutada (r) mampu melihat seperti semula. Beliau (s) menggosok kaki Ibn Abi `Atiq (r) ketika patah, dan dengan segera kakinya sembuh. Bulan terbelah atas perintahnya sebagai suatu tanda bagi orang-orang kafir. Air memancar dari jari-jemarinya di mana seluruh pasukan dapat minum dan melakukan wudu darinya. Dari secangkir kecil air, air mengalir dan menjadikan padang pasir menjadi sebuah oasis. Cabang pohon di mana beliau (s) duduk menunduk sebagai isyarat cinta ketika beliau (s) berdiri hendak pergi. Mimbar di mana beliau (s) biasa memberikan khotbah sering mengeluarkan suara erangan seolah-olah menangis untuknya. Batu-batuan memuji Allah di tangannya hingga setiap orang dapat mendengarnya. Binatang-binatang mengeluh kepadanya. Rusa dan serigala bersaksi untuk kenabiannya. Beliau (s) memprediksikan bahwa putrinya Fatima (a) akan menjadi yang pertama menyusul kematiannya. Beliau (s) meramalkan bahwa Utsman Dzu-n-Nurayn, khalifah ketiganya dan juga menantunya akan dibunuh. Beliau (s) mengumumkan pembunuhan al-Aswad bin Annasi (r) pada malam kematiannya di Sana’a jauh di luar Yaman. Beliau (s) menyebutkan kematian dari Raja Persia kepada para Sahabatnya tepat ketika saat itu terjadi. Beliau (s) makan daging yang penuh dengan racun, tetapi tidak terjadi apa-apa padanya meskipun orang yang makan bersamanya tewas seketika. Tak terhitung lagi mukjizat lainnya yang bisa disebutkan.
Kata-Kata Nabi Suci (s)
Tidak ada seorang pun yang dapat membuat catatan lengkap mengenai perkataannya. Bahkan jika samudra di dunia ini menjadi tinta dan pepohonan menjadi kalamnya, tidak ada yang dapat menuliskan seluruh perkataan Nabi Muhammad (s). Ribuan dan ratusan ribu ahadits (riwayat perkataan) telah dituliskan dari apa yang beliau (s) katakan dan ini dikenal sebagai `Ilm al-Hadits atau Ilmu mengenai Sabda Nabi (s).
Beliau (s) bersabda,
“Allah menghargai orang-orang sesuai dengan apa yang mereka capai.”
“Allah berfirman, ‘Barang siapa yang menentang satu di antara wali-Ku, Aku akan menyatakan perang terhadapnya.’”
“Wali-wali Allah berada di bawah Kubah-Nya. Tidak ada yang mengetahui tentang mereka kecuali Dia.”
“Dekatlah dengan orang yang fakir [dalam arti fakir secara spiritual] karena mereka mempunyai pemerintahannya sendiri.”
“Jadilah kamu di dunia ini laksana orang asing atau seorang musafir, jadikanlah masjid sebagai rumahmu, dan ajari kalbumu untuk toleran dan lemah lembut, perbanyak zikir dan banyak menangis.”
“Berapa banyak orang yang menyambut datangnya suatu hari tetapi pada akhirnya mereka tidak lagi hidup untuk melihat, dan berapa banyak yang mengharapkan datangnya esok hari tetapi mereka tidak dapat mencapainya?”
“Katakanlah yang benar, walaupun itu pahit.”
“Jadikanlah segala sesuatu mudah dan jangan dipersulit. Berikan kabar gembira dan jangan membuat orang menjadi pergi.”
“Allah berfirman, ‘Wahai Bani Adam, kau akan meraih apa yang kau niatkan, dan kau akan bersama dengan orang yang lebih kau cintai.’”
“Jagalah Allah dan Dia akan menjagamu. Jagalah Allah di hadapanmu. Jika engkau memerlukan pertolongan, mintalah Pertolongan-Nya.”
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya orang akan mencintaimu.”
“Orang yang mempunyai pikiran sempurna adalah orang yang paling bertakwa keapda Allah.”
“Waspadalah terhadap dunia karena itu adalah ilmu hitam.”
“Tahanlah dirimu kecuali dari kata-kata yang baik.”
“Kembalikan amanat dan jangan mengkhianatinya.”
“Ketika Allah mencintai seseorang, Dia akan menempatkannya pada kesulitan.”
“Ketika Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, Dia akan membimbingnya kepada seseorang yang dapat menunjukkan jalan baginya.”
“Berilah maaf, dan Allah akan memaafkanmu.”
“Jadilah orang yang pemurah, Allah akan bermurah hati padamu.”
“Orang yang berada di bawah hukuman terberat pada Yaumil Hisab adalah seorang ulama yang garang.”
“Orang yang berada di bawah hukuman terberat pada Yaumil Hisab adalah seorang ulama yang ilmunya tidak bermanfaat baginya.”
“Mintalah ampunan dan kesehatan kepada Allah.”
“Jagalah apa yang engkau lakukan dengan rahasia.”
“Orang yang paling berdosa adalah orang yang lidahnya selalu berbohong.”
“Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Yang paling dicintai-Nya di antara mereka adalah orang yang membantu saudara-saudaranya.”
“Amal terbaik adalah ketika orang selamat dari lidah dan tanganmu.”
“Selama dirimu mengucapkan, ‘La ilaha ill-Allah’ itu akan mengangkat Hukuman Allah darimu dan mengubahmu dengan kebaikan.”
“Wahai manusia, apakah engkau tidak malu bahwa engkau mengumpulkan lebih banyak dari yang kau makan, dan kau membangun rumah-rumah lebih dari yang kau perlukan untuk tinggal di dalamnya?”
Wafatnya Nabi Suci (s)
Ketika Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan umatnya dan telah mencukupkan nikmat-Nya pada Nabi (s), Dia memindahkan beliau (s) ke sebuah rumah yang lebih baik daripada rumah beliau, dan kepada Sahabat yang lebih baik daripada sahabat-sahabatnya. Allah memanggil ruhnya pada akhir hayatnya. Sebagai hasilnya, penyakit terakhirnya dimulai pada sepuluh hari terakhir di bulan Shafar, di rumah istrinya Maimuna (r). Ketika sakitnya semakin parah, beliau (s) dipindahkan ke rumahA’isyah (r). Beliau (s) mengalami sakit selama dua belas hari. Beliau (s) biasa menugaskan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) untuk memimpin salat sebagai tanda bagi para Sahabat bahwa beliau (s) telah menunjuknya sebagai penerusnya.
Beliau wafat pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal. Berbalut gamis malamnya, beliau (s) dimandikan oleh SayyidinaAli (r), Abbas ibnAbd al-Muththalib (r) dan kedua putranya, Qutham (r) dan Fadl (r). Usama bin Zaid (r) dan Syakran menuangkan air yang dibawa dari sumur oleh Awwas Khazraji (r). Ketika mereka memandikan beliau, jenazahnya memancarkan wangi yang sangat harum, sehinggaAli (r) terus berkata, “Demi Allah, apa yang telah kuberikan padamu! Betapa manisnya engkau dan betapa baik dirimu, baik semasa hidup maupun ketika wafat!” Para Sahabatnya memasuki rumahnya satu per satu untuk berdoa untuknya, kemudian kaum wanita dan disusul anak-anak. Beliau (s) dimakamkan di tempat yang sama dengan tempat wafatnya, di rumah `A’isya (r). Abu Thalhah Zayd ibn Sahl menggali kuburnya dan orang-orang yang memandikannya menurunkan jenazahnya yang diberkati ke dalamnya. Kemudian makam itu ditutup, diratakan dan mereka menyirami air ke sana.
Orang-orang terdiam, lidah menjadi kelu. Dunia seakan-akan menjadi gelap. Orang-orang tidak tahu harus berkata apa. Ruhul Qudus–Malaikat Jibril (a) tidak lagi datang untuk membawa wahyu. Wafatnya Nabi (s) merupakan bencana terbesar bagi para Sahabat. Banyak orang yang menangis dan meraung. Tetapi Allah mengirimkan para pendukung untuk agama-Nya. Karena beliau (s) adalah Khatamul Anbiya, Allah (swt) mengirim seorang Mujaddid (pembangkit) agama ini dari satu abad ke abad lainnya. Wali demi wali, kita mendapati bahwa setiap Grandsyekh dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi adalah bagaikan bayang-bayang Nabi (s), mereka membangkitkan agama dan melatih para salik untuk menemukan Tuhan mereka sebagaimana para Sahabat telah digembleng.
Rahasia dukungan Allah yang kuat dan bimbingan yang murni diteruskan dari Nabi Muhammad (s) kepada sahabatnya tercinta, Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Apa yang dituangkan oleh Nabi (s) ke dalam kalbu Abu Bakr (r) tidak ada orang yang mengetahuinya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan Cahaya-Nya kepada Nabi kita (s)! Beliau (s) diutus sebagai Rahmat bagi manusia dan rahasianya diteruskan dari satu wali kepada wali lainnya untuk mendukung agama ini dan membawa rahasianya kepada kalbu manusia. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/prophet-muhammad-ibn-abd-allah-salla-allahu-alayhi-wa-alihi-wa-sallam/)
02. Sayyidina Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (RA)
Hanya satu malam saja, sang bulan mengarungi gugusan bintang
Mengapakah mi’raj kau bantahkan?
Sang Nabi-Mutiara indah tak terkirakan bagaikan beratus-ratus rembulan.
Ia yang hanya dengan sedikit pergerakan terbelah dualah sang rembulan.
Keajaiban ditunjukkannya sesuai batas pemahaman
Semesta tak bertepi dan kerlip bintang, di sanalah segala urusan para nabi dan utusan
Lampauilah semesta, Lampauilah perputarannya,
Kan kau lihat segala urusan yang dimaksudkan
(Rumi, Matsnawi)
Rahasia diteruskan dan mengalir dari Guru seluruh ummat, Rasulullah saw kepada Khalifah Pertama, Imam dari semua Imam Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Melalui beliau agama mendapat dukungan dan kebenaran dilindungi. Allah menyebut dan memujinya dalam beberapa ayat al-Qur’an yang suci, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami sediakan jalan yang mudah.”(QS. Al-Lail 5-7). “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling bertaqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi dia (memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.”(QS. Al-Lail 17-20)
Ibn al-Jawzi menyatakan bahwa seluruh ulama Muslim dan para Sahabat yakin bahwa ayat-ayat tersebut merujuk kepada Abu Bakar. Di antara orang banyak, beliau dipanggil dengan sebutan “Al-Atiq,” artinya “yang paling shaleh dan dibebaskan dari api neraka.” Ketika ayat 56 Surat al-Ahzab diturunkan, yaitu bahwa, “Allah dan malaikatnya bershalawat kepada Rasulullah,” Abu Bakar bertanya apakah beliau termasuk yang mendapat berkah tersebut. Kemudian ayat 43 diturunkan dan dinyatakan bahwa, “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Ahzab: 43)
Ibn Abi Hatim menerangkan bahwa ayat ke-46 Surah Ar-Rahman merujuk kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.”(QS. Ar-Rahman: 46) dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.”(QS. Al-Ahqaf (15-16))
Ibn `Abbas berkata bahwa ayat ini merupakan deskripsi tentang Abu Bakar ash-Shiddiq, Allah memuliakan dan mengangkat kedudukannya di antara seluruh Sahabat Rasulullah. Selanjutnya Ibn `Abbas mencatat bahwa ayat 158 Surah Al-Imran diturunkan dengan merujuk kepada Abu Bakar dan ‘Umar, “Mintalah nasihat mengenai masalah-masalah penting kepada mereka.”(QS. Al-Imran (158) Akhirnya, kehormatan terbesar bagi Abu Bakar yaitu dalam menemani Rasulullah dalam hijrahnya dari Makkah ke Madinah, ditunjukkan oleh ayat: Ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”(QS. At-Tawbah (40))
Sebagai tambahan terhadap pujian Allah kepadanya, Abu Bakar ash-Shiddiq juga menerima pujian dari Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini dicatat dalam banyak riwayat hadits yang terkenal. Rasulullah bersabda, “Allah akan menunjukkan Keagungan-Nya kepada orang-orang secara umum, tetapi Dia akan menunjukkannya secara khusus kepada Abu Bakar.”“Tidak pernah matahari menyinari seseorang lebih terang daripada Abu Bakar, kecuali dia seorang nabi.”“Tak satu pun yang diturunkan kepadaku yang tidak kuberikan ke dalam hati Abu Bakar.”“Tidak ada seseorang pun di mana aku mempunyai kewajiban tetapi tidak perlu membayar utangku kembali kecuali Abu Bakar, karena Aku berhutang banyak kepadanya dan Allah akan menggantinya di Hari Pembalasan nanti.”
“Jika aku akan mengangkat seorang sahabat karib (khalil) selain Tuhanku, aku akan memilih Abu Bakar.” “Abu Bakar tidak mendahuluimu karena banyak melakukan shalat atau puasa, tetapi karena rahasia yang ada dalam hatinya.”Bukhari meriwayatkan dari Ibn `Umar bahwa, “Di masa Rasulullah kita tidak mengenal seseorang yang lebih tinggi daripada Abu Bakar ash-Shiddiq , lalu `Umar , dan `Utsman.”Bukhari juga meriwayatkan dari Muhammad ibn al-Hanafiya (putra ‘Ali) bahwa, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘Siapa orang terbaik setelah Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Abu Bakar .’ Aku bertanya, ‘Siapa lagi?’ Beliau berkata, ‘Umar ’ Saya takut berikutnya beliau akan mengatakan ‘Utsman, jadi aku berkata, ‘lalu bagaimana dengan engkau sendiri?’ Beliau menjawab, ‘Aku hanya orang biasa saja.’”
Tabarani meriwayatkan melalui Mu`adz bahwa Rasulullah bersabda, “Aku mempunyai pengelihatan spiritual di mana aku diletakkan di salah satu timbangan dan ummatku berada di sisi yang lain dan ternyata aku lebih berat. Kemudian Abu Bakar di tempatkan di satu sisi dan ummatku di sisi yang lain, ternyata Abu Bakar lebih berat. Kemudian ‘Umar diletakkan di satu sisi dan ummatku di sisi yang lain, ternyata ‘Umar lebih berat. Kemudian ‘Utsman diletakkan di satu sisi dan ummatku di sisi yang lain, ternyata ‘Utsman lebih berat. Lalu timbangan itu terangkat.”Hakim meriwayatkan bahwa `Ali pernah ditanya, ‘Wahai Penguasa yang beriman, terangkanlah kepada kami tentang Abu Bakar.” Beliau menjawab, “Beliau adalah orang yang Allah panggil dengan sebutan ash-Shiddiq di lidah Rasulullah dan beliau adalah seorang khalif (penerus) Rasulullah. Kita menerimanya untuk agama kita dan kehidupan dunia kita.”
Banyak hadits lain yang menunjukkan pencapaian Abu Bakar ash-Shiddiq yang lebih tinggi dibandingkan para Sahabat yang lain. Abu Bakar merupakan teman terbaik dan sahabat tercinta dari Rasulullah. Selama hidupnya beliau diberkati untuk menjadi orang yang pertama dan utama, baik dalam hal keyakinan, dukungan, maupun cinta terhadap Rasulullah. Untuk itu beliau diberi kehormatan dengan gelar ash-Shiddiq, atau yang benar. Beliau adalah orang dewasa pertama yang merdeka yang menerima Islam dari tangan Rasulullah. Beliau tidak pernah bergabung untuk menyembah berhala yang dilakukan para leluhurnya. Beliau memeluk Islam tanpa keraguan. Bertahun-tahun kemudian Rasulullah mengingatkan, “Setiap kali Aku menawarkan Islam kepada seseorang, orang itu selalu menunjukkan keengganan atau keraguan dan mencoba untuk berargumentasi. Hanya Abu Bakar yang menerima Islam tanpa keraguan dan argumentasi.”
Beliau yang pertama dalam hal dukungan spiritualnya. Beliau selalu kukuh dalam memberi dukungannya selama masa-masa sulit di Makkah. Beliau yang pertama berbicara ketika terjadi kejadian-kejadian di luar pemahaman akal, khususnya di antara Muslim baru, seperti halnya dalam kasus Isra’ dan Mi’raj. Kemudian di Madinah ketika perjanjian Hudaybiya ditandatangani, hanya Abu Bakar yang kukuh imannya. Beliau menasihati para sahabatnya agar tidak bersifat kritis, melainkan tetap patuh dan setia kepada Rasulullah. Beliau juga yang pertama dalam hal bantuan material. Ketika Muslim lain memberi banyak harta untuk memperkuat iman mereka, Abu Bakar adalah orang pertama yang memberikan seluruh harta yang dimilikinya. Ketika ditanya apa yang ditinggalkan untuk anak-anaknya, beliau menjawab, Allah dan Rasulullah.” Ketika mendengar ini ‘Umar berkata, “Tidak ada yang bisa melebihi Abu Bakar dalam memberi pelayanan kepada Islam.”
Beliau juga yang pertama dalam hal keramahan dan belas kasihan kepada mukmin pengikutnya. Sebagai pedagang yang sangat makmur, beliau selalu memperhatikan orang yang lemah dan miskin. Beliau membebaskan 7 orang budak sebelum meninggalkan Makkah, di antaranya termasuk Bilal. Beliau bukan hanya membelanjakan uangnya yang sangat banyak untuk membebaskan mereka tetapi beliau juga membawa mereka ke rumahnya dan mendidik mereka. Ketika beliau menjabat sebagai khalifah beliau berkata, Tolonglah Aku, jika Aku benar dan koreksilah Aku jika Aku salah. Orang-orang yang lemah di antara kalian harus menjadi kuat bersamaku sampai atas Kehendak Allah, haknya telah disyahkan. Orang-orang yang kuat di antara kalian harus menjadi lemah bersamaku sampai, jika Allah menghendaki, Aku akan mengambil apa yang harus dibayarnya. Patuhilah Aku selama Aku patuh kepada Allah dan Rasulullah, bila Aku tidak mematuhi Allah dan Rasulullah, jangan patuhi Aku lagi.”
Di masa-masa awal agama Islam, penafsiran mimpi dianggap sebagai praktek spiritual. Hanya mereka yang mempunyai hati yang suci dan pengelihatan spiritual yang bisa mengalami mimpi yang bermakna, dan hanya mereka yang hatinya suci dan mempunyai pengelihatan spiritual yang dapat menafsirkan mimpi tersebut. Abu Bakar merupakan penafsir mimpi yang terkenal. Rasulullah sendiri hanya akan berkonsultasi dengan beliau dalam mencari kejelasan tentang mimpi kenabiannya. Sebelum perang Uhud, Rasulullah dalam mimpinya melihat bahwa beliau menggembalakan ternak, tetapi beberapa di antaranya telah disembelih. Pedang yang beliau pegang patah. Abu Bakar menafsirkan bahwa binatang yang telah disembelih menunjukkan adanya kematian beberapa Muslim, dan pedang yang patah menandakan akan ada salah satu kerabat Rasulullah yang meninggal. Sayangnya kedua prediksi ini menjadi kenyataan dalam perang Uhud.
Abu Bakar juga seorang penyair sebelum menjadi Muslim. Beliau dikenal dengan deklamasinya yang luar biasa dan ingatannya yang sempurna terhadap puisi yang panjang yang menjadi kebanggaan bangsa Arab. Kualitas ini menjadikan beliau menonjol dalam Islam. Bacaan Qur’annya sangat jelas dan menyentuh sehingga banyak orang yang masuk Islam hanya karena mendengar bacaan beliau ketika sedang berdo’a. Orang-orang Quraisy berusaha melarang beliau berdo’a di halaman rumahnya untuk menghindari agar orang-orang tidak mendengarnya.
Juga karena ingatannya, banyak Hadits penting yang sampai pada kita sekarang. Di antaranya adalah hadits yang menunjukkan tata-cara shalat yang benar dan yang menjelaskan secara spesifik mengenai proporsi yang tepat dalam zakat. Tetapi tetap saja di antara ribuan Hadits yang telah dibuktikan kesahihannya, hanya 142 saja yang berasal dari Abu Bakar. Putri beliau, ‘Aisya menyatakan bahwa ayahnya mempunyai buku berisi lebih dari 500 Hadits tetapi suatu hari beliau menghancurkannya. Pengetahuan yang tetap disembunyikan oleh Abu Bakar adalah yang berhubungan dengan pengetahuan surgawi, `ilmu-l-ladunni, yang menjadi sumber bagi pengetahuan para Wali, pengetahuan yang hanya dapat diteruskan dari hati ke hati.
Meskipun beliau seorang yang lemah lembut, beliau juga menjadi orang pertama dalam pertempuran. Beliau memberi dukungan kepada Rasulullah dalam semua kampanyenya baik dengan pedang maupun dengan nasihatnya. Ketika yang lain gagal dan melarikan diri, beliau tetap berada di sisi Rasulullah yang tercinta. Diriwayatkan bahwa suatu ketika ‘Ali bertanya kepada para sahabat siapa yang mereka anggap paling berani. Mereka menjawab bahwa ‘Ali-lah yang paling berani. Tetapi beliau menjawab, “Bukan! Abu Bakar-lah yang paling berani. Dalam perang Badar di mana tidak ada satu pun yang berdiri untuk menjaga Rasulullah shalat, Abu Bakar berdiri dengan pedangnya dan tidak membiarkan musuh mendekat.”
Sudah tentu beliau yang menyusul Rasulullah sebagai Khalifah dan pemimpin yang jujur. Beliau mendirikan Departemen Keuangan Umum (Baytu-l-mal) untuk memelihara orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Beliau juga yang pertama dalam mengkompilasi seluruh al-Qur’an dan menyebutnya sebagai “Mushaf.” Dalam hal transmisi spiritual, beliau adalah orang pertama yang memberi instruksi dalam metode membaca Kalimat (La ilaha ill-Allah) yang keramat untuk memurnikan hati dengan cara berdzikir, dan sampai sekarang, metode itu masih dilakukan dalam thariqat Naqsybandi.
Meskipun Allah memuliakan Abu Bakar dengan menjadikannya orang yang pertama dalam segala hal, Allah bahkan memberinya kemuliaan lebih banyak ketika beliau memilih untuk menjadi yang kedua. Karena Abu Bakar satu-satunya sahabat Rasulullah dalam hijrahnya dari Makkah ke Madinah. Mungkin sebutan akrab bagi beliau adalah “yang kedua di antara berdua ketika mereka berada dalam gua,” seperti yang telah disebutkan dalam Surat 9:40. Umar ra berkata, “Aku berharap suatu hari nanti, seluruh amal dalam hidupku akan setara dengan amalnya.” Ibn `Abbas berkata bahwa suatu hari Rasulullah sakit. Beliau pergi ke masjid dengan kepala yang ditutupi sehelai kain. Beliau duduk di mimbar, dan berkata, “Jika Aku harus mengangkat seseorang sebagai teman akrabku (khalil), Aku akan memilih Abu Bakar, tetapi teman terbaik bagiku adalah persahabatan dalam Islam.”
Kemudian beliau memerintahkan agar semua pintu rumah di sekitar masjid yang terbuka ke arah masjid Rasulullah agar ditutup kecuali pintu milik Abu Bakar. Dan pintu itu tetap terbuka sampai hari ini. Keempat Imam dan Masyaikh Naqsybandiyya memahami dari Hadits tersebut bahwa seseorang yang mendekati Allah melalui ajaran dan tauladan Abu Bakar akan menemukan dirinya melewati satu-satunya pintu yang tetap terbuka kepada Kehadirat Rasulullah.
Dari Kata-katanya“Tidak ada pembicaraan yang baik jika tidak diarahkan untuk memperoleh ridha Allah. Tidak ada manfaat dari uang jika tidak dibelanjakan di jalan Allah. Tidak ada kebaikan dalam diri seseorang jika kebodohannya mengalahkan kesabarannya. Dan jika seseorang tertarik dengan pesona dunianya yang rendah, Allah tidak akan ridha kepadanya selama dia masih menyimpan hal itu dalam hatinya.” “Kita menemukan kedermawanan dalam Taqwa (kesadaran akan Allah), kekayaan dalam Yaqin (kepastian), dan kemuliaan dalam kerendahan hati.” Waspadalah terhadap kebanggan sebab kalian akan kembali ke tanah dan tubuhmu akan dimakan oleh cacing.”
Ketika beliau dipuji oleh orang-orang, beliau akan berdo’a kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, Engkau mengenalku lebih baik dari diriku sendiri, dan Aku lebih mengenal diriku daripada orang-orang yang memujiku. Jadikanlah Aku lebih baik daripada yang dipikirkan oleh orang-orang ini mengenai diriku, maafkanlah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah jadikan Aku bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan.” “Jika kalian mengharapkan berkah Allah, berbuatlah baik terhadap hamba-hamba-Nya.” Suatu hari beliau memanggil ‘Umar dan menasihatinya sampai ‘Umar menangis. Abu Bakar berkata kepadanya, “Jika engkau memegang nasihatku, engkau akan selamat, dan nasihatku adalah ‘Harapkan kematian selalu dan hidup sesuai dengannya.’”
“Mahasuci Allah yang tidak memberi hamba-hamba-Nya jalan untuk mendapat pengetahuan mengenai-Nya kecuali dengan jalan ketidakberdayaan mereka dan tidak ada harapan untuk meraih pencapaian itu.” Abu Bakar berpulang ke Rahmatullah pada hari Senin (seperti halnya Rasulullah) antara Maghrib dan ‘Isya pada tanggal 22 Jumadil Akhir, 13 AH. Semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian. Rasulullah pernah berkata kepadanya, “Abu Bakar, engkau akan menjadi orang pertama dari ummatku yang masuk Surga.” Rahasia Kenabian diteruskan dari Abu Bakar kepada penerusnya, Salman al Farsi.
Nama Mata Rantai Emas NaqsybandiNama Mata Rantai Emas Naqsybandi telah mengalami perubahan dari abad ke abad. Semenjak masa Abu Bakar ash-Shiddiq hingga masa Bayazid al-Bistami Ø dinamakan ash-Shiddiqiyya. Dari masa Bayazid Ø hingga masa Sayyidina Abdul Khaliq al-Ghujdawani Ø dinamakan at-Tayfuriyya. Dari masa Sayyidina Abdul Khaliq al-Ghujdawani Ø hingga masa Syah Naqsyband Ø dinamakan Khwajaganiyya. Dari masa Syah Naqsyband Ø hingga masanya Sayyidina Ubaidullah al-Ahrar Ø dan Sayyidina Ahmad Faruqi , dinamakan Naqsybandiyya.
Naqsybandiyya berarti ‘mengikat Naqsy dengan baik’. Naqsy adalah ukiran Nama Allah yang sempurna dalam hati murid. Semenjak masa Sayyidina Ahmad al-Faruqi Ø hingga masa Syaikh Khalid al-Baghdadi Ø dinamakan Naqsybandi-Mujaddidiyya. Sejak masa Sayyidina Khalid al-Baghdadi Ø hingga masa Sayyidina Syaikh Isma’il Syirwani Ø dinamakan Naqsybandiyya-Khalidiyya. Sejak masa Sayyidina Isma’il Syirwani Ø hingga masa Sayyidina Syaikh ‘Abdullah ad-Daghestani Ø, dinamakan Naqsybandi-Daghestaniyya. Dan kini dikenal dengan nama Naqsybandiyya-Haqqaniyya.
Mengenai Thariqat NaqsybandiThariqat Naqsybandi yang paling mulia merupakan sebuah sekolah pemikiran dan praktek yang berdiri di muka barisan kelompok yang menyebarluaskan kebenaran dan memerangi kebathilan serta ketidakadilan, khususnya di Asia Tengah dan India di masa lampau, di Cina dan Uni Soviet di masa modern, serta di Eropa dan Amerika Utara belakangan ini. Syaikh-Syaikh Naqsybandi yang berperan di bidang politik, sosial, pendidikan dan spiritual dalam masyarakat mereka, berperilaku berdasarkan Kitab Suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Thariqat Naqsybandi yang paling mulia adalah jalan yang dianut oleh para Sahabat Rasul dan orang-orang yang mengikutinya. Thariqat ini tersusun atas peribadatan yang terus-menerus dalam setiap tindakan, baik luar maupun dalam, dengan disiplin yang lengkap dan sempurna berdasarkan Sunnah Rasulullah . Hal tersebut berisikan pemeliharaan adab pada tingkat tertinggi dan dengan tegas meninggalkan bid’ah dan interpretasi bebas dalam kebiasaan-kebiasaan umum dan perilaku pribadi. Juga memiliki elemen menjaga kesadaran akan Hadirat Allah, Yang Maha Kuasa dan Maha Agung, menuju peniadaan diri sendiri dan pengalaman yang sempurna akan Hadirat Ilahi. Thariqat ini merupakan cerminan sempurna dari kesempurnaan tertinggi. Merupakan jalan pensucian diri dengan jalan perjuangan yang paling sulit, pergulatan melawan ego. Dia bermula di tempat di mana yang lain berakhir, dalam ikatan Cinta Ilahiah yang sempurna, yang telah dianugerahkan kepada Sahabat Rasulullah yang pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq.
Abu Bakar dan Benih Iman yang Tersembunyi
Mawlana Syaikh Nazim Adil, Mercy Oceans Book Two
Rasulullah bersabda bahwa buku catatan (amal) setiap orang akan ditutup ketika dia sudah meninggal, kecuali untuk 3 golongan. Yang pertama adalah mereka yang mengajak orang lain ke jalan yang benar melalui tulisan atau bukunya. Selama ada yang memperoleh petunjuk lewat tulisannya, dia masih mendapat rahmat Allah. Yang kedua adalah orang yang mengeluarkan sejumlah amal jariyah. Selama orang masih memanfaatkan pemberiannya itu, buku catatannya masih tetap ditulis setiap saat. Yang ketiga adalah orang yang meninggalkan anak yang saleh yang terus mendo’akannya. Selama mereka masih berdo’a, buku catatan orang tuanya tidak tertutup.
Allah Maha Mengetahui dan Dia membuat jalan bagi keimanan sesorang, orang tua dan leluhur anda, bahkan pada saat terakhir sekalipun. Kita harus bersyukur dengan rahmat Allah tersebut. Jika Allah memberikan izin perantaraan kepada Saya, Saya akan meminta untuk semua leluhur anda. Grandsyaikh ‘Abdullah Fa’iz ad-Daghestani bercerita tentang Abu Bakar as Siddiq , sahabat Rasulullah yang paling terkenal di antara sahabat lainnya. Rasulullah mengagungkan nya dengan mengatakan bahwa jika iman Abu Bakar dibandingkan dengan seluruh ummat manusia, iman yang dimilikinya masih lebih berat. Pada Hari Perjanjian setiap orang akan ditanya oleh Allah, “Apakah Aku Tuhanmu?” kita semua menjawab, “Ya, Engkau adalah Tuhan kami.” Pada hari itu kalau bukan karena jasa Abu Bakar yang mengajarkan semua orang dengan kekuatan spiritualnya, tentu tidak ada seorang pun yang bisa menjawab benar.
Grandsyaikh melanjutkan bahwa setiap orang mempunyai satu bagian iman Abu Bakar, termasuk orang yang lemah imannya. Dari bagian itu begitu banyak orang akan masuk surga, tidak peduli orang itu menjalankan shalat atau tidak. Bagian iman itu menjaga setiap orang dari akhir yang buruk dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Kalimat “Laa ilaha ilallah Muhammadur rasulullah” telah terukir dalam hati kita, hanya perlu satu kesempatan untuk menunjukkannya. Suatu ketika Saya pergi ke Madinah bersama Grandsyaikh, melewati gunung, lembah dan padang pasir yang gundul, tidak satu pun tanaman yang tampak.
Ketika kami tiba di Madinah, hujan turun selama 3 hari kemudian berhenti. 2 bulan kemudian kami kembali ke Damaskus, melewati jalan yang sama namun kali ini terlihat berbeda. Seluruh permukaan tanah dipenuhi rumput dan beraneka ragam bunga. Saya berdo’a, “Ya Allah, di mana benih-benih itu bersembunyi?” Allah telah menjaga mereka. Ketika rahmat dan kasih-sayang-Nya turun dalam bentuk hujan, dengan cepat mereka tumbuh. Begitu banyak orang yang mempunyai benih keimanan dalam hatinya. Benih itu terpendam jauh dalam hatinya dan mereka menunggu datangnya hujan rahmat. Rahmat tersebut bisa saja tertunda sampai akhir hayatnya. Ketika seseorang yang terbaring di tempat tidur menjelang ajalnya mulai menangis, maka tangisan itu akan mengundang datangnya rahmat, bahkan walaupun hanya dengan setetes air mata. Allah berfirman, “hamba-Ku menangis,” kemudian benih keimanan mulai terbuka, memenuhi hatinya sehingga hati menjadi hijau dengan cahaya keimanan yang sesungguhnya. Bagaikan gurun pasir yang ditumbuhi rerumputan, kemudian kematian datang kepadanya dan dia mulai menangis.
Itulah tandanya bahwa rahmat telah datang kepadanya. Hanya jika nyawa telah sampai ke tenggorokan lalu orang itu bersendawa barulah pintu taubat tertutup. Bisakah kalian menemukan orang yang tidak menangis menjelang kematiannya? Allah tidak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya. Dia mempunyai rahmat yang tidak terhingga dan dalam samudera rahmat-Nya kita semua bukanlah apa-apa. Setiap saat iman berkembang dan bertambah kuat, begitu juga dengan rahmat Allah. Jika anda melihat orang yang tampaknya kurang mendapat rahmat, ketahuilah bahwa dia juga sebenarnya kurang beriman. Rasulullah telah diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Siapa pun yang ingin menjerumus kan orang lain ke dalam neraka berarti dia tidak bersama Rasulullah. Ketika Nabi Musa marah kepada Korah karena yang bersangkutan dituduh berzina, beliau melakukan shalat 2 rakaat untuk memutuskan hukuman apa yang akan diberikan.
Allah berfirman kepadanya, “Lakukan apa yang kamu suka.” Nabi Musa memerintahkan bumi untuk menelannya. Ketika Korah mulai terbenam, dia memohon kepada Nabi Musa untuk memaafkannya, Wahai Musa, demi hubungan saudara kita, maafkanlah aku.” Korah semakin dalam ditelan bumi. Kemudian dia memohon lagi, sampai 3 kali ketika akhirnya seluruh tubuhnya tenggelam dalam perut bumi. Allah memperingatkan Nabi Musa, “Wahai Musa! Mengapa kamu tidak memaafkan Korah padahal dia sudah meminta maaf berkali-kali? Dengan Kebesaran dan Kemuliaanku, jika dia memanggil Nama-Ku sekali dan memohon, ‘Ya Tuhanku! Ampunilah aku’ Aku akan segera mengampuni nya. Wahai Musa! Kamu bukanlah yang menciptakannya, jadi kamu tidak mengetahui apa-apa mengenai kasih-sayang.
Akulah Sang Pencipta, dan Aku Maha Mengetahui (mengenai) kasih-sayang kepada ciptaanku.” Allah ingin membawa orang-orang ke dalam Samudera Rahmat-Nya dengan bermacam-macam cara. Kita harus mempunyai harapan untuk memperoleh rahmat-Nya. Ini adalah salah satu atribut Ilahi dan Allah senang melihat hamba-Nya mengenakan atribut-Nya. Seperti sabda Rasulullah,“Wahai ummatku, berikanlah rahmat dan kasih-sayang kepada segala sesuatu di Bumi, sehingga Dia yang berada di Surga akan memberi rahmat dan kasih-sayang-Nya kepadamu.”
03. Sayyidinaa Salman Al Farisi (RA)
Salman al Farisi dikenal sebagai “Imam”, “ Pewaris Islam”, “Hakim yang Bijaksana”, “Ulama yang Berpengetahuan Luas”, “Ahlul Bayt”. Semua julukan trersebut diberikan kepadanya oleh Nabi Muhammad saw.
Salman Al Farisi ra, selalu berdiri tegar dalam menghadapi berbagai kesulitan untuk membawa Nur ala Nur, Cahaya Diatas Cahaya, dan menyebarkan Rahasia Hati. Mengangkat manusia dari kegelapan kepada Cahaya. Beliau adalah seorang sahabat Nabi saw yang terhormat, yang menuliskan Enam Puluh Tradisi, Sunah Nabi saw.
Salman Farisi ra, berasal dari keluarga Zoroastrian yang dihormati dari sebuah kota dekat Isfahan. Suatu hari ketika melewati sebuah gereja, ia tertarik mendengar suara orang yang sedang bersembahyang. Tertarik oleh cara pemujaan mereka, maka iapun masuk dan menemui bahwa agama itu lebih baik dari agamanya (Zoroaster). Setelah mempelajari bahwa agama itu berasal dari Syiria, maka ia meninggalkan rumahnya, meskipun hal tersebut bertentangan dengan keinginan ayahnya.
Salman al-Farisi pergi ke Syiria bergabung dengan pengikut Nasrani. Salman ra mengetahui dari mereka tentang kedatangan Nabi terakhir dan tanda-tanda yang menyertainya. Kemudian Salman berkelana ke Hijaz, disana dia ditangkap dan kemudian dijual sebagai budak ke Madinah, dimana akhirnya ia dapat bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Ketika ia mengetahui semua tanda-tanda pada diri Nabi saw seperti yang telah dikatakan guru Kristianinya, maka kemudian iapun memeluk islam.
Perbudakan menghalangi Salman ra untuk berada pada perang Badar dan Uhud. Kemudian Nabi Muhammad saw menolong dia terlepas dari perbudakan melalui bercocok tanam dengan tangan Beliau saw sendiri sebanyak 300 pohon palm dan memberi Salman ra sebongkah besar emas untuk terlepas dari perbudakan. Setelah menjadi manusia bebas ia mengambil bagian dalam setiap perang bersama Nabi saw. Didalam Kitab Ibnu Ishaq, Sirah Rasulullah saw kita menemukan perjalanan Salman ra dengan Nabi saw dalam mencari agama yang sebenar-benarnya.
Asim Ibnu Umar Ibnu Qatadah mengatakan bahwa Salman dari Persia berkata pada Nabi saw, bahwa gurunya di Amuria menyuruhnya pergi kesuatu tempat di Syiria dimana tinggal seorang lelaki diantara dua belukar. Setiap tahun saat ia melakukan perjalanan dari satu kota ke kota yang lain, orang yang berpenyakit akan berjajar sepanjang jalan yang dilaluinya dan meminta doanya kemudian mereka disembuhkan dari penyakitnya.
Gurunya berkata, tanyakan tentang agama yang engkau cari itu karena ia dapat menceritakannya. Maka sayapun terus berjalan sampai kesuatu tempat yang telah disebutkan, Disana orang-orang yang sakit berkumpul, kemudian orang yang disebutkan gurunya itu keluar dan melewati kumpulan orang-orang yang sakit itu dan semua orang datang dengan berbagai penyakitnya. Setiap orang yang didoakannya ternyata sembuh, tetapi orang-orang itu mencegahku untuk mendekatinya. , Saya tidak dapat mendekatinya sampai ia masuk dalam belukar yang ditujunya, kemudia aku memegang bahunya dan orang itu bertanya siapa diriku. “ Semoga Allah mengampuni kamu”
Ceritakan padaku tentang hanafiah agamanya Nabi Ibrahim, ia menjawab ,” Anda bertanya tentang suatu hal yang dijaman ini manusia tidak mengikutinya lagi, saat ini waktu sudah dekat dimana seorang Nabi akan dikirim melalui agama ini dari manusia-manusia yang berada diwilayah suci. Pergilah kepadanya karena ia akan membawamu kepada hal itu. Kemudian ia masuk kedalam belukar. Nabi saw berkata kepada Salman ra, seadainya engkau telah berkata benar kepadaku, maka sesungguhnya engkau telah bertemu dengan Yesus, Nabi Isa alaihi salam, anak Maryam.
Dalam salah satu perang Nabi saw, yaitu perang al-Kandaq, Salman menyarankan kepada Nabi saw untuk menggali parit disekililing Madinah untuk melindungi kota tersebut. Dan Nabi saw menerima sarang tersebut dengan gembira. Kemudian Salman ra memulai penggalian dengan tangannya sendiri, selama penggalian tersebut Salman terantuk batu yang sulit dipecahkan, Nabi saw kemudian mengambil kampak. Pada hantaman yang pertama kampak tersebut menimbulkan percikan dibatru itu, demikain juga pada hantaman kedua dan ketiga.
Kemudian ia bertanya pada Salman ra, “Oo.. Salman apa engkau melihat percikan itu? Salman menjawab, “Ya Nabi, aku melihatnya”. Nabi berkata,” Percikan pertama memberikan aku visi atau penglihatan dimana Allah swt telah membuka Yaman bagiku. Pada percikan kedua Allah membuka Damascus dan Al-Magrib (Barat) dan dipercikan yang ketiga Allah membuka daerah Timur. Salman mencatat, bahwa Nabi saw berkata: “Permohonan mencegah perjanjian atau kesepakatan. Tiada hal lain tetapi kebenaran meningkatkan kehidupan dan Tuhanmu sangatlah murah hati dan malu untuk berpaling dari tangan seorang hamba yang telah mengangkat tanggannya untuk berdoa kepadanya”.
At Tabari mencatat bahwa ditahun 1600 M / 637 H tentara muslim memasuki medan perang Persia dengan maksud untuk melawan Raja Persia. Disuatu daerah, mereka berada diseberang sungai Tigris. Komandan tentara muslim Saad Ibnu Abi Waqas, mengikuti instruksi dari mimpi yang ia alami, ia memerintahkan seluruh tentaranya untuk mencebur kesungai yang deras airnya. Banyak diantara mereka yang ketakutan dan ragu. Saad bersama Salman disebelahnya kemudian berdoa, “Ya Tuhanku berikan kami kemenangan dan dapat mengalahkan musuh.” Kemudian Salman sholat, dan Islam menganugerahkan keberkahan yang terbaik melalui pertolongan Allah, mereka menyeberangi sungai yang deras dengan mudah bagi para tentara muslim, seperti menyeberangi padang pasir.
Melalui pertolongan Allah, karena Salman telah memasrahkan dirinya kepada Allah, maka para tentara tersebut dengan mudah dapat menyeberangi sungai tersebut. Dengan jumlah yang sama baik ketika berangkat maupun ketika sampai . Salman menyebrangi sungai tersebut sehingga sungai dipenuhi oleh kuda dan manusia. Kuda-kuda mereka berenang sekuat tenaga dan ketika kuda-kuda tersebut kelelahan, maka dasar sungai seerti terangkat keatas dan memberikan pijakan sehingga mereka kembali bisa bernafas.
Bagi beberapa orang penunggang, kuda-kuda tersebut seperti berlari tanpa kesulitan sehingga mereka sampai diseberang sungai sesuai degan doa Salman dan tidak kehilangan perlengkapan apapun kecuali kecuali hanya satu gelas kaleng yang terbawa hanyut aliran sungai yang sangat deras.
Selanjutnya mereka mengambil alih ibukota Persia. Salman ra yang berhasil menaklukkan Persia bertindak sebagai juru bicara dan ia berkata, “ Saya berasal dari daerah yang sama seperti kalian. Saya akan bersimpati kepada kalian, untuk itu ada tiga pilihan, Pertama, Kalian boleh memeluk Islam dan kalian akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti kami, Kedua membayar pajak sebagai non muslim dan kami memerintah kalian dengan adil, Ketiga, Kami menyatakan perang terhadapmu. Penduduk Persia yang telah menyaksikan keajaiban penyebrangan tentara muslim melalui sungai Tigris kemudian menerima pilihan kedua yaitu membayara pajak sebagai non muslim
Salman Farisi kemudian ditunjuk sebagai gubernur didaerah itu dan menjadi komandan dari tiga puluh ribu tentara muslim. Meskipun demikian ia hidup sangat sederhana. Ia hidup dari hasil keringatnya sendiri. Ia tidak memiliki rumah tetapi memilih tinggal dibawah rimbunnya pepohonan. Salman ra mengatakan betapa terkejutnya dia melihat banyaknya orang yang menghabiskan hidup mereka hanya untuk kehidupan duniawi yang rendah tanpa memikirkan kematian yang dapat merenggut mereka suatu hari kelak.
Salman al Farisi juga seorang yang bersikap sangat tegas dan adil . Suatu hari dibagikan selembar kain kepada para sahabat . Umar ra berbicara,” Rendahkan suaramu sehingga kalian dapat mendengar suaraku”, saat itu Umar ra memakai dua potong kain. Salman ra berkata,” Demi Allah kami tidak akan mendengarmu karena engkau lebih memilih dirimu daripada umatmu”. “ Bagaimana bisa kau katakan seperti itu kepadaku?”,tanya Umar ra, Salman pun menjawab, “ Wahai Umar, engkau memakai dua potong kain sedangkan yang lain hanya memakai seportong kain. Umar ra pun bertanya kepada anaknya, ,”Oo.. Abdullah, “ anaknya Umar pun menjawab, “Demi pelayananmu”. Umar ra bertanya demi Allah, apa engkau mengakui potongan kedua kain itu milikmu?”, Abdullah berkata Ya Benar itu milikku”, kata anaknya, maka kemudian Salmanpun berkata, sekarang baru kita akan mendengarmu.
Salman al- Farisi setiap malam ia memenuhi malam-malamnya dengan solat dan saat lelah ia akan mulai berdzikir dengan lidahnya. Saat lidahnya lelah ia akan merenung dan bertafakur dan bermeditasi untuk mendapatkan kekuatan Allah Sang Pencipta. Kemudian ia akan berkata kepada dirinya, “Ooh Egoku, engkau telah beristirahat, sekarang bangun dan sholat, kemudian ia akan sholat, berdzikir kembali dan bertafakur sepanjang malam
Imam Bukhari mencatat dua tradisi yang menunjukkan pertimbangan Nabi saw terhadap Salman al Farisi. Abu Hurayrah ra, mencatat sewaktu mereka duduk bersama Nabi saw, saat itu Surat al-Jumuah sedang dibacakan kepadanya. Saat Nabi saw membacakan ayat tersebut bahwa Allah telah mengirim Muhammad saw kepada yang lain selain bangsa Arab. ( 62:3), Salman berkata,”Siapakah bangsa tersebut wahai Pembawa pesan Allah?, Nabi Muhammad saw tidak menjawab sampai aku mengulang pertanyaan itu tiga kali, saat itulah Salman al-Farisi berada bersama kami, Nabi saw meletakkan tangannya kebahu Salman sambil berkata,” Jika takdir berada di Pleiades, maka beberapa orang akan memperolehnya” ..
Abu Juhayfah berkata,”Nabi saw memnbuat ikatan persaudaran antara Salman dengan Abu al Darda al-Anshari. Suatu saat Salman berkunjung kepada Abu Darda dan mendapat Ummu Abu Darda berpakaian lusuh, ia bertanya mengapa Ummu Darda seperti itu, ia menjawab saudaramu Abu ad-Darda tidak tertarik dengan kemewahan duniawi. Sementara itu Abu ad-Darda masuk dan menyiapkan makanan bagi Salman.
Kemudian Salman meminta Abu ad-Darda makan bersamanya tetapi ia menjawab, “Aku berpuasa”.. Salman berkata,” aku tidak akan makan kalau engkau tidak makan”, sehingga Abu ad-Darda pun kemudian membatalkan puasanya dan makan bersama Salman. Saat malam tiba Abu Darda bangun untuk melakukan solat malam namum Salman menyuruhnya untuk tidur kembali. Selang berlalu Abu ad-Darda kembali bangun dan Salman meyuruhnya kembali tidur. Saat tiba saat terakhir solat Salman menyuruh Abu ad Darda sholat seraya berkata,”Tuhanmu memiliki hak atas kamu, jiwamu memiliki hak atas kamu dan keluargamu memiliki hak atas kamu. Abu ad-Darda menceritakan seluruhnya kepada Nabi saw, dan Nabi saw berkata Salman telah berbicara benar. Dan semua itu berasal dari perkataannya.
Dari Kata-Kata Salman al Farisi
Sulayman al Teemi ra menceritakan bahwa Salaman al Farisi berkata, “Nimrod membiarkan lapar dua singa dan kemudian melepaskannya untuk mengejar Nabi Ibrahim as, namum saat kedua singa berhadapan dengan Nabi Ibrahim as singa tersebut hanya berdiri dan dengan penuh kasih sayang menjilati seluruh badanya dan bersimpuh dikaki Nabi Ibrahim as.
Abi al Bakhtari menceritakan bahwa Salman al Farisi memiliki seorang budak perempuan keturunan Persia dan berbicara kepadanya dalam bahasa Persia sebagai berikut, “Sujudlah sekali saja dihadapan Allah”, kemudian budak itu menjawab, “aku tidak menyembah siapapun”. Kemudian seseorang bertanya kepada Salman, “Oh.. hamba Allah apa yang budak itu akan dapatkan dengan sekali saja bersujud kepada Allah?”, Salman menjawab, “Setiap hubungan akan merupakan bagian rantai yang penting dan jika budak ini melakukan sekali sujud sekali saja kepada Allah Yang Maha Kuasa, maka hal itu akan membimbingnya untuk bersolat lima waktu. Sebenarnya mereka yang memperoleh bagian dari barakah keislaman tidak sepadan dengan mereka yang tidak memilikinya”.
Sulayman al-Temmi ra mencertikan bahwa Salman berkata, jika seseorang melewati seluruh malamnya dengan membebaskan budak-budak dari perbudakan dan seseorang yang lain melewati malamnya dengan membaca al-Quran dan melakukan dzikir, maka orang kedualah yang memiliki posisi lebih tinggi dihadapan Allah swt.
Wafatnya Salman al Farisi
Salman al-Farisi yang dicintai meninggal pada tahun 33 H/ 654 M semasa pemerintahan Khalifah Usman ra. Ia meneruskan rahasianya kepada cucu laki-laki Abu Bakar ra yang bernama Imam Abu ar-Rahman Qasim ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar as Siddiq ra.
Sumber : Nur Muhammad.com
04. Sayyidina Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr (RA)
“Selama engkau belum merenungkan Pencipta,Engkau milik makhluk;tetapi ketika engkau telah merenungkan-Nya,makhluk yang diciptakan milikmu.”Ibnu `Ata’illah, Hikam.
Sayyidina Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq diturunkan dari Abu Bakar as-Siddiq pada sisi ayahnya dan dari Ali bin Abi Thalib di sisi ibunya. Ia dilahirkan pada hari Kamis, di bulan suci Ramadhan.
Hal ini diceritakan bahwa ia berkata, “Kakek saya, Abu Bakar as-Siddiq, sendirian dengan Nabi di Gua Abu Tsaur selama migrasi dari Mekah ke Madinah, dan Nabi berkata kepadanya: ‘Anda telah bersama saya sepanjang hidup Anda dan kamu telah melakukan segala macam kesulitan. Dan sekarang saya ingin Anda untuk membuat permohonan untuk memohon kebaikan Tuhan pada Anda ‘Abu Bakar lalu berkata,’ Wahai Rasulullah, Anda adalah rahasia jiwa saya dan rahasia hatiku.. Anda lebih tahu apa yang saya butuhkan. ‘”
Nabi mengangkat tangannya dan berkata, “Ya Allah, selama saya UU hasil Ilahi untuk Hari Pembalasan semoga Tuhan memberikan bahwa di antara keturunan Anda adalah mereka yang membawanya dan orang yang mewarisi rahasia batin, dan memberikan bahwa di antara keturunan Anda adalah mereka yang berada di jalan yang lurus dan mereka yang membimbing untuk itu. “
Jawaban pertama yang memohon dan yang pertama untuk menerima berkat yang Sayyidina Qasim. Pada waktu ia dikenal di Madinah sebagai Abu Muhammad. Orang-orang datang untuk mendengarkan bimbingan, kuliah (suhba) dan pengungkapan tentang makna yang tersembunyi dari Quran. Qasim ibn Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq adalah salah satu dari tujuh ahli hukum yang paling terkenal di Madinah, yang paling luas di antara mereka. Hal itu melalui tujuh Imam besar bahwa, Yurisprudensi awal, dan komentar Alquran disebarluaskan kepada masyarakat.
Dia bertemu beberapa tabiin dari sahabat, termasuk Salim bin Abd Allah ibn Umar.
Dia adalah seorang imam yang saleh dan sangat berpengetahuan di narasi dari Tradisi. Abu Zannad berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih baik daripada dia dalam mengikuti Sunnah Nabi. Dalam waktu kita tidak ada seorangpun yang dianggap sempurna sampai dia sempurna dalam mengikuti Sunnah Nabi, dan Qasim adalah salah seorang pria sempurna. “
Abdur-Rahman bin Abi Zannad mengatakan bahwa ayahnya berkata, “Aku tidak melihat siapa pun yang mengetahui sunnah lebih baik daripada Al-Qasim.”
Abu Nuaym berkata tentang dia dalam bukunya al-Awliya Hilyat: “Dia mampu mengekstrak peraturan hukum terdalam dan ia tertinggi dalam tata krama dan etika.”
Imam Malik meriwayatkan bahwa Umar bin Abd ul-Aziz, yang dianggap sebagai khalifah benar-terbimbing kelima, berkata, “Jika itu adalah di tangan saya, saya akan membuat al-Qasim khalifah di waktu saya.”
Sufyan berkata, “Beberapa orang datang ke al-Qasim dengan amal yang didistribusikan. Setelah ia didistribusikan itu, ia pergi untuk berdoa. Sementara ia berdoa, orang-orang mulai berbicara negatif tentang dia. Putranya berkata kepada mereka, ‘Anda sedang berbicara di belakang punggung seorang pria yang didistribusikan dana anda dan tidak mengambil satu dirham dari itu untuk dirinya sendiri. “Cepat ayahnya memarahi dia berkata,” Jangan bicara, tapi tetap tenang.’ ” Dia ingin mengajar anaknya untuk tidak membela dirinya, sebagai satu-satunya keinginan adalah untuk menyenangkan Allah. Dia tidak punya kepedulian terhadap pendapat orang.
Yahya bin Sayyid berkata, “Kami tidak pernah ditemukan, pada waktu kita di Madinah, orang lebih baik daripada Al-Qasim.” Ayyub as-Saqityani berkata, “Aku tidak melihat orang lebih baik dari Imam Qasim. Dia meninggalkan 100.000 dinar belakang bagi masyarakat miskin ketika dia meninggal dunia, dan itu semua dari penghasilan yang sah. “
Salah Satu Keajaiban-Nya
Grandsyaikh Syarafuddin dan penggantinya, Grandsyaikh Abd Allah ad-Daghestani (para syekh 38 dan 39 dalam Naqshbandi Golden Chain, masing-masing) menceritakan kisah berikut:
Tahun di mana Abu Muhammad Qasim adalah untuk meninggalkan dunia ini, pada ketiga Ramadhan ia melanjutkan ziarah. Ketika ia tiba dengan al-Qudayd, dimana peziarah biasanya berhenti, Allah dibuka untuk visi untuk dilihat para malaikat turun dari surga dan naik dalam jumlah tak terhitung jumlahnya. Mereka akan turun, mengunjungi tempat ini, dan kemudian pergi kembali. Saat ia melihat malaikat-malaikat ini membawa berkat-berkat yang Allah mengirim turun dengan mereka, maka seolah-olah bahwa kekuatan cahaya dan terkonsentrasi sedang dituangkan ke dalam hatinya langsung, mengisinya dengan ketulusan dan Tuhan-kesadaran.
Begitu visi ini terjadi, ia jatuh tertidur. Dalam mimpi ia melihat Abu Bakar as-Siddiq datang kepada-Nya. Dia berkata, “Wahai kakek saya, yang makhluk surgawi yang turun dan naik dan yang telah mengisi hatiku dengan Tuhan-kesadaran?”
Abu Bakar as-Siddiq menjawab, “Mereka malaikat Anda lihat naik dan turun, Allah telah ditetapkan untuk kuburan Anda. Mereka terus-menerus mengunjungi. Mereka mendapatkan berkat dari mana tubuh Anda akan dimakamkan di bumi. Untuk menghormati Anda, Allah memerintahkan mereka untuk turun dan meminta berkat untuk Anda. O cucu saya, jangan lalai tentang kematian Anda, itu akan datang segera dan Anda akan diangkat ke Hadirat Ilahi dan meninggalkan dunia ini “.
Qasim segera membuka matanya dan melihat kakeknya di depannya. Dia berkata, “Saya hanya melihat Anda dalam mimpi.” Abu Bakar as-Siddiq menjawab, “” Ya, aku diperintahkan untuk bertemu dengan Anda. “Itu berarti aku akan meninggalkan dunia ini,” jawab Qasim. “Ya, Anda akan meninggalkan dunia dan menemani kita untuk akhirat,” kata guru kami Abu Bakar as-Siddiq.
“Apa jenis akta yang Anda menyarankan saya lakukan pada saat-saat terakhir saya di bumi?” Tanya Qasim dari kakeknya. Abu Bakar as-Siddiq menjawab, “Wahai anakku, menjaga lidah Anda dibasahi dengan dzikrullah dan menjaga hati Anda siap dan hadir dengan dzikrullah. Itu adalah terbaik yang pernah Anda dapat mencapai di dunia ini. “
Lalu Abu Bakar mulai menghilang dan Qasim dhikr di lidah dan di dalam hatinya. Ia melanjutkan ke Mekah dan menyaksikan berdiri di Gunung Arafah (yang terjadi setiap tahun pada tanggal 9 Zulhijah). Dalam banyak orang kudus tahun, baik pria maupun wanita, secara rohani hadir di Arafah, dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq bertemu dengan mereka.
Ketika mereka berdiri, mereka semua mendengar Dataran Arafat dan gunung yang menangis sedih. Mereka bertanya Gunung Arafat, “Mengapa engkau menangis seperti ini?” Dan Gunung Arafat menjawab, “Aku dan semua malaikat menangis, karena hari ini bumi ini akan kehilangan salah satu pilar.”
Mereka bertanya, “Siapa pilar yang bahwa bumi adalah tentang kehilangan?” Gunung Arafat menjawab, “Abu Muhammad Qasim akan meninggalkan dunia ini, dan dunia tidak akan lagi dihargai dengan langkah-langkah, dan Aku tidak akan lagi melihat dia di dataran saya, dimana semua peziarah datang, dan saya akan merindukannya. Itulah sebabnya aku menangis dengan cara ini. Tidak hanya dari diriku sendiri, tetapi kakeknya Muhammad, dan kakeknya Abu Bakar, dan kakeknya Ali, dan seluruh dunia menangis. Mereka mengatakan kematian seorang ulama adalah kematian dunia. “
Pada saat itu Nabi dan Abu Bakar as-Siddiq secara rohani hadir di Arafah, di mana mereka menangis. Nabi berkata, “Dengan kematian Qasim korupsi besar akan muncul di bumi, karena ia adalah salah satu pilar dapat mencegahnya.”
Sebelumnya, yang menangis sedih Gunung Arafat hanya terjadi ketika Nabi wafat dari dunia ini, maka ketika Abu Bakar berlalu, maka ketika Salman berlalu, dan ketika Qasim berlalu. Salah satu orang kudus, Rabia al-Adawiyya, bertemu Qasim dalam perakitan rohani orang-orang kudus dan dia berkata, “Setiap hal hal dan kering hidup, aku mendengar mereka menangis. Mengapa, Oh Rabia, hal ini bisa terjadi? Saya pernah mengalami seperti menangis dalam hidupku. Apakah Anda tahu penyebabnya? “Dia menjawab,” Wahai Abu Muhammad, saya juga tidak dapat membedakan sifat yang menangis, sehingga Anda harus bertanya kakekmu, Abu Bakar. “
Abu Bakar muncul rohani kepada mereka, berkata, Lalu “itu menangis dari setiap titik di bumi ini adalah karena Anda meninggalkan kehidupan duniawi ini, karena saya memberitahu Anda pada ziarah Anda.” Qasim mengangkat tangan dan berdoa kepada Allah, “Karena saya meninggal dunia dari kehidupan ini sekarang, memaafkan siapa pun berdiri dengan saya di Gunung Arafat “Kemudian mereka mendengar suara berkata,”. Demi Anda, Allah telah mengampuni siapa pun berdiri dengan Anda di Gunung Arafah pada haji “Pada. saat itu Allah yang diwahyukan kepada Qasim jantung terbatas Gnostik pengetahuan.
Kemudian ia berangkat dari Gunung Arafat dan berkata, “Wahai Gunung Arafat, jangan lupa saya di Hari Penghakiman. Semua orang kudus dan semua nabi berdiri di sini dan jadi aku meminta Anda untuk tidak melupakan aku pada Hari Penghakiman “Itu gunung besar menjawab,” Wahai Qasim., “Dengan suara keras yang semua orang bisa mendengar,” Jangan lupakan aku pada Hari Kiamat . Jangan lupa aku. Biarkan aku menjadi bagian dari perantaraan Nabi. “
Pada saat itu Qasim kiri Gunung Arafat dan tiba di Makkah al-Mukarrama, di Kabah. Di sana ia mendengar menangis datang dari Rumah Tuhan yang terus meningkat ketika ia mendekat, dan semua orang mendengarnya. Itu suara Kabah, menangis berlalunya Qasim dari dunia ini. Dan itu datang seperti banjir, banjir air mata mengalir keluar dari Kabah, banjir seluruh area dengan air.
Rumah Tuhan berkata, “Wahai Qasim! Aku akan merindukanmu dan saya tidak akan melihat Anda lagi di dunia ini “Kemudian Kabah dibuat 500 circumambulations sekitar Qasim untuk menghormati dia.. Setiap kali mengunjungi orang suci Kabah menanggapi salam yang suci mengatakan, “Wa` alayka as-salam ya wali-Allah, ” “dan kedamaian atas kamu, O.. sahabat Allah. “
Lalu kata Qasim perpisahan ke Hajar al-Aswad (Black Stone), kemudian ke Jannat al-Mualla, pemakaman di mana Khadijat al-Kubra, istri pertama Nabi, dimakamkan, dan kemudian ke seluruh Mekah. Dia kemudian meninggalkan dan pergi ke al-Qudayd, sebuah tempat antara Mekah dan Madinah, pada tanggal 9 Muharram, di mana ia diwariskan ke kehidupan berikutnya. Tahun ini 108 (atau 109) AH/726 CE, dan dia adalah tujuh puluh tahun. Dia melewati rahasia dari Rantai Emas Naqsybandi untuk penggantinya, cucunya, Imam Jafar as-Sadiq.
05. Sayyidina Jafar as-Sadiq (RA)
“Saya telah menemukan – dan tidak berlebihan di alam ini –bahwa dia yang rezeki saya akan datang kepadaku.Aku lari ke Dia, dan pencarian saya untuk dia adalah penderitaan bagi saya.Apakah aku untuk duduk diam, dia akan datang kepadaku tanpa menyebabkan kebingungan. “`Urwa ibn Adhana.
Jafar as-Sadiq Bin Imam Muhammad al-Baqir, putra Al-Imam Zain al-`Abidin, putra al-Husain bin` Ali bin Abi Thalib, Ja far as-Sadiq lahir pada kedelapan Ramadan pada tahun 83 H. Ibunya adalah putri al-Qassim, yang besar kakek adalah Abu Bakr as-Siddiq.
Dia menghabiskan hidupnya dalam ibadah dan tindakan kesalehan demi Allah. Dia menolak semua posisi ketenaran mendukung `uzla atau isolasi dari dunia yang lebih rendah. Satu orang sezamannya, `Umar bin Abi-l-Muqdam, berkata,” Ketika aku melihat Jafar bin Muhammad aku melihat garis keturunan dan rahasia Nabi Muhammad bersatu di dalam dia.”
Ia menerima dari dua baris Nabi warisan: rahasia Nabi melalui ‘Ali dan rahasia Nabi melalui Abu Bakar. Dalam Dia dua garis keturunan bertemu dan untuk alasan bahwa ia disebut “Pewaris dari Maqam Nabi (Maqam an-Nubuwwa) dan Pewaris dari Maqam Jujur (Maqam as-siddiqiyya).” Dalam Dia ada mencerminkan cahaya pengetahuan Kebenaran dan Realitas. Yang bersinar terang sebagainya dan pengetahuan yang tersebar luas melalui dia selama hidupnya.
Jafar as-Sadiq meriwayatkan dari ayahnya, Muhammad al-Baqir, bahwa seorang pria datang ke kakeknya, Zain al-` Abidin, dan berkata, “Ceritakan tentang Abu Bakar!” Dia berkata, “Maksud Anda sebagai-Siddiq?” Orang itu berkata, “Bagaimana Anda memanggil dia sebagai-Siddiq ketika dia terhadap Anda, Keluarga Nabi?” Dia menjawab, “Celakalah kamu Nabi disebut dia sebagai-Siddiq,. Dan Allah menerima gelar sebagai-Siddiq. Jika anda ingin datang kepadaku, menjaga cinta Abu Bakar dan` Umar dalam hatimu. “
Jafar as-Sadiq berkata,” doa terbaik yang saya harapkan adalah perantaraan Abu Bakar as-Siddiq. ” Dari dia dilaporkan juga seruan berikut: “Ya Allah, Engkau adalah saya Saksi bahwa aku mengasihi Abu Bakar dan aku mencintai` Umar dan jika apa yang saya katakan adalah tidak benar semoga Allah memotongku dari syafaat Muhammad. “
Ia mengambil pengetahuan tentang hadis dari dua sumber: dari ayahnya ke `Ali dan dari kakek dari pihak ibu al-Qassim. Kemudian dia meningkatkan pengetahuan tentang hadis dengan duduk dengan `Urwa,` Aata, Nafi `dan Zuhri. Kedua Sufyans, Sufyan ath-Thawri dan Sufyan ibn `Uyayna, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan al-Qattan semua hadits diriwayatkan melalui dia, seperti yang dilakukan banyak orang lain dari ulama kemudian hadits. Dia adalah seorang mufassir al-Qur’an atau master dalam eksegesis, seorang sarjana yurisprudensi, dan salah satu mujtahid terbesar (kualifikasi untuk memberikan keputusan hukum) di Madinah.
Jafar as-Sadiq diperoleh baik pengetahuan agama eksternal maupun internal konfirmasi realitas di hati. Yang terakhir ini tercermin dalam berbagai visi dan kekuatan ajaib, terlalu banyak untuk diceritakan.
Satu kali seseorang mengeluh dengan al-Mansur, Gubernur Madinah, sekitar Jafar as-Sadiq. Mereka membawa dia sebelum Mansur dan meminta pria yang mengeluh, “Apakah Anda bersumpah bahwa Jafar as-Sadiq melakukan seperti yang Anda katakan? ” Dia berkata, “Aku bersumpah bahwa dia melakukan itu.” Jafar as-Sadiq berkata,” Biarkan dia bersumpah bahwa saya melakukan apa yang dia menuduh saya dan biarkan dia bersumpah bahwa Allah menghukum dia jika dia berbohong. ” Pria itu bersikeras keluhan dan Jafar as-Sadiq bersikeras bahwa dia mengambil sumpah. Akhirnya orang menerima untuk mengambil sumpah. Begitu kata-kata yang keluar sumpah dari mulutnya daripada dia jatuh mati.
Begitu ia mendengar bahwa al-Hakm bin al-‘Abbas al-Kalbi disalibkan pamannya sendiri Zaid pada kurma. Dia begitu sedih tentang hal ini bahwa ia mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Allah mengirimkan salah satu anjing Anda untuk memberinya pelajaran.” Hanya waktu yang singkat berlalu sebelum al-Hakm dimakan oleh singa di padang pasir.
Imam at-Tabari menceritakan bahwa Wahb berkata, “Aku mendengar Laits bin Sa` d berkata, aku pergi haji pada tahun 113 H., dan setelah saya berdoa siang wajib (salat al-`Ashar) saya membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan aku melihat seseorang duduk di samping saya memanggil Allah mengatakan ‘Ya Allah, Ya Allah …’ berulang kali sampai ia kehabisan nafas Dia kemudian melanjutkan dengan mengatakan ‘Ya Hayy, Ya Hayy …’. sampai napasnya kembali hilang. Ia kemudian mengangkat tangannya dan berkata, “Ya Allah, aku memiliki keinginan untuk makan buah anggur, Ya Allah berikan saya beberapa Dan jubah saya (jubba) menjadi begitu tua dan compang-camping, silahkan O hibah Allah. saya yang baru. ” Laith bin Sa `d berkata bahwa ‘Dia telah hampir selesai kata-katanya sebelum sekeranjang anggur muncul di depannya, dan pada waktu itu tidak ada anggur di musim. Selain keranjang buah anggur muncul ada dua jubah lebih indah daripada yang saya pernah lihat sebelumnya. ” Aku berkata, ‘biarkan pasangan Ya saya berbagi dengan Anda. ” Dia berkata, ‘Bagaimana Anda pasangan? ” Aku menjawab, ‘Anda sedang berdoa dan saya mengatakan Amin. ” Kemudian Imam Jafar as-Sadiq berkata,” Lalu datang dan makan dengan saya, ‘dan dia memberi saya salah satu dari dua jubah. Kemudian ia berjalan pergi sampai ia bertemu dengan seorang pria yang berkata,’ Wahai putra Nabi, tutup saya karena saya telah apa-apa tetapi pakaian compang-camping untuk menutupi aku. ” Dia segera memberinya jubah bahwa dia baru saja menerima aku bertanya bahwa manusia, “Siapa itu?”. Dia menjawab, “Itu adalah Imam besar, Jafar as-Sadiq. ” Aku berlari setelah dia menemukan dia tapi dia telah menghilang. “
Ini hanya contoh dari banyak anekdot dan kisah-kisah tentang kekuatan ajaib (karamat) dari Jafar as-Shadiq.
Dari pengetahuan, ia sering berkata kepada Sufyan ath-Thawri, “Jika Allah melimpahkan nikmat pada Anda, dan Anda ingin tetap mendukung itu, maka Anda harus memuji dan berterima kasih Dia berlebihan, karena Dia berkata,” Jika kamu bersyukur Allah akan meningkatkan untuk Anda “[14:07] Dia juga berkata,.” Jika pintu penyisihan tertutup bagi Anda, kemudian membuat banyak istighfar (memohon pengampunan), karena Allah berkata, “Carilah pengampunan dari Tuhanmu, tentu Anda Tuhan sering Pengampun “[11:52]. Dan ia berkata kepada Sufyan, “Jika Anda marah oleh tirani seorang Sultan atau penindasan lain yang Anda saksi, mengatakan” Tidak ada perubahan dan tidak memiliki kekuatan kecuali dengan Allah, “(la haula wa la quwata ilaa-billah) karena adalah kunci untuk Relief dan salah satu Treasures surga. “
Dari ungkapannya
“Nun [huruf” n “] pada awal Surat 68 merupakan cahaya Pra-keabadian, di mana Allah menciptakan semua ciptaan, dan yang Muhammad Itulah sebabnya Dia mengatakan dalam [ayat 4] surat yang sama.: ‘Sesungguhnya Engkau yang bersifat luhur’ – yaitu:. Anda istimewa dengan cahaya dari pra-keabadian “
“Allah SWT dan Ta’ala kepada dunia yang lebih rendah,” Melayani orang yang melayani Aku dan banyak orang yang melayani Anda. “
“Doa adalah pilar setiap orang saleh, haji adalah jihad setiap yang lemah, sedangkan zakat badan adalah puasa, dan orang yang meminta bantuan Allah tanpa melakukan perbuatan yang baik adalah seperti satu mencoba untuk menembak panah tanpa busur . “
“Buka pintu pemberian dengan memberikan donasi; pagar uang Anda dengan membayar zakat, yang terbaik adalah dia yang limbah tidak, perencanaan adalah dasar dari hidup Anda, dan untuk bertindak hati-hati adalah dasar dari kecerdasan.”
“Barangsiapa membuat orang tua sedih itu telah mengabaikan hak-haknya pada dirinya.”
“Para ahli hukum adalah wali Nabi … Jika Anda menemukan ahli hukum menempel perusahaan dari Sultan, katakanlah kepada mereka, ‘Ini adalah dilarang, sebagai ahli hukum tidak dapat mengungkapkan pendapat yang jujur di bawah tekanan kedekatan Sultan . “
“Tidak ada makanan lebih baik daripada Tuhan-rasa takut dan tidak ada yang lebih baik daripada diam, tidak ada musuh lebih kuat dari kebodohan, penyakit tidak lebih besar dari berbohong.”
“Jika Anda melihat sesuatu yang anda tidak suka dalam saudara Anda mencoba untuk menemukan 1-70 alasan baginya. Jika Anda tidak dapat menemukan alasan, mengatakan,” Mungkin ada alasan tapi saya tidak tahu itu. ” “
“Jika Anda mendengar kata dari seorang muslim yang menyinggung, mencoba mencari arti yang baik untuk itu Jika Anda tidak menemukan arti yang baik untuk itu,. Katakan pada diri sendiri, ‘Aku tidak mengerti apa yang dia katakan,” dalam rangka untuk menjaga keharmonisan antara Muslim. “
Wafatnya
Jafar as-Sadiq meninggal dunia pada 148 H. dan dimakamkan di Jannat al-Baqi` dalam kubur sama dengan ayahnya, Muhammad al-Baqir, kakeknya, Zain al-`Abidin, dan paman dari kakeknya, al -Hasan ibn `Ali. Dia lulus pada Rahasia Rantai Emas untuk penggantinya, Tayfur Abu Yazid al-Bistami, lebih dikenal sebagai Bayazid al-Bistami.
06. S.S. Thayfur Abu Yazid al-Bisthami (QS)
Aku telah menanamkan cinta di dalam hatiku yang tidak akan terusik hingga Hari Kiamat. Kau telah melukai hatiku ketika Engkau datang mendekatiku. Hasratku tumbuh, cintaku bergejolak. Ia telah menuangkan seteguk minuman untukku. Ia telah memacu jantungku dengan secangkir cinta yang telah diisinya pada samudra persahabatan.
Bayazid
Kehidupannya
Kakek Bayazid adalah seorang Majusi (Penyembah Api) dari Persia. Bayazid melakukan studi mendetail mengenai Syariah dan menerapkan zuhud dengan ketat dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang hidupnya ia tekun menjalani kewajiban agamanya dan melakukan ibadah-ibadah nawafil.
Beliau menganjurkan murid-muridnya untuk menyerahkan urusan mereka kepada Allah dan mendorong mereka untuk menerima akidah tauhid yang murni dengan ikhlas. Akidah ini terdiri dari lima prinsip, yaitu: menjaga kewajiban sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, selalu mengatakan yang haqq, menjaga kalbu dari kebencian, menghindari makanan yang haram dan menjauhi bid`ah.
Perkataannya
Salah satu pekataannya adalah, “Aku telah sampai pada posisi mengenal Allah melalui Allah, dan aku telah sampai pada posisi mengenal apa-apa selain Allah melalui cahaya Allah.”
Beliau berkata, “Allah telah mengaruniai hamba-hamba-Nya berbagai nikmat dengan maksud untuk membawa mereka lebih dekat kepada-Nya; bukannya malah membuat mereka terpesona dengan nikmat itu dan menjauhkan mereka dari-Nya.”
Dan beliau berkata, berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan makhluk ini tanpa sepengetahuan mereka dan Engkau telah meletakkan amanat pada mereka tanpa keinginan mereka. Jika Engkau tidak menolong mereka, siapa lagi yang akan menolongnya?”
Bayazid berkata bahwa tujuan akhir dari Sufi adalah mengalami penglihatan terhadap Allah di Akhirat. Dampak hal itu beliau katakan, “Ada hamba-hamba Allah yang jika Allah menghijab Diri-Nya dari pandangan mereka di Surga, mereka akan memohon kepada-Nya untuk dikeluarkan dari Surga, seperti halnya para penghuni Neraka yang memohon kepada-Nya agar dikeluarkan dari Neraka.”
Beliau mengatakan tentang bagaimana cinta Allah terhadap hamba-hamba-Nya, “Jika Allah mencintai hamba-Nya, Dia akan mengaruniai tiga atribut sebagai bukti cinta-Nya: kemurahan seperti kemurahannya lautan, dan kenikmatan seperti kenikmatan yang diberikan matahari dalam memberi cahayanya, dan ketawadukan seperti tawaduknya bumi. Pecinta sejati tidak pernah menganggap setiap penderitaan terlalu besar dan tidak pernah menurunkan ibadahnya karena imannya yang murni.”
Seseorang bertanya pada Bayazid, “Tunjukkan padaku amal apa yang dapat mendekatkan aku dengan Tuhanku.” Beliau berkata, “Cintailah wali-wali Allah agar mereka mencintaimu. Karena Allah melihat pada kalbu wali-wali-Nya dan Dia akan melihat namamu terukir di dalam kalbunya dan Dia akan mengampunimu.” Untuk itulah para pengikut Naqsybandi telah diangkat melalui cinta mereka terhadap Syekhnya. Cinta ini mengangkat mereka menuju maqam kebahagiaan terus-menerus dan kehadiran terus-menerus di dalam kalbu Syekh yang mereka cintai.
Banyak ulama Muslim di zamannya, dan banyak ulama setelahnya yang berkata bahwa Bayazid al-Bisthami (q) adalah yang pertama yang menyebarkan Haqiqat Fana’. Bahkan ulama yang paling ketat, Ibn Taymiyya, yang muncul pada abad ke-7 H. mengagumi Bayazid untuk hal ini dan menganggapnya sebagai salah satu gurunya. Ibn Taymiyya mengatakan tentangnya, “Ada dua kategori fana‘: yang pertama adalah untuk para Nabi dan Wali yang kamil (sempurna), dan kedua untuk para salik di antara para Wali dan Shalihiin. Bayazid al-Bisthami (q) tergolong pada kategori pertama dari yang mengalami fana’, yang artinya penolakan mutlak terhadap segala sesuatu selain Allah. Beliau tidak menerima apapun kecuali Allah. Beliau tidak menyembah apapun kecuali Allah, dan beliau tidak meminta kepada siapapun kecuali Allah.” Ia meneruskan kutipan kata-kata Bayazid, “Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali apa yang Dia inginkan.”
Dilaporkan mengenai Bayazid bahwa beliau berkata, “Aku menceraikan dunia tiga kali agar aku tidak dapat kembali kepadanya dan aku bergerak menuju Tuhanku sendiri, tanpa orang lain, dan aku menyebut-Nya sendiri untuk meminta pertolongan, dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ya Allah, tidak ada lagi yang tersisa untukku kecuali Engkau.’ Pada saat itu aku mengetahui keikhlasan doa di dalam kalbuku dan hakikat ketidakberdayaan egoku. Kalbuku segera dapat mengetahui penerimaan doa itu. Ini membuka suatu penglihatan padaku bahwa aku tidak lagi ada dan diriku telah lenyap sepenuhnya dan fana’ ke dalam Diri-Nya. Dan Dia membawa semua yang telah aku ceraikan sebelumnya ke hadapanku, dan membusanaiku dengan Cahaya dan Sifat-Nya.”
Bayazid berkata, “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” Dan beliau terus berkata, “Aku sudah berada di lautan ketika para Nabi sebelumnya masih berada di pantai.” Dan beliau berkata, “Wahai Tuhanku, Kepatuhan-Mu terhadapku lebih besar daripada kepatuhanku terhadap-Mu.” Artinya, “Wahai Tuhan, Engkau telah mengabulkan permintaanku walaupun aku belum mematuhi-Mu.”
Beliau berkata, “Aku membuat empat kesalahan dalam tahap-tahap awalku di jalan ini: aku berpikir bahwa aku mengingat-Nya dan aku mengetahui-Nya dan aku mencintai-Nya dan aku mencari-Nya; tetapi ketika aku telah mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatnya Dia terhadapku mendahului ingatnya aku terhadap-Nya, dan pengetahuan-Nya mengenaiku mendahului pengetahuanku mengenai-Nya dan cinta-Nya terhadapku lebih dahulu daripada cintaku terhadap-Nya, dan Dia telah mencariku agar aku mulai mencari-Nya.”
Adz-Dzahabi banyak mengutipnya dalam banyak hal besar, di antaranya “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” dan “Tidak ada apa-apa di dalam jubah yang kupakai kecuali Allah.” Guru Adz-Dzahabi, yaitu Ibn Taymiyya menjelaskan, “Beliau tidak lagi melihat dirinya sendiri ada, tetapi beliau hanya melihat eksistensi Allah, karena zuhud yang diterapkannya.”
Lebih lanjut Adz-Dzahabi meriwayatkan, “Beliau berkata, ‘Ya Allah, mana Neraka-Mu? Itu bukan apa-apa. Biarkan aku menjadi satu-satunya orang yang masuk ke dalamnya agar yang lainnya selamat. Dan mana Surga-Mu? Itu hanya mainan bagi anak-anak. Dan mana orang-orang kafir yang ingin Kau siksa? Mereka adalah hamba-Mu. Ampunilah mereka.”
Ibn Hajar berkata, merujuk pada ungkapan Bayazid yang termasyhur, “Allah mengetahui rahasia dan Allah mengetahui isi kalbu. Apapun yang dikatakan oleh Aba Yazid dari Ilmu Hakikat, orang-orang di zamannya tidak dapat memahaminya. Mereka mengutuknya dan mengusirnya tujuh kali dari kotanya. Setiap kali beliau diusir, bencana yang mengerikan akan menimpa kota itu sampai orang-orang memanggilnya kembali, kemudian berbay’at kepadanya, dan menerimanya sebagai seorang Wali sejati.”
Attar dan Arusi meriwayatkan bahwa ketika Bayazid diusir dari kotanya, beliau berkata, “Wahai kota yang diberkati, yang dibuang adalah Bayazid!”
Suatu ketika Bayazid berkata, “Allah Yang Maha Adil memanggilku ke Hadirat-Nya dan berkata kepadaku, ‘Wahai Bayazid, bagaimana engkau sampai ke Hadirat-Ku?’ Aku menjawab, ‘Melalui zuhud, dengan meninggalkan dunia.’ Dia berkata, ‘Nilai dunia adalah seperti sayap seekor nyamuk. Zuhud seperti apa yang kau lakukan untuk datang kepada-Ku?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui tawakkul, dengan berserah diri kepada-Mu.’ Kemudian Dia berkata, ‘Pernahkah Aku melanggar amanat yang Aku janjikan kepadamu?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui-Mu.’ Pada saat itu Allah berkata, ‘Sekarang Kami menerimamu.’”
Beliau berkata, “Aku berdiri bersama orang-orang saleh, tetapi aku tidak mendapat kemajuan bersama mereka. Aku berdiri bersama para prajurit dalam gerakannya tetapi aku tidak menemukan kemajuan satu langkah pun bersama mereka. Aku berdiri bersama mereka yang banyak melakukan salat dan puasa tetapi aku tidak membuat satu pun kemajuan. Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?’ dan Allah menjawab, ‘Tinggalkan dirimu dan datanglah.’”
Ibrahim Khawwas berkata, “Jalan yang Allah tunjukkan kepadanya, dengan kata-kata yang sangat halus dan penjelasan yang sangat sederhana adalah ‘tinggalkan ketertarikanmu terhadap dua alam, dunia dan akhirat, tinggalkan semuanya selain Aku.’ Itu adalah jalan terbaik dan termudah untuk datang kepada Allah `Azza wa Jalla, maqam tertinggi dan yang paling sempurna dalam menegaskan Keesaan Allah, tidak menerima apapun atau siapapun kecuali Allah Ta`ala.”
Salah seorang dari pengikut Dzul Nun al-Misri mengikuti Bayazid. Bayazid bertanya kepadanya, “Siapa yang kau inginkan?” Ia menjawab, “Aku menginginkan Bayazid.” Beliau berkata, “Wahai anakku, Bayazid menginginkan Bayazid selama 40 tahun tetapi masih belum menemukannya.” Murid Dzul Nun itu kemudian mendatangi gurunya dan menceritakan peristiwa ini kepadanya. Mendengar cerita itu, Dzul Nun jatuh pingsan. Beliau kemudian menjelaskan, “Guruku Bayazid telah fana dalam Cinta Allah. Hal itu menyebabkan ia berusaha untuk mencari dirinya kembali.”
Orang-orang memintanya, “Ajari kami bagaimana engkau mencapai Hakikat sejati.” Beliau berkata, “Dengan melatih diriku, melalui khalwat.” Mereka bertanya, “Bagaimana?” Beliau berkata, “Aku memanggil diriku untuk menerima Allah `Azza wa Jalla, tetapi ia menolaknya. Kemudian aku bersumpah bahwa aku tidak akan minum air dan aku tidak akan merasakan tidur sampai aku dapat membawa diriku (nafs) di bahwa kendaliku.”
Beliau juga berkata, “Ya Allah, tidak aneh bila aku mencintai-Mu karena aku adalah hamba yang lemah, tetapi aneh bahwa Engkau mencintaiku karena Engkau adalah al-Malik al-Mulk, Raja dari semua Raja.”
Beliau berkata, “Selama tiga puluh tahun, ketika aku ingin mengingat Allah dan melakukan zikir, aku biasa membersihkan mulut dan lidahku untuk bertasbih mengagungkan-Nya.”
Beliau berkata, “Selama seorang hamba berpikir bahwa ada di antara umat Muslim yang lebih rendah darinya, hamba itu masih mempunyai kesombongan.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Gambarkan mengenai siangmu dan gambarkan tentang malammu.” Beliau berkata, “Aku tidak mempunyai siang dan aku tidak mempunyai malam, karena siang dan malam adalah untuk mereka yang mempunyai karakteristik sebagai makhluk. Aku telah melepaskan diriku sebagaimana ular melepaskan kulitnya.”
Mengenai Sufisme, Bayazid berkata, “Itu adalah meninggalkan istirahat dan menerima penderitaan.”
Mengenai kewajiban untuk mengikuti seorang mursyid, beliau berkata, “Barang siapa yang tidak mempunyai syekh, maka syekhnya adalah Setan.”
Dalam mencari Tuhan, beliau berkata, “Lapar adalah awan hujan. Jika seorang hamba lapar, Allah akan mencurahkan kalbunya dengan hikmah.”
Mengenai perantaraannya, beliau berkata, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat bagi semua orang di zamanku, aku tidak akan merasa sombong, karena aku hanya memberi syafaat bagi sekeping tanah,” dan, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat, pertama aku akan memberikannya kepada orang-orang yang telah menyakitiku dan orang-orang yang telah mengingkariku.”
Kepada seorang anak muda yang menginginkan sepotong jubah tuanya untuk keberkahan, Bayazid berkata, “Seandainya engkau mengambil semua kulit Bayazid dan memakaikannya pada dirimu, itu tidak akan memberi manfaat apa-apa kepadamu, kecuali engkau mengikuti teladannya.”
Orang-orang berkata kepadanya, “Kunci Surga adalah, ‘La ilaha ill-Allah.” Beliau berkata, “Itu benar, tetapi kunci itu adalah untuk membuka gemboknya; dan kunci syahadat semacam itu hanya akan bekerja dengan kondisi sebagai berikut:
1) dengan lidah yang tidak berbohong dan bergunjing;
2) kalbu yang tidak berkhianat;
3) perut tanpa rezeki yang haram atau meragukan;
4) amal tanpa pamrih atau bid’ah.”
Beliau berkata, “Ego atau nafs selalu melihat pada dunia, ruh selalu melihat pada akhirat dan makrifat selalu melihat Allah `Azza wa Jalla. Orang yang dikalahkan oleh egonya tergolong orang-orang yang dihancurkan, dan orang yang ruhnya menguasai egonya termasuk orang yang saleh, dan orang yang makrifatnya menguasai egonya termasuk orang yang bertakwa.”
Ad-Dailami berkata, “Suatu ketika aku bertanya kepada `Abdur Rahman bin Yahya mengenai maqam berserah diri kepada Allah (tawakkul). Beliau berkata, “Jika engkau meletakkan tanganmu di mulut singa, jangan takut pada siapapun kecuali Allah.” Di benakku aku ingin menanyakan hal ini kepada Bayazid. Aku lalu mengetuk pintunya dan aku mendengar suara dari dalam, “Tidakkah yang dikatakan oleh `Abdur Rahman cukup untukmu? Kau datang hanya untuk bertanya, dan bukan dengan niat untuk berkunjung kepadaku.” Aku mengerti dan aku datang lagi pada tahun berikutnya dan mengetuk pintunya. Kali ini beliau menjawab, “Selamat datang wahai anakku, kali ini engkau datang sebagai orang yang berkunjung, bukan sebagai penanya.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Kapankah seseorang dikatakan dewasa?” Beliau berkata, “Ketika ia tahu kesalahan dirinya dan ia menyibukkan diri untuk memperbaikinya.”
Beliau berkata, “Selama dua belas tahun aku menempa diriku, dan lima tahun memoles cermin dalam kalbuku, dan selama satu tahun aku memandang pada cermin itu dan aku melihat korset orang kafir di perutku. Aku berusaha untuk memotongnya dan aku menghabiskan dua belas tahun untuk melakukannya. Kemudian aku melihat cermin itu lagi dan aku melihat korset itu di dalam tubuhku. Aku menghabiskan lima tahun untuk memotongnya. Kemudian aku menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat apa yang telah kulakukan. Dan Allah membukakan padaku penglihatan kepada semua makhluk. Dan aku melihat mereka semua mati. Dan aku melakukan empat kali takbir jenazah (salat jenazah) bagi mereka.”
Suatu ketika beliau berkata, “Jika Arasy dan semua yang berada di sekitarnya dan apa yang berada di dalamnya diletakkan di sudut kalbu seorang Arifin, semua akan lenyap sepenuhnya di dalamnya.”
Mengenai maqam Bayazid, al-`Abbas ibn Hamza meriwayatkan hal berikut, “Aku melakukan Salat Zhuhur di belakang Bayazid, dan ketika beliau mengangkat kedua tangannya untuk mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak sanggup untuk mengucapkan kalimat itu karena takutnya terhadap Nama Suci Allah, dan seluruh tubuhnya gemetar dan suara tulang-belulang yang patah terdengar darinya; aku merinding ketakutan.”
Munawi meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Bayazid menghadiri kelas seorang faqih yang sedang menjelaskan hukum waris, “Ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anu dan anu, anak-anaknya akan mewarisi anu dan anu dan seterusnya.” Bayazid berseru, “Wahai faqih, wahai faqih! Apa yang akan kau katakan mengenai orang yang mati tetapi tidak meninggalkan apa-apa kecuali Allah?” Orang-orang mulai menangis, dan Bayazid melanjutkan, “Seorang hamba tidak memiliki apa-apa; ketika ia mati, ia tidak meninggalkan apa-apa kecuali tuannya. Ia akan kembali seperti ketika Allah menciptakannya pada mulanya.” Kemudian beliau membacakan ayat, “Kau akan kembali kepada Kami sendiri-sendiri, sebagaimana yang Kami ciptakan pada mulanya.” [6:94].
Sahl at-Tustari mengirim sebuah surat kepada Bayazid yang berbunyi, “Ini adalah seorang pria yang minum minuman yang membuatnya segar sepanjang masa.” Bayazid menjawab, “Ini adalah seorang pria yang telah meminum semua eksistensi, tetapi mulutnya kering dan terbakar dengan kehausan.”
Wafatnya
Ketika Bayazid wafat, beliau berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Sebelum beliau wafat, seseorang bertanya mengenai umurnya. Beliau berkata, “Aku berumur empat tahun. Karena selama tujuh puluh tahun aku terhijab. Aku baru menyingkirkan hijabku empat tahun yang lalu.” Syekh ke-39 dalam Silsilah Keemasan, Sulthan al-Awliya Syekh `Abdullah Daghestani (q), merujuk pada ucapan ini dalam pertemuannya dengan Khidr (a), yang mengatakan kepadanya sambil menunjuk makam beberapa ulama besar di kompleks pemakaman Muslim, “Yang ini berumur tiga tahun, yang itu tujuh, yang itu dua belas.”
Bayazid wafat pada tahun 261 H./875 M. Dikatakan bahwa beliau dimakamkan di dua tempat yang berbeda, satu di Damaskus dan satu lagi di Bistham, Iran. Rahasia Silsilah Keemasan diteruskan dari Bayazid al-Bisthami (q) kepada Abul Hasan al-Kharqani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/tayfur-abu-yazid-al-bistami-radiya-l-lahu-canh/)
07. S.S. Abul Hassan `Ali ibn Ja`far al-Kharqani (QS)
“Engkau berkenan menjadi manis dan biarkan hidup menjadi pahit!
Jika perihal Engkau, apa yang penting pria itu marah.
Biarkan segalanya di antara aku dan Engkau dibudidayakan,
Antara aku dan dunia membiarkan semuanya menjadi gurun!
Jika cinta-Mu terjamin, semua itu mudah,
Untuk segala sesuatu di bumi hanyalah bumi.”
Anonim.
Beliau adalah seorang Ghawts di zamannya dan unik dalam maqamnya. Beliau adalah kiblat para pengikutnya dan Samudra Ilmu yang memancarkan gelombang cahaya dan ilmu spiritual bagi para awliya lainnya.
Beliau mengosongkan dirinya dari segala sesuatu kecuali Keesaan Allah, menolak semua gelar dan aspirasi bagi dirinya. Beliau tidak dikenal sebagai pengikut ilmu tertentu, bahkan ilmu spiritual, dan beliau berkata, “Aku bukan seorang rahib. Aku bukan seorang zahid. Aku bukan seorang penceramah. Aku bukan seorang Sufi. Ya Allah, Engkau adalah Esa, dan aku satu di dalam Keesaan-Mu.”
Mengenai ilmu dan praktik, beliau berkata:
Ulama dan hamba di dunia ini banyak tetapi mereka tidak bermanfaat bagimu, kecuali engkau terlibat di dalam meraih rida Allah, dan sejak pagi hingga malam menyibukkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang Allah terima.
Mengenai menjadi seorang Sufi, beliau berkata,
Sufi bukanlah orang yang selalu membawa sajadah, dan bukan pula orang yang memakai pakaian bertambal, bukan pula orang yang membuat kebiasaan dan penampilan tertentu; tetapi Sufi adalah orang di mana fokus semua orang tertuju padanya, walaupun ia menyembunyikan dirinya.
Sufi adalah orang yang di siang hari tidak memerlukan matahari dan di malam hari tidak memerlukan bulan. Esensi Sufisme adalah non eksistensi multak yang tidak memerlukan eksistensi karena tidak ada eksistensi selain eksistensi Allah.
Beliau ditanya mengenai Shiddiq. Beliau berkata, “Shiddiq adalah berbicara dengan hati nuranimu.”
Mengenai Bayazid beliau berkata,
Ketika Abu Yazid berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa’ sesungguhnya itu adalah keinginan yang nyata (iradah).
Beliau ditanya, “Siapakah orang yang tepat untuk berbicara mengenai fana’ dan baqa’?” Beliau menjawab, “Itu adalah ilmu untuk orang yang seolah-olah tergantung pada sehelai benang sutra dari langit ke bumi kemudian datang angin puting beliung yang membawa semua pohon, rumah, dan gunung-gunung lalu melemparkannya ke dalam lautan hingga memenuhinya. Jika angin puting beliung itu tidak dapat menggerakkan orang yang tergantung pada benang sutra itu, maka ia adalah orang yang dapat berbicara mengenai fana’ dan baqa’.”
Suatu ketika Sultan Mahmoud al-Ghazi mengunjungi Abul Hassan (q) dan meminta pendapatnya mengenai Bayazid al-Bisthami (q). Beliau berkata, “Siapa pun yang mengikuti Bayazid, ia akan terbimbing. Dan siapa pun yang melihatnya atau merasakan cinta padanya di dalam hatinya, ia akan meraih khusnul khatimah.
Pada saat itu Sultan Mahmoud berkata, “Bagaimana hal itu mungkin, Abu Jahl saja yang melihat Nabi (s) tidak dapat meraih khusnul khatimah dan malah berakhir dalam penderitaan?” Beliau menjawab, “Hal itu karena Abu Jahl tidak melihat Nabi (s) melainkan ia melihat Muhammad bin `Abdullah. Bila ia melihat Rasulullah (s), ia akan diangkat dari penderitaannya dan meraih kebahagiaan. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan kamu melihatnya memandang kamu tetapi tanpa penglihatan yang jernih.” [7:198]. Beliau lalu melanjutkan dengan perkataan yang sudah dikutip sebelumnya, “Penglihatan dengan mata kepala…”
Perkataan lainnya dari beliau,
“Mintalah kesulitan agar air mata keluar dari matamu, karena Allah mencintai orang-orang yang menangis,” merujuk pada nasihat Nabi (s) untuk banyak menangis.
Dalam berbagai cara kalian meminta sesuatu kepada Allah, tetap saja Qur’an adalah yang terbaik. Jangan meminta kepada Allah keculai melalui al-Qur’an.
Pewaris Nabi (s) adalah orang yang mengikuti jejaknya dan tidak pernah meninggalkan tanda hitam di dalam Catatan Amalnya.
Wafatnya
Abul Hasan al-Kharqani (q) wafat pada hari Selasa, tanggal 10 Muharam 425 H./1033 M. Beliau dimakamkan di Kharqan, sebuah desa di kota Bistham, Iran. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Abu Ali al-Fadl ibn Muhammad al-Farmadi at-Tusi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abul-hassan-ali-al-kharqani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
08. S.S. Abu `Ali al-Farmadhi at-Tusi (QS)
“Wahai anak kecil! Kata Luqman yang Bijak,
Jangan biarkan ayam jago lebih waspada darimu,
memanggil Allah saat fajar saat Kau sedang tidur. “
Dia benar, dia yang mengatakan:
“Kura-kura menangis di cabangnya di malam hari
Dan aku tidur terus – berbohong, cinta palsu adalah milikku?
Jika aku adalah kekasih sejati, tidak akan ada kura-kura yang menyalipku.
Aku adalah pecinta Tuhan yang kering, sementara binatang menangis!”
Ghazali, Ayyuha-l-walad.
Beliau dipanggil sebagai seorang arif yang dermawan dan penjaga Cinta Ilahi. Beliau adalah seorang ulama dari Mazhab Syafi’i dan seorang arif yang unik (diberkati dengan ilmu spiritual). Secara mendalam beliau terlibat dalam Madrasah Salaf (para ulama dari abad pertama dan kedua) dan Madrasah Khalaf (ulama di masa berikutnya), tetapi beliau lebih dikenal di dalam Ilmu Tasawwuf. Darinya beliau mampu mengekstrak ilmu-ilmu surgawi yang disebutkan di dalam al-Qur’an ketika merujuk pada al-Khidr (a), “dan Kami telah mengajarkan kepadanya dari Ilmu Surgawi Kami.”[18:65].
Percikan cahaya jihad an-nafs (jihad melawan diri sendiri) dibukakan dalam kalbunya. Pada zamannya, beliau dikenal di mana-mana, sampai ia menjadi seorang syekh yang sangat terkenal di bidang Syariah dan teologi. Syekh yang paling terkenal di zaman beliau, yaitu as-Simnani berkata tentang dirinya,
“Ia adalah Lidah Khurasan dan syekhnya dan guru dalam mengangkat dan meninggikan maqam para pengikutnya. Asosiasinya bagaikan taman yang penuh bunga, ilmu mengalir dari kalbunya dan menarik hati para pendengarnya ke dalam maqam yang penuh kebahagiaan dan sukacita.”
Di antara guru-gurunya adalah al-Qusyairi, seorang Guru Sufi, dan al-Ghazali al-Kabir yang berkata mengenai beliau,
“Ia adalah Syekh di zamannya dan ia mempunyai cara yang unik untuk mengingatkan orang. Tidak ada yang melampauinya dalam hal kefasihan, kelezatan, etika, sopan santun, moralitas, maupun caranya dalam mendekati orang.”
Putra al-Ghazali al-Kabir, yakni Abu Hamid al-Ghazali, yang dijuluki Hujjat ul-Islam, banyak mengambil dari Syekh al-Farmadi dalam bukunya Ihya `Ulum ad-Din.
Suatu ketika beliau berkata, “Aku masuk di belakang guruku, al-Qusyairi ke sebuah pemandian umum, dan dari sumurnya aku mengambilkan seember air untuknya. Ketika guruku datang, beliau berkata, ‘Siapa yang membawa air dalam ember ini?’ Aku tetap diam karena aku merasa telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan. Beliau bertanya lagi, ‘Siapa yang membawa air ini?’ Aku terus diam. Dan beliau bertanya sekali lagi, ‘Siapa yang telah mengisi ember ini dengan air?’ Akhirnya aku berkata, ‘Aku yang melakukannya wahai guruku.’ Beliau berkata, ‘Wahai anakku, apa yang aku terima selama tujuh puluh tahun, aku teruskan kepadamu dengan seember air.’ Itu artinya ilmu surgawi dan ilmu laduni yang telah beliau perjuangkan selama tujuh puluh tahun untuk mendapatkannya, beliau tuangkan ke dalam kalbuku hanya dalam sekilas pandangan mata.”
Mengenai perilaku terhadap guru, beliau berkata,
“Jika cintamu benar terhadap syekhmu, kau harus tetap menjaga penghormatan terhadapnya.”
Mengenai ru’ya, penglihatan spiritual, beliau berkata,
“Bagi seorang arif, akan tiba suatu waktu di mana cahaya ilmu akan mencapainya dan matanya akan melihat hal-hal yang luar biasa dari alam gaib.”
“Bagi yang berpura-pura bahwa ia dapat mendengar, namun ia tidak mampu mendengar tasbih burug-burung, pepohonan dan angin, maka ia adalah seorang pembohong.”
“Kalbu para ahlul Haqq adalah terbuka, dan pendengaran mereka juga terbuka.”
“Allah memberi kebahagiaan kepada hamba-hamba-Nya ketika mereka melihat para Awliya-Nya.”
Hal ini karena Nabi (s) bersabda, “Barang siapa yang memandang wajah Arifbillah (orang yang mengenal Allah), maka ia melihatku” dan juga “Barang siapa yang melihatku, berarti telah melihat Hakikat.” Oleh sebab itu para Guru Sufi menggunakan praktik berkonsentrasi pada wajah Syekh (tasawwur) untuk mencapai penglihatan terhadap Hakikat tersebut.
“Siapapun yang mengurusi perbuatan orang lain, ia akan kehilangan jalannya.”
“Siapapun yang lebih menyukai bergaul dengan orang-orang kaya daripada dengan orang-orang miskin, Allah akan mengirimkan kematian kepada kalbunya.”
Imam Ghazali melaporkan bahwa,
“Aku mendengar bahwa Abul Hasan al-Farmadi (q) berkata, ‘Sembilan puluh sembilan Sifat Allah akan menjadi sifat dan gambaran seorang salik di jalan Allah.’
Beliau wafat pada tahun 447 H./1084 M. Beliau dimakamkan di desa Farmad, sebuah desa di pinggir kota Tus. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Abu Yaqub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn Husayn al-Hamadani. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-ali-al-farmadi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
09. S.S. Abu Ya`qub Yusuf ibn Ayyab ibn Yusuf ibn al-Husayn al-Hamadani (QS)
“Jangan berpikir bahwa tidak ada pelancong di jalan,
atau bahwa atribut yang sempurna tidak meninggalkan jejak.
Hanya karena Kau tidak mengetahui rahasia,
Apakah kau berpikir bahwa tidak ada orang lain yang baik?”
Rumi, Fihi ma fihi.
Beliau adalah salah seorang Arif Billah yang langka, seorang Penegak Sunnah Nabi (s) dan seorang wali yang unik. Beliau adalah seorang imam, seorang `alim dan seorang `arif. Beliau adalah mursyid di zamannya, yang mengangkat maqam para pengikutnya. Para ulama dan orang-orang saleh biasa membanjiri khaniqahnya di kota Merv, kini Turkmenistan, untuk mendengar nasihatnya.
Beliau dilahirkan di Buzanjird dekat Hamadan pada tahun 440 H., beliau pindah dari Hamadan ke Baghdad ketika beliau berumur delapan belas tahun. Beliau mempelajari Mazhab Syafi’i di bawah pengawasan mursyid di zamannya, Syekh Ibrahim ibn `Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadi. Beliau terus berkumpul dengan seorang ulama besar di Baghdad, Abu Ishaq asy-Syirazi, yang lebih mengistimewakannya di antara murid-murid lainnya, walaupun beliau adalah yang termuda.
Beliau adalah seorang ahli fiqih yang sangat brilian, sehingga pada masa itu beliau menjadi marja` (referensi) bagi seluruh ulama di bidangnya. Beliau terkenal di Baghdad yang merupakan pusat pengetahuan Islam, di Isfahan, Bukhara, Samarkand, Khwarazm, dan seluruh Asia Tengah.
Kemudian di dalam hidupnya beliau mengucilkan dirinya dan meninggalkan kehidupan duniawi. Beliau menjadi seorang zuhud dan mengisi waktunya dalam ibadah yang konstan dan mujahadah (perjuangan spiritual). Beliau berkumpul dengan Syekh Abdullah Ghuwayni dan Syekh Hasan Simnani, tapi rahasianya diberikan oleh Syekh Abu `Ali al-Farmadi (q). Beliau membuat kemajuan dalam penyangkalan diri dan tafakur hingga beliau menjadi Ghawts di zamannya. Beliau dikenal sebagai Hujannya Hakikat dan Kebenaran serta Pengetahuan Spiritual. Beliau akhirnya tinggal di Merv. Melalui dirinya berbagai peristiwa ajaib terjadi.
Dari Keramatnya
Beliau mencerminkan Sifat al-Qahhar terhadap orang-orang yang menentang penyebaran spiritualitas. Berikut ini adalah dua keramatnya terkait hal tersebut:
Suatu hari beliau sedang mengadakan sebuah asosiasi di mana beliau mencerahkan pendengarnya dengan pengetahuan surgawi. Dua ulama harfiah yang hadir berkata, “Diamlah, karena engkau sedang merancang suatu bid’ah.” Beliau berkata kepada mereka, “Jangan bicara tentang hal-hal yang kalian tidak mengerti. Lebih baik bagi kalian untuk mati daripada tetap hidup.” Ketika beliau mengucapkan kata-kata tersebut, tiba-tiba mereka jatuh tersungkur dan tewas.
Ibn Hajar al-Haytsami menuliskan di dalam kitabnya, Al-Fatawa al-Haditsiyya, “Abu Sa`id Abdullah ibn Abi `Asrun (w.585 H.), seorang Imam dari Mazhab Syafi’i berkata, ‘Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan sahabatku, Ibn as-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiya, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Kami mendengar bahwa di Baghdad ada seseorang yang bernama Yusuf al-Hamadani, yang dikenal sebagai al-Ghawts, dan bahwa ia bisa muncul dan menghilang kapan saja, sesuka hatinya. Jadi, aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn as-Saqa dan Syekh `Abdul Qadir al-Jilani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn as-Saqa berkata, ‘Apabila kita bertemu Syekh Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak akan beliau ketahui.’ Aku berkata, ‘Aku juga akan menanyakannya sebuah pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan beliau katakan.’ Sementara itu Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani berkata, ‘Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang wali seperti Syekh Yusuf Hamadani (q), tetapi aku akan menghadapnya untuk memohon berkah dan Ilmu Ilahiahnya.’
‘Kami memasuki majelisnya. Beliau sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya lagi hingga satu jam berikutnya. Beliau memandang Ibn as-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberi tahu namanya sebelumnya, ‘Wahai Ibn as-Saqa, bagaimana kau berani menanyakan pertanayaan kepadaku dengan niat untuk merendahkan aku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabanmu adalah ini!’ Kemudian beliau berkata kepada Ibn Saqa, ‘Aku melihat api kekufuran menyala di dalam kalbumu.’ Beliau memandangku dan berkata, ‘Wahai `Abdullah, apakah engkau ingin bertanya kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang merasa sedih terhadap dirimu karena mereka tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.’ Kemudian beliau mamandang pada Syekh `Abdul Qadir al-Jilani dan berkata kepadanya, ‘Mendekatlah wahai anakku, aku akan memberkatimu. Wahai `Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara dan memberi petunjuk kepda orang-orang dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihatmu bahwa setiap wali di zamanmu akan menghormatimu karena ketinggian maqam dan kehormatanmu.’”
Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran `Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syekh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika beliau mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di leher semua awliya,’ dan beliau menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang di zamannya menuju tujuan akhir mereka.”
“Berbeda keadaannya dengan Ibn as-Saqa. Ia menjadi seorang ahli hukum Islam yang menonjol. Ia mengungguli semua ulama di zamannya. Ia sering berdebat dengan para ulama di zamannya dan mengalahkan mereka, hingga khalifah memanggilnya untuk menjadi salah satu anggota dewan peradilannya. Pada suatu hari khalifah mengutusnya untuk menemui Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Kristen untuk berdebat dengannya. Ibn as-Saqa mampu mengalahkan mereka semua di dalam debat itu. Mereka semua tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia memberi mereka berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolah di hadapannya.
“Kecemerlangannya mempesona Raja Bizantium sehingga ia mengundangnya ke dalam acara pertemuan pribadi keluarganya. Di sana mata Ibn as-Saqa bertemu dengan putri Raja. Ia jatuh cinta kepadanya dan melamar sang putri untuk dinikahinya. Putri itu menolak, kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk Kristen, agama sang putri. Setelah menikah, Ibn Saqa menderita sakit parah. Mereka lalu mengeluarkannya dari istana. Jadilah ia menjadi pengemis di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang, namun demikian tidak ada orang yang ingin memberinya. Kegelapan menutupi wajahnya.
Suatu hari ia melihat seseorang yang telah dikenalnya sebelumnya. Orang itu berkata, ‘Aku bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu bertanya, “Apakah engkau mengingat sesuatu dari kitab suci al-Qur’an?” Ia menjawab, “Aku hanya ingat rubbama yawaddu-l-ladziina kafaru law kanu muslimiin (‘Seringkali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi Muslim’ [15:2]).
‘Ia gemetar seolah-olah sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke arah Ka’bah (ke Barat), tetapi ia terus berpaling ke arah Timur. Kemudian aku kembali menghadapkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia kembali lagi ke Timur. Aku lalu mencoba untuk ketiga kalinya, tetapi lagi-lagi ia memalingkan wajahnya ke Timur. Kemudian bersamaan dengan ruhnya meninggalkan jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, ini adalah akibat aku tidak menghormati Ghawts-Mu, Yusuf al-Hamadani.’”
Imam Haytsami melanjutkan, “Ibn `Asrun berkata, ‘Aku pergi ke Damaskus dan Raja di sana, Nuridin asy-Syahiid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerimanya. Sebagai hasilnya, dunia datang dari segala penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.’”
Dari Perkataannya
Pembukaan kekuatan indera Pendengaran Spiritual pada Awliyaullah adalah seperti sebuah Pesan dari Hakikat, sebuah Bab dalam Kitab Allah, sebuah berkah dari Ilmu Alam Gaib. Ini adalah awal dari pembukaan Kalbu dan penyingkapannya — kabar gembira dari Maqam-Maqam Surgawi! Ini adalah fajar pemahaman Makna Ilahi. Pendengaran ini adalah rezeki bagi ruh dan kehidupan bagi kalbu. Ini adalah Kekekalan (baqa) bagi Rahasia (sirr). Allah membuat Diri-Nya sendiri sebagai Penglihatan bagi Hamba-Nya yang Terpilih, dan membusanai mereka dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang diberkati dan menghiasi mereka dengan Sifat-Nya.
Dari para Awliya-Nya, Dia membuat satu kelompok yang mendengar melalui Syuhada at-tanzih-Nya; Dia membuat kelompok lain mendengar melalui Wahdaniyyah-Nya; Dia juga membuat kelompok lain mendengar melalui Rahmat-Nya. Dan Dia membuat beberapa di antaranya mendengar melalui Qudrah-Nya.
Ketahuilah wahai manusia, bahwa Allah telah menciptakan dari Cahaya Tajali-Nya, 70.000 malaikat dan menugaskan mereka ke berbagai maqam antara `Arasy dengan Kursi. Dalam Hadirat yang Intim (uns), mereka berbusana dengan wol hijau, wajah mereka bagaikan bulan purnama, mereka berdiri dalam Hadirat-Nya dengan rasa kagum, pingsan, mabuk dengan Cinta-Nya, berlari tanpa henti dari `Arasy ke Kursi dan sebaliknya karena emosi dan rahmat yang terbakar di dalam kalbu mereka. Mereka adalah para Sufi dari Langit dan Israfil (malaikat yang akan meniup sangkakala pada Hari Kiamat) adalah panglima mereka dan mursyid mereka, sementara Jibril adalah kepala dan pembicara mereka, dan al-Haqq (Allah) adalah Sultan mereka. Berkat Allah tercurah pada mereka.
Inilah bagaimana Yusuf al-Hamadani (q), Bayang-Bayang Tuhan di Bumi sering menggambarkan hakikat surgawi dan maqam-maqam terpuji dari para Sufi. Semoga Allah memberkati ruhnya dan mensucikannya.
Beliau wafat di Khorasan, antara Herat dan Bakshur, pada tanggal 12 Rabi`ul-Awwal, 535 H., dan dimakamkan di Merv. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid dan madrasah yang besar.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Abul `Abbas yang kemudian meneruskannya kepada `Abdul Khaliq al-Ghujdawani, di mana beliau juga menerimanya secara langsung dari Yusuf al-Hamadani. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-yaqub-yusuf-al-hamadani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
10. Sayyidina Abul `Abbas, al-Khidr (AS)
“Siapa pun yang memasuki Jalan tanpa pemandu akan membutuhkan seratus tahun untuk melakukan perjalanan dua hari.
Nabi berkata, ‘Dengan cara ini, Kau tidak memiliki sahabat yang lebih setia daripada pekerjaanmu.’
Bagaimana ini bisa berhasil dan penghasilan ini di jalan kebenaran bisa dicapai tanpa seorang tuan, wahai ayah?
Dapatkah Kau mempraktekkan profesi paling kejam di dunia tanpa bimbingan seorang guru?
Siapa pun yang melakukan profesi tanpa seorang guru menjadi bahan tertawaan kota dan kota.”
Rumi, Mathnavi.
Abul `Abbas adalah Khidr (a), yang Allah sebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an [18:65.] sebagai seorang hamba Allah yang bertemu dengan Nabi Musa (a). Beliau menjaga dan mempertahankan Hakikat Silsilah Keemasan hingga mata rantai berikutnya di dalam Silsilah, `Abdul Khaliq (q) dapat memikul maqam yang telah ditakdirkan.
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Kitab mengenai Nabi-Nabi bahwa Nabi (s) bersabda, “Al-Khidr (‘Sang Manusia Hijau’) dinamakan seperti itu karena pada suatu hari beliau duduk di tanah putih yang tandus, dan beberapa saat kemudian tanah itu menjadi subur dan menghijau dengan berbagai tanaman.”
Peran penting Khidr (a) sebagai mursyid para awliya dapat diilustrasikan dengan pentingnya peranannya sebagai mursyidnya para Nabi, khususnya Nabi Musa (a). Nabi Musa (a) adalah salah seorang Nabi yang sangat kuat dan merupakan salah satu di antara Ulul Azmi yang diutus Allah ke dunia ini, yaitu: Nuh (a), Ibrahim (a), Musa (a), Isa (a) dan Muhammad (s). Namun demikian meskipun ilmunya tinggi, Allah membuatnya memerlukan Khidr (a), meskipun Khidr (a) bukan seorang Nabi. Hal ini mengajarkan kita, sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an bahwa, “Di atas tiap-tiap orang alim, ada lagi yang lebih alim dari mereka.”[12: 76].
Kisah Musa (a) bertemu Khidr (a) diriwayatkan di dalam Surat al-Kahfi ayat 65-82 sebagai berikut: Musa (a) dan khadimnya menemukan salah seorang hamba Allah yang Allah muliakan secara unik dan yang telah diajari ilmu dari Hadirat-Nya. Musa (a) berkata kepadanya, “Aku ingin menemanimu.” Beliau menjawab, “Kau tidak akan tahan untuk menemaniku.” Musa (a) terkejut dan bersikukuh bahwa beliau mampu melakukannya. Khidr (a) berkata, “Tidak, kau tidak bisa, tetapi jika kau tetap mau melakukannya, jangan bertanya apa yang kulakukan, tidak peduli apapun yang kau lihat aku melakukannya. Dengan syarat itu kau boleh mengikutiku; tetapi bila engkau mau bertanya, jangan ikuti aku.” Ini artinya bahwa Khidr (a) akan melakukan sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh Musa (a), meskipun beliau adalah seorang Rasul dari agama besar, beliau tetap memerlukan Khidr (a) untuk mengajarinya sesuatu.
Mereka menaiki perahu dan menyebrangi Sungai Tiberias di Palestina. Ketika mereka sampai di tengah sungai, Khidr membuat sebuah lubang di perahu itu agar ia tenggelam. Musa (a) tidak dapat menahan dirinya dan berkata, “Mengapa engkau melakukan perbuatan kekakak-kanakan ini? Orang-orang itu memberimu perahu tetapi mengapa sekarang kau melubanginya?” Khidr (a) menjawab, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan sanggup menemaniku?” Musa (a) masih belum mengerti, meskipun beliau adalah seorang Nabi dan dapat membaca apa yang ada di dalam kalbu, tetapi ada sesuatu yang terjadi dan beliau tidak mengerti. Mereka melanjutkan perjalanannya dan bertemu seorang anak laki-laki. Segera setelah bertemu anak itu, Khidr (a) membunuhnya. Musa (a) berkata, “Apa yang kau lakukan? Kau telah menenggelamkan perahu dan kini kau membunuh seorang anak? Ini menyalahi semua hukum!” Sekali lagi Khidr (a) berkata, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan mampu menemaniku? Tiga kali kau bertanya, kita akan berpisah.” Kemudian mereka sampai di sebuah kota di mana mereka meminta makanan. Tidak ada seorang pun yang memberi mereka makanan, dan mereka malah mengusirnya. Di dalam perjalanannya mereka menemukan sebuah dinding yang hampir runtuh. Khidr (a) membangun kembali dinding itu dan membuatnya berdiri tegak. Musa (a) bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal ini? Tidak ada orang yang mau menerima kita sebagai tamu mereka di kota ini, tetapi kau malah membangun dinding ini untuk mereka?” Khidr (a) berkata, “Ini adalah titik di mana kita akan berpisah, karena engkau tidak mengerti hikmah dari apa yang telah kulakukan.”
“Wahai Musa, apa yang kita lakukan adalah apa yang Allah katakan kepada kita untuk melakukannya. Pertama, aku menyebabkan perahu ini tenggelam karena ada seorang diktator yang ingin merampas semua perahu dari orang-orang miskin di pinggir kota ini. Agar orang-orang ini tidak kehilangan perahu mereka, aku membuatnya tenggelam. Diktator itu akan mati besok, dan besok mereka dapat mengambil kembali perahu mereka dan menggunakannya dengan aman. Aku membunuh anak itu karena Allah tidak ingin anak itu membuat orang tuanya, yang percaya kepadamu, meninggalkan agamanya. Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik daripadanya. Aku membangun dinding milik seseorang yang semasa hidupnya sangat dermawan kepada fakir miskin. Ketika ia meninggal dunia, ia meninggalkan harta yang dikubur di bawah dinding untuk kedua anaknya yang menjadi yatim. Bila dinding itu runtuh, orang-orang dapat menemukan harta itu dan mengambilnya. Aku membangunnya kembali agar kedua anak itu dapat mendapatkan hartanya kelak. Kau tidak mengerti hikmah Ilahi.”
Musa (a) saja yang dengan segala kehormatan yang dikaruniakan Allah kepadanya mendapati dirinya bodoh di hadapan Khidr (a). Lalu bagaimana dengan kita, yang tahu begitu sedikit dibandingkan dengan Musa (a), menganggap diri kita berilmu jika Musa (a) saja, dengan semua pengetahuan dari Hadirat Ilahi, tidak mampu memahami hal-hal tertentu? Ini adalah sebuah pelajaran dalam hal ketawadukan bagi manusia, khususnya bagi para ulama dan tokoh agama, yaitu bahwa “Ilmu kalian tidak layak untuk disebutkan. Ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi dan lebih luas dibanding kalian. Karena semakin tinggi atau dalam kalian menuntut ilmu, ada ilmu yang lebih tinggi dan lebih dalam dari tempat di mana kalian berdiri.”
Itulah sebabnya, ketika seseorang duduk untuk memberi nasihat, ia harus duduk dengan kerendahan hati sepenuhnya dan penghormatan penuh kepada para pendengarnya. Ia tidak bisa menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka, jika tidak, cahaya tidak akan pernah sampai pada kalbu mereka. Itulah sebabnya mengapa setiap orang juga memerlukan seorang mursyid, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Sang Mursyid dari para mursyid sendiri, Nabi (s), ketika beliau (s) menjadikan Jibril (a) sebagai pemandu dalam menerima Wahyu, dan ketika beliau mengambil pemandu pada saat hijrah ke Madinah.
Berikut ini bagaimana Ibn `Arabi (q) menjelaskan tiga perbuatan Khidr (a) yang disaksikan oleh Nabi Musa (a) di dalam kitab Fusus al-Hikam:
Musa (a) diuji ‘dengan banyak cobaan’ [20:41], yang pertama adalah pembunuhan seorang pria Mesir [28:14-15], suatu perbuatan yang beliau lakukan dengan Dorongan Ilahiah dan dengan persetujuan Tuhan jauh di dalam dirinya, namun demikian beliau tidak merasakan penderitaan di dalam jiwanya karena telah membunuh pria Mesir itu, meskipun beliau sendiri tidak dibebaskan sampai beliau menerima Wahyu mengenai hal itu. Karena semua Nabi dipelihara dari dosa tanpa mereka menyadarinya, bahkan sebelumnya mereka telah diperingatkan melalui ilhamnya.
Itulah alasannya bahwa al-Khidr (a) menunjukkan kepadanya mengenai menempatkan kematian pada anak itu, sebuah tindakan yang dicela oleh Musa (a) tanpa mengingat peristiwa pembunuhan pria Mesir sebelumnya. Atas peristiwa itu al-Khidr (a) berkata kepadanya, “Aku tidak melakukannya atas inisiatifku sendiri,” hal ini mengingatkan Musa (a) pada suatu situasi di mana beliau mendapati dirinya ketika beliau tidak tahu bahwa pada dasarnya beliau dipelihara dari semua perbuatan yang bertentangan dengan Perintah Ilahi.
Khidr (a) juga menunjukkan tindakan melubangi perahu, yang tampaknya dilakukan untuk mencelakakan orang, namun demikian makna tersembunyinya adalah menyelamatkan mereka dari tangan ‘orang yang jahat’. Beliau menunjukkan hal ini kepadanya sebagai analogi untuk bahtera (keranjang) yang telah menyembunyikan Musa (a) ketika beliau (semasa bayi) dihanyutkan ke sungai Nil; dilihat dari penampilannya, tindakan ini sama-sama membahayakannya, tetapi menurut makna tersembunyi, itu adalah untuk menyelamatkannya. Sekali lagi ibunya melakukan hal itu karena takut terhadap ‘orang yang jahat’, dalam hal ini Firaun, sehingga ia tidak akan membunuh anak itu dengan keji.
Musa (a) kemudian tiba di Madyan, di sana beliau bertemu dua gadis dan untuk mereka beliau menimba air dari sumur, tanpa meminta imbalan dari mereka. Kemudian beliau ‘menarik diri ke bawah suatu naungan’, artinya berlindung ke bawah Naungan Ilahiah, dan beliau berdoa, “Wahai Tuhanku, aku hanyalah seorang fakir dibandingkan berkah yang Kau limpahkan kepadaku.” Beliau mengkaitkan bahwa esensi dari kebaikan yang beliau lakukan kembali kepada Allah dan beliau menganggap dirinya hanya sebagai seorang fakir di hadapan Tuhannya. Dengan alasan itulah al-Khidr (a) membangun kembali dinding yang hampir runtuh itu di hadapannya tanpa meminta imbalan atas pekerjaannya hingga Musa (a) menegurnya; kemudian Khidr (a) mengingatkannya pada perbuatannya mengambilkan air tanpa meminta imbalan, dan hal-hal lain juga, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an; sehingga Rasulullah (s) menyesali bahwa Musa (a) tidak tetap tenang dan terus bersama al-Khidr (a), sehingga Allah (swt) bisa lebih banyak menceritakan tentang tindakan mereka.
Mengenai ucapan Khidr (a) kepada Sahl at-Tustari (q) menurut Ibn `Arabi (q)
Allah menciptakan Nur Muhammad (s) dari Nur-Nya… Cahaya ini tinggal di sisi Allah selama 100.000 tahun. Allah mengarahkan Pandangan-Nya kepada Cahaya itu 70.000 kali sepanjang siang dan malam, dan menambahkannya dari Cahaya-Nya setiap waktu. Kemudian, dari Cahaya itu, Dia menciptakan seluruh ciptaan.
Ketika Nabi (s) meninggalkan dunia ini dan belasungkawa berdatangan, mereka mendengar suara dari sudut rumah yang mengatakan, “Semoga kedamaian, rahmat Allah dan keberkahan tercurah bagi kalian, wahai ahlul bait Nabi (s)!” `Ali (r) kemudian bertanya apakah diantara mereka ada yang tahu siapa orang ini, lalu beliau mengatakan bahwa itu adalah Khidr (a). Baihaqi mentransmisikannya dalam Dala’il an-Nubuwwa. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abul-abbas-al-khidr-alayhi-s-salam/)
11. S.S. Abdul Khaliq al-Ghujdawani (QS)
“Cahaya-cahaya beberapa orang mendahului dhikr mereka, sementara dzikir beberapa orang mendahului cahaya mereka. Ada orang yang melakukan (keras) dhikr sehingga hatinya diterangi; dan ada orang yang hatinya telah diterangi dan dia melakukannya. (diam) dzikir.”
Ibn Ata’illah.
Beliau dikenal sebagai Syekh yang Keramat, Seorang yang Bersinar bagaikan Matahari, dan beliau adalah Penguasa Maqam-Maqam Spiritual yang tinggi di zamannya. Beliau adalah seorang `Arif Kamil di bidang Sufisme dan hidup dalam zuhud. Beliau dianggap sebagai Pancuran utama dari tarekat yang mulia ini dan merupakan Mata Air bagi para Khwajagan (Guru-Guru di Asia Tengah).
Ayah beliau adalah Syekh `Abdul Jamil, salah seorang ulama yang termasyhur di bidang ilmu lahiriah dan batiniah di zaman Bizantium. Ibunya adalah seorang putri keturunan Raja Seljuk Anatolia.
Abdul Khaliq (q) lahir di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara yang kini dikenal sebagai Uzbekistan. Sepanjang hidupnya beliau tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Beliau juga dimakamkan di sana. Beliau adalah keturunan dari Imam Malik (r). Di masa kanak-kanak beliau mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, ‘ilm al-Hadits, bahasa Arab, dan Fiqh bersama Syekh Sadruddin. Setelah menguasai ilmu Syari`ah, beliau mendalami jihad an-nafs, hingga beliau mencapai suatu maqam kemurnian yang tinggi. Beliau kemudian pindah ke Damaskus dan mendirikan sebuah madrasah dan melahirkan banyak lulusannya. Mereka menjadi ahli fiqh dan hadits serta tasawwuf dan menyebar ke kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah.
Penulis kitab al-Hada’iq al-Wardiyya memberitahu kita bagaimana beliau sampai pada maqam yang tinggi dalam Silsilah Keemasan, “Beliau bertemu Khidr (a) dan menemaninya. Beliau memperoleh ilmu laduni darinya melengkapi ilmu spiritual yang beliau peroleh dari gurunya, Syekh Yusuf al-Hamadani (q).”
“Suatu hari ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an di hadapan Syekh Sadruddin, beliau sampai pada ayat berikut “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas-batas.” [7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk bertanya pada Syekh Sadruddin mengenai hakikat Zikir Khafi dan metodenya. Abdul Khaliq bertanya, “Di dalam Zikir Jahar, kau harus menggunakan lidahmu dan orang bisa mendengar dan melihatmu, sedangkan pada Zikir Khafi dalam hati, Setan mungkin dapat mendengarmu karena Nabi (s) bersabda dalam hadits suci, ‘Setan dapat bergerak dengan bebas dalam pembuluh nadi anak cucu Adam.’ Lalu bagaimana hakikat ‘Berdoalah dalam kerahasiaan hatimu?’” Syekhnya menjawab, ‘Wahai anakku, ini adalah hal yang tersembunyi, ini adalah ilmu laduni, dan aku berharap bahwa Allah `Azza wa Jalla mengirimkan salah seorang wali-Nya kepadamu untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai hakikat dari zikir rahasia ini.’
“Sejak saat itu Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) menunggu doa itu dikabulkan. Suatu hari beliau bertemu Khidr (a) yang mengatakan kepadanya, “Sekarang wahai anakku, aku mempunyai izin dari Nabi (s) untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai zikir yang tersembunyi dengan jumlahnya.” Khidr (a) memerintahkannya untuk menenggelamkan dirinya ke dalam air dan mulai berzikir di dalam hatinya (LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL ALLAH). Beliau melakukan bentuk zikir ini setiap hari hingga Cahaya Ilahi, Hikmah Ilahi, Cinta Ilahi dan Daya Tarik Ilahi dibukakan dalam kalbunya. Karena karunia-karunia ini, orang-orang mulai tertarik pada Abdul Khaliq dan berusaha untuk mengikuti jejaknya, dan ia membawa mereka untuk mengikuti jejak Nabi (s).
“Beliau adalah yang pertama dalam Tarekat yang mulia ini yang menggunakan Zikir Khafi dan beliau dianggap sebagai penghulu dari bentuk zikir tersebut. Ketika syekh spiritualnya, al-Ghawts ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani (q) datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepadanya. Beliau berkata mengenai Syekh Yusuf al-Hamadani (q), ‘Ketika aku berumur 22 tahun, Syekh Yusuf al-Hamadani (q) memerintahkan Khidr (a) untuk terus membesarkan aku dan mengawasiku hingga akhir hayatku.’”
Syekh Muhammad Parsa, seorang sahabat dan penulis biografi Syah Naqsyband (q) mengatakan di dalam kitabnya Faslul-Kitab, bahwa metode Khwaja Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) dalam zikir dan ajarannya tentang Delapan Prinsip dianut dan diagungkan oleh keempatpuluh tarekat sebagai jalan kebenaran dan kesetiaan, jalan kesadaran dalam mengikuti Sunnah Nabi (s), dengan meninggalkan bid’ah dan dengan hati-hati menentang keinginan rendah (dari ego). Karena hal itu beliau menjadi Mursyid di zamannya dan Yang Pertama di jalan spiritualitas ini.
Reputasinya sebagai seorang Guru spiritual yang cemerlang semakin meluas. Berbondong-bondong orang datang mengunjunginya dari segala penjuru. Beliau mengumpulkan murid-murid yang tulus dan setia di sekelilingnya untuk dibimbing dan dilatih dalam pengawasannya. Terkait hal ini, beliau menulis surat kepada putranya, al-Qalb al-Mubarak Syekh al-Awliya Kabir, untuk menentukan adab para pengikut tarekat ini. Beliau berkata,
“Wahai anakku, aku mendorongmu untuk memperoleh ilmu dan adab serta takwa kepada Allah. Ikuti jalannya para Salafus saleh (generasi awal). Berpegang teguh pada Sunnah Nabi (s), dan menjaga hubungan dengan para Mukhlisin. Bacalah kitab fiqh, Sirah Nabawiyah dan tafsir Qur’an. Hindari para penipu yang bodoh, dan jagalah salat berjamaah. Waspadalah terhadap ketenaran dan bahayanya. Bergaullah dengan orang-orang biasa dan jangan mencari jabatan. Jangan menjalin kedekatan dengan raja-raja dan anak-anak mereka atau dengan orang-orang yang melakukan bid’ah. Jangan banyak bicara, jangan makan dan tidur berlebihan. Menjauhlah dari orang-orang seperti halnya engkau lari dari singa. Jaga khalwatmu. Makanlah dari makanan yang halal dan tinggalkan perbuatan yang meragukan kecuali dalam keadaan darurat. Jauhi cinta dunia yang rendah karena mungkin ia dapat membuatmu takjub. Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menjadi kematian bagi kalbu. Jangan mempermalukan siapapun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang-orang. Jangan meminta kepada siapapun kecuali Allah. Jangan meminta siapapun untuk melayanimu. Layani syekhmu dengan uangmu, kekuatanmu, dan jangan mengkritik tindakan mereka. Siapapun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena ia tidak memahami mereka. Jadikan perbuatanmu tulus dengan niat hanya untuk Allah. Berdoalah kepada-Nya dengan kerendahan hati. Jadikan fiqh sebagai urusanmu, masjid sebagai rumahmu, dan Sahabatmu sebagai tuanmu.”
Prinsip-Prinsip Tarekat Naqsybandi
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mengemukakan frasa-frasa berikut ini yang sekarang dianggap sebagai prinsip-prinsip Tarekat Naqsybandi:
Bernapas dengan Sadar (“Hosh dar dam”)
Hosh artinya “pikiran.” Dar artinya “di dalam.” Dam artinya “napas.” Itu artinya, menurut `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q),
“Seorang pencari yang bijaksana harus menjaga napasnya dari kelalaian, ketika menarik dan menghembuskan napasnya, ia menjaga agar kalbunya senantiasa dalam Hadirat Ilahi; dan ia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan pengabdian serta mempersembahkan ibadahnya itu kepada Tuhannya dengan penuh gairah, karena setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan Kehadiran adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Ilahi. Setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan kelalaian adalah mati, dan tidak tersambung dengan Hadirat Ilahi.”
Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata, “Misi terpenting bagi seorang salik dalam Tarekat ini adalah untuk menjaga napasnya, dan orang yang tidak dapat menjaga napasnya, akan dikatakan bahwa ‘ia telah kehilangan dirinya.’”
Syah Naqsyband (q) berkata, “Tarekat ini dibangun dengan napas. Jadi seorang salik wajib menjaga napasnya pada saat menarik dan menghembuskannya dan lebih dari itu, menjaga napasnya dalam interval antara saat menarik dan menghembuskan napasnya.”
Syekh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan di dalam kitabnya, Fawatih al-Jamal, “Zikir mengalir di dalam tubuh setiap makhluk hidup dengan kebutuhan akan napas mereka—bahkan tanpa disengaja—sebagai sebuah tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan mereka. Melalui napas mereka, bunyi huruf “Ha” dari Asmaullah Allah dikeluarkan dalam setiap tarikan dan hembusan napas dan itu merupakan sebuah tanda dari Esensi Gaib mengungkapkan penekanan pada Keesaan Tuhan. Oleh sebab itu diperlukan kehadiran dalam napas itu, untuk menyadari (merasakan) Esensi Sang Pencipta.”
Asma ‘Allah’ yang mencakup kesembilan puluh sembilan Asma wal Sifat terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam dan Ha yang sama (ALLAH). Para pengikut Sufisme mengatakan bahwa Esensi Gaib Mutlak dari Allah `Azza wa Jalla diekspresikan oleh huruf terakhir yang diberi harakat Alif, yaitu “Ha.” Itu merepresentasikan Kegaiban Mutlak “Dia” dari Allah `Azza wa Jalla (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah `azza wa jall). Huruf Lam pertama adalah untuk identifikasi (ta`rif) dan huruf Lam kedua untuk penekanan (mubalagha).
Menjaga napas kalian dari kelalaian akan mengantarkan kalian pada Hadirat penuh, dan Hadirat penuh akan mengantarkan kalian pada Penglihatan penuh, dan Penglihatan penuh akan mengantarkan kalian pada Tajali Asmaul Husna wal Sifat sepenuhnya. Allah mengantarkan kalian menuju Tajali Asmaul Husna wal Sifat dan Sifat-Sifat-Nya yang lain, karena “Sifat-Sifat Allah adalah tak terhingga, sejumlah bilangan napas manusia.”
Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa menjaga napas dari kelalaian merupakan hal yang sulit bagi seorang salik. Oleh sebab itu mereka harus menjaganya dengan beristighfar karena itu akan memurnikan dan mensucikannya dan mempersiapkan dirinya bagi Tajali Allah yang hakiki di mana-mana.
Perhatikan Langkahmu (“Nazar bar qadam”)
Itu artinya seorang salik ketika berjalan harus mengarahkan pandangan matanya ke kakinya. Ke mana pun kakinya melangkah, matanya harus tertuju ke sana. Ia tidak diperkenankan untuk menoleh ke sana ke sini, melihat ke kiri atau ke kanan, atau ke depannya, karena pandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan hijab di dalam kalbu tercipta oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata kalian ke dalam pikiran dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat mengganggu kalbu kalian dengan turbulensi karena berbagai macam keinginan yang telah tercetak di dalam pikiran kalian. Gambaran-gambaran ini bagaikan hijab di dalam kalbu. Mereka menghalangi Cahaya dari Hadirat Ilahiah. Itulah sebabnya mengapa para Awliya tidak membolehkan para pengikut mereka, yang telah memurnikan kalbu mereka melalui zikir yang konstan, untuk melihat selain daripada kaki mereka. Kalbu mereka bagaikan cermin, yang memantulkan dan menerima setiap gambar dengan mudah. Ini dapat mengganggu mereka dan membawa pengotor ke dalam kalbu mereka. Jadi seorang salik diperintahkan untuk merendahkan pandangannya agar tidak diserang oleh panah-panah Setan.
Merendahkan pandangan juga merupakan tanda ketawadukan, orang yang bangga akan dirinya dan juga sombong tidak pernah melihat pada kaki mereka. Itu juga merupakan tanda bahwa seseorang mengikuti jejak Nabi (s), di mana ketika beliau berjalan, beliau tidak pernah menoleh ke kiri atau ke kanan, tetapi hanya melihat pada kakinya, bergerak dengan mantap menuju tujuannya. Itu juga merupakan tanda bagi ketinggian maqam ketika seorang salik tidak melihat ke mana-mana, kecuali hanya kepada Tuhannya. Seperti seseorang yang berniat untuk mencapai tujuannya dengan cepat, begitu pula dengan seorang salik di Jalan Allah, ia akan bergerak dengan cepat tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak melihat pada kesenangan duniawi, tetapi memandang pada Hadirat Ilahi.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) berkata di dalam surat ke-295 di dalam Maktubat-nya:
“Pandangan mata mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan mata. Kenaikan menuju maqam yang tinggi pertama dengan Penglihatan, diikuti oleh Langkah. Ketika Langkah mencapai level Kenaikan Pandangan, maka Pandangan akan diangkat menuju level berikutnya, yang pada gilirannya akan diikuti oleh Langkah. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai level Kesempurnaan di mana ia akan menarik Langkahnya. Kita katakan, ‘Ketika Langkah mengikuti Pandangan, murid telah mencapai keadaan Siap untuk mendekati Jejak Nabi (s). Jadi Jejak langkah Nabi (s) dapat dianggap sebagai Asal dari semua langkah.’”
Syah Naqsyband (q) berkata, “Jika kita melihat pada kesalahan teman-teman kita, maka kita tidak akan mempunyai teman, karena tidak ada orang yang sempurna.”
Perjalanan Pulang (“safar dar watan”)
Itu artinya perjalanan kembali ke kampung halaman. Itu artinya seorang salik menempuh perjalanan dari alam ciptaan menuju alam Sang Pencipta. Diriwayatkan bahwa Nabi (s) bersabda, “Aku menuju Tuhanku dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik dan dari satu maqam menuju maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa seorang salik harus menempuh perjalanan dari hawa nafsu untuk hal-hal yang terlarang menjadi nafsu yang baik, yaitu keinginan untuk mencapai Hadirat Ilahi.
Tarekat Naqsybandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori: perjalanan eksternal dan perjalanan internal. Perjalanan eksternal adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam mencari seorang mursyid yang sempurna untuk membawa dan mengantarkan kalian menuju tujuan kalian. Perjalanan ini membuat kalian beranjak ke kategori kedua, yaitu perjalanan internal. Seorang salik ketika sudah menemukan seorang mursyid yang sempurna dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal banyak kesulitan yang tidak dapat dihadapi oleh para pemula sehingga mereka jatuh ke dalam perbuatan yang dilarang, karena mereka lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan internal. Seorang salik harus meninggalkan perilaku rendahnya dan beranjak menuju perilaku yang terpuji, membuang semua nafsu duniawi dari dalam kalbunya. Ia akan diangkat dari keadaan yang belum suci menuju keadaan yang suci dan murni. Pada saat itu ia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Ia telah memurnikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan bagaikan kristal, mengkilap bagaikan cermin, memperlihatkan hakikat dari semua hal yang penting dalam kehidupan sehari-harinya, tanpa perlu melakukan perbuatan eksternal dari dirinya. Dalam kalbunya akan muncul segala yang diperlukan di dalam kehidupannya dan bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Khalwat di dalam Keramaian (“khalwat dar anjuman”)
“Khalwat” artinya mengasingkan diri. Itu artinya tampak luar bersama orang-orang, tetapi batinnya selalu bersama Tuhan. Ada dua kategori khalwat, yaitu: khalwat eksternal dan khalwat internal.
Di dalam khalwat eksternal seorang salik mengasingkan diri di dalam sebuah tempat pribadi yang kosong, tidak ada orang di sana. Ia tinggal sendiri di sana, berkonsentrasi dan bertafakur pada zikrullah untuk mencapai keadaan di mana Alam Surgawi menjadi terwujud. Ketika kalian membelenggu indera eksternal, maka indera internal (batin) kalian menjadi bebas untuk mencapai Alam Surgawi. Ini akan membawa kalian pada kategori kedua, yaitu khalwat internal.
Khalwat internal maksudnya khalwat di antara orang-orang. Di sana kalbu seorang salik harus hadir dengan Tuhannya dan absen dari makhluk lainnya ketika secara fisik ia hadir bersama mereka. Dikatakan, “Seorang salik akan begitu dalam terlibat dengan zikir khafi di dalam kalbunya sehingga bahkan jika ia memasuki keramaian orang, ia tidak mendengar suara mereka. Keadaan zikir melingkupinya. Tajali dari Hadirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak menyadari yang lain selain Tuhannya. Ini adalah keadaan khalwat tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenarnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah”[24:37]. Inilah jalan Tarekat Naqsybandi.
Khalwat utama dari para syekh dalam Tarekat Naqsybandi adalah khalwat internal. Mereka bersama Tuhan mereka dan sekaligus bersama orang banyak. Sebagaimana Nabi (s) bersabda, “Aku mempunyai dua sisi: satu menghadap Penciptaku dan yang satunya menghadap ciptaan.” Syah Naqsyband (q) menekankan kebaikan dalam kebersamaan ketika beliau mengatakan, “Thariqatuna ash-shuhbat wa ‘l-khayru fi ‘l-jam`iyyat (“Jalan kita adalah persahabatan dan kebaikan ada di dalam jemaah). Dikatakan bahwa seorang mukmin yang dapat bergaul dengan masyarakat dan memikul kesulitan mereka adalah lebih baik daripada yang seorang mukmin yang menyendiri dari orang-orang. Mengenai hal yang sensitif ini, Imam Rabbani (q) berkata, “Patut diketahui bahwa seorang salik pada awalnya dapat menggunakan khalwat eksternal untuk mengasingkan diri dari orang-orang, untuk beribadah dan berkonsentrasi pada Allah (swt), sampai ia mencapai keadaan yang lebih tinggi. Pada saat itu ia akan dinasihati oleh syekhnya, yang dalam kata-kata Sayyid al-Kharraz dikatakan, ‘Kesempurnaan itu bukan dilihat dari peragaan karamah, tetapi kesempurnaan adalah untuk duduk di antara orang banyak, melakukan jual beli, menikah dan mempunyai anak; namun tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan dalam sekejap.’”
Zikir Esensial (“yad kard”)
Makna dari ‘yad’ adalah Zikir. Makna dari ‘kard’ adalah esens dari zikir. Seorang salik harus melakukan zikir dengan negasi/penyangkalan dan afirmasi/penegasan di lidahnya sampai ia mencapai keadaan kontemplasi di dalam kalbunya (muraqaba). Keadaan itu akan dicapai dengan membaca setiap hari negasi (LA ILAHA) dan afirmasi (ILLALLAH) di lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan elemen-elemen yang menodai dan membuat karat pada kalbu. Zikir ini memoles kalbu dan membawa sang salik ke dalam keadaan Tajali. Ia harus menjaga zikir harian itu, baik dengan kalbu maupun dengan lidahnya, mengulangi Asma ALLAH, Asma esens/utama dari Tuhan yang mencakup seluruh Asmaullah wal Sifaat, atau melalui negasi dan afirmasi dengan mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH.
Zikir harian ini akan membawa sang salik ke dalam hadirat sempurna dari Dzat yang Mahasuci.
Zikir dengan negasi dan afirmasi, dalam tata cara guru-guru Tarekat Naqsybandi menghendaki sang salik untuk menutup matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, mengelem lidahnya pada langit-langit mulutnya dan menahan napasnya. Ia harus melakukan zikir melalui kalbunya, dengan negasi dan afirmasi, memulainya dengan kata LA (“Tidak”). Ia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusarnya hingga ke otaknya. Ketika sampai di otak, kata “Tidak” mengeluarkan kata ILAHA (“tuhan/ilah”), bergerak dari otaknya ke pundak kiri dan menabrak kalbu dengan kata ILLALLAH (“kecuali Allah”). Ketika kata itu menabrak kalbu energi dan panasnya tersebar ke seluruh tubuh. Seorang salik yang telah menyangkal semua yang ada di dunia ini dengan kata LA ILAHA, lalu menegaskan dengan kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah lenyap dalam Hadirat Ilahi.
Sang salik mengulangi ini dalam setiap napasnya, termasuk ketika menarik dan menghembuskan napas, selalu memasukannya ke dalam kalbu sesuai dengan jumlah bilangan yang telah ditentukan oleh syekhnya. Pada akhirnya sang salik akan mencapai keadaan di mana dalam satu napas ia dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH dua puluh tiga kali. Seorang syekh yang sempurna dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH tak terhingga banyaknya dalam setiap napas. Makna dari praktik ini adalah bahwa tujuan satu-satunya adalah ALLAH dan tidak ada tujuan lain bagi kita. Dengan melihat Hadirat Ilahi sebagai satu-satunya eksistensi yang ada, ini akan memasukkan kecintaan pada Nabi (s) ke dalam kalbu murid dan pada saat itu ia akan mengucapkan, “MUHAMMADUN RASULULLAH” (“Muhammad adalah Utusan Allah”) yang merupakan kalbu dari Hadirat Ilahi.
Kembali (“baz gasht”)
Ini adalah suatu keadaan di mana seorang salik, yang berzikir dengan negasi dan afirmasi (penyangkalan dan penegasan), sampai pada pemahaman akan ungkapan Nabi Suci (s), “ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi” (“Wahai Tuhanku, Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu adalah yang kudambakan). Pembacaan dari ungkapan ini akan meningkatkan kesadaran sang salik tentang Keesaan Allah, sampai ia mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluk) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, ke manapun ia memandang, adalah Allah ash-Shamad. Murid Naqsybandi membaca zikir semacam ini untuk mengekstrak rahasia Al-Ahad dari kalbunya, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadirat Allah yang Unik. Para pemula tidak berhak untuk meninggalkan zikir ini bila ia tidak mendapati kekuatan itu muncul di dalam kalbunya. Ia harus tetap membaca zikir ini mengikuti (meniru) Syekhnya, karena Nabi (s) telah mengatakan, “Barang siapa meniru suatu golongan, ia akan menjadi bagian dari golongan itu.” Dan barang siapa meniru gurunya, suatu hari akan mendapati rahasia itu terbuka bagi kalbunya.
Arti dari kata “baz gasht” adalah kembali kepada Allah `Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sepenuhnya dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan kerendahan hati sepenuhnya dengan memberikan puji-pujian kepada-Nya. Itulah alasan Nabi (s) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat-Mu sebagaimana Engkau patut diingat, Ya Madzkur, Wahai Dzat Yang Patut Diingat.”). Sang salik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam zikirnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam zikirnya, bila ia tidak melakukan zikirnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bayazid [al-Bisthami]: “Ketika aku mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatanku terhadap-Nya.” Sang pencari tidak dapat melakukan zikir oleh dirinya sendiri. Ia harus mengetahui bahwa Allah justru yang sedang melakukan Zikir melalui dirinya itu.
Perhatian (“nigah dasht”)
“Nigah” artinya pandangan. Itu artinya bahwa seorang salik harus mengawasi kalbunya dan menjaganya dengan mencegah pikiran buruk masuk ke dalamnya. Kecenderungan buruk akan menghalangi kalbu dari penyatuan diri dengan Hadirat Ilahi. Di dalam Naqsybandiyya diakui bahwa jika seorang salik dapat menjaga kalbunya dari kecenderungan yang buruk selama lima belas menit, maka itu adalah suatu pencapaian yang besar. Untuk ini ia akan dianggap sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk menjaga kalbu dari pikiran buruk dan melindunginya dari kecenderungan yang rendah. Barang siapa yang mencapai kedua sasaran ini, ia akan mengenal kalbunya, dan barang siapa yang mengenal kalbunya maka ia akan mengenal Tuhannya. Nabi Suci (s) bersabda, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Seorang syekh Sufi berkata, “Karena aku menjaga kalbuku selama sepuluh malam, kalbuku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”
Abu Bakr al-Qattani berkata, “Aku adalah seorang penjaga di pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membukanya untuk siapapun kecuali untuk Allah `Azza wa Jalla, hingga kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah `Azza wa Jalla.”
Abul Hassan al-Kharqani berkata, “Sudah 40 tahun Allah melihat ke dalam kalbuku dan tidak mendapati siapapun kecuali Diri-Nya sendiri. Dan tidak ada ruangan dalam kalbuku kecuali untuk Allah.”
Ingatan (“yada dasht”)
Itu artinya bahwa seorang yang melakukan zikir menjaga kalbunya dengan negasi dan afirmasi di dalam setiap napasnya tanpa meninggalkan Hadirat Allah `Azza wa Jalla. Seorang salik harus menjaga kalbunya agar tetap berada dalam Hadirat Allah secara terus-menerus. Ini akan membuatnya dapat menyadari dan merasakan Cahaya Esensi yang Unik dari Allah (anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Ia kemudian akan membuang tiga dari empat bentuk pikiran: pikiran egoistik, pikiran jahat, pikiran malaikat dan mempertahankan dan menegaskan bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan mengantarkan sang salik kepada kondisi kesempurnaan tertinggi dengan membuang semua khayalannya dan hanya merangkul hakikat, yaitu: Keesaan Allah, `Azza wa Jalla.
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Syekh Ahmad ash-Shiddiq, yang berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Awliya Terbesar”), Syekh Arif Awliya al-Kabir (q) yang berasal dari Bukhara, beliau adalah seorang ulama besar baik dalam ilmu lahiriah maupun batiniah. Khalifah ketiga adalah Syekh Sulayman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah Syekh `Arif ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempatnyalah `Abdul Khaliq (q) meneruskan rahasia dari Silsilah Keemasan sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H.
(http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abdul-khaliq-al-ghujdawani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
12. S.S. Arif ar-Riwakri (QS)
“Apakah ada tempat di mana untuk Raja kita tidak?
Tetapi sihirnya telah menutup mata pengamat.
Dia menutup matamu sehingga kau melihat debu di tengah hari,
Tapi bukan Matahari Terbesar,
Sebuah kapal di laut, tetapi bukan gelombang lautan.
Terayunnya kapal memberitahumu tentang lautan,
seperti halnya gerakan orang-orang mengatakan kepada orang buta bahwa itu adalah siang hari.
Sudahkah Anda membaca ayat ini, Allah telah mengunci-mati hati… [2: 7]?
Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam. [50:22].
Rumi, Divan.
Beliau adalah seorang Arif yang pada dirinya tampak Kebenaran Batin dengan segala cahaya dan kecemerlangannya. Beliau adalah Sang Suryanya Ilmu yang menerangi langit kegelapan di zamannya. Beliau dijuluki sebagai Cahaya di Taman Hakikat dan Cahaya di Taman Nabi (s).
Arif (q) dilahirkan di desa Riwakar, enam mil dari Bukhara dan satu mil dari Ghujdawan. Beliau berdiri di pintu Syekhnya, Abdul Khaliq (q), dan berkhidmah kepadanya sampai Syekh memberi izin untuk memberikan irsyad (bimbingan). Beliau mengambil Rahasia Tarekat ini dari Syekhnya yang menyaksikan pencapaiannya ke maqam kesempurnaan. Beliau memenuhi negeri-negeri di sekitar Bukhara dengan wangi dari keberkahannya. Beliau membuka kalbu dan pikiran orang-orang di zamannya kepada rahasia-rahasia ilmunya.
Murid-murinya merekam beberapa perkataannya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
Percayalah kepada Allah sampai Dia menjadi Gurumu. Jadikanlah Mengingat Mati sebagai temanmu.
Terlalu banyak menaruh harapan di masa depan akan menghijabmu dari kebaikan yang kau temukan di Jalan Allah.
Barang siapa yang mengucapkan “Ya Allah bimbinglah umat Muhammad (s), ya Allah berkatilah umat Muhammad (s), ya Allah hilangkanlah penderitaan umat Muhammad (s),’ sepuluh kali dalam sehari, ia akan dituliskan tergolong ke dalam kelompok wali yang dikenal sebagai Abdal.
Barang siapa yang memohon Surga tanpa melakukan amal baik, akan dituliskan baginya sebagai dosa dari dosa-dosa. Barangsiapa yang menantikan syafaat tanpa suatu alasan, ia mempunyai suatu bentuk kesombongan.
Betapa mengejutkan melihat begitu banyak shalihiin, namun begitu jarang yang termasuk shadiqiin.
Untuk mencapai penyembuhan dari suatu penderitaan, rahasiakan penderitaanmu dari orang-orang karena mereka bisa tidak bermanfaat bagimu. Mereka mungkin tidak dapat menolongmu dan tidak bisa pula mencegah penderitaan itu darimu.
Ada tiga macam kalbu: kalbu seperti gunung, yang tidak dapat digerakkan oleh apapun, kalbu seperti pohon kurma, yang akarnya kuat tetapi dahan-dahannya bergerak; dan kalbu seperti bulu, yang diterbangkan angin ke kiri dan ke kanan.
Barang siapa yang berharap untuk melindungi agamanya, hindari berkumpul dengan orang-orang.
Ya Allah, setiap kali Engkau ingin menghukumku, lakukanlah, tetapi jangan jauhkan aku dari Hadirat-Mu.
Arif ar-Riwakri (q) wafat di kota yang sama dengan tempat kelahirannya, yaitu Riwakar, dan dimakamkan di sana pada tahun 636 H./1239 M. Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Khwaja Mahmud al-Anjir al-Faghnawi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/arif-ar-riwakri-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
13. S.S. Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi (QS)
“Jika aku mengulangi namaMu, itu bukan karena aku takut kelupaan,
Namun penyebutan di lidahku adalah kebahagiaan dari dzikir.”
Abul-Hasan Simnan.
Beliau adalah seorang Guru yang dari kalbunya memancar Air Pengetahuan dan Hikmah. Kalbunya dipoles dengan Kilauan Ilahiah, membuatnya menjadi salah satu makhluk terbaik di antara hamba-hamba Pilihan-Nya, yang telah disucikan dari kegelapan dan kesengsaraan, sehingga menjadi bening bagaikan kristal.
Beliau dilahirkan di desa Anjir Faghna, tiga mil dari Bukhara. Pada masa mudanya, beliau bekerja di bidang konstruksi. Beliau mengabdikan dirinya untuk membimbing orang-orang menuju Hadirat Ilahi. Beliau adalah yang pertama di dalam tataran para Khwajagan (guru) yang memperkenalkan metode zikir jahar (dengan suara keras) sesuai dengan keperluan waktu dan sesuai dengan kondisi para salik. Ketika beliau ditanya mengapa beliau menggunakan zikir jahar, beliau menjawab, “Untuk membangunkan orang-orang yang tertidur.”
Diterimanya Praktik Zikir Jahar
Suatu hari Khwaja Mahmud (q) menghadiri pertemuan para ulama dan Syekh Syams al-Halwani berkata kepada Syekh Hafiz ad-Din, seorang otoritas dalam ilmu lahiriah, untuk bertanya kepada Syekh Mahmud Faghnawi (q), mengapa beliau melakukan zikir jahar. Syekh Mahmud Faghnawi (q) berkata, “Itu adalah zikir terbaik untuk membangunkan seseorang yang berada di luar dari kondisi tidurnya dan menarik perhatian orang yang lalai sehingga ia mengarahkan dirinya kepada Allah mengikuti syekh yang berzikir, memperkuat dirinya di jalan ini, dan membuat tobatnya kepada Allah menjadi murni, yang merupakan kunci bagi semua kebaikan dan kebahagiaan. Jika niatmu benar, kau akan menemukan kewenangan untuk menggunakan zikir jahar.”
Syekh Hafiz ad-Din meminta beliau untuk menjelaskan kepadanya siapa saja yang diperkenankan dan diizinkan untuk melakukan zikir jahar. Hal ini untuk menjelaskan kepada orang-orang yang menentangnya bahwa praktik ini dibenarkan. Beliau berkata, “Zikir jahar adalah untuk siapa saja yang ingin mencapai maqam penyucian lidahnya dari berbohong dan menggunjing, dan membebaskan perbuatan pribadinya dari hal-hal yang diharamkan, dan membersihkan kalbunya dari kesombongan dan mencintai ketenaran.”
Suatu hari Syekh Ali Ramitani (q), mengatakan bahwa ada seseorang yang bertemu Khidr (a) dan bertanya kepadanya, “Katakan padaku di mana aku dapat menemukan seseorang yang menjaga Syariah Nabi (s) dan Jalan yang lurus, agar aku dapat mengikutinya.” Beliau berkata, “Orang yang kau cari adalah Syekh Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q).”
Dikatakan bahwa Syekh Mahmud (q) berjalan mengikuti jejak Nabi Muhammad (s) pada Maqam Makrifat dan beliau juga mengikuti jejak Sayiddina Musa (a) pada Maqam Kalimullah, maqam orang yang berbicara dengan Allah.
Syekh Mahmud (q) memancarkan ilmunya dari masjidnya yang dibangunnya di desa Wabiqni, dekat Bukhara. Beliau wafat di desa Qilit, dekat Bukhara, pada tanggal 17 Rabiul Awal tahun 717 H. Beliau meneruskan rahasia Tarekat Naqsybandi kepada khalifahnya, Ali ar-Ramitani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/khwaja-mahmoud-al-anjir-al-faghnawi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
14. S.S. Ali ar-Ramitani (QS)
“Tidak ada yang namanya hati yang hancur berbalik dari aku kepada-Mu;
Sebenarnya, dari aku untuk Engkau, semua sel di tubuhku adalah hati.”
Abu Bakr ash-Shibli.
Beliau adalah seorang Penjunjung Panji Islam yang mulia dan seorang ulama besar yang membuka kunci-kunci perbendaharaan kalbu dan menjelaskan rahasia-rahasia dari yang gaib. Beliau menerima dari Kesultanan Makrifat, Karunia, Penghargaan dan Kehormatan. Beliau membimbing orang-orang yang membutuhkan menuju Maqam Ilmu Spiritual. Namanya menjulang ke langit-langit Bimbingan dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan ilmu atau rasanya. Bagi kita, beliau dapat digambarkan seperti halnya Ummul Kitab (kitab suci al-Qu’ran), sebagai “orang yang ditulis pada maqam yang tinggi.”
Beliau dilahirkan di desa Ramitan, dua mil dari Bukhara. Beliau tinggal di sana, dan beliau gemar mempelajari ilmu Syariah, sampai beliau menjadi terkenal di bidang Ilmu Hadits, Qur’an, Fiqh dan Sunnah. Beliau menjadi rujukan (marja`) bagi orang-orang yang ingin meminta fatwa.
Kemudian beliau menghubungi Syekh Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q) untuk mendapatkan bimbingan spiritual. Dalam hadirat Syekh, beliau diangkat ke maqam yang tinggi dari Tajali Cinta Ilahi dan Tajali Hadratillah. Beliau menjadi terkenal dengan sebutan Azizan, sebuah kata dalam bahasa Persia yang digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai maqam yang tinggi.
Berikut ini adalah beberapa perkataannya:
Lakukan dan jangan menghitung-hitung.
Akui kekuranganmu dan lanjutkan pekerjaanmu.
Raihlah Hadratillah, terutama ketika engkau sedang makan dan ketika engkau sedang berbicara.
Allah `Azza wa Jalla berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” Ayat ini memberi kabar gembira bagi kita. Karena Allah meminta tobat, itu artinya Dia akan menerimanya, karena jika Dia tidak akan menerima tobat kita, Dia tidak akan mengatakan kepada kalian untuk bertobat.
Nabi (s) bersabda, ‘Allah melihat pada kalbu orang-orang beriman 360 kali sepanjang siang dan malam.’ Ini artinya kalbu mempunyai 360 pintu masuk. Dan setiap organ mempunyai 360 akar, dan semuanya terhubung dengan kalbu. Jadi, jika kalbu itu, di bawah pengaruh Zikrullah, diantarkan kepada Maqam Tatapan Allah, ini akan mengantarkan semua organ tubuh kepada Tatapan Allah. Hasilnya, setiap organ akan menjadi patuh kepada Allah dan dari cahaya kepatuhan itu, setiap organ akan terkoneksi kepada Curahan Ilahi. Inilah yang menarik Tatapan Rahmat dari Allah kepada kalbu orang-orang yang berzikir.
Lebih Jauh mengenai Zikir Jahar
Mawlana Sayfuddin Fidda, seorang ulama besar di zamannya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mengeraskan suara ketika berzikir?” Syekh Ali (q) mengatakan,
“Wahai saudaraku, para ulama Muslim selama berabad-abad, sejak zaman Tabi`in (generasi setelah Sahabat) hingga sekarang telah mengizinkan zikir jahar pada akhir hayat. Pada saat-saat ini orang-orang yang sedang mengalami sakaratul maut dianjurkan untuk mengulangi syahadatnya. Nabi (s) bersabda, ‘laqqina mawtakum syahadatan LA ILAHA ILLALLAH (“buatlah agar orang-orang yang sedang sakaratul maut di antara kalian mengucapkan: Tiada tuhan selain Allah.’) Di dalam ilmu Sufisme, para ulama menekankan bahwa setiap detik bisa jadi adalah saat-saat terakhirmu. Ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa engkau boleh mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH dengan suara keras pada setiap saat dalam kehidupanmu.”
Beliau ditanya oleh Syekh Mawlana Badruddin al-Midani, yang merupakan seorang ulama besar di zamannya, “Allah telah memerintahkan kita di dalam al-Qur’an untuk memperbanyak zikir melalui firman-Nya, “Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya” [33:41]. Apakah zikir itu dilakukan dengan lidah atau dalam hati?”
Syekh `Ali Ramitani (q) menjawab,
Bagi pemula lebih baik dengan lidahnya, dan bagi yang sudah mahir dapat melakukannya dalam hati.” Beliau melanjutkan, “Hal ini karena bagi pemula untuk berzikir, ia harus mengerahkan banyak upaya. Karena kalbunya terganggu dan tidak stabil dan upayanya tidak merata, sehingga lebih baik baginya untuk melakukan dengan lidahnya. Tetapi yang mahir telah memoles kalbunya dan dengan mudah terpengaruh dengan zikir. Seluruh organnya menjadi dzakiriin (turut berzikir) sehingga seluruh tubuh orang yang sudah terampil itu senantiasa mengingat Allah secara lahir dan batin setiap saat. Satu hari zikirnya orang yang mahir adalah setara dengan satu tahun zikir bagi seorang pemula.
Beliau melanjutkan,
Tugas seorang mursyid yang pertama adalah mengetahui kemampuan para salik. Kemudian ia akan meletakkan metode zikir yang paling sempurna di lidahnya (talqin) untuk mengangkatnya ke maqam tertinggi.
Jika ada satu pengikut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) di zamannya Hallaj (q), Hallaj (q) tidak akan dieksekusi.” Ini artinya akan ada seseorang yang mampu membelanya dari tuduhan orang-orang yang tidak mengetahui.
Syekh Fakhruddin an-Nuri, ulama terpandang lainnya di zamannya bertanya kepadanya, “Allah menyebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an bahwa pada Hari Perjanjian, Dia bertanya, “Alastu bi Rabbikum, qala bala [7:172] (“Bukankah Aku Tuhanmu? — Mereka berkata, “Ya!”), sedangkan pada Hari Kiamat Dia akan bertanya, liman al-mulk ul-yawm [40:16] (‘kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’) dan tidak ada seorang pun yang menjawab. Mengapa mereka menjawab pertanyaan ‘Bukankah Aku Tuhanmu’ tetapi pada Hari Kiamat mereka tidak menjawab?” Dalam jawabannya, Syekh Ali Ramitani (q) mendemonstrasikan kedalaman pemahamannya yang luar biasa terhadap al-Qur’an dan Hadits Suci sebagaimana yang dimiliki oleh para Guru Naqsybandi. Beliau berkata,
Ketika pertanyaan pertama, ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’ diberikan kepada manusia, itu adalah hari di mana Allah menempatkan kewajiban Syariah kepada semua manusia. Menjawab ketika ditanya adalah suatu kewajiban menurut Syariah. Itulah sebabnya mereka menjawab pertanyaan itu. Namun pada Hari Kiamat, semua kewajiban telah berakhir, dan pada saat itu, kesadaran akan Kebenaran dan alam spiritual dimulai. Di dalam spiritualitas tidak ada ucapan yang lebih baik daripada diam, karena spiritualitas adalah suatu aliran dari dan menuju kalbu dan tidak ada hubungannya dengan lidah. Itulah sebabnya pada pertanyaan kedua tidak perlu memberikan jawaban. Allah Sendiri yang menjawab Pertanyaan-Nya, ‘Kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’ dengan mengatakan, ‘lillah il-Wahid il-Qahhar, ‘Itu adalah milik Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’
Setelah menerima perintah surgawi, beliau pindah dari Bukhara ke Khwarazm. Ketika beliau sampai di Khwarazm, beliau tidak memasuki kota, tetapi tinggal di gerbangnya dan mengirim utusannya menemui raja untuk mengatakan,
Seorang tukang tenun yang miskin telah datang untuk memasuki kerajaanmu dan tinggal di dalamnya. Apakah engkau memberi izin atau tidak? Jika engkau memberi izin, ia akan masuk. Jika tidak ia akan pulang kembali.
Beliau meminta utusannya untuk mendapat surat tertulis yang ditandatangani oleh raja, memberikan izinnya. Ketika beliau menerima surat itu Syekh masuk ke dalam kota dan mulai menyebarkan Tarekat Naqsybandi. Setiap hari beliau pergi ke pusat kota, berbicara dengan orang-orang, meminta mereka untuk datang ke majelisnya dan membayar upah mereka untuk hari itu. Beliau menjadikan seluruh kota sebagai pengikutnya, menjadi orang-orang yang taat beribadah dan senantiasa berzikir. Beliau menjadi sangat terkenal di kota itu. Orang-orang sering mengunjunginya dari berbagai penjuru. Reputasinya yang baik membuat raja dan menteri-menterinya mengkhawatirkan pengaruhnya kepada orang-orang. Mereka berusaha untuk mengusirnya dari kota itu. Beliau telah memprediksi hal ini, sehingga beliau mengirimkan kembali surat dari raja itu kepadanya. Mendapati hal ini raja mendatangi syekh dan meminta maaf. Ia kemudian menjadi salah satu muridnya yang utama.
Syekh Ali wafat pada hari Senin, 18 Dzul Qa’idah tahun 715 H./1315 M. atau 721 H./1321 M. pada usia 130 tahun.
Beliau mempunyai dua anak yang sangat terkenal dalam mengikuti jejaknya. Namun beliau tidak meneruskan rahasianya kepada mereka, melainkan kepada Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ali-ar-ramitani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
15. S.S. Muhammad Baba as-Samasi (QS)
Kita selami Lautan bersama, dan berdiri pada suatu titik di pantainya Tepat di atasnya adalah sabg mentari yang terbit menerangi cakrawala. Tenggelamnya ada pada kita, pun dari kitalah merekah fajarnya Jiwa kita memancar dari kilau permata yang tersentuhkan oleh kedua tangan kita Saat itu kitapun menjadi permata Beritahukanlah pada kami, makna dan rahasia sang mentari mutiara apakah itu yang keluar dari Lautan ini; Kita selami semesta yang namanya dalam buku kita belum pernah ada Semesta terlalu sempit untuk dapat melingkupi kita bahkan dapat terlingkupi dalam kita Kita tinggalkan Lautan penuh gelombang badai Bagaimanakah orang lain mengerti apa yang telah kita gapai?
Diambil dari Abu Madian.
Shaikh Muhammad Baba as-Samasi adalah seorang pelajar al-Azizan yang ternama dan merupakan seorang Cendikia dari para Wali dan seorang Wali dari para Cendikia. Beliau unik dalam dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan internal dan eksternal. Berkahnya menembus seluruh ummat di masanya. Dari keinginan belajarnya yang tinggi, beliau menyebabkan ilmu-ilmu ghaib dan rahasia menjadi tampak. Beliau adalah puncaknya Matahari Pengetahuan Eksternal dan Internal di abad ke-8 H. Salah satu tanda keajaibannya adalah mi’raj beliau dari Kubah Batu, yang merupakan hatinya ke maqam Cendikia dari para Cendikia. Para cendikia yang menguasai hikmah spiritual banyak yang menggali dari ladang ilmunya dan ikut berthawaf mengelilingi Ka’aba dibawah bimbingan beliau.
Beliau dilahirkan di Sammas, sebuah desa di pinggiran Ramitan, tiga mil dari Bukhara. Beliau mengalami kemajuan dalam perjalanannya dengan memahami Ilmu dalam al-Qur’an, menghafalkan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah , serta menjadi ahli di bidang Jurisprudensi. Kemudian beliau mulai mempelajari Teologi Spekulatif, Logika, Filosofi (‘ilm al-Kalam) dan Sejarah, sampai beliau dijuluki ensiklopedia berjalan bagi segala bidang ilmu dan seni. Beliau mengikuti Syaikh Ali ar-Ramitani al-‘Azizan dan terus-menerus berperang melawan dirinya sendiri. Beliau melakukan khalwat setiap hari sampai mencapai maqam kemurnian sehingga Syaikhnya diizinkan untuk mentransfer Pengetahuan Surgawi yang bersifat Ghaib ke dalam hatinya. Beliau menjadi sangat terkenal dengan kekuatan ajaib dan ketinggian maqam kewaliannya. Syaikh ‘Ali Ramitani memilih beliau sebagai penerusnya sebelum beliau meninggal dan memerintahkan semua murid untuk mengikutinya.
Beliau pernah berkata ketika melewati sebuah desa di Qasr al-‘Arifan, “Dari tempat ini Aku mencium wangi seorang Pemegang Ilmu Spiritual yang akan muncul dan dari namanyalah seluruh thariqat ini akan dikenal.” Suatu hari beliau melewati desa itu dan berkata, Aku mencium aroma yang sangat kuat, seolah-olah Pemegang Ilmu itu telah lahir.” Tiga hari berselang, kakek dari seorang anak mengunjungi Shaikh Muhammad Baba as-Samasi dan berkata, “Ini adalah cucuku.” Beliau lalu berkata kepada para pengikutnya, “Bayi ini adalah Pemegang Ilmu yang telah kuceritakan kepada kalian. Aku lihat di masa depan dia akan menjadi pemandu bagi seluruh ummat manusia. Rahasianya akan menggapai seluruh orang-orang shaleh. Pengetahuan Surgawi yang telah dicurahkan oleh Allah akan terukir kepadanya akan memasuki setiap rumah di Asia Tengah. Nama Allah (Naqsh) dalam hatinya. Dan thariqat ini akan dinamai dengan ukiran tersebut.”
Dari Ucapannya : “Para pencari harus selalu berusaha untuk mematuhi Perintah Allah , dan dia harus selalu berada dalam keadaan suci. Pertama dia harus mempunyai hati yang bersih sehingga tidak akan berpaling kepada apa pun . Selanjutnya dia harus menjaga agar bagian dalam tubuhnya tetap kecuali Allah suci, dan tidak diperlihatkan kepada orang lain. Yaitu melihat dengan pandangan yang benar. Kesucian dada (sadr), terdiri atas harapan dan kepuasan terhadap Kehendak Ilahi. Kemudian kesucian jiwa, yang terdiri atas kesederhanaan dan penghormatan yang tinggi. Kemudian kesucian perut dengan hanya memakan makanan yang halal dan pantangan. Diikuti dengan kesucian badan yaitu dengan meninggalkan keinginan. Diikuti dengan kesucian tangan yang terdiri atas keshalehan dan ikhtiar. Kemudian kesucian dari dosa yaitu dengan menyesali kesalahan yang telah dilakukan. Selanjutnya kesucian lidah, yang terdiri atas dzikir dan istighfar. Kemudian dia harus mensucikan dirinya dari kelalaian dan kealfaan, dengan mengembangkan ketakutan terhadap Akhirat.” “Kita harus selalu beristighfar, berhati-hati dalam segala urusan, mengikuti langkah orang-orang yang shaleh, mengikuti ajaran internalnya, dan menjaga hati dari segala godaan.”
“Jadilah orang yang terbimbing dengan ajaran Syaikhmu, sebab ajaran itu dapat menyembuhkanmu secara langsung dan lebih efektif daripada membaca buku.” “Kalian harus menjaga asosiasi dengan seorang Wali. Dalam asosiasi itu kalian harus menjaga hatimu dari gosip dan tidak boleh berbicara di tengah kehadirannya dengan suara yang keras, kalian juga tidak perlu menyibukkan diri dengan shalat dan ibadah sunnah ketika sedang bersamanya. Jagalah kebersamaanya dalam segala hal. Jangan berbicara ketika mereka sedang berbicara. Dengarkan apa yang mereka katakan. Jangan melihat apa yang mereka miliki di rumah, terutama di kamar dan dapurnya. Jangan berpaling kepada Syaikh yang lain tetapi yakinlah bahwa Syaikhmu akan membuatmu tiba di tujuanmu. Jangan menyambungkan hatimu dengan Syaikh yang lain, bisa saja kalian akan terluka karena melakukan hal itu. Tinggalkan apa pun yang telah kalian kumpulkan semasa kanak-kanakmu.” “Dalam menjaga kehadirat Syaikhmu, kalian tidak boleh menyimpan sesuatu dalam hatimu kecuali Allah dan Nama-Nya.”
“Suatu ketika Aku bertemu dengan Syaikhku, Syaikh ‘Ali ar-Ramitani . Ketika Aku memasuki kehadiratnya, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, Aku kirimkan keinginan mi’raj ke dalam hatimu’ Segera setelah beliau mengatakan hal itu beliau menempatkan diriku ke dalam keadaan dengan panorama spiritual, di mana Aku melihat diriku berjalan siang dan malam, dari negriku menuju Masjid al-Aqsa, Aku memasuki masjid dan Aku melihat seseorang yang bepakaian serba hijau di sana. Beliau berkata kepadaku, ‘Selamat datang, kami telah menantimu sejak lama.’ Aku berkata, ‘Wahai Syaikhku, Aku meninggalkan negriku pada tanggal sekian. Tanggal berapa sekarang?’ Beliau menjawab, ‘Hari ini adalah 27 Rajab.’ Aku sadar bahwa Aku telah melakukan perjalanan selama 3 bulan untuk mencapai masjid itu, dan yang membuatku terkejut adalah bahwa Aku tiba di malam yang sama dengan malam isra mi’raj Rasulullah .
“Beliau berkata kepadaku, ‘Syaikhmu, Sayyid ‘Ali ar-Ramitani telah menantimu sejak lama di sini.’ Aku masuk ke dalam, dan Syaikhku sudah siap untuk menjadi Imam dalam rangkaian shalat malam. Setelah menyelesaikan shalatnya beliau menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai anakku, Aku telah diperintahkan oleh untuk menemanimu dari Masjid Kubah ke Sidratul Muntaha, tempat yang Rasulullah sama di mana beliau mengalami mi’raj.’ Ketika beliau selesai berbicara orang yang serba hijau itu membawa dua makhluk yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kami menunggangi kedua makhluk tersebut dan mengangkasa.
Setiap kali kami naik, kami mendapatkan pengetahuan yang terdapat di tingkat antara Bumi dan Surga itu.” “Mustahil melukiskan apa yang kami lihat dan kami pelajari dalam mi’raj itu, karena kata-kata tidak bisa mengekspresikan apa yang berhubungan dengan hati, kata-kata tidak bisa mengungkapkannya kecuali dengan merasakan dan mengalaminya sendiri. Kami melanjutkan mi’raj kami sampai tiba di maqam Realitas (al-haqiqat al-Muhammadiyya), yang berada di Kehadirat Ilahi. Rasulullah Setelah kami memasuki tingkatan ini, Syaikhku lenyap, Aku pun lenyap. Kami melihat bahwa tidak ada lagi yang eksis di alam semesta ini kecuali Rasulullah sendiri. Kami rasa tidak ada yang berada di maqam selanjutnya kecuali Allah sendiri. “
“Kemudian Aku mendengar suara Rasulullah mendukungku dengan menghilang, Kekuatan-Nya. Layanilah Syaikhmu.’ Ketika suara Rasulullah Aku menemukan diriku berdiri di tengah Syaikhku. Itu adalah sebuah karunia yang besar, berada dekat dengan Syaikh yang sangat kuat, yang bisa membawamu ke Kehadirat Ilahi.” Shaikh Muhammad Baba as-Samasi meninggal dunia di Samas pada tanggal 10 Jumada al-Akhir, tahun 755 H. Beliau mempunyai empat khalifah, tetapi Rahasia dari Mata Rantai Emas hanya diteruskan kepada Sayyid Amir Kulal ibn as-Sayyid Hamza.
16. S.S. as-Sayyid Amir Kulal ibn as-Sayyid Hamza (QS)
“Kita mempunyai jalan dari dunia nyata menuju alam ghaib, karena kita adalah sahabat dari Sang Utusan dalam Agama. Kita mempunyai jalan dari rumah ke taman, kita adalah tetangga dari pohon cemara dan melati.Setiap hari kita datang ke kebun dan melihat ratusan bunga. Untuk menaburkan mereka di antara para pecinta, kita penuhi jubah kita sampai penuh sesak.Perhatikan ucapan kita! Mereka adalah wewangian bagi mawar itu—kita adalah semak mawar dari kebun mawar keyakinan.”
Divan (Rumi)
Sayyid Amir Kulal dikenal bagaikan Mawar dalam hal Karakter dan Atribut Rasulullah , mencapai maqam yang tertinggi dari Pohon Lote terjauh, penunjuk jalan menuju Singgasana Utama, pemilik rahmat, guru yang memiliki rahasia nafas suci Tuhan. Dia adalah mujaddid atau pembaharu dalam syariah (Hukum), guru besar dalam thariqat, pendiri haqiqat (Realitas), and pembimbing bagi khaliqa (Ciptaan). Beliau diakui sebagai guru besar para wali di zamannya, yang menyandangkan ucapan, “Wali dari Guru besar adalah Guru Besar bagi para Wali.” terhadap beliau.
Beliau dilahirkan di desa Sukhar, dua mil dari Bukhara. Keluarganya adalah sayyid, keturunan Rasulullah. Ibunya berkata, “Ketika Aku mengandung nya, setiap kali tanganku ingin mengambil makanan yang meragukan, Aku tidak bisa memasukkannya ke dalam mulutku. Hal ini sering kali terjadi. Aku tahu bahwa bayi yang berada di rahimku adalah seseorang yang istimewa. Oleh sebab itu Aku sangat berhati-hati dan memilih makananku dari makanan yang terbaik dan halal.”
Di masa kanak-kanaknya, beliau adalah seorang pegulat. Beliau sangat suka mempelajari berbagai macam aliran gulat, sehingga beliau menjadi pegulat yang terkenal di masanya. Seluruh pegulat akan berkerumun dan belajar darinya. Suatu hari, ada seseorang yang menyaksikannya bergulat. Terbersit dalam benaknya, “Bagaimana mungkin seseorang yang merupakan keturunan Rasulullah yang sangat menguasai syari’at dan thariqat, melakukan latihan seperti itu?” tiba-tiba dia tertidur dan bermimpi kalau dia berada di Hari Pembalasan. Dia merasa dirinya berada dalam kesulitan dan akan tenggelam. Kemudian Syaikh Sayyid Amir al-Kulal muncul di hadapannya dan menyelamatkannya dari air. Ketika terbangun, dia mendapati Sayyid Amir al-Kulal di dekatnya dan berkata, “Apakah kamu telah menyaksikan kekuatanku dalam bergulat dan kekuatanku dalam memberi perantaraan?”
Suatu ketika seseorang yang akan menjadi Syaikhnya, yaitu Syaikh Muhammad Baba as-Samasi , melewati arena gulat bersama para pengikutnya. Beliau berhenti dan berdiri di sana. Setan berbisik kepada salah satu pengikutnya dengan berkata, “Bagaimana seorang Syaikh berdiri di arena gulat seperti ini?” Dengan segera Syaikh melihat muridnya itu dan berkata, “Aku berdiri di sini demi seseorang. Dia akan menjadi seorang yang luas pengetahuannya. Setiap orang akan mendatanginya untuk meminta bimbingan dan melalui dia orang bisa meraih posisi tertinggi dari Kecintaan Allah dan Kehadirat Ilahi. Aku bermaksud untuk membawa orang itu di bawah pengawasanku.” Pada saat itu Syaikh Amir Kulal menoleh kepadanya, dia merasa tertarik, lalu meninggalkan gulatnya. Beliau mengikuti Syaikh Muhammad Baba As-Samasi ke rumahnya. Syaikh Samasi mengajarinya dzikir dan prinsip-prinsip thariqat yang paling mulia ini, dan berkata kepadanya, ”Sekarang engkau adalah anakku.”
Syaikh Kulal mengikuti Syaikh Samasi selama 20 tahun menghabiskan waktunya dengan berdzikir, khalwat, ibadah, dan melakukan penyangkalan diri sendiri. Tidak ada yang melihatnya dalam kurun waktu 20 tahun itu kecuali bersama Syaikhnya. Beliau akan mendatangi Syaikhnya di Samas setiap hari Senin dan Kamis, meskipun jaraknya 5 mil dan perjalanannya sangat berat, sampai beliau mencapai keadaan tidak tersekat (mukashafa). Pada saat itu ketenarannya mulai tersebar ke mana-mana sampai beliau meninggalkan dunia ini. Beliau mempunyai empat orang anak, as-Sayyid al-Amir Burhanuddin, as-Sayyid al-Amir Hamza, as-Sayyid al-Amir Syah, dan as-Sayyid al-Amir Umar.
Beliau juga mempunyai empat orang khalifah, tetapi beliau meneruskan rahasianya hanya kepada satu orang di antara mereka, Guru dari para Guru, yang paling tahu di antara yang tahu, seorang Busur Perantara yang Terbesar (al-Ghawts al-A’zam), Sultanul Awliya, Syaikh Muhammad Baha’uddin Shah Naqshband. Syaikh Sayyid Amir Kulal wafat di desa yang sama dengan tempat beliau dilahirkan, Sukhar, pada 8 Jumadil Awwal, 772 H.
17. S.S. Muhammad Baha’uddin Syah Naqsyband (QS)
“Kidung subuh sang merpati hutan, haru sendu membirukan Air mataku membangunkan lelapnya, tidurku pun tergugah tangisnya Tak saling kami mengerti, tatkala saling mengeluhkan Tetapi ku tahu duka hatinya dan dukaku pun telah dipahaminya”.
(Abul-Hasan an-Nuri)
Syah Naqsyband adalah Samudra Ilmu yang tak bertepi Ombaknya dianyam oleh mutiara Ilmu Ilahi. Beliau menjernihkan kemanusiaan dengan Samudra Kemurnian dan Kesalehan. Beliau melepaskan dahaga jiwa dengan air yang berasal dari dukungan spiritualnya. Seisi dunia, termasuk samudra dan benua, berada dalam genggamannya. Beliau adalah bintang yang berhiaskan Mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali dengan nafas sucinya. Beliau menghiasi bahkan setiap sudut yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasul-Allah.
Cahayanya menembus setiap lapisan ketidakpedulian. Keluarbiasaannya melahirkan bukti terhempasnya asa tertepis dari keraguan hati kemanusiaan. Keajaiban nya yang penuh kekuatan membawa kehidupan kembali ke dalam hati setelah kematiannya dan menyiapkan jiwa-jiwa dengan perbekalan mereka bagi kehidupan spiritual di masa mendatang. Beliau terpelihara di Maqam Busur Perantara tatkala beliau masih dalam buaian. Beliau menghisap nektar ilmu ghaib secara terus-menerus dari Cangkir Makrifat (Realitas). Jika Muhammad bukanlah Rasul yang terakhir, mungkin yang telah mengirimkan seorangbeliau akan menjadi Rasul. Segala Puji bagi Allah mujaddid (yang menghidupkan agama Islam). Beliau mengangkat hati manusia, menyebabkan mereka mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya. Beliau menyebarkan petunjuknya dari Utara hingga Selatan, dan dari Timur hingga ke Barat.
Beliau tidak meninggalkan seorang pun tanpa dukungan surgawi, termasuk binatang-binatang liar di rimba raya. Beliau adalah Ghawts teragung, Busur Perantara, Sultannya para Awliya, Kalung bagi seluruh mutiara spiritual yang dipersembahkan di alam semesta ini oleh Hadirat Ilahi. Dengan cahaya petunjuknya, Allah membuat yang baik menjadi yang terbaik, dan mengubah yang jahat menjadi baik. Beliau adalah Guru dari thariqat ini dan Syaikh dari Matarantai Emas serta merupakan pembawa alur Khwajagan yang terbaik.
Beliau dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-‘Arifan, dekat Bukhara. Allah menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahasia thariqat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi. Kemudian beliau diberikan rahasia dan kemampuan dari thariqat ini oleh Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulal. Beliau juga merupakan Uwaysi dalam hubungannya dengan Rasulullah, karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Abdul Khaliq al-Ghujdawani, yang telah mendahuluinya selama 200 tahun
Awal Mula dari Bimbingannya dan Bimbingan dari Awal Mulanya
Syah Naqsyband berumur delapan belas tahun ketika beliau dikirim kakeknya ke kampung Samas untuk melayani Syaikh thariqat, yang telah memintanya. Dari awal persahabatannya Muhammad Baba as-Samasi dengan Syaikh tersebut, Beliau melihat anugerah yang tak terhitung di dalam dirinya, dan kebutuhan yang amat sangat akan kesucian dan ibadah. Dari masa mudanya, beliau bercerita, Aku akan bangun lebih awal, tiga jam sebelum shalat Fajar, berwudhu, dan setelah melaksanakan shalat sunnah, Aku akan bersujud, memohon pada Tuhan dengan do’a berikut, Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk menjalankan kesulitan-kesulitan dan rasa sakit dari Cinta-Mu.’ Lalu Aku akan shalat Fajar bersama dengan Syaikh.
Ketika beliau keluar, suatu hari beliau melihat ke arahku dan berkata, seolah-olah beliau telah bersamaku ketika Aku berdo’a tadi, ‘Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdo’amu. Daripada berkata, ‘Ya Allah! Anugerahkanlah ridha-Mu pada hamba yang lemah ini.’ Tuhan tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Walau Tuhan dalam Kearifan-Nya mungkin memberikan kesulitan pada hamba-Nya untuk mengujinya, sang hamba tak boleh meminta untuk berada dalam kesulitan. Hal ini berarti tidak menghormati Tuhanmu.’
Ketika Syaikh Muhammad Baba as-Samasi wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan Aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-‘Arifan, yang merupakan pemeliharaan yang khusus dari Allah bagiku, karena Aku menjadi dekat dengan Sayyid Amir Kulal. Aku tinggal dan melayaninya, dan beliau mengatakan padaku bahwa Syaikh Muhammad Baba as-Samasi telah berkata jauh hari sebelumnya bahwa, ‘Aku tak akan senang denganmu bila engkau tidak memeliharanya dengan baik.’
Suatu hari, Aku duduk bersama seorang teman, dalam pengasingan (khalwat), tiba-tiba langit terbuka dan suatu pemandangan yang agung datang padaku dan Aku mendengar sebuah suara yang berkata, ‘Tidakkah cukup bagimu meninggalkan setiap orang dan datang ke Hadirat Kami sendirian saja?’ Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke sebuah sungai di mana Aku lalu menyeburkan diri. Aku mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang belum pernah Aku lakukan sebelumnya, Aku merasa seolah-olah sedang shalat dalam Hadirat-Nya. Segalanya begitu terbuka ke dalam hatiku dalam bentuk tanpa sekat (kashf). Seluruh semesta lenyap dan Aku tak menghiraukan apa pun kecuali berdo’a ke Hadirat-Nya.
Di awal keadaan ketertarikanku, Aku pernah ditanya, ‘Mengapa engkau ingin memasuki Jalan ini?’ Aku menjawab, ‘Agar apa pun yang Aku katakan dan Aku kehendaki akan terjadi.’ Aku dijawab, Itu mustahil. Apa pun yang Kami katakan dan apa pun yang Kami kehendaki, itulah yang akan terjadi.’ Dan Aku berkata, ‘Aku tak bisa melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk berkata dan untuk melakukan apapun yang Aku suka, atau, Aku tak menginginkan Jalan ini.’ Lalu Aku menerima jawabannya, ‘Tidak bisa. Apapun yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun yang Kami kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi.’ Lalu Aku berkata lagi ‘Apa pun yang Aku katakan dan apa pun yang Aku kerjakan itulah yang pasti terjadi.’ Kemudian Aku pun ditinggalkan sendirian selama lima belas hari, hingga Aku menderita depresi yang luar biasa. Kemudian Aku mendengar sebuah suara, , apapun yang kau inginkan, akan Kami kabulkan.’ Aku amat ‘Wahai Baha’uddin bergembira. Aku berkata, ’Aku ingin diberi sebuah thariqat yang akan memimpin siapa pun yang berjalan di atasnya akan langsung menuju ke Hadirat Ilahi.’ Dan Aku melihat suatu pemandangan yang agung dan sebuah suara berkata, Apa yang kau minta, telah dikabulkan.’
Kemajuan dan Perjuangannya dalam Thariqat
Menyatakan, Suatu saat Aku sedang mengalami Syah Naqsyband ekstase dan tanpa akal pikiran (tidak sadar), berpindah dari sini ke sana, tak menyadari apa yang tengah kulakukan. Kakiku robek dan berdarah karena duri pada saat gelap. Aku merasa diriku ditarik ke rumah Syaikhku, Sayyid Amir Kulal. Saat itu malam sungguh gelap tanpa bulan dan bintang. Udara amat dingin dan Aku tak memiliki apapun kecuali sebuat jubah kulit yang sudah usang. Ketika Aku tiba di rumahnya, Aku menemukan beliau sedang duduk bersama para sahabatnya. Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada para pengikutnya, Bawa dia keluar, Aku tak menginginkan dia berada di rumahku.’ Mereka lalu mengeluarkan aku dan Aku merasakan ego berusaha menguasaiku, mencoba meracuni kepercayaanku kepada dan Rahmat-Nya-lah satu-satunya Syaikhku. Pada saat itu hanya Perlindungan Allah pendukungku dalam menerima penghinaan ini Demi Allah dan Demi Syaikhku.
Lalu Aku berkata pada egoku, ‘Aku tak memperkenankanmu untuk meracuni kepercayaanku terhadap Syaikhku.’ Aku begitu lelah dan tertekan sehingga Aku merendahkan hati di depan pintu kesombongan, meletakkan kepalaku di bawah pintu rumah guruku, dan bersumpah dengan Nama Allah bahwa Aku tak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun dan udara yang begitu dingin menembus tulangku, membuatku gemetar dalam gelapnya malam. Bahkan cahaya rembulan pun tak ada untuk sedikit membuatku merasa nyaman. Aku ingat keadaan tersebut, hingga Aku membeku. Namun cinta akan pintu Ilahi Syaikhku yang ada dalam hatiku, membuatku tetap hangat.
Subuh pun datang dan Syaikhku keluar dari pintu tanpa melihatku secara fisik. Beliau menginjak kepalaku, yang masih berada di bawah pintunya. Merasakan adanya kepalaku, dengan segera beliau menarik kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, ’Wahai anakku, kau telah dihiasi dengan pakaian kebahagiaan. Kau telah dihiasi dengan pakaian Cinta Ilahi. Kau telah dihiasi dengan pakaian yang tidak pernah Aku dan senang denganmu, Rasulullah senang denganmu, semua Syaikhku kenakan. Allah Syaikh dari Matarantai Emas senang denganmu.’ Kemudian dengan telaten dan sangat hati-hati beliau mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh lukaku. Pada saat yang sama beliau menuangkan ilmu pada hatiku yang tak pernah Aku alami sebelumnya. Hal ini membukakan suatu pandangan di mana Aku melihat diriku memasuki rahasia Muhammadun Rasul-Allah. Aku melihat diriku memasuki rahasia ayat yang merupakan Haqiqa Muhammadiyya (Realitas Muhammad).
Hal ini mengantarkan aku untuk memasuki rahasia dari LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari wahdaniyyah (Keunikan Allah). Hal ini lalu mengantar aku untuk memasuki rahasia Asma’ Allah dan Atribut-Nya yang dinyatakan dengan rahasia ahadiyya (Ke-Esa-an Allah). Keadaan-keadaan tersebut tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, hanya dapat diketahui lewat rasa di dalam hati.Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku biasa berkeliaran di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di pinggiran kota Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, khususnya di musim dingin, Aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari yang telah meninggal.
Suatu malam Aku dibimbing untuk mengunjungi nisan Syaikh Ahmad al-Ajgharawa dan membacakan al-Fatihah baginya. Ketika Aku tiba, Aku menemukan dua orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor kuda. Mereka menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilah pedang di sabukku. Mereka mengarahkan kudanya ke nisan Syaikh Mazdakhin. Ketika kami tiba, kami semua turun dan memasuki makam dan masjid Syaikh tersebut. Aku duduk menghadap qiblat, tafakur, dan menghubungkan hatiku dengan hati Syaikh itu. Selama proses meditasi tersebut sebuah pandangan terbuka padaku dan Aku melihat dinding yang menghadap qiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seseorang yang tinggi besar dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sedang duduk di singgasana itu. Aku merasa mengenalnya.
Kemanapun Aku palingkan wajah di semesta ini yang kulihat adalah orang itu. Di sekelilingnya terdapat kerumunan besar yang terdiri dari Syaikh-Syaikhku, Syaikh Muhammad Baba as-Samasi dan Sayyid Amir Kulal. Kemudian Aku merasa takut dengan orang yang tinggi besar itu sementara pada saat yang bersamaan Aku juga merasakan cinta terhadapnya. Aku memiliki ketakutan akan kehadirannya yang makin membesar dan cinta kasih akan kecantikan dan pengaruhnya. Aku berkata pada diriku sendiri, ’Siapa gerangan manusia agung ini?’ Aku mendengar sebuah suara di antara orang-orang di kerumunan itu berkata, ‘Orang agung yang membesarkanmu di jalan spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Dia melihat jiwamu manakala masih berupa atom di Hadirat Ilahi. Kau telah berada dalam pelatihannya selama ini.
Dialah Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan kerumunan yang sedang kau lihat itu adalah khalifah yang membawa rahasia agungnya, rahasia Matarantai Emas.’ Kemudian Syaikh tersebut mulai menunjuk kepada masing-masing Syaikh seraya berkata, ‘Yang ini Syaikh Ahmad, ini Kabir al-Awliya, ini ‘Arif Riwakri, ini Syaikh Ali Ramitani, yang ini Syaikhmu, Muhammad Baba as-Samasi, yang semasa hidupnya memberikan jubahnya untukmu. Apakah kau mengenalnya?’ ‘Ya’, kataku.
Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Jubah itu, yang dia berikan kepadamu beberapa saat silam sekarang masih ada di telah menyembuhkan banyak penderitaan dalamrumahmu, dan dengan berkah Allah hidupmu.’ Lalu suara lain datang dan berkata, Syaikh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan selama berjalan lewat jalan ini.’ Aku bertanya apakah mereka akan mengizinkan Aku untuk bersalaman dengannya. Mereka mengizinkannya dan membuka hijab-nya (sekat) dan Aku pun mengambil tangannya. Kemudian beliau mulai menceritakan tentang suluk (perjalanan), awal, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata, ‘Kau harus membenahi sumbu yang ada dalam dirimu sehingga cahaya dari yang tak terlihat dapat dikuatkan dalam dirimu dan rahasia-rahasianya dapat terlihat.
Kau harus memperlihatkan ketetapanmu dan kau harus kukuh dalam syari’ah Rasulullah dalam setiap keadaanmu. Kau harus “menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar” (QS 3:110, 114) dan tetap pada standar tertinggi dari syari’ah dan meninggalkan kemudahan-kemudahan, dan menyingkirkan penemuan baru dalam segala bentuknya (bid’ah), dan buatlah al-Hadits sebagai qiblatmu. Kau harus menyelidiki kehidupannya (sirah) dan sirah para sahabatnya, dan membuat orang untuk mengikuti dan membaca al-Quran baik siang maupun malam, serta melaksanakan shalat dengan segala ibadah tambahannya (nawafil). Jangan abaikan hal sekecil apapun dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan mulia yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah.’
Begitu Abdul Khaliq selesai, khalifahnya berkata padaku, ’Agar yakin akan kebenaran pandangan ini, beliau mengirimkan suatu tanda begimu. Besok, pergi dan kunjungilah Maulana Syamsuddun al-Ambikuti, yang akan menghakimi dua orang. Katakan padanya bahwa si Turkilah yang benar dan si Saqqa-lah yang salah. Katakan padanya, ’Kau mencoba membantu si Saqqa, namun kau salah. Perbaikilah dirimu dan bantulah si Turki.’ Bila si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan si hakim terus membela si Saqqa, katakan padanya, ’Aku memiliki dua bukti. Yang pertama harus bilang pada si Saqqa, ‘Wahai Saqqa, engkau sedang dahaga.’ Dia akan mengerti apa arti dahaga itu.
Sebagai bukti kedua, kau harus bilang kepada si Saqqa, ‘Kau telah meniduri seorang wanita dan dia menjadi hamil, dan kau telah memiliki bayi yang telah digugurkan, dan kau kuburkan bayi itu di bawah pohon pinus.’ Dalam perjalananmu menuju Maulana Syamsuddin, bawalah tiga butir kismis dan lewati Syaikhmu, Sayyid Amir al-Kulal. Dalam perjalananmu menuju beliau kau akan bertemu dengan seorang Syaikh yang akan memberimu sebantal roti. Ambillah rotinya dan jangan bicara sepatah kata pun dengan Syaikh tersebut. Lanjutkan hingga kau menemukan sebuah karavan. Seorang petarung akan mendekatimu. Nasihati dan dekati dia kembali. Dia akan menyesal dan akan menjadi salah seorang pengikutmu. Kenakanlah topimu dan bawa jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal.’
Setelah itu mereka memindahkan aku dan pandangan itu pun berakhir. Aku kembali pada diriku sendiri. Hari berikutnya Aku pulang ke rumahku dan bertanya kepada keluargaku tentang jubah yang telah disebutkan dalam pandangan itu. Mereka membawanya ke hadapanku dan berkata, ’Ini telah ada di sana sejak lama sekali.’ Ketika Aku melihat jubah itu keharuan yang mendalam melandaku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di pinggiran Bukhara, menuju masjid Maulana Syamsuddin.Aku shalat Fajar bersamanya dan kemudian Aku menyampaikan tanda yang sangat membuatnya terkejut. Si Saqqa itu ada dan dia menyangkal bahwa si Turki itu yang benar. Lalu Aku menyampaikan bukti-bukti itu kepada beliau. Dia menerima yang pertama namun menyangkal yang kedua. Lalu Aku mengajak orang-orang yang berada di masjid itu untuk pergi ke pohon pinus yang ada di dekat masjid. Mereka menurut dan menemukan seorang anak yang terkubur di sana. Si Saqqa lalu datang dan menangis serta memohon maaf atas apa yang telah dia perbuat, namun semuanya telah berakhir. Maulana Syamsuddin dan orang lain yang berada di masjid itu benar-benar terkejut.
Aku bersiap untuk melakukan perjalanan keesokan harinya ke kota Naskh dan telah memegang ketiga kismis kering. Maulana Syamsuddin mencoba menahanku dengan berkata, ’Aku sedang melihat dalam dirimu ada penyakit karena merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi. Penyembuhmu berada di tangan kami.’ Aku menjawabnya, ‘Wahai Syaikhku, Aku adalah anak dari orang lain dan Aku adalah pengikutnya. Bahkan bila kau tawarkan untuk merawatku dengan susu dari maqam yang lebih tinggi, Aku tak dapat menerimanya, kecuali dari seseorang yang kepadanya Aku berikan hidupku dan daripadanya Aku mengambil bay’at.’ Kemudian beliau terdiam dan mengizinkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Aku bergerak seperti yang telah diperintahkan hingga Aku bertemu dengan Syaikh itu dan dia memberiku sebantal roti. Aku tidak bicara dengannya.
Aku mengambil rotinya seperti yang telah diperintahkan. Kemudian Aku menemukan sebuah karavan. Mereka bertanya dari mana Aku berasal. Aku bilang, Ambikata!’ Mereka bertanya kapan Aku berangkat. Aku bilang, ‘Pada saat matahari terbit.’ Mereka terkejut dan berkata, ’Desa itu bermil-mil jauhnya dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menempuh jarak itu. Kami meninggalkan desa itu tadi malam dan kau di saat matahari terbit, namun kau telah menyusul kami.’ Aku melanjutkan (perjalanan) hingga Aku bertemu dengan seorang tukang kuda.
Dia menyapaku, ‘Siapa kau?’ Aku takut kepadamu!’ Aku bilang, ‘Di tangankulah kau akan bertobat.’ Dia lalu turun dari kudanya, menunjukkan seluruh kerendahan nya di hadapanku dan bertobat dan melemparkan seluruh botol anggur yang dibawanya. Dia menemaniku menemui Syaikhku, Sayyid Amir Kulal. Ketika Aku menemuinya, Aku menyerahkan jubah kepadanya. Beliau terdiam untuk beberapa saat dan kemudian beliau berkata, ’Ini adalah jubah Azizan. Aku diberi tahu tadi malam bahwa kau akan membawanya kepadaku, dan Aku telah diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapisan penutup.’ Lalu beliau menyuruhku untuk memasuki ruangan pribadinya. Beliau mengajariku dan menempatkan dzikir khafa di dalam hatiku. Beliau memerintahkan Aku untuk memelihara dzikir itu siang dan malam.
Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani dalam pandangan itu untuk berketetapan pada cara yang sulit, maka Aku memelihara dzikir khafa yang merupakan bentuk dzikir tertinggi. Sebagai tambahan, Aku biasa menghadiri kumpulan murid-murid luar untuk belajar ilmu syari’ah dan al-Hadits, dan belajar mengenai sifat-sifat Rasulullah saw dan para Sahabatnya. Aku melakukannya karena pandangan itu menyuruhku demikian, dan hal ini menyebabkan perubahan besar dalam kehidupanku. Semua yang diajarkan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani dalam pandangan itu melahirkan buah yang diberkahi dalam kehidupanku. Ruhnya selalu menemani dan mengajariku.
Tentang Dzikir Zahar dan Dzikir Khafa
Disebutkan dalam Kitab al-Bahjat as-Saniyya bahwa dari masa Mahmud al-Faghnawi hingga masa Sayyid Amir al-Kulal mereka terbiasa melakukan dzikir zahar (dengan suara keras) pada saat berkumpul dan dzikir khafa (dalam hati) menerima rahasiabila sedang menyendiri. Namun ketika Syah Baha’uddin Naqsyband nya, beliau hanya menjalankan dzikir khafa. Walau pun pada saat berasosiasi dengan Sayyid Amir Kulal, bila mereka mulai berdzikir zahar, beliau biasanya beranjak dan pergi ke kamarnya untuk mengerjakan dzikir khafa. Hal ini membuat beberapa murid agak kecewa, meski Syaikhnya melakukan dzikir zahar, beliau tetap melakukan dzikir khafa. Namun beliau tetap melayani Syaikhnya sepanjang usianya.
Suatu hari, saat Syah Baha’uddin dan semua pengikut Sayyid Amir Kulal sedang beristirahat dari pekerjaan membangun sebuah masjid yang baru, Sayyid Amir Kulal berkata, ‘Barang siapa yang memiliki prasangka buruk tentang telah menganugerahinya suatu rahasiaanakku Baha’uddin, dia adalah salah. Allah yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya. Bahkan Aku pun tak mampu untuk mengetahuinya.’ Beliau lalu berkata padanya,
Wahai anakku, Aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syaikh Muhammad Baba as-Samasi ketika beliau menyuruhku untuk membesarkanmu dan merawatmu dalam jalan latihanku hingga engkau menjadi lebih baik daripadaku. Hal ini telah kukerjakan, dan engkau telah memiliki kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Jadi, anakku tercinta, saat ini Aku sepenuhnya mengizinkan engkau untuk pergi ke mana pun yang engkau kehendaki dan untuk mendapatkan ilmu dari siapa pun yang engkau temui.
Tentang Syaikh-Syaikh Berikutnya
Suatu saat Aku mengikuti Maulana ‘Arif ad-Dik Karrani selama tujuh tahun. Kemudian Aku mengikuti Maulana Kuthum Syaikh selama beberapa tahun lamanya Suatu malam Aku tertidur di hadapan Syaikhku dan Aku menemui Syaikh al-Hakim ‘Attar , salah seorang Syaikh yang termasyhur dari Turki, menyampaikan sesuatu kepada seorang darwis yang bernama Khalil Ghirani. Ketika Aku terbangun, gambaran darwis itu masih melekat di benakku. Aku mempunyai seorang nenek yang solehah, kepadanyalah Aku menyampaikan mimpiku itu. Nenekku berkata, ‘Wahai anakku, engkau akan mengikuti banyak Syaikh berkebangsaan Turki.’ Jadi dalam perjalananku, Aku menyinggahi Syaikh-Syaikh dari Turki dan Aku tak pernah melupakan gambaran darwis yang satu itu. Lalu suatu hari di kampung halamanku sendiri di Bukhara, Aku melihat seorang darwis dan Aku mengenalinya sebagai orang yang Aku temui dalam mimpi itu. Aku menanyakan namanya kepada beliau, dan beliau menjawab, ’Aku adalah Kahlil Ghirani.’ Aku harus meninggalkannya, namun begitu berat rasanya.
Pada saat Maghrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab dan seorang tak dikenal berkata, ‘Darwis Kahlil Ghirani sedang menantimu.’ Aku begitu terperanjat. Bagaimana orang itu telah menemukanku? Aku membawa sebuah hadiah, dan pergi bersamanya. Ketika Aku sudah berada di hadapannya, Aku lalu menceritakan mimpi itu. Beliau berkata, ‘Tak perlu kau ceritakan mimpi itu karena Aku sudah tahu.’ Hal ini lebih melekatkan hatiku kepada beliau. Bersamanya, beberapa pengetahuan ghaib yang baru, dibukakan ke dalam hatiku. Beliau selalu merawatku, memujiku, dan mengangkatku. Penduduk Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja mereka. Aku terus menemani beliau, walau dalam masa kesultanannya. Hatiku tumbuh dalam cinta kepada beliau lebih dan lebih lagi dan hatinya telah mengangkatku ke pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku bagaimana caranya untuk melayani seorang Syaikh. Aku bersamanya selama enam tahun. Baik di hadapannya maupun dalam do’a, Aku selalu menjaga hubungan dengan beliau.
Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku bertemu dengan seorang Sufi, dan dia berkata, ‘Sepertinya kau berasal dari kami’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku berharap kau berasal dari kami dan Aku berharap dapat menjadi temanmu.’ Suatu saat dia bertanya padaku, ‘Bagaimana kau memperlakukan dirimu sendiri?’ Aku menjawab, ‘Bila Aku menemukan sesuatu Aku bersyukur kepada Allah, dan bila tidak, Aku bersabar.’ Dia tersenyum dan berkata, ‘Itu mudah. Caranya bagimu adalah dengan membebani egomu dan mengujinya. Bila dia kehilangan makanan selama seminggu, kau harus mampu untuk menjaganya agar tetap mematuhimu
Aku amat berbahagia dengan jawabannya dan Aku meminta dukungannya. Dia menyuruhku untuk membantu yang memerlukan dan untuk melayani yang lemah dan untuk membesarkan hati orang yang putus asa. Dia menyuruhku untuk menjaga kerendahan, ke-tawadhu-an dan tenggang rasa. Aku menjaga perintah-perintahnya dan Aku habiskan berhari-hari dalam hidupku dengan cara seperti itu. Kemudian dia memerintahkan aku untuk merawat binatang, menyembuhkan penyakitnya, membasuh luka-lukanya, dan membantu mereka untuk menemukan persediaan makanan dan minumannya. Aku menjalankan nya hingga Aku mencapai suatu keadaan di mana bila Aku bertemu binatang di jalanan, maka Aku akan berhenti, dan memberikan mereka jalan.
Kemudian dia menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing melalui Penyatuan Pikiran dengan penuh Kejujuran dan Kerendahan, dan meminta bantuan mereka. Dia mengatakan, ‘Karena pelayananmu terhadap salah satu dari mereka, maka engkau akan mencapai kebahagiaan yang sangat.’ Aku terima perintah tersebut dengan harapan bahwa Aku akan menemukan satu anjing dan melalui pelayanan terhadapnya, Aku akan menemukan kebahagiaan itu. Suatu hari pikiranku menyatu dengan salah satu dari mereka dan Aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Aku mulai menangis di hadapannya hingga dia telentang dan menengadahkan kaki depannya ke langit. Aku mendengar sebuah suara yang amat sedih yang berasal darinya lalu Aku pun menengadahkan tangan, berdo’a dan mulai mengatakan ‘amin’ mendukung do’anya hingga akhirnya dia tak bersuara lagi. Yang kemudian terbuka padaku adalah suatu pandangan yang membawaku pada suatu keadaan di mana Aku merasa menjadi bagian dari setiap manusia dan juga bagian dari setiap makhluk di muka bumi ini.
Setelah Mengenakan Jubah
Suatu hari Aku sedang berada di kebunku di Qasr al-Arifan, mengenakan jubah Azizan dan di sekitarku terdapat para pengikutku. Tiba-tiba Aku merasa terbius dan merasakan Rahmat Surgawi, dan Aku merasa disandangkan dan dihiasi dengan Atribut-Nya. Belum pernah Aku segemetar ini sebelumnya, dan Aku tak kuat lagi berdiri. Aku berdiri menghadap qiblat dan Aku memasuki pandangan agung. Aku melihat diriku melebur (fana’) sepenuhnya dan Aku tak lagi melihat wujud lain melainkan Tuhanku. Lalu Aku melihat diriku keluar dari Hadirat-Nya, memantul lewat cermin Muhammadun Rasul-Allah, dalam bentuk sebuah bintang di tengah Samudera Cahaya tanpa awal dan akhir. Kehidupan eksternalku berakhir dan Aku hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL-ALLAH.
Ini membawaku kepada makna dari inti sari Nama ‘Allah’ yang membawaku kepada Yang Maha Ghaib, yakni inti sari dari Asma Huwa (Dia). Ketika Aku memasuki samudera itu, jantungku berhenti berdetak dan seluruh hidupku pun berakhir, mengantar ku kepada keadaan kematian. Ruhku meninggalkan jasadku, dan semua yang ada di sekelilingku saat itu berpikir bahwa Aku telah meninggal, dan mereka pun menangis. Kemudian setelah enam jam, Aku diperintah kan untuk kembali kepada jasadku. Aku merasakan ruhku perlahan memasuki jasadku kembali dan pandangan itu pun berakhir.
Untuk menyangkal keberadaanmu dan untuk mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku dalam thariqat ini. Dalam keadaan ini Aku memasuki setiap tingkat keberadaan, yang membuatku menjadi bagian dari semua makhluk dan yang mengembangkan keyakinan dalam diriku bahwa setiap orang lebih baik daripada aku sendiri. Aku melihat bahwa setiap orang menyediakan suatu manfaat dan hanya Akulah yang tak memberikannya. Suatu hari sebuah keadaan yang amat mencengangkan terjadi padaku. Aku mendengarkan Suara Ilahi berkata, Mintalah apapun yang kau suka dari Kami.’ Lalu Aku memohon, ‘Ya Allah, anugerahilah aku dengan setetes dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu.’ Dan jawabannya datang, ‘Kau hanya meminta setetes dari Ke-Maha Pemurahan Kami?’ Hal ini laksana jutaan tamparan keras di wajahku dan sengatannya tersisa di pipiku selama berhari-hari. Kemudian suatu hari Aku berkata, ‘Ya, Allah anugerahilah hamba dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu, Kekuatan untuk membawanya.’ Pada saat itu sebuah pengelihatan terbuka padaku di mana Aku didudukkan di atas sebuah singgasana di atas suatu Samudra Rahmat. Dan sebuah suara berkata kepadaku, Samudra Rahmat ini adalah untukmu. Berikanlah dia kepada hamba-hamba-Ku.’
Aku menerima rahasia dari berbagai sisi, khususnya dari Uwais al-Qarani, yang amat mempengaruhi aku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan untuk melekatkan diri hanya pada hal-hal ruhaniah. Aku menjalankannya dengan tetap berpegang teguh pada syari’ah dan perintah Rasulullah, hingga Aku mulai menyebarkan Pengetahuan Ghaib dan rahasia-rahasia yang dianugerahkan dari Yang Maha Esa yang belum pernah diberikan oleh siapa pun sebelumnya.
Keajaiban dari Perkataan-Perkataannya serta Perkataan-perkataan tentang Keajaibannya.
Tentang Perbedaan Di antara Imam-Imam
Dalam suatu majelis ulama-ulama besar di Baghdad beliau ditanya tentang perbedaan-perbedaan dalam perkataan keempat khalifah Rasulullah.Beliau berkata, Suatu ketika ash-Shiddiq berkata, ‘Aku tak pernah melihat sesuatu pun, kecuali Allah berada di depannya, dan Umar al-Faruq berkata, ‘Aku tak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah selalu berada di belakangnya.’ Dan Utsman berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah berada di sampingnya,’ dan ‘Ali berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu pun melainkan Allah berada di dalamnya.’ Beliau mengomentari bahwa, perbedaan dalam perkataan-perkataan ini didasarkan pada perbedaan situasi pada saat mereka berkata-kata, dan bukannya perbedaan dalam kepercayaan dan pemahaman.
Tentang Berjalan dalam Jalur ini
Apakah di balik cerita Rasulullah, ‘Sebagian dari iman adalah memindahkan apa-apa yang membahayakan dari Jalan?’ Yang Beliau maksud dengan ‘yang membahayakan’ itu adalah ego, dan yang Beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah Jalan Menuju Allah, sebagai mana Dia berfirman kepada Bayazid al-Bistami, Tinggalkan egomu dan datanglah pada Kami.’
Suatu ketika beliau ditanya, “Apa yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?” Beliau berkata, Detailnya dalam pengetahuan spiritual.” Mereka bertanya, “Apakah detail dalam pengetahuan spiritual itu?” Beliau menjawab, Orang yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan diangkat dari keadaan bukti nyata kepada keadaan pengelihatan. Barang siapa yang meminta untuk berada di Jalan Allah maka dia telah meminta jalan penderitaan. Diriwayatkan oleh Rasulullah, ‘Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.’ Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Nabi, ku mencintaimu,’ dan Nabi berkata, ‘Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.’ Lain waktu orang lain lagi datang kepada Rasulullah dan berkata,Ya Rasulullah , Aku mencintai Allah, dan Rasulullah berkata, ‘Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.’
Beliau membaca sebuah ayat, Setiap orang mendambakan kebaikan,Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan, Melainkan dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan.Beliau berkata, “Barang siapa yang mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan yang lain selain dirinya sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya hanyalah dirinya sendiri.”
Tentang Pelatihan Spiritual
Ada tiga jalan di mana para murid meraih pengetahuannya:
- Muraqaba-Perenungan (kontemplasi)
- Musyahada-Pengelihatan
- Muhasaba-Penghitungan
Dalam keadaan perenungan, si pencari melupakan mahkluk dan hanya mengingat Sang Khalik saja.Dalam keadaan pengelihatan, ilham dari Yang Ghaib mendatangi hati si pencari dengan disertai dua keadaan: penciutan dan pengembangan. Pada keadaan penciutan, pengelihatan adalah tentang Ke-MahaKuasa-an, dan pada keadaan pengembangan pengelihatan adalah tentang Ke-Maha-Indahan. Pada keadaan penghitungan, si Pencari mengevaluasi setiap jam ataukah beradayang telah lewat: apakah dia berada seluruhnya bersama Allah seluruhnya bersama dunia?
Si pencari dalam thariqat ini pastilah amat sibuk menolak bisikan Setan dan godaan egonya. Dia mungkin menolaknya bahkan sebelum mereka mencapai nya; atau dia mungkin menolaknya setelah mereka mencapainya namun sebelum mereka memegang kendali atasnya. Pencari lain, mungkin saja tidak menolak nya hingga mereka mencapainya dan mengendalikannya. Dia tak akan mendapatkan buahnya, karena pada saat seperti itu adalah mustahil untuk mengeluarkan bisikan-bisikan itu dari hatinya.
Tentang Maqam Spiritual
“Bagaimanakah hamba-hamba Allah melihat perbuatan yang tersembunyi dan bisikan-bisikan hati?” Beliau menjawab, Dengan cahaya pada mereka, seperti yang tertera dalampengelihatan yang dianugerah kan Allah Hadits suci, ‘Waspadalah dengan pengelihatan orang-orang yang beriman, karena dia melihat dengan Cahaya Allah” Beliau diminta untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Beliau berkata, Keajaiban apakah yang lebih dahsyat yang ingin kau lihat daripada kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan semua dosa di atas dan sekeliling kita.
Beliau ditanya, ‘Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd , Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para Sufi?’” Beliau berkata, Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.’
Beliau memperingatkan, ‘Bila seorang murid, seorang Syaikh atau siapa pun bicara tentang suatu keadaan yang belum didapatkannya, Allah akan mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut. Beliau berkata, Cermin dari setiap Syaikh memiliki dua arah. Namun cermin kita memiliki enam arah.’
Apa yang dimaksudkan dengan al-Hadits, ‘Aku beserta orang-orang yang mengingat-Ku,’ merupakan bukti nyata yang mendukung orang-orang yang di dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan sabda Nabi yang lainnya berbicara atas Nama Allah, ‘Puasa itu adalah bagi-Ku’ merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benarnya puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah.
Tentang Kemiskinan Spiritual
Beliau ditanya, “Mengapa mereka disebut al-fuqara (orang yang miskin)?” Beliau menjawab,Karena mereka miskin, namun mereka tak perlu memohon. Seperti halnya Nabi Ibrahim, ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril datang dan bertanya ‘Apakah kau perlu pertolongan?,’ dijawabnya, ‘Aku tak perlu meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan. Beliau pernah ditanya, Siapakah si miskin itu?’ Tak seorang pun menjawab nya. Beliau berkata, ‘Si miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan.’
Tentang Adab terhadap Syaikh Seseorang
Amatlah penting bagi para pengikut, bila dia merasa bingung terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan Syaikhnya dan tak dapat memahami alasannya, untuk bersabar dan menjalankannya, dan tak menjadi curiga. Bila dia seorang pemula, dia mungkin bertanya; namun bila dia seorang murid, dia tak punya alasan untuk bertanya dan harus tetap bersabar dengan apa yang belum dia pahami. Adalah tak mungkin untuk meraih cinta dari hamba-hamba Allah hingga engkau keluar dari dirimu sendiri.
Dalam Thariqat kita, terdapat tiga kategori adab:
- Adab karimah terhadap Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah.
- Adab karimah terhadap Nabi Muhammad, mengharuskan murid untuk membumbung tinggi pada keadaan yang disebutkan dalam ayat in kuntum tuhibbun Allah fattabi’unii (bila kamu ingin mencintai Allah, maka ikutilah aku) [3:31]. Dia harus mengikuti semua keadaan Rasulullah. Dia harus tahu bahwa Rasulullah adalah jembatan antara dengan mahkluk-Nya dan bahwa segala sesuatu di bumi ini berada di bawahAllah perintahnya yang mulia.
- Adab karimah terhadap para Syaikh merupakan suatu keharusan bagi setiap pencari. Para Syaikh merupa kan penyebab dan alat untuk mengikuti jejak Rasulullah. Adalah suatu kewajiban bagi para pencari, baik dalam kehadiran mereka maupun dalam ketidakhadirannya, untuk menjalankan perintah-perintah dari Syaikh tersebut.
Suatu saat salah satu pengikutku memberiku salam. Aku tidak menjawabnya, meskipun merupakan keharusan dalam Sunnah untuk membalas salam. Hal ini membuat pengikutku tersebut kecewa. Aku mengirim seseorang kepadanya untuk meminta maaf, berkata kepadanya, Pada saat itu, ketika engkau memberiku salam, pikiranku, hatiku, jiwaku, ragaku, ruhku sedang hilang sepenuhnya dalam Hadirat Ilahi, mendengarkan apa yang dikatakan sehinggakepadaku. Hal ini membuatku begitu terpenuhi dalam Firman AllahAllah Aku tak mampu membalas siapapun.’
Tentang Niat
Sangatlah penting untuk meluruskan niat, karena niat itu dari dunia ghaib, bukan dari dunia materi. Untuk alasan tersebut, Ibnu Sirin (penulis buku tabir mimpi) tidak berdo’a pada shalat jenazah Hasan al-Basri. Beliau berkata, ‘Bagaimana Aku dapat berdo’a ketika niatku belum mencapaiku dan menghubungkanku dengan yang ghaib?’ Niat (niyyah) sangat penting, karena dia terdiri atas 3 huruf, yaitu: Nun, yang melambangkan nur Allah, Cahaya Allah; ya, yang melambangkan yad Allah, Tangan Allah; dan ha, yang melambangkan hidayat Allah, Bimbingan Allah. Niat adalah hembusan jiwa.
Tentang Tugas-Tugas Para Awliya
Allah swt menciptakan aku untuk menghancurkan kehidupan materialistik, tetapi orang-orang menginginkan aku untuk membangun kehidupan materialistik mereka. Hamba-hamba menanggung beban penciptaan agar semua ciptaan belajar darinya.Allah melihat pada hati Awliya-Nya dengan cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang Allah berada di sekeliling wali itu dia akan mendapat berkah dari cahaya tersebut.
Syaikh harus mengetahui tingkatan muridnya dalam tiga kategori, yaitu: di masa lalu, masa kini, dan masa depan agar dia dapat menaikkan (maqam)-nya.
Siapa pun yang melakukan bay’at dengan kita dan mengikuti kita dan mencintai kita, apakah dia dekat atau jauh, di mana pun dia berada, bahkan jika dia berada di Timur dan kami di Barat, kami memelihara nya dengan aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.
Tentang Dzikir Keras (Zahar) dan Dzikir Dalam Hati (Khafi)
Dari kehadiran al-Azizan ada dua metode dzikir, yaitu dzikir khafi (dalam hati) dan dzikir zahar (keras). Aku menyukai dzikir dalam hati karena dia lebih kuat dan lebih bijaksana. Izin untuk melakukan dzikir harus diberikan oleh orang yang sempurna, agar bisa mempengaruhi orang yang menggunakannya, sebagaimana halnya panah dari seorang yang ahli memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.
Beliau menambahkan 3 Prinsip ke dalam 8 Prinsip Syaikh Abdul Khaliq:
- Kesadaran akan Waktu (wuquf zamani)
Kesadaran akan waktu berarti memperhatikan ketenangan seseorang dan mengecek kecenderungan seseorang kepada kelalaian. Para pencari harus mengetahui berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bergerak menuju kematangan spiritual dan harus mengenal di tempat apa dia telah sampai dalam perjalannya menuju Hadirat Ilahi. Para pencari harus membuat kemajuan dengan segala usahanya. Dia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu tujuan yaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadirat Ilahi. Dia harus menjadi sadar bahwa dalam segala usahanya dan dalam segala tindakannya menyaksikan sampai sedetail-detailnya. Para pencari harus membuatAllah catatan mengenai tindakan dan niatnya setiap hari dan setiap malam dan menganalisa tindakannya setiap jam, setiap detik, dan setiap saat. Jika semuanya baik, dia bersyukur kepada Allahatas nikmat tersebut. Jika tindakannya buruk, dia harus bertaubat dan memohon ampun kepada Allah
Ya’qub al-Charki berkata, Dalam keadaan depresi,berkata bahwa Syaikhnya, Ala’uddin al-Attar engkau harus banyak beristighfar (memohon ampunan Allah), dan dalam keadaan bergembira, harus banyak bersyukur kepada Allah. Sebagai pertimbangan kedua keadaan ini, kontraksi (menciut) dan ekspansi (mengembang), adalah arti dari wuquf zamani.
Syah Naqsyband menerangkan keadaan tersebut dengan berkata, Engkau harus menjadi awas akan dirimu. Jika engkau mengikuti syari’ah maka engkau harus bersyukur kepada Allah, bila tidak, maka engkau harus memohon ampun. Yang penting bagi seorang pencari dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil agar tetap aman. Dia harus menjaga dirinya dan menilai atau dalam hadirat egonya, setiap saat dalamapakah dia dalam Hadirat Allah hidupnya. Syah Naqsyband berkata, Engkau harus mengevaluasi bagaimana engkau menghabis kan waktumu: dalam Kehadiran atau dalam Kelalaian.’
- Kesadaran akan Jumlah (wuquf `adadi)
Kesadaran akan jumlah berarti para pencari yang sedang berdzikir harus memperhatikan bilangan dzikir yang tepat yang diperlukan dalam dzikir khafi. Menjaga hitungan dzikir ini bukan untuk perhitungan itu sendiri tetapi demi menjaga hati agar tetap aman dari pikiran buruk dan untuk meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syaikh secepat mungkin. Pilar dzikir melalui perhitungan adalah untuk membawa hati kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam dzikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian seseorang kepada realitas bahwa setiap orang membutuhkan Dia Yang Maha Esa yang tanda-tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.
Syah berkata, “Memperhatikan jumlah dzikir adalah langkah pertama dalamNaqsyband tahap mendapatkan Pengetahuan Surgawi (`ilm ul-ladunni).” Ini berarti perhitungan itu mengantarkan seseorang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Semua makhluk membutuhkan Zat Yang Maha Esa.
- Kesadaran akan Hati (wuquf qalbi)
Kesadaran akan hati berarti mengarahkan hati para pencari menuju Hadirat Ilahi, di mana dia tidak akan melihat yang lain kecuali Yang Paling Dicintainya. Hal itu berarti untuk mengalami manifestasi-Nya (tajjali) dalam semua keadaan. Ubayd Allah al-Ahrar berkata, Tingkat Kesadaran Hati adalah tingkatan untuk hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa sehingga engkau tidak bisa melihat yang lain selain Dia.” Dalam situasi demikian seseorang memusatkan tempat dzikirnya dalam hati sebab inilah pusat kekuatan. Semua pikiran dan inspirasi, baik maupun buruk, jatuh dan muncul satu demi satu, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran yang konstan, di dalam hati. Dzikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi gejolak dalam hati.
Makna dari Ummat Muhammad, Syah Naqsyband berkata, Ketika Rasulullah bersabda, ‘Porsi ummatku yang ditakdirkan untuk api neraka adalah seperti porsi Ibrahim yang ditakdirkan untuk api Namrud,’ beliau memberi kabar gembira tentang penyelamatan bagi ummatnya sebagaimana Allah telah menggariskan penyelamatan untuk Ibrahim, Ya naru kunii bardan wa salaman ‘ala Ibrahiim (‘Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim’) [21:69]. Ini dikarenakan Rasulullah bersabda, ‘Ummatku tidak akan setuju dengan suatu kesalahan,’ menegaskan bahwa Ummat tidak akan menerima perbuatan yang salah, dan dengan demikian Allah akan menyelamatkan ummat Muhammad dari api neraka.”
Berkata, mengatakan bahwa Syah Naqsyband Syaikh Ahmad Faruqi Ummat Muhammad meliputi semua orang yang muncul setelah Rasulullah. Dia terdiri atas 3 macam ummat, yaitu:
Ummatu-d-Da’wah: yaitu setiap orang yang benar-benar muncul setelah Rasulullah dan mendengar pesannya. Dari berbagai ayat dalam al-Quran, sudah jelas bahwa Rasulullah datang kepada semua manusia tanpa kecuali, lebih jauh lagi ummatnya cukup menjadi saksi bagi ummat-ummat yang lain, dan Rasulullah adalah orang yang menjadi saksi bagi setiap orang, termasuk ummat-ummat yang lain dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.
Ummatu-l-Ijaba: yaitu orang-orang yang menerima pesannya.
Ummatu-l-Mutaba’a: yaitu orang-orang yang menerima pesan dan mengikuti jejak Rasulullah
Semua golongan ummat Rasulullah tersebut akan selamat. Jika mereka tidak diselamatkan melalui amalnya, mereka akan diselamatkan melalui Perantaraan Rasulullah, menurut sabdanya, Perantaraanku adalah untuk para pendosa besar di antara Ummatku.’
Dalam Mencapai Hadirat Ilahi, Beliau berkata, Apa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah, as-shalatu mi’raj ul-mu’min (‘Shalat adalah mi’raj bagi orang yang beriman’), adalah indikasi yang jelas mengenai tingkatan Shalat yang sejati, di mana orang-orang yang shalat naik ke Hadirat Ilahi dan padanya terdapat manifestasi rasa hormat yang mendalam, kepatuhan dan kerendahan hati, di mana hatinya mencapai keadaan kontemplasi melalui shalatnya. Ini akan mengantarkannya kepada suatu panorama dari Rahasia Ilahi. Itu adalah deskripsi mengenai shalatnya Rasulullah dalam sirah (sejarah hidupnya). Dikatakan bahwa ketika Rasulullah mencapai keadaan tersebut, orang-orang di luar kota pun dapat mendengar suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan lebah.
Salah satu ulama di Bukhara bertanya kepada beliau, “Bagaimana seorang hamba mencapai Hadirat Ilahi dalam shalatnya?” Beliau menjawab, Dengan memakan dari hasil jerih payahmu dan dengan mengingat dalam shalat dan di luar shalatmu, dalam setiap penyucian diri dan dalamAllah setiap peristiwa hidupmu.
Tentang Politheisme Tersembunyi – Syirik
Syaikh Salah, seorang pelayannya melaporkan, Suatu ketika Syah berkata kepada para pengikutnya, Suatu hubungan antara hatimu denganNaqsyband adalah hijab terbesar bagi seorang pencari,’setelah itusesuatu selain Allah beliau membaca bait puisi berikut, ‘Hubungan dengan selain Allah,’Adalah hijab (sekat) terkuat,’Dan meninggalkannya, ’Adalah Jalan Pembuka bagi suatu Pencapaian.’ Segera setelah beliau membacakan bait tersebut, terlintas dalam benakku bahwa beliau merujuk pada hubungan antara Iman dan penyerahan diri pada Kehendak Ilahi. Beliau menoleh kepadaku, tertawa dan berkata, ‘Apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Hallaj? “Aku menolak agama Allah, dan penolakan itu adalah wajib bagiku meskipun tampak menyeramkan bagi kebanyakan Muslim.” Wahai Syaikh Salah, apa yang terlintas dalam benakmu—bahwa hubungan itu adalah dengan Iman dan Islam—bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati, dan Iman Sejati bagi Orang yang Benar adalah membuat hatinya menyangkal apapun selain Allah. Itulah yang membuat Hallaj berkata, Aku menyangkal agama-Mu dan penyangkalan itu adalah wajib bagiku, meskipun tampak menyeramkan bagi Muslim.” Hatinya tidak menginginkan yang lain kecuali Allah.
‘Tentu saja Hallaj tidak menyangkal Imannya dalam Islam, tetapi beliau menekankan bahwa saja. Jika Hallaj tidak menerima segalahatinya hanya terkait kepada Allah sesuatu selain Allah, bagaimana mungkin orang mengatakan bahwa sebenarnya beliau menyangkal agama Allah? Pernyataannya tentang realitas Kesaksiannya mencakup segalanya dan membuat kesaksian Muslim yang awam menjadi mainan anak-anak.’ tidak bangga Syaikh Salah melanjutkan, Syah Naqsyband berkata, Hamba-hamba Allah dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukannya karena cinta kepada berkata, “Ya Allah, Aku tidak beribadah untuk mencari Allah. ‘Rabi’a al-‘Adawiyya balasan Surga-Mu, tidak pula karena takut akan siksa-Mu, tetapi Aku menyembah-Mu hanya untuk Cinta-Mu.’ Jika ibadahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri atau untuk mendapat balasan tertentu bagi dirimu sendiri, maka itu adalah syirik yang baik dengan pahala maupuntersembunyi, karena engkau telah menyekutukan Allah azab. Inilah yang dimaksud oleh Hallaj.’
Syaikh Arslan ad-Dimasyqi berkata sebagaimana yang diceritakan oleh Syah Naqsyband, Ya Allah, agama-Mu bukanlah apa-apa, melainkan syirik yang tersembunyi, dan untuk tidak beriman kepadanya adalah wajib bagi seluruh hamba yang benar. Orang-orang yang beragama tidak menyembah-Mu, mereka hanya beribadah untuk mendapat Surga atau agar selamat dari Neraka. Mereka menyembah keduanya sebagai berhala, dan itulah seburuk-buruknya kemusyrikan. Engkau telah berkata, man yakfur bi-t-taghuti wa yu’min billahi faqad istamsaka bil-‘urwati-l-wutsqa (“Barangsiapa yang ingkar terhadap Taghut (berhala) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Pegangan (Tali) yang Kokoh”) [2:256]. Untuk ingkar kepada berhala-berhala ini dan beriman kepada-Mu adalah wajib bagi orang-orang yang benar.
Syaikh Abul-Hasan asy-Syadzili, salah seorang Syaikh Sufi agung pernah ditanya oleh Syaikhnya, “Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu Tuhanmu?” Beliau berkata, “Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku.” Syaikhnya menjawab, Wahai anakku, jangan kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar, karena engkau masih mendatangi-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu terhadap segala sesuatu baru kemudian engkau datang kepada-Nya. Para fuqaha (ahli hukum) dan pemegang ilmu eksternal memegang teguh pada perbuatan mereka dan dengan dasar tersebut mereka mengembangkan konsep pahala dan azab. Jika mereka baik, mereka akan mendapat kebaikan dan bila mereka buruk mereka menemukan keburukan, apa yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah perbuatannya dan apa yang menyakitinya adalah perbuatannya juga. Bagi penganut thariqat, hal ini adalah syirik tersembunyi, karena seseorang menyekutukan sesuatu dengan Allah. Meskipun untuk melakukan (perbuatan baik) adalah suatu kewajiban, tetap saja hati tidak boleh terikat dengan perbuatan tersebut. Perbuatan itu hanya dilakukan karena Allahdan untuk Cinta-Nya, tanpa pamrih apa pun.
Tentang Thariqat Naqsybandi, Syah Naqsyband berkata,
Thariqat kita sangat langka dan sangat berharga. Ini adalah ‘urwati-l-wutsqa (‘Memegang Teguh’), jalan untuk memegang jejak Rasulullah dan para Sahabatnya dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke jalan ini dari pintu Nikmat, karena pada awal dan akhirnya, Aku tidak melihat apapun kecuali Nikmat Allah. Di jalan ini pintu-pintu besar dari Pengetahuan Surgawi akan dibukakan bagi para pencari yang mengikuti jejak Rasulullah.
Untuk mengikuti Sunnah Rasulullah adalah jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepadamu. Barangsiapa yang tidak datang ke jalan kita, maka agamanya berada dalam bahaya. Beliau pernah ditanya, ‘Bagaimana seseorang datang ke jalanmu?’ Beliau menjawab, ‘Dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Kami telah membawa penghinaan dalam Jalan ini, dan sebagai balasannya Allah memberkati kita dengan Kemuliaan-Nya.
Beberapa orang berkata tentang beliau bahwa kadang-kadang beliau terlihat arogan. Beliau berkata, Kami bangga karena Dia, karena Dia adalah Tuhan kami, yang memberi kami Dukungan-Nya! Beliau berkata, Untuk mencapai Rahasia Ke-Esaan kadang-kadang mungkin, tetapi untuk meraih Rahasia Pengetahuan Spiritual (ma’rifat) adalah sangat sulit sekali.’
Pengetahuan Spiritual bagaikan air, dia mengambil warna dan bentuk cangkirnya. Pengetahuan Allah begitu luar biasa, sehingga berapa pun yang kita ambil, itu hanya seperti sebuah tetes dalam Samudra yang Mahaluas. Dia bagaikan taman yang sangat luas, berapa pun yang kita pangkas, seolah-olah kita hanya memangkas sekuntum bunga saja.
Pandangannya terhadap Makanan
Syah mensucikan jiwanya, berada dalam tingkatan tertinggi Naqsyband, semoga Allah dalam menolak keinginan terhadap dunia ini. Beliau mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata cara makannya. Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan makanannya. Beliau hanya mau makan dari barley yang ditanamnya sendiri. Beliau akan memanennya, menggilingnya, membuat adonan, menanak dan memanggangnya sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka menuju rumahnya, agar bisa makan di mejanya dan mendapatkan berkah dari makanannya.
Beliau mencapai suatu kesempurnaan dalam hal penghematan; di musim dingin, beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Di musim panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan membanting tulang. Beliau mendorong mereka untuk membagikan uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka agar tetap berada di Hadirat Allah. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cara yang tidak baik, beliau akan menegurnya, melalui pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah mereka lakukan dan mendorong mereka untuk ketika sedang makan.tetap ingat kepada Allah
Beliau mengajarkan bahwa,
Salah satu pintu yang paling penting menuju ke Hadirat adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, danAllah makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh. Suatu saat beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang muridnya telah menyiapkan makanan baginya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak berkata,menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syah Naqsyband “Wahai anakku, Aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan marah. Makanan in bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan makanan itu, Setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan menyebarkan seluruh sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.”
Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, Raja Hussain. Raja Hussain dan memberikan pesta besarsangat senang dengan kunjungan Syah Naqsyband baginya. Raja mengundang semua mentrinya, Syaikh-Syaikh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau berkata, “Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang dibuat dari uang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku.” Semua orang makan kecuali Syah Naqsyband, hal ini mendorong Syaikh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, untuk bertanya, “Wahai Syaikh kami, mengapa engkau tidak makan?” Syah Naqsyband berkata, “Aku mempunyai seorang hakim tempat Aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan hakim itu berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat dua kemungkinan.
Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau dapat mengatakan Aku datang ke meja seorang raja tetapi Aku tidak makan. Maka engkau akan selamat karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan? Maka engkau tidak akan selamat.’ Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus meminta izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat heran dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?” Syah Naqsyband berkata, “Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini, lebih baik berikan kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan-red) akan membuatnya halal bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan, makanan ini halal, maka akan lebih banyak lagi berkah dalam pemberian makanan ini sebagai sedekah kepada mereka yang membutuhkan daripada menjamu orang-orang yang tidak (benar-benar membutuhkannya-red).”
Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Rasulullah biasa melakukan hal yang sama. Syaikh Abul Hasan al-Kharqani berkata dalam bukunya, Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat,
Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini berarti bahwa jika engkau sedang berpuasa, lalu ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa, atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang membukanya, misalnya dengan berkata kepada tamunya bahwa dia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.
Suatu hari beliau diberikan seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di sekitarnya terdapat banyak orang miskin, di antara mereka terdapat seorang anak memberikan ikan ituyang sangat shaleh dan sedang berpuasa. Syah Naqsyband kepada orang-orang miskin dan mengatakan kepada mereka, “Silakan duduk dan makan,” demikian pula kepada anak yang sedang berpuasa itu, “Duduk dan makanlah.” Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, “Batalkan puasamu dan makanlah,“ lagi-lagi anak itu menolak. Beliau bertanya kepadanya, Bagaimana jika Aku memberimu salah satu di antara hari-hariku di bulan Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan?” Sekali lagi dia menolak. Beliau berkata kepadanya, “Bagaimana jika Aku memberimu seluruh Ramadhanku?” Namun masih saja dia menolak. Beliau pernah suatu kali dibebani orang sepertimu.” Sejakberkata, “Bayazid al-Bistami saat itu anak itu terlihat berpaling untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak pernah berpuasa dan tidak pernah beribadah lagi.
Insiden yang dirujuk oleh Syah Naqsyband terjadi ketika Syaikh Abu Turab an-Naqsybandi mengunjungi berkata kepadaBayazid al-Bistami. Pelayan beliau menawarkan makanan. Abu Turab pelayan itu, Datanglah ke sini, duduk dan makan bersamaku.” Pelayan itu menolak, akan“Tidak, Aku sedang berpuasa.” Beliau berkata, “Makanlah, dan Allah memberimu pahala puasa selama satu tahun.” Dia tetap menolak. Beliau berkata lagi, “Ayo makan, Aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia memberimu pahala dua berkata, Tinggalkan dia. Allah tidak lagitahun puasa.” Kemudian Hadrat Bayazid memeliharanya.” Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan dia menjadi seorang pencuri.
Keajaiban-Keajaiban dan Kemurahannya
Keadaan Syah Naqsyband berada di luar jangkauan untuk dilukiskan dan tingkat pengetahuannya pun tidak dapat dilukiskan. Salah satu keajaiban terbesarnya adalah eksistensinya itu sendiri. Beliau sering menyembunyikan tindakannya dengan tidak memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Namun demikian banyak keajaibannya yang tercatat.
Syah Naqsyband semoga Allah memberkati jiwanya, berkata, Suatu hari Aku pergi bersama Muhammad Zahid ke gurun. Beliau adalah seorang murid yang dapat dipercaya dan kami memiliki sebuah kapak beliung (pickaxe) yang kami gunakan untuk menggali. Ketika kami sedang bekerja dengan beliung itu, kami berdiskusi tentang tingkat pengetahuan yang dalam seperti itu di mana kami melempar beliung dan masuk lebih dalam ke dalam pengetahuan spiritual. Kami bergerak semakin dalam sampai pembicaraan kami mengantarkan kami pada asal penyembahan (ibadah). Dia bertanya kepadaku, ‘Wahai Syaikhku, sampai batas mana yang bisa dicapai oleh ibadah?’ Aku berkata, Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana orang yang beribadah dapat berkata kepada seseorang meninggal’ dan orang itu akan meninggal.’ Tanpa sadar Aku menunjuk pada Muhammad Zahid . Dengan segera dia meninggal. Dia berada dalam keadaan meninggal sejak matahari terbit hingga tengah hari. Hari itu sangat panas. Aku merasa cemas karena tubuhnya menjadi rusak akibat panas yang berlebihan Aku menariknya ke bawah bayangan pohon dan Aku duduk di sana merenungkan persoalan ini.
Ketika Aku merenung sebuah inspirasi dari Hadirat Ilahi masuk ke dalam hatiku dan mengatakan kepadaku agar berkata kepadanya, ‘Wahai Muhammad, hiduplah!’ Aku mengucapkannya 3 kali. Hasilnya, jiwanya mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali lagi padanya. Secara perlahan dia kembali ke keadaan semula. Aku pergi ke Syaikhku dan menceritakan apa yang terjadi. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, Allah memberimu suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada orang lain.’
Syaikh Alauddin al-‘Attar berkata, Suatu ketika raja Transoxiana, Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara. Beliau memutuskan untuk berburu di sekitar Bukhara dan banyak orang yang menemaninya. Syah Baha’uddan Naqsyband berada di desa sekitar. Ketika orang pergi berburu, Syah Naqsyband pergi ke puncak bukit dan duduk di sana. Ketika beliau sedang duduk di sana, memberikan kemuliaan yang dalam benaknya terlintas pikiran bahwa Allah berlimpah kepada para awliya. Karena kemuliaan itu, semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada mereka. Belum lagi pikiran itu hilang dari hatinya, seorang penunggang kuda dengan mahkota di kepalanya seperti seorang raja, datang ke hadiratnya dan turun dari kudanya. Dengan rendah hati dia menyalami Syah Naqsyband dan berdiri di hadiratnya dengan sangat sopan. Dia membungkuk di hadapan Syaikh tetapi Syaikh tidak menoleh kepadanya. Beliau membiarkannya melihatnya dan berkata, ‘Apaberdiri selama satu jam. Akhirnya, Syah Naqsyband yang engkau lakukan di sini?’ Dia berkata, ‘Aku seorang raja, Sultan Kazgan. Aku sedang pergi berburu, dan Aku mencium aroma yang sangat indah. Aku mengikutinya ke sini dan Aku menemukan engkau duduk di tengah cahaya yang sangat kuat.’ Pikirannya yang tadi, ‘Semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada para awliya’ langsung menjadi kenyataan. Itulah bagaimana Allah memuliakan pikiran para awliya-Nya.
Salah satu pengikutnya yang melayaninya di kota Merv melaporkan, Suatu hari Aku ingin menemui keluargaku di Bukhara setelah mendengar bahwa saudaraku Syamsuddin meninggal. Aku membutuhkan izin dari Syaikhku untuk pergi. Aku berbicara dengan Amir Hussain, Pengeran dari Heart, untuk memintakan atas namaku. Dalam perjalanan sepulang shalat Jumat,izin kepada Syah Naqsyband Amir Hussain mengatakan kepadanya tentang kematian saudaraku dan bahwa Aku meminta izin untuk pergi menemui keluargaku. Beliau berkata, ‘Tidak, hal itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin engkau berkata bahwa dia telah meninggal karena Aku melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, Aku bahkan dapat mencium wangi tubuhnya. Aku akan membawanya ke sini sekarang.’ Beliau baru saja mengakiri ucapannya ketika saudaraku muncul. Dia mendekati Syaikh, mencium tangannya dan menyalami Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan itu adalah kebahagaiaan yang sangat besar di antara kami.
Syaikh Alauddin Attar berkata, Syaikh Syah Naqsyband suatu kali duduk di sebuah asosiasi yang besar di Bukhara dan berbicara mengenai pembukaan tabir pandangan spiritual. Beliau berkata, ‘Sahabat terbaikku, Mawla ‘Arif, yang berada di Khwarazm, (400 mil dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk gedung pemerintah, dan beliau sampai di stasiun kereta berkuda. Ketika beliau sampai di stasiun tersebut beliau tinggal di sana untuk beberapa saat dan sekarang kembali lagi ke rumahnya di Khwarazm. Beliau tidak melanjutkan perjalanannya ke Saray. Inilah bagaimana seorang wali dapat melihat dalam maqam pengetahuannya spiritualnya.’ Setiap orang kaget mendengar cerita ini tetapi kami semua tahu bahwa beliau adalah seorang wali besar, maka kami mencatat waktu dan harinya. Suatu hari Mawla ‘Arif datang dari Khwarazm ke Bukhara dan kami memberitahu dia mengenai kejadian itu. Dia sangat kaget dan berkata, ‘Sebenarnya, itulah kejadian yang sesungguhnya.’
Beberapa ulama dari Bukhara bepergian ke Iraq bersama beberapa murid Syah Naqsyband ketika mereka tiba di kota Simnan. Mereka mendengar bahwa ada sosok yang diberkati yang bernama Sayyid Mahmoud, yang merupakan murid Syaikh. Mereka pergi mengunjungi rumahnya dan bertanya kepadanya, Bagaimana engkau bisa berhubungan dengan Syaikh?” Beliau berkata, Suatu ketika Aku melihat Rasulullah dalam sebuah mimpi, duduk di sebuah tempat yang sangat baik, dan di sampingnya duduk seorang dengan penampilan yang sangat elok. Aku berkata kepada Rasulullah dengan penuh hormat dan rendah hati, ‘Ya Rasulullah, Aku tidak diberi kemuliaan untuk menjadi sahabatmu semasa hidupmu. Apa yang dapat kulakukan dalam hidupku agar bisa mendekati kemuliaan itu?’
Beliau berkata, ‘Wahai anakku jika engkau ingin dimuliakan dengan menjadi sahabat kami dan duduk bersama kami dan diberkati, engkau harus mengikuti anakku, Syah Baha’uddin Naqsyband. Aku lalu bertanya, Siapakah Syah Baha’uddin Naqsyband?’ Beliau menjawab kepadaku, ‘Apakah engaku lihat orang yang duduk di sebelahku? Inilah orangnya. Jagalah kebersamaanmu dengannya.’ Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ketika Aku bangun, Aku menulis namanya dan deskripsinya dalam sebuah buku yang kumiliki di perpustakaanku. Hari-hari pun berlalu setelah mimpi itu, sampai suatu hari, ketika Aku sedang berdiri di sebuah toko, Aku melihat seseorang dengan penampilan yang anggun dan bercahaya mendatangi toko dan duduk di sebuah kursi. Ketika Aku melihatnya, Aku ingat mimpi itu dan apa yang terjadi di dalamnya.
Dengan segera Aku menghampirinya dan bertanya kepadanya apakah beliau berkenan mengunjungi rumahku dan tinggal bersamaku. Beliau menerimanya dan mulai berjalan di depanku sementara itu Aku mengikutinya. Aku malu untuk berjalan di depannya, bahkan untuk menunjukkan jalan menuju rumahku. Beliau tidak menoleh sekali pun kepadaku, tetapi langsung mengambil jalan menuju rumahku. Aku baru saja ingin mengatakan, ‘Inilah rumahku’, ketika beliau berkata, Ini rumahmu.’ Beliau berjalan ke dalam dan langsung menuju ruangan istimewaku. Beliau berkata, ‘Ini kamarmu.’ Beliau pergi ke lemari dan mengambil sebuah buku di antara ratusan buku. Beliau memberikan buku itu dan bertanya padaku, ‘Apa yang engkau tulis di sini?’ Apa yang telah kutulis adalah apa yang kulihat dalam mimpi. Dengan segera suatu keadaan tidak sadar menguasaiku dan Aku merasa pusing dengan cahaya yang masuk ke dalam hatiku. Ketika Aku bangun, Aku bertanya kepadanya apakah beliau akan menerimanya. Beliau adalah Syah Baha’uddin Naqsyband.
Syaikh Muhammad Zahid berkata, Di awal perjalananku dalam Thariqat ini, Aku duduk di sampingnya suatu hari di musim semi. Sebuah keinginan akan semangka masuk ke dalam hatiku. Beliau melihatku dan berkata, ‘Muhammad Zahid, pergilah ke sungai di dekat kita itu dan bawakan kepada kita apa yang engkau lihat dan kita akan memakannya.’ Dengan segera Aku pergi ke sungai itu. Airnya sangat dingin. Aku menyelam ke dalamnya dan menemukan sebuah semangka di bawah air, sangat segar, seolah-olah baru saja dipotong dari dahannya. Aku sangat bergembira dan Aku mengambilnya dan berkata, ‘Wahai Syaikhku terimalah aku.’”
Salah satu muridnya melaporkan hal berikut mengenai kunjungannya menemui beliau.
Sebelum kunjungan itu beliau menanyakan Syaikh Syadi, salah seorang murid senior, untuk menasihatinya, “Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai saudaraku, bila engkau pergi mengunjungi Syaikh atau ketika engkau duduk di tengah kehadiran Syaikh, berhati-hatilah agar jangan meletakkan kakimu sedemikian rupa sehingga kakimu menghadap ke arahnya Segera setelah Aku meninggalkan Ghaziut dalam perjalananku ke Qasr al-‘Arifan, Aku menemukan sebuah pohon dan berbaring di bawahnya dengan kaki berselonjor. Sayangnya seekor binatang datang dan menggigit kakiku. Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika aku tertidur seekor binatang menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sadar bahwa Aku telah membuat suatu kesalahan besar, Aku telah menghadapkan kakiku ke arah Syaikhku. Dengan segera Aku bertaubat dan binatang yang menggigitku itu pun pergi.
Suatu saat beliau didesak untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya untuk mempertahankan salah satu penerusnya di Bukhara, Syaikh Muhammad Parsa. Hal ini terjadi ketika Syaikh Muhammad Syamsuddin al-Jazari datang ke Samarkand, di masa Raja Mirza Aleg Beg, untuk menentukan pembenaran atas mata rantai transmisi dalam Narasi Hadits. Beberapa ulama korup yang iri mengeluh bahwa Syaikh Muhammad Parsa telah memberikan narasi-narasi hadits yang rantai transmisinya tidak dikenal. Mereka berkata kepada Syamsuddin, “Jika akan memberimu pahala yang besar.engkau mencoba memperbaiki masalah itu, Allah Syaikh Muhammad Syamsuddin meminta Sultan untuk memerintahkan Syaikh Muhammad Parsa agar muncul. Syaikh ul-Islam di Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, berada di sana, bersama dengan sejumlah ulama dan imam dari daerah itu.
Syah Naqsyband datang bersama Muhammad Parsa ke pertemuan itu. Lalu Syaikh Husamuddin menanyakan Muhammad Parsa mengenai sebuah hadits. Muhammad Parsa menarasikan hadits itu bersama dengan mata rantai transmisinya. Syaikh Muhammad al-Jazari berkata, “Tidak ada yang salah dalam haditsnya, tetapi mata rantainya tidak benar.” Ketika mendengar ini para ulama yang iri merasa gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa memberi mata rantai yang lain untuk hadits tersebut. Beliau melakukan nya, tetapi tetap saja dikatakan bahwa itu tidak benar. Mereka meminta mata rantai yang lain, beliau memberikannya dan tetap saja mereka menemukan kesalahan di dalamnya.
Syah Naqsyband turun tangan, karena beliau tahu bahwa apa pun mata rantai yang diberikan, mereka akan mengatakan bahwa itu salah. Beliau memberi inspirasi kepada Muhammad Parsa untuk bertanya langsung kepada Syaikh Husamuddin dan berkata kepadanya, “Engkau adalah Syaikh ul-Islam dan seorang mufti. Dari apa yang telah engkau pelajari mengenai pengetahuan eksternal dan syari’ah serta pengetahuan mengenai hadits, apa yang engkau katakan mengenai narator-narator tersebut?” Syaikh Husamuddin berkata, “Kami menerima orang itu dan kami mendasarkan banyak pengetahuan mengenai hadits pada narasi mereka, dan buku-buku mereka kami terima, dan silsilahnya diterima oleh semua ulama, dan tidak ada beda pendapat mengenai hal itu.” Muhammad berkata, “Buku orang itu, yang engkau terima ada di rumahmu diParsa perpustakaanmu, di antara buku ini dan ini. Dia terdiri atas 500 halaman dan warnanya adalah ini dan ini, dan sampulnya terlihat seperti ini dan ini, dan hadits yang engkau tolak oleh orang tersebut ada di halaman ini dan ini.”
Syaikh Husamuddin merasa bingung dan keraguan mendatangi hatinya, karena dia tidak ingat pernah melihat buku seperti itu di perpustakaannya. Semua orang terkejut bahwa Syaikh mengetahui buku itu tetapi pemiliknya tidak mengetahuinya. Tidak ada alternatif lain kecuali untuk mengutus seseorang untuk mengecek. Hadits tersebut ditemukan sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Parsa. Ketika raja mendengar kisah ini, para ulama yang membawa masalah ini dihinakan mendapatsementara Syah Naqsyband dan Muhammad Parsa kemuliaan.
Keadaannya ketika Meninggalkan Dunia ini
Syaikh Ali Damman, salah seorang pelayan dari Syaikh berkata, “Syaikh menyuruhku untuk menggali makamnya. Ketika aku menyelesaikannya, aku bertanya dalam hati, ‘Siapa yang akan menjadi penerusnya?’ Beliau bangkit dari bantalnya dan berkata kepadaku, ‘Oh anakku, jangan melupakan apa yang kukatakan kepadamu ketika kita dalam perjalanan ke Hijaz. Siapa pun yang ingin mengikutiku dia harus mengikuti Syaikh Muhammad Parsa dan Syaikh Alauddin Attar. Di hari-hari terakhirnya, beliau tinggal di kamarnya. Orang-orang berziarah mengunjunginya dan beliau memberi nasihat kepada mereka. Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir beliau mengunci dirinya di dalam kamar. Bergelombang-gelombang pengikutnya mulai berdatangan mengunjunginya dan beliau masing-masing memberi nasihat yang mereka butuhkan. Pada suatu saat beliau memerintahkan mereka membaca surat Yaa Sin. Kemudian ketika mereka menyelesaikannya, beliau berdo’a kepada Allah lalu mengangkat jari telunjuk kanannya untuk mengucapkan syahadat. Segera setelah beliau mengucapkannya, jiwanya kembali kepada Allah.
Beliau meninggal pada hari Minggu malam, 3 Rabi’ul-Awwal, 791 H (1388 M). beliau dimakamkan di halaman rumahnya sebagaimana permintaan beliau. Penerus Raja Bukhara menjaga madrasah dan masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya. Abdul Wahhab asy-Sya’arani, seorang Kutub Spiritual di masanya mengatakan, “Ketika Syaikh dikuburkan di makamnya, sebuah pintu surga terbuka baginya, menjadikan makamnya sebagai taman dari Surga. 2 makhluk spiritual yang indah mendatanginya dan memberinya salam dan berkata kepadanya, ‘Sejak Allah mencipta kan kami sampai sekarang, kami telah menunggu saat ini untuk melayani engkau.’ Beliau berkta kepada kedua makhluk spiritual ini, ‘Aku tidak berpaling kepada yang lainnya kecuali kepada-Nya. Aku tidak membutuhkan kalian tetapi Aku membutuhkan Tuhanku.’
Syah Naqsyband meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad Alauddin dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar al-Hafizi, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risala Qudsiyya. Kepada yang pertamalah Syah Naqsyband meneruskan rahasia dari Mata Rantai Emas.
18. S.S. Ala’uddin al-Bukhari al-Attar (QS)
Pada pelupuk mataku, selalu hadir bayangan dirimu, di setiap gerak bibirku, menggetar kenangan akan dirimu, abadi dalam hatiku, pemikiran tentangmu, Di manakah Kau dapat bersembunyi dariku?
(Diambil dari Hallaj)
Beliau adalah Bintang di antara para Awliya yang Sempurna. Beliau adalah seorang ulama yang bertindak berdasarkan apa yang diketahuinya (calimun camil). Beliau dikenal sebagai buah dari pohon Pengetahuan Ilahi, Kehidupan dari Pengetahuan Spiritual, Penghapus Kegelapan, Pemandu para bangsawan dan orang-orang kebanyakan, Sumur yang tidak pernah mengering, pemandu terbaik yang menerangi Jalan menuju Kehadirat Ilahi. Beliau adalah yang pertama dalam menghilangkan singgasana kebohongan dari Jalur Kebenaran. Beliau berdiri di Pusat Bidang Kutub (aqtab) dan menanggung beban kekhalifahan spiritual. Beliau mengangkat jiwa saudara-saudaranya sampai seluruh alam semesta memanggil dan mengingat kannya. Karena kejujurannya, pengetahuan agama eksternal dan internal bersemi dalam dirinya.
Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Rajab 802 H. Beliau meninggalkan semua warisan ayahnya kepada kedua saudaranya dan mengabdikan dirinya untuk belajar di sekolah di Bukhara. Beliau menjadi ahli di segala bidang seni, khususnya dalam Pengetahuan mengenai Sufisme dan Pengetahuan mengenai Islam. Beliau melamar putri Syah Naqsyband k, memintanya untuk menikah dengannya. Jawaban Syah Naqsyband k baru muncul di suatu hari, lewat tengah malam, ketika beliau terbangun dari tidurnya di Qasr al-‘Arifan, dengan segera beliau pergi ke sekolah di Bukhara di mana Alauddin k tinggal. Di sana beliau melihat semua orang tertidur, kecuali Alauddin k, yang tetap terjaga dengan membaca al-Qur’an diterangi cahaya dari sebuah lampu minyak yang kecil.
Beliau mendatanginya dari belakang dan menepuk pundaknya tetapi Alauddin k tidak memberi respons. Beliau mendorongnya lebih keras, tetapi tetap tidak ada reaksi. Melalui pandangan spiritualnya, Syah Naqsyband k mengerti bahwa Alauddin k tidak berada di sana tetapi sedang berada dalam Kehadirat Ilahi. Beliau lalu memanggilnya secara spiritual dan dengan segera Alauddin k menoleh dan berkata, “Oh Syaikhku.” Syah Naqsyband k berkata, “Aku bermimpi bahwa Rasulullah saw telah menerima lamaranmu kepada putriku. Dengan alasan itulah, Aku datang sendiri ke sini, di tengah malam, untuk menyampaikan kabar gembira ini.” Alauddin k berkata, “Wahai Syaikhku, Aku tidak punya apa-apa yang bisa dibelanjakan baik oleh putrimu maupun diriku sendiri, karena Aku sangat miskin, seluruh warisan ayahku telah kuberikan kepada saudara-saudaraku.” Syah Naqsyband menjawab, “Wahai anakku, apa pun yang telah dituliskan Allah kepadamu di Hari Perjanjian akan tetap menjadi milikmu. Jadi jangan khawatir, Allah akan menyediakannya.”
Beliau berkata, “Suatu hari seorang Syaikh bertanya kepadaku, ‘Bagaimana hatimu?’ Aku berkata, ‘Aku tidak tahu bagaimana keadaan hatiku.’ Syaikh itu berkata, ‘Aku tahu hatiku, dia bagaikan bulan di sepertiga malam.’ Aku lalu menceritakan hal ini kepada Syah Naqsyband k dan beliau berkata, ‘Dia berkata berdasarkan keadaan hatinya.’ Ketika beliau mengatakan hal ini, beliau meletakkan kakinya di atas kakiku dan menekannya. Tiba-tiba Aku meninggalkan tubuhku dan melihat bahwa segala yang ada di dunia ini dan seluruh alam semesta berada di hatiku. Ketika aku terjaga dari keadaan tidak sadar itu, beliau masih berdiri di atas kakiku, dan berkata, ‘Jika hati seperti itu, maka tak seorang pun yang dapat melukiskannya. Sekarang bagaimana menurutmu hadits yang berbunyi, ‘Bumi dan langit tidak dapat memuat diriku, tetapi Aku berada dalam hati orang-orang yang beriman.’ Ini adalah salah satu rahasia yang harus kalian pahami.”
Selanjutnya Syah Naqsyband k bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya. Beliau mengangkatnya dari satu tingkat pengetahuan ke tingkat lainnya dan mempersiapkannya untuk hadir dalam Kehadirat Ilahi dan untuk mendaki menara Pengetahuan Spiritual yang agung dan meninggalkan segala macam kebodohan untuk mencapai tingkat Realitas. Beliau menjadi unik di antara sekian banyak murid pengikut Baha’uddin Naqsyband k. Selama hidupnya Syah Naqsyband k memerintahkannya untuk memberi pencerahan kepada para pengikutnya yang lain. Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Parsa k yang menulis bahwa dia mendengar dari Syaikh Alauddin k, “Aku diberi kekuatan oleh Syaikhku, Syah Naqsyband k, sedemikian rupa sehingga bila Aku ingin memfokuskan setiap orang di alam semesta ini, Aku akan mengangkat mereka semua ke tingkat ihsan.”
Suatu ketika para ulama di Bukhara mempunyai beda pendapat mengenai kemungkinan melihat Allah di dunia ini. Sebagian dari mereka menyangkal kemungkinan itu sementara yang lain merasa yakin. Mereka semua adalah murid Syaikh Alauddin k. Mereka mendatanginya dan berkata, “Kami minta engkau menjadi juri dalam hal ini.” Beliau berkata, “Di antara kalian yang menyangkal kemungkinan untuk melihat Allah dalam kehidupan ini, ikutlah bersamaku selama 3 hari dengan tetap menjaga wudhu dan diam.” Beliau menjaga mereka selama 3 hari, mengarahkan kekuatan spiritualnya kepada mereka, sampai mereka semua memperlihatkan keadaan yang sangat kuat yang menyebabkan mereka menjadi lemah lunglai. Ketika mereka sadar kembali, mereka mendatanginya dengan menangis, amanna wa saddaqna (“Kami percaya dan kami yakin bahwa hal itu benar!”) sambil mencium kakinya.
Mereka berkata kepadanya, “Kami menerima apa yang engkau katakan, melihat Allah dalam hidup ini adalah suatu hal yang tidak mustahil.” Mereka mengabdikan diri mereka kepadanya dan tidak pernah meninggalkannya. Mereka juga menjadikan kebiasaan untuk mencium ambang pintunya. Mereka menggubah syair berikut: Karena buta mereka bertanya, “Bagaimana kami mencapai Tuhan?” Menempatkan lilin kemurnian di tangan mereka. Mereka akan tahu bahwa kemungkinan untuk melihat tidaklah mustahil. Syaikh Alauddin k sangat disayang dan diistimewakan oleh Syah Naqsyband, sebagaimana Nabi Yusuf yang sangat disayang oleh ayahnya, Nabi Yacqub as.
Dari Pancaran Cahaya Kata-Katanya
Beliau berkata, “Niat dalam berkhalwat adalah untuk meninggalkan segala hubungan duniawi dan mengarahkan diri kepada Kebenaran Surgawi.” “Dikatakan bahwa para pencari dalam pengetahuan eksternal harus memegang teguh Tali Allah, sedangkan para pencari pengetahuan internal harus terikat kuat kepada Allah.” “Ketika Syah Naqsyband k mendapat pakaian baru, beliau akan memberikannya kepada orang lain untuk dipakai. Setelah mereka memakainya, beliau akan meminjamnya kembali.”
Tingkat Kefanaan
“Ketika Allah membuatmu lupa akan kekuatan duniawi maupun Kerajaan Surgawi, itu adalah Kefanaan yang Mutlak. Dan Jika Dia membuatmu lupa akan Kefanaan yang Mutlak itu, itu adalah Inti dari Kefanaan yang Mutlak.”
Perilaku yang Benar
“Kalian harus berada pada tingkat yang sesuai dengan orang-orang di sekitarmu dan menyembunyikan keadaanmu yang sebenarnya dari mereka, karena Rasulullah e bersabda, ‘Aku telah diperintahkan untuk berbicara kepada orang-orang sesuai dengan apa yang bisa dimengerti oleh hati mereka.’”
“Waspadalah dalam menyakiti hari para Sufi. Jika engkau menginginkan persahabatan mereka, pertama kalian harus belajar bagaimana bertingkah laku di hadapan mereka. Kalau tidak kalian akan menyakiti diri sendiri, karena jalan mereka adalah jalan yang paling lembut. Disebutkan bahwa, ‘Tidak ada tempat di Jalan Kami bagi orang-orang yang tidak mempunyai perilaku yang baik.’” “Jika kalian berpikir bahwa kalian telah berperilaku baik berarti engkau salah, karena memandang dirimu baik adalah suatu kesombongan.”
Mengenai Ziarah Kubur
“Manfaat yang dapat dipetik dari ziarah ke makam Syaikh kalian tergantung dari pengetahuanmu tentang mereka.” “Berada di dekat makam orang-orang yang shaleh mempunyai pengaruh yang baik terhadap dirimu, walaupun lebih baik untuk mengarahkan dirimu kepada jiwa mereka adalah dan itu bisa membawa pengaruh spiritual yang tinggi. Rasulullah bersabda, ‘Kirimkanlah do’a kepadaku di mana pun engkau berada.’ Ini menunjukkan bahwa kalian dapat mencapai Rasulullah di mana pun kalian berada, dan itu juga berlaku untuk semua Walinya, karena mereka mendapat kekuatan dari Rasulullah .”
“Adab, atau perilaku yang benar dalam berziarah adalah dengan mengarahkan dirimu kepada Allah dan membuat jiwa-jiwa ini sebagai jalanmu (wasilah) menuju Allah , merendahkan hatimu kepada Ciptaan-Nya. Kalian merendahkan hati secara eksternal kepada mereka dan secara internal kepada Allah. Menunduk di hadapan orang lain tidak diizinkan kecuali kalian memandang mereka sebagai perwujudan Tuhan. Dengan demikian kerendahan hati itu tidak diarahkan kepada mereka, tetapi diarahkan kepada Tuhan yang tampak dalam diri mereka, dan itulah Tuhan.”
Dzikir yang Terbaik
“Jalan untuk berkontemplasi (merenung) dan meditasi lebih tinggi dan lebih sempurna daripada berdzikir dengan kalimat la ilaha illallah. Para pencari, melalui kontemplasi dan meditasi (muraqabat), dapat meraih pengetahuan internal dan mampu memasuki Kerajaan Surgawi. Dia akan diberi kekuasaan untuk melihat Makhluk Allah dan mengetahui apa yang terlintas dalam benak mereka, bahkan gosip atau bisikan terkecil pun dapat diketahuinya. Dia akan diberi kekuasaan untuk mencerahkan hati mereka dengan cahaya inti dari inti tingkat Ke-Esaan.”
Melindungi Hati
“Diam adalah keadaan terbaik, kecuali dalam tiga kondisi: kalian tidak boleh berdiam diri dalam menghadapi gosip buruk yang menyerang hatimu, kalian tidak boleh berdiam diri dalam mengarahkan dirimu untuk mengingat Allah , dan kalian tidak boleh berdiam diri ketika pandangan spiritual dalam hatimu memerintahkan untuk bicara.”
“Melindungi hatimu dari pikiran jahat sangatlah sulit, dan Aku melindungi hatiku selama 20 tahun dengan tidak membiarkan ada satu godaan pun yang memasukinya.” “Amalan terbaik dalam Thariqat ini adalah menghukum godaan dan gosip di dalam hati.” “Aku tidak senang terhadap beberapa murid karena mereka tidak berusaha untuk menjaga keadaan pandangan spiritual yang muncul kepada mereka.”
Cinta terhadap Syaikh
“Jika hati para pengikut (murid) dipenuhi dengan cinta terhadap Syaikh, maka cinta ini mengalahkan semua cinta dalam hatinya, kemudian hati itu dapat menerima transmisi Pengetahuan Ilahi, yang tidak berawal dan tidak berakhir.” “Murid harus menceritakan semua keadaannya kepada Syaikhnya, dan dia harus merasa yakin bahwa dia tidak akan mencapai tujuannya kecuali melalui kepuasan dan cinta Syaikhnya. Dia harus mencari kepuasan itu dan dia harus tahu bahwa semua pintu telah terkunci, internal dan eksternal, kecuali satu pintu, yaitu Syaikhnya. Dia harus mengorbankan dirinya demi Syaikhnya.
Walaupun dia telah mempunyai pengetahuan tertinggi dan mujahada (kapasitas untuk berusaha) yang paling tinggi, dia harus meninggalkan semuanya dan sadar bahwa dia tidak ada artinya di hadapan Syaikhnya. Para pencari harus memberikan otoritas penuh kepada Syaikh dalam segala urusannya, baik religius maupun duniawi, sedemikian sehingga dia tidak mempunyai keinginan selain keinginan Syaikhnya. Tugas Syaikh adalah melihat aktivitas murid sehari-hari, memberi nasihat dan memperbaiki dirinya dalam kehidupan dan agamanya serta menolong mereka untuk menemukan jalan terbaik untuk mencapai realitasnya.”
“Mengunjungi Awliya adalah suatu Sunnah Wajiba, yaitu suatu kewajiban setiap pencari, paling tidak setiap hari, atau setiap hari lainnya, sementara menjaga batas dan kehormatan antara dirimu dengan Syaikh. Jika jarak antara kalian dengan Syaikh cukup jauh, kunjungilah beliau paling tidak sekali sebulan atau dua bulan sekali agar hubungan kalian tidak terputus. Jangan hanya tergantung pada koneksi antara dirimu dengan hati mereka.”
“Aku memberi jaminan kepada setiap pencari dalam thariqat ini, jika dia meniru Syaikh dengan hati yang tulus, pada akhirnya dia akan menemukan realitasnya. Syah Naqsyband k memerintahkan Aku untuk meniru beliau dan apa pun yang Aku lakukan untuk meniru beliau dengan segera Aku memetik hasilnya.”
Namun demikian beliau juga memperingatkan, “Para Guru dalam thariqat kita tidak dapat dikenali kecuali dalam Maqam yang Penuh Warna dan Perubahan (Maqam at-Talwin). Siapa pun yang meniru tingkah laku mereka dalam maqam itu, dia akan berhasil. Namun demikian, barang siapa yang meniru tingkah laku mereka dalam Maqam Ihsan, maqam yang penuh kesempurnaan, dia akan tersesat. Dan dia hanya akan selamat dari penyimpangan itu jika gurunya memberi rahmat dan mengungkapkan Realitas dari Maqam itu kepadanya.”
Apa yang beliau maksudkan, dan sesungguhnya Allah Mahatahu, adalah bahwa para pencari tidak dapat meraih Kesempurnaan sampai dia disempurnakan. Maqam yang Penuh Warna dan Perubahan adalah tempat di mana para pencari berjuang keras dengan puasa, ibadah, khalwat, dan dengan mempertahankan cinta dan penghormatannya kepada gurunya dari satu kesulitan kepada kesulitan yang lain. Meniru gurunya dalam tahap ini akan mendatangkan keberhasilan, karena gurunya sangat ahli dalam semua urusan ini. Namun, jika dia meniru gurunya ketika sedang berada dalam Maqam Kesempurnaan, dia akan berada dalam bahaya, seperti halnya ketika dia ingin terbang tanpa mengembangkan sayapnya lebih dahulu.
Penting sekali bagi para pencari untuk mendaki gunung sebelum dia menikmati pemandangan di puncak. Untuk mendaki gunung, para pencari harus melakukan perjalanan dari dunia yang rendah menuju Kehadirat Ilahi. Dia harus menempuh perjalanan dari dunia ego yang penuh realitas sensual menuju kesadaran jiwa akan Realitas Ilahi. Untuk membuat kemajuan dalam perjalanan ini, para pencari harus membawa gambaran mengenai Syaikhnya (tasawwur) ke dalam hatinya, karena itu merupakan jalan terkuat untuk melepaskan seseorang dari genggaman rasa. Dalam hatinya Syaikh menjelma menjadi cerminan dari Inti yang Mutlak. Jika dia berhasil, keadaan ghayba atau “absen” dari dunia yang penuh rasa akan tampak pada dirinya. Untuk mengukur bahwa keadaan ini semakin meningkat dalam dirinya, ketertarikan terhadap rasa duniawi akan melemah dan hilang lalu pada dirinya mulai tampak Maqam Kehampaan Mutlak untuk Merasakan yang Lain selain Allah.
Tingkat paling tinggi dari maqam ini disebut Maqam Pemusnahan (fana’). Syah Naqsyband menasihati muridnya, “Ketika Aku mengalami keadaan tanpa kesadaran, tinggalkanlah Aku sendiri dan serahkan dirimu pada keadaan itu dan terimalah haknya atas diri kita.”
Mengenai perjalanan ini, Syaikh Alauddin berkata kepada muridnya,“Jalur terpendek menuju sasaran kita, yaitu Allah adalah saat Allah menghilangkan sekat dari Inti Wujud Ke-Esaan-Nya yang tampak pada semua makhluk ciptaan-Nya. Dia melakukan hal ini dengan Maqam Penghapusan (ghayba) dan Peleburan dalam Ke-Esaan-Nya yang Mutlak (fana’), sampai Inti Kemegahan-Nya mulai tampak dan menghilangkan kesadaran akan segala hal selain Dia. Ini adalah akhir dari Perjalanan Mencari Allah dan awal dari Perjalanan yang lain.”
“Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Keadaan yang Penuh Daya Tarik muncullah Keadaan Tanpa Kesadaran dan Pemusnahan. Inilah yang menjadi target semua ummat manusia sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Aku tidak menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ibadah di sini maksudnya Pengetahuan Yang Sempurna (Ma’rifat).”
Pada tanggal 2 Rajab 802 H, Syaikh Alauddin k berkata, “Aku akan meninggalkan kalian menuju kehidupan yang lain dan tak seorang pun yang dapat menghentikan Aku.” Beliau wafat pada tanggal 20 Rajab 802 H dan dimakamkan di kota Jaganyan, salah satu bagian dari Bukhara. Beliau meneruskan rahasianya kepada satu di antara sekian banyak khalifahnya, yaitu Syaikh Yaqub al-Charkhi .
19. S.S. Yaqub al-Charkhi (QS)
“Aku sudah mengenal Tuhan dan aku tidak melihat selain Dia
Sehingga Dalam diri kami ‘Lainnya’ ditutup.
Karena aku menyadari kesatuan, aku tidak lagi takut berpisah;
Hari ini aku telah tiba dan aku bersatu.”
Anonim.
Ulama Bagi Para Awliya dan Awliya Bagi Para Ulama
Beliau tampil di antara manusia dibusanai dengan dua ilmu: ilmu lahir dan batin. Akhlak dan perilakunya begitu halus sehingga beliau mencerminkan Sifat-Sifat Allah kepada seluruh manusia. Beliau membangkitkan spiritualitas dalam Syari`ah dan beliau membangkitkan Syari`ah di dalam spiritualitas. Orang-orang mengikutinya karena jalannya adalah yang terbaik, karena beliau mewarisi Ilmu Gaib dari Nabi (s).
Beliau dilahirkan di kota Jark, sebuah daerah pinggiran Garnin, antara kota Kandahar dan Kabul, di Transoxiana. Di masa mudanya beliau pergi ke kota Herat untuk belajar. Beliau kemudian pergi ke Mesir untuk mempelajari Ilmu Syari`ah dan Logika. Beliau menghafal Qur’an dan juga 500,000 hadits, baik hadits yang sahih maupun yang palsu. Salah satu gurunya adalah Syihabuddin asy-Syirawani, yang dikenal sebagai Sang Ensiklopedia di zamannya. Beliau melanjutkan pendidikannya hingga mencapai level di mana beliau dapat memberi fatwa mengenai berbagai hal yang dialami oleh umat Muslim. Beliau adalah seorang mujtahid mutlaq (mempunyai kecakapan dalam penalaran hukum secara independen) dalam ilmu lahir dan batin. Beliau kemudian kembali ke daerah asalnya dan mengikuti Baha’uddin Naqsyband (q) kemudian Alauddin al-Aththar (q) untuk mengasah dirinya dalam ilmu tasawwuf.
Mengenai Guru di bidang Ilmu Spiritualnya, beliau berkata,
Cintaku terhadap Syekh Baha’uddin loyal dan tulus bahkan sebelum aku mengenal beliau. Ketika aku mendapat ijazah untuk menjadi seorang mujtahid mutlaq dan memberi fatwa, aku kembali ke negeriku dan aku pergi untuk mengunjunginya dan memberi penghormatanku. Aku berkata kepadanya, dengan kepatuhan dan ketawadukan penuh, “Aku mohon jagalah aku senantiasa di dalam Inti dari Penglihatanmu.” Beliau berkata, “Kau datang padaku dalam perjalananmu pulang kembali ke negerimu, Jarkh?” Aku berkata, “Aku mencintaimu dan aku adalah hambamu karena engkau yang paling termasyhur dan diterima oleh setiap orang.” Beliau berkata, “Itu bukan alasan yang cukup baik bagiku untuk menerimamu.” Kemudian aku menjawab, “Wahai Syekhkhu, Nabi (s) bersabda di dalam hadits autentik, ‘Jika Allah mencintai seseorang, Dia akan mempengaruhi kalbu orang-orang untuk mencintainya juga.’” Kemudian Bahauddin tersenyum dan berkata, “Aku adalah pewaris spiritual dari Azizan. Apa yang kau katakan adalah benar.” Ketika beliau mengatakan hal ini, aku sangat terkejut karena aku mendengar di dalam mimpiku satu bulan sebelumnya, sebuah suara yang berkata kepadaku, “Jadilah murid dari Azizan.” Pada saat itu aku tidak mengetahui siapa Azizan itu. Tetapi beliau menyebutkan kata itu seolah-olah beliau telah mengetahui mimpi itu. Setelah itu aku pun mohon pamit. Beliau berkata, ‘Kau boleh pergi, tetapi aku ingin memberimu sebuah hadiah yang akan mengingatkan engkau padaku.’ Beliau memberiku turbannya. Beliau berkata, ‘Ketika engkau melihatnya atau memakainya kau akan ingat padaku, dan ketika kau mengingatku, kau akan menemukan aku dan kau akan menemukan Jalanmu kepada Allah.’
Beliau berkata kepadaku, ‘Dalam perjalananmu pulang ke negerimu di Balkh, jika engkau bertemu Mawlana Tajuddin al-Kawlaki, jagalah kalbumu dari menggunjing dalam hadiratnya karena beliau adalah seorang wali besar dan beliau akan menegurmu.’ Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Aku akan kembali ke Herat melalui Balkh, tetapi aku tidak akan melewati Kawlak, di mana Mawlana Tajuddin tinggal. Jadi aku pikir aku tidak akan bertemu dengannya.’ Tetapi dalam perjalanan terjadi sesuatu pada karavan yang kunaiki dan mengharuskan kami untuk melewati Kawlak. Aku ingat kata-kata Syekh Bahauddin, ‘Jika engkau melewati Kawlak, maka kunjungilah Syekh Tajuddin al-Kawlaki.’ Dalam benakku terpikir bahwa Syekh Bahauddinlah yang menyebabkan peristiwa itu terjadi sehingga aku harus mengunjungi Syekh. Ketika kami tiba di Kawlak, saat itu sangat gelap, tidak ada bintang-gemintang di langit. Aku pergi ke masjid untuk menanyakan tentang Mawlana Tajuddin Kawlaki. Seorang pria mendatangiku dari balik tiang dan berkata kepadaku, ‘Apakah engkau Ya`qub al-Charki?’ Aku terheran-heran. Ia berkata, ‘Jangan terkejut. Aku sudah mengetahui tentang dirimu sebelum engkau sampai di sini. Syekhku, Syekh Bahauddin, mengirimku untuk membawamu menemui Syekh Tajuddin al-Kawlaki.’ Dalam perjalanan menemuinya, kami bertemu dengan seorang orang tua yang berkata, ‘Wahai anakku, jalan kita penuh dengan kejutan. Siapapun yang memasukinya, ia tidak bisa memahaminya. Seorang salik harus meninggalkan pikirannya.’ Kemudian kami memasuki hadirat Mawlana Mawlana Tajuddin dan sangat sulit untuk menjaga kalbuku bebas dari gunjingan. Mawlana Tajuddin memberiku sepotong ilmu spiritual yang beliau miliki tetapi belum pernah kudengar sebelumnya. Semua yang pernah kepelajari tidak ada apa-apanya dibanding ilmu ini. Aku sangat bahagia dengan Syekhku, Syekh Bahauddin, dan jalan yang beliau atur agar aku dapat bertemu dengan Mawlana Tajuddin, sehingga cintaku padanya meningkat dengan pesat.
Setelah aku tiba di negeriku, waktu demi waktu aku sering pergi ke Bukhara untuk mengunjungi Syekh Bahauddin. Di Bukhara ada seorang majdub–seorang yang hilang di dalam Cinta Ilahi, yang sangat terkenal dan banyak orang yang mendatanginya untuk mendapatkan keberkahan. Suatu hari ketika aku berniat untuki mengunjungi Syekh Bahauddin, aku memutuskan untuk melewati orang itu dan ingin tahu apa yang ia katakan. Ketika ia melihatku ia berkata kepadaku, ‘Cepat pergilah ke tujuanmu dan jangan berhenti. Apa yang telah kau putuskan adalah yang terbaik.’ Ia mulai menggambar garis-garis pada debu. Terlintas dalam kalbuku untuk menghitung garis itu. Jika jumlah garisnya ganjil, itu adalah tanda baik untukku, karena Nabi (s) bersabda, ‘Allah adalah Satu dan Dia menyukai bilangan ganjil.’ Aku menghitung jumlah garisnya dan mendapati jumlahnya ganjil dan itu membuatku gembira. Aku lalu mengunjungi Syekh Bahauddin dan memintanya untuk memberiku bay’at dan mengajariku zikir. Jadi beliau mengajariku tentang wuquf `adadi (Kesadaran akan Jumlah), dan beliau berkata kepadaku–seolah-olah beliau telah bersamaku ketika aku bertemu dengan sang majdub, ‘Wahai anakku, peganglah selalu bilangan yang ganjil, seperti halnya engkau mengharapkan jumlah garis akan menjadi ganjil, dan itu memberimu sebuah tanda, jadi jagalah kesadaran itu ketika engkau melakukan zikir.’
Aku begitu tenggelam di dalam pancuran cahaya dan cinta syekhku sehingga aku lebih sering mengunjunginya dan cintaku padanya semakin berkembang di dalam kalbuku. Suatu hari aku membuka kitab suci al-Qur’an hingga ayat, ula’ik alladziina hada-l-Lahu fa bi hudahum uqtadih (‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, jadi ikutilah petunjuk mereka.’) [6:90]. Aku sangat gembira membaca ayat itu. Pada saat itu aku tinggal di kota yang disebut Fatahabad. Pada penghujung hari aku memutuskan untuk mengunjungi masjid dan makam Syekh al-Bakharazi. Dalam perjalanan ada pikiran yang mengusikku sehingga aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Bahauddin. Ketika aku tiba di hadapannya, aku melihat seolah-olah beliau telah menunggu kedatanganku. Beliau memandang mataku dan berkata, ‘Waktu salat telah masuk, nanti kita akan bicara.’ Setelah salat ‘Lihat aku.’ Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa di wajahnya, yang mengguncang kalbuku. Aku tetap menutup mulutku dan beliau berkata kepadaku, ‘Ilmu ada dua macam: ilmu kalbu, dan ini adalah ilmu yang bermanfaat dan merupakan ilmunya para Nabi dan Rasul; yang kedua adalah ilmu lidah, ilmu lahir, dan ini adalah semua ajaran yang terlihat dan terdengar, Bukti Allah kepada makhluk-Nya. Aku berharap bahwa Allah akan memberimu keberuntungan dalam Ilmu Batin. Dan hal itu berasal dari hadits, ‘Jika engkau duduk bersama para Shadiqiin, duduklah bersama mereka dengan kalbu yang benar, karena mereka adalah mata-mata kalbu. Mereka bisa masuk dan melihat apa yang berada di dalam kalbumu.’
Beliau melanjutkan,
Aku diperintahkan oleh Allah `Azza wa Jalla, dan oleh Nabi (s) dan oleh Syekhku, untuk tidak menerima seseorang di jalanku kecuali Allah, Nabi (s) dan Syekhku menerima orang itu. Jadi nanti malam aku akan melihat apakah engkau dapat diterima.’ Ini adalah hari tersulit di dalam hidupku. Aku merasa aku akan meleleh karena takut mereka tidak menerimaku di jalan ini. Aku melakukan salat Subuh bersamanya dan aku merasa takut. Ketika beliau melihat ke dalam kalbuku segala sesuatunya lenyap dan beliau muncul di mana-mana. Aku mendengar suaranya yang berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu, Dia menerimamu dan aku menerimamu.’ Kemudian beliau mulai membaca nama-nama Syekh dalam Silsilah Keemasan, mulai dari Nabi (s) kepada Abu Bakar (r), Salman (r), Qassim (q), Ja`far (a), Tayfur (q), Abul Hassan (q), Abu `Ali (q), Yasuf (q), Abul `Abbas (a), `Abdul Khaliq (q). Setiap syekh yang beliau sebutkan muncul di hadapannya. Ketika beliau menyebutkan `Abdul Khaliq (q), beliau berhenti dan `Abdul Khaliq (q) muncul di hadapanku. Beliau berkata, ‘Serahkan ia kepadaku sekarang,’ dan beliau mengajariku lebih banyak mengenai ilmu wuquf al-`adadi, Ilmu mengenai Angka-Angka. Beliau berkata kepadaku bahwa ilmu itu berasal dari Khidr (a). Kemudian Syekhku meneruskan membaca nama-nama dalam silsilah, `Arif (q), Mahmoud (q), `Ali Ramitani (q), Muhammad Baba as-Samasi (q), Sayid Amir Kulal (q). Mereka semua muncul secara bergiliran dan memberiku bay’at. Aku melanjutkan khidmahku kepadanya, berdiri di pintunya, belajar darinya, hingga beliau memberiku izin untuk menjadi mursyid untuk membimbing orang-orang ke jalan ini. Beliau berkata kepadaku, ‘Jalan ini akan menjadi kebahagiaan terbesar bagimu.’
Ubaydullah al-Ahrar (q) melaporkan bahwa Ya`qub (q) berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku menerima sebuah perintah dari Syah Naqsyband (q) untuk menemani Syekh Ala’uddin al-`Attar setelah wafatnya beliau [Syah Naqsyband]. Atas perintah Syekhku, aku mendampinginya sebagai muridnya, sejak saat wafatnya Syah Baha’uddin (q) di Jaganyan, Bukhara. Dengan keberkahan dari mendampinginya maqamku dinaikkan dan latihanku diselesaikan.”
Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata bahwa Syekh Ya`qub al-Charkhi (q) dan Syekh Zainuddin al-Khawafi bagaikan dua saudara ketika mereka belajar di bawah bimbingan Syekh Syihabuddin as-Syirwani. Seykh Zainuddin berkata bahwa Syekh Ya`qub al-Charkhi (q) seringkali menghilang kemudian muncul kembali ketika beliau sedang mengajar. Keramat ini menandakan maqam fana yang lengkap di Hadratillah. Ini adalah maqamnya di Mesir, sampai beliau datang dan mengikuti Syah Naqsyband (q), dan kemudian beliau mencapai Maqamul Ishan.
Beliau wafat di desa Hulgatu, pada tanggal 5 Shafar 851 H. Beliau mempunyai banyak khalifah. Beliau meneruskan Rahasia dari Tarekat ini kepada Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q), semoga Allah memberkati rahasianya. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/yaqub-al-charkhi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
“Aku sudah mengenal Tuhan dan aku tidak melihat selain Dia
Sehingga Dalam diri kami ‘Lainnya’ ditutup.
Karena aku menyadari kesatuan, aku tidak lagi takut berpisah;
Hari ini aku telah tiba dan aku bersatu.”
Anonim.
Ulama Bagi Para Awliya dan Awliya Bagi Para Ulama
Beliau tampil di antara manusia dibusanai dengan dua ilmu: ilmu lahir dan batin. Akhlak dan perilakunya begitu halus sehingga beliau mencerminkan Sifat-Sifat Allah kepada seluruh manusia. Beliau membangkitkan spiritualitas dalam Syari`ah dan beliau membangkitkan Syari`ah di dalam spiritualitas. Orang-orang mengikutinya karena jalannya adalah yang terbaik, karena beliau mewarisi Ilmu Gaib dari Nabi (s).
Beliau dilahirkan di kota Jark, sebuah daerah pinggiran Garnin, antara kota Kandahar dan Kabul, di Transoxiana. Di masa mudanya beliau pergi ke kota Herat untuk belajar. Beliau kemudian pergi ke Mesir untuk mempelajari Ilmu Syari`ah dan Logika. Beliau menghafal Qur’an dan juga 500,000 hadits, baik hadits yang sahih maupun yang palsu. Salah satu gurunya adalah Syihabuddin asy-Syirawani, yang dikenal sebagai Sang Ensiklopedia di zamannya. Beliau melanjutkan pendidikannya hingga mencapai level di mana beliau dapat memberi fatwa mengenai berbagai hal yang dialami oleh umat Muslim. Beliau adalah seorang mujtahid mutlaq (mempunyai kecakapan dalam penalaran hukum secara independen) dalam ilmu lahir dan batin. Beliau kemudian kembali ke daerah asalnya dan mengikuti Baha’uddin Naqsyband (q) kemudian Alauddin al-Aththar (q) untuk mengasah dirinya dalam ilmu tasawwuf.
Mengenai Guru di bidang Ilmu Spiritualnya, beliau berkata,
Cintaku terhadap Syekh Baha’uddin loyal dan tulus bahkan sebelum aku mengenal beliau. Ketika aku mendapat ijazah untuk menjadi seorang mujtahid mutlaq dan memberi fatwa, aku kembali ke negeriku dan aku pergi untuk mengunjunginya dan memberi penghormatanku. Aku berkata kepadanya, dengan kepatuhan dan ketawadukan penuh, “Aku mohon jagalah aku senantiasa di dalam Inti dari Penglihatanmu.” Beliau berkata, “Kau datang padaku dalam perjalananmu pulang kembali ke negerimu, Jarkh?” Aku berkata, “Aku mencintaimu dan aku adalah hambamu karena engkau yang paling termasyhur dan diterima oleh setiap orang.” Beliau berkata, “Itu bukan alasan yang cukup baik bagiku untuk menerimamu.” Kemudian aku menjawab, “Wahai Syekhkhu, Nabi (s) bersabda di dalam hadits autentik, ‘Jika Allah mencintai seseorang, Dia akan mempengaruhi kalbu orang-orang untuk mencintainya juga.’” Kemudian Bahauddin tersenyum dan berkata, “Aku adalah pewaris spiritual dari Azizan. Apa yang kau katakan adalah benar.” Ketika beliau mengatakan hal ini, aku sangat terkejut karena aku mendengar di dalam mimpiku satu bulan sebelumnya, sebuah suara yang berkata kepadaku, “Jadilah murid dari Azizan.” Pada saat itu aku tidak mengetahui siapa Azizan itu. Tetapi beliau menyebutkan kata itu seolah-olah beliau telah mengetahui mimpi itu. Setelah itu aku pun mohon pamit. Beliau berkata, ‘Kau boleh pergi, tetapi aku ingin memberimu sebuah hadiah yang akan mengingatkan engkau padaku.’ Beliau memberiku turbannya. Beliau berkata, ‘Ketika engkau melihatnya atau memakainya kau akan ingat padaku, dan ketika kau mengingatku, kau akan menemukan aku dan kau akan menemukan Jalanmu kepada Allah.’
Beliau berkata kepadaku, ‘Dalam perjalananmu pulang ke negerimu di Balkh, jika engkau bertemu Mawlana Tajuddin al-Kawlaki, jagalah kalbumu dari menggunjing dalam hadiratnya karena beliau adalah seorang wali besar dan beliau akan menegurmu.’ Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Aku akan kembali ke Herat melalui Balkh, tetapi aku tidak akan melewati Kawlak, di mana Mawlana Tajuddin tinggal. Jadi aku pikir aku tidak akan bertemu dengannya.’ Tetapi dalam perjalanan terjadi sesuatu pada karavan yang kunaiki dan mengharuskan kami untuk melewati Kawlak. Aku ingat kata-kata Syekh Bahauddin, ‘Jika engkau melewati Kawlak, maka kunjungilah Syekh Tajuddin al-Kawlaki.’ Dalam benakku terpikir bahwa Syekh Bahauddinlah yang menyebabkan peristiwa itu terjadi sehingga aku harus mengunjungi Syekh. Ketika kami tiba di Kawlak, saat itu sangat gelap, tidak ada bintang-gemintang di langit. Aku pergi ke masjid untuk menanyakan tentang Mawlana Tajuddin Kawlaki. Seorang pria mendatangiku dari balik tiang dan berkata kepadaku, ‘Apakah engkau Ya`qub al-Charki?’ Aku terheran-heran. Ia berkata, ‘Jangan terkejut. Aku sudah mengetahui tentang dirimu sebelum engkau sampai di sini. Syekhku, Syekh Bahauddin, mengirimku untuk membawamu menemui Syekh Tajuddin al-Kawlaki.’ Dalam perjalanan menemuinya, kami bertemu dengan seorang orang tua yang berkata, ‘Wahai anakku, jalan kita penuh dengan kejutan. Siapapun yang memasukinya, ia tidak bisa memahaminya. Seorang salik harus meninggalkan pikirannya.’ Kemudian kami memasuki hadirat Mawlana Mawlana Tajuddin dan sangat sulit untuk menjaga kalbuku bebas dari gunjingan. Mawlana Tajuddin memberiku sepotong ilmu spiritual yang beliau miliki tetapi belum pernah kudengar sebelumnya. Semua yang pernah kepelajari tidak ada apa-apanya dibanding ilmu ini. Aku sangat bahagia dengan Syekhku, Syekh Bahauddin, dan jalan yang beliau atur agar aku dapat bertemu dengan Mawlana Tajuddin, sehingga cintaku padanya meningkat dengan pesat.
Setelah aku tiba di negeriku, waktu demi waktu aku sering pergi ke Bukhara untuk mengunjungi Syekh Bahauddin. Di Bukhara ada seorang majdub–seorang yang hilang di dalam Cinta Ilahi, yang sangat terkenal dan banyak orang yang mendatanginya untuk mendapatkan keberkahan. Suatu hari ketika aku berniat untuki mengunjungi Syekh Bahauddin, aku memutuskan untuk melewati orang itu dan ingin tahu apa yang ia katakan. Ketika ia melihatku ia berkata kepadaku, ‘Cepat pergilah ke tujuanmu dan jangan berhenti. Apa yang telah kau putuskan adalah yang terbaik.’ Ia mulai menggambar garis-garis pada debu. Terlintas dalam kalbuku untuk menghitung garis itu. Jika jumlah garisnya ganjil, itu adalah tanda baik untukku, karena Nabi (s) bersabda, ‘Allah adalah Satu dan Dia menyukai bilangan ganjil.’ Aku menghitung jumlah garisnya dan mendapati jumlahnya ganjil dan itu membuatku gembira. Aku lalu mengunjungi Syekh Bahauddin dan memintanya untuk memberiku bay’at dan mengajariku zikir. Jadi beliau mengajariku tentang wuquf `adadi (Kesadaran akan Jumlah), dan beliau berkata kepadaku–seolah-olah beliau telah bersamaku ketika aku bertemu dengan sang majdub, ‘Wahai anakku, peganglah selalu bilangan yang ganjil, seperti halnya engkau mengharapkan jumlah garis akan menjadi ganjil, dan itu memberimu sebuah tanda, jadi jagalah kesadaran itu ketika engkau melakukan zikir.’
Aku begitu tenggelam di dalam pancuran cahaya dan cinta syekhku sehingga aku lebih sering mengunjunginya dan cintaku padanya semakin berkembang di dalam kalbuku. Suatu hari aku membuka kitab suci al-Qur’an hingga ayat, ula’ik alladziina hada-l-Lahu fa bi hudahum uqtadih (‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, jadi ikutilah petunjuk mereka.’) [6:90]. Aku sangat gembira membaca ayat itu. Pada saat itu aku tinggal di kota yang disebut Fatahabad. Pada penghujung hari aku memutuskan untuk mengunjungi masjid dan makam Syekh al-Bakharazi. Dalam perjalanan ada pikiran yang mengusikku sehingga aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Bahauddin. Ketika aku tiba di hadapannya, aku melihat seolah-olah beliau telah menunggu kedatanganku. Beliau memandang mataku dan berkata, ‘Waktu salat telah masuk, nanti kita akan bicara.’ Setelah salat ‘Lihat aku.’ Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa di wajahnya, yang mengguncang kalbuku. Aku tetap menutup mulutku dan beliau berkata kepadaku, ‘Ilmu ada dua macam: ilmu kalbu, dan ini adalah ilmu yang bermanfaat dan merupakan ilmunya para Nabi dan Rasul; yang kedua adalah ilmu lidah, ilmu lahir, dan ini adalah semua ajaran yang terlihat dan terdengar, Bukti Allah kepada makhluk-Nya. Aku berharap bahwa Allah akan memberimu keberuntungan dalam Ilmu Batin. Dan hal itu berasal dari hadits, ‘Jika engkau duduk bersama para Shadiqiin, duduklah bersama mereka dengan kalbu yang benar, karena mereka adalah mata-mata kalbu. Mereka bisa masuk dan melihat apa yang berada di dalam kalbumu.’
Beliau melanjutkan,
Aku diperintahkan oleh Allah `Azza wa Jalla, dan oleh Nabi (s) dan oleh Syekhku, untuk tidak menerima seseorang di jalanku kecuali Allah, Nabi (s) dan Syekhku menerima orang itu. Jadi nanti malam aku akan melihat apakah engkau dapat diterima.’ Ini adalah hari tersulit di dalam hidupku. Aku merasa aku akan meleleh karena takut mereka tidak menerimaku di jalan ini. Aku melakukan salat Subuh bersamanya dan aku merasa takut. Ketika beliau melihat ke dalam kalbuku segala sesuatunya lenyap dan beliau muncul di mana-mana. Aku mendengar suaranya yang berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu, Dia menerimamu dan aku menerimamu.’ Kemudian beliau mulai membaca nama-nama Syekh dalam Silsilah Keemasan, mulai dari Nabi (s) kepada Abu Bakar (r), Salman (r), Qassim (q), Ja`far (a), Tayfur (q), Abul Hassan (q), Abu `Ali (q), Yasuf (q), Abul `Abbas (a), `Abdul Khaliq (q). Setiap syekh yang beliau sebutkan muncul di hadapannya. Ketika beliau menyebutkan `Abdul Khaliq (q), beliau berhenti dan `Abdul Khaliq (q) muncul di hadapanku. Beliau berkata, ‘Serahkan ia kepadaku sekarang,’ dan beliau mengajariku lebih banyak mengenai ilmu wuquf al-`adadi, Ilmu mengenai Angka-Angka. Beliau berkata kepadaku bahwa ilmu itu berasal dari Khidr (a). Kemudian Syekhku meneruskan membaca nama-nama dalam silsilah, `Arif (q), Mahmoud (q), `Ali Ramitani (q), Muhammad Baba as-Samasi (q), Sayid Amir Kulal (q). Mereka semua muncul secara bergiliran dan memberiku bay’at. Aku melanjutkan khidmahku kepadanya, berdiri di pintunya, belajar darinya, hingga beliau memberiku izin untuk menjadi mursyid untuk membimbing orang-orang ke jalan ini. Beliau berkata kepadaku, ‘Jalan ini akan menjadi kebahagiaan terbesar bagimu.’
Ubaydullah al-Ahrar (q) melaporkan bahwa Ya`qub (q) berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku menerima sebuah perintah dari Syah Naqsyband (q) untuk menemani Syekh Ala’uddin al-`Attar setelah wafatnya beliau [Syah Naqsyband]. Atas perintah Syekhku, aku mendampinginya sebagai muridnya, sejak saat wafatnya Syah Baha’uddin (q) di Jaganyan, Bukhara. Dengan keberkahan dari mendampinginya maqamku dinaikkan dan latihanku diselesaikan.”
Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata bahwa Syekh Ya`qub al-Charkhi (q) dan Syekh Zainuddin al-Khawafi bagaikan dua saudara ketika mereka belajar di bawah bimbingan Syekh Syihabuddin as-Syirwani. Seykh Zainuddin berkata bahwa Syekh Ya`qub al-Charkhi (q) seringkali menghilang kemudian muncul kembali ketika beliau sedang mengajar. Keramat ini menandakan maqam fana yang lengkap di Hadratillah. Ini adalah maqamnya di Mesir, sampai beliau datang dan mengikuti Syah Naqsyband (q), dan kemudian beliau mencapai Maqamul Ishan.
Beliau wafat di desa Hulgatu, pada tanggal 5 Shafar 851 H. Beliau mempunyai banyak khalifah. Beliau meneruskan Rahasia dari Tarekat ini kepada Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q), semoga Allah memberkati rahasianya. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/yaqub-al-charkhi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
20. S.S. Ubaydullah Al-Ahrar (QS)
“Begitu aku mengingatmu – rahasiaku, hatiku,
Dan rohku mulai menggangguku selama mengingat Engkau.
Sampai pengawas dari Engkau dulu memanggilku,
‘Waspadalah, berhati-hatilah – ingatlah hati-hati.’
Apakah Engkau tidak melihat yang Nyata? Bukti-buktinya muncul.
Arti totalitas bergabung dengan makna Engkau.
Para pengingat ketika mengingatnya
Lebih pelupa daripada orang yang lupa mengingat-Nya.
Nabi (saw) berkata, ‘Orang yang mengenal Allah,
Lidahnya kelu.’”
Anonim.
Ia adalah Kutub bagi Lingkaran para Ahli Makrifat, Samudra Ilmu yang tak pernah habis, walaupun seluruh makhluk minum darinya untuk memuaskan dahaga spiritual mereka. Ia adalah seorang Raja yang memiliki cahaya murni dari Essens yang Unik dan dilepaskan dari penangkarannya dari Yang Tersembunyi untuk disebarkan kepada semua orang yang Arif. Ia menyingkap sisi gelap bulan dari Sifat-Sifat Ilahi mulai dari buaian sampai ia mencapai keadaannya yang sempurna. Ketika masih muda, ia telah diberi otoritas dan mulai bekerja untuk menerima Rahasia dari Rahasia dan untuk menyingkap Hijab. Ia tidak pernah melirik pada keinginan duniawi. Ia terus maju sampai ia mencapai maqam kewalian tertinggi, di mana ilmu mengenai Intisari Yang Gaib diberikan, dan rahasia mengenai Kenihilan Mutlak diungkapkan. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dari Kenihilan Mutlak menuju Cahaya Mutlak. Allah membangkitkan Tarekat ini melalui dirinya di zamannya dan Dia mendukungnya dengan Nikmat-Nya. Dia menjadikannya sebagai satu tautan keemasan di dalam Silsilah Keemasan ini, dan Dia menjadikannya salah satu dari pewaris Nabi (s) yang tertinggi.
Syekh Ubaydullah (q) berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan kotoran dan kegelapan yang telah menutupi kalbu manusia. Ia menjadi matahari untuk menyinari jalan untuk para salik menuju Maqam Keyakinan dan Perbendaharaan Ilmu Spiritual yang tersembunyi.
Ia lahir di desa Shash pada bulan Ramadan tahun 806 H. Dilaporkan bahwa sebelum ia dilahirkan, ayahnya mulai menunjukkan keadaan penolakan yang luar biasa, yang membuatnya meninggalkan semua perbuatan duniawi dan membuatnya memasuki khalwat. Selama berkhalwat ia hampir meninggalkan makan dan tidur, memutuskan hubungan dengan orang-orang, dan menjalani praktik-praktik dalam tarekat. Dalam keadaan spiritual ini, istrinya hamil. Itulah salah satu alasan bahwa kemudian bayinya mempunyai maqam yang tinggi; di mana latihan spiritualnya telah dimulai ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Ketika ibunya mengandung, keadaan spiritual ayahnya yang tidak biasa ini berakhir dan kembali ke kehidupan normalnya.
Sebelum Ubaydullah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana maqam besarnya telah diramalkan. Syekh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syekh Nizamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan. Ia berkata, ‘Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaydullah dan ia akan menjadi Syekh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.’”
Awal Mula Maqamnya dan Maqam Awalnya
Tanda-tanda kebahagiaan telah tampak pada dirinya ketika ia masih kanak-kanak. Cahaya al-Irsyad tampak di wajahnya. Salah satu kerabatnya mengatakan, “Ia tidak mau menyusu dari ibunya selama masa nifasnya.”
Ia berkata,
Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Qur’an dengan guruku, kalbuku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.
Ia berkata,
Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.
Ia dibesarkan di rumah pamannya, Ibrahim asy-Syashi, yang merupakan ulama terbesar di zamannya. Beliau mengajarinya dengan sangat baik dan ketika ia telah menyelesaikan latihannya, pamannya mengirimnya dari Tashkent ke Samarqand.
Ia berkata kepada pamannya, “Setiap kali aku pergi belajar, aku merasa sakit.” Beliau menjawab, “Wahai anakku, aku tahu di mana maqammu sekarang, jadi aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Kau bebas melakukannya.”
Ia meriwayatkan,
“Suatu hari ketika dalam keadaan itu, aku berziarah ke makam Syekh Abi Bakr al-Kaffal. Aku sempat tidur dan saat itu aku mendapat sebuah penglihatan spiritual. Aku melihat Nabi `Isa (a) di dalam penglihatan itu. Aku segera berlutut dan mencium kakinya. Beliau mengangkatku dan berkata, ‘Wahai anakku, jangan bersedih, aku bertangung jawab untuk membesarkanmu dan mendidikmu.’ Setelah itu penglihatan itu berakhir. Aku lalu menceritakan peristiwa itu kepada beberapa orang dan di antaranya adalah seorang yang ahli dalam menafsirkan keadaan spiritual. Ia menjelaskan, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.’ Aku tidak menyukai penjelasannya, dan aku berkata kepadanya, ‘Aku tahu lebih baik mengenai penglihatan itu, Nabi `Isa (a) dalam ilmu spiritualnya melambangkan maqam al-Hayat. Orang yang dapat mencapai maqam itu di antara para awliya akan mendapat predikat `Isawi, yang artinya Orang yang Hidup. Allah menyebutkannya di dalam kitab suci al-Qur’an sebuah ayat yang menggambarkan mereka, bal ahya’un `inda rabbihim yurzaqun (“Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya, dan mendapatkan rezekinya”) [3:169]. Karena beliau berjanji untuk membesarkan aku di jalur tersebut, itu artinya aku akan mencapai maqam Kalbu yang Hidup. Tak lama kemudian aku menerima maqam itu dari Nabi `Isa (a) di kalbuku.”
“Aku melihat Nabi Muhammad (s), di dalam suatu penglihatan spiritual yang luar biasa. Beliau (s) ditemani oleh sejumlah besar orang, berdiri di kaki gunung. Beliau (s) melihatku dan berkata, ‘Ya Ubaydullah, angkat gunung ini dan bawa ke gunung lainnya.’ Aku tahu bahwa tidak ada orang yang mampu mengangkat gunung, tetapi itu adalah perintah langsung dari Nabi (s). Aku lalu mengangkat gunung itu dan aku membawanya ke tempat yang ditunjukkan beliau (s). Kemudian Nabi (s) memandangku dan berkata, ‘Aku tahu bahwa kekuatan itu ada padamu. Aku ingin agar orang mengetahuinya dan melihat kekuatan yang kau miliki.’ Hal itu membuatku tahu bahwa aku akan menjadi jalan untuk membimbing banyak orang di Jalan ini.”
“Suatu malam aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku dan melakukan sesuatu pada sisi batinku. Ketika beliau pergi, aku mengikutinya. Beliau berhenti dan memandangku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu wahai anakku. Kau akan memiliki sebuah posisi yang sangat tinggi.’”
“Aku mengikuti Qutub Nizamuddin al-Khamush di Samarqand. Kemudian aku pergi ke Bukhara, saat usiaku 22 tahun, di mana aku bertemu dengan seorang ulama besar, Syekh Sirajuddin al-Birmisi. Beliau tinggal empat mil dari Bukhara. Ketika aku mengunjunginya, beliau memandangku dengan penuh perhatian dan beliau ingin agar aku tinggal bersamanya. Tetapi hatiku mengatakan agar aku melanjutkan perjalananku ke Bukhara. Aku hanya tinggal sebentar bersamanya. Beliau biasa membuat gerabah di siang hari dan pada malam harinya beliau akan duduk di ruang salatnya, di lantai. Setelah melakukan Salat ‘Isya, beliau akan duduk hingga Fajar. Aku tidak pernah melihatnya tidur baik siang maupun malam. Aku tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan aku tidak pernah melihatnya tidur. Beliau termasuk salah seorang yang unggul di dalam ilmu lahir dan batin.”
“Kemudian aku pergi ke Bukhara, di sana aku bertemu dengan Syekh Amiduddin asy-Syashi dan Syekh `Alauddin al-Ghujdawani. Mereka adalah para pengikut Syah Naqsyband, `Alauddin al-Aththar dan Ya`qub al-Charkhi. Syekh `Alauddin al-Ghujdawani kadang-kadang menghilang begitu saja tanpa memberi pelajaran, kemudian beliau akan muncul kembali. Beliau memiliki gaya bicara yang baik sekali. Beliau tidak pernah berhenti dalam berzikir dan berjuang melawan egonya. Aku bertemu dengannya ketika beliau berusia 90 tahun dan sering menemaninya.
Suatu hari aku berjalan ke makam Syah Naqsyband. Ketika aku kembali, aku melihat Syekh `Alauddin al-Ghujdawani menghampiriku. Beliau berkata, ‘Aku pikir sebaiknya engkau tinggal bersama kami malam ini.’ Kami melakukan Salat `Isya, beliau menawariku makan malam, beliau lalu berkata, ‘Wahai anakku, mari kita hidupkan malam ini.’ Beliau duduk bersila dan aku duduk di belakangnya. Beliau duduk dalam meditasi dan zikir yang sempurna dan beliau tidak pernah bergerak ke kiri atau ke kanan. Melalui ilmu spiritualku, aku tahu bahwa orang yang berada dalam keadaan seperti itu pasti berada dalam Hadratillah sepenuhnya. Aku terkejut bahwa di usianya yang mencapai 90 tahun, beliau tidak merasa lelah. Aku sendiri mulai merasa kelelahan ketika mencapai tengah malam. Jadi aku mulai mengeluarkan sedikit suara, berharap beliau akan mengizinkan aku untuk berhenti. Ternyata beliau mengabaikan aku. Kemudian aku berdiri untuk menarik perhatiannya, tetapi beliau tetap mengabaikan aku. Aku merasa malu dan kemudian aku kembali ke tempatku dan duduk kembali. Pada saat itu aku mengalami suatu penglihatan spiritual di mana beliau mencurahkan Ilmu tentang Keteguhan dan Ketabahan Hati (at-tamkin) ke dalam kalbuku. Sejak saat itu, setiap kali menghadapi kesulitan aku merasa mampu menjalaninya tanpa ada gangguan. Aku menyadari bahwa Tarekat ini sepenuhnya berdasarkan pada dukungan yang diberikan oleh Syekh kepada murid. Beliau mengajari aku bahwa seseorang harus berusaha untuk tetap teguh dan istikamah dalam zikir, karena apapun yang dapat diraih dengan mudah, tanpa kesulitan, ia tidak akan bertahan lama bersamamu. Sedangkan apapun yang kau raih dengan keringatmu maka ia akan tinggal bersamamu.”
“Suatu hari aku mengunjungi Syekh Sayyid Qassim at-Tabrizi di Herat. Di sana aku mengikuti gaya hidup zuhud dan meninggalkan semua urusan duniawi. Ketika beliau makan, beliau akan memberiku sisa makanannya, dan aku akan memakannya tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari beliau memandangku dan berkata, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Aku memprediksikan hal ini untukmu.’ Pada saat itu aku tidak mempunyai apa-apa. Ketika aku kembali ke negeriku, aku menjadi seorang petani. Aku mempunyai satu hektar tanah dan di sana aku memelihara beberapa ekor sapi. Dalam waktu singkat prediksinya menjadi kenyataan, tanahku semakin bertambah hingga aku mempunyai pertanian dan peternakan yang besar. Semua kekayaan ini tidak mempengaruhi kalbuku. Aku mendedikasikannya untuk Allah.”
Keunggulan dalam Khidmah
Kebaikannya secara pribadi maupun di depan umum menjadikan ciri bagi jalannya.
Ia berkata,
Suatu hari aku pergi ke Madrasah Qutb ad-Din as-Sadr di daerah Samar. Aku melihat ada empat orang di sana yang menderita demam tinggi. Aku mulai berkhidmah untuk mereka, membersihkan pakaian mereka dan memberi makan mereka sampai aku juga terinfeksi demam yang sama. Hal ini tidak membuatku berhenti berkhidmah untuk mereka. Demamku semakin parah sampai aku merasa bahwa aku akan meninggal dunia. Aku bersumpah pada diriku sendiri, ‘Biarkan aku mati, tetapi biarkan keempat orang ini kulayani dulu.’ Aku terus melayani mereka. Keesokan harinya aku mendapati diriku sudah sembuh sepenuhnya, sementara keempat orang itu masih tetap sakit.
Ia berkata,
Menolong dan melayani orang, dalam pemahaman Tarekat ini lebih baik daripada zikir dan tafakur. Sebagian orang berpikir bahwa melakukan ibadah sunnah adalah lebih baik daripada berkhidmah dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun dalam pandangan kami, membantu orang dan menolong mereka dan menunjukan cinta kepada mereka adalah lebih baik daripada yang lainnya.
Terkait dengan hal ini, Syah Naqsyband (q) biasa berkata, “Kami senang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kami melayani, Allah rida dengan kami, dan ini membuat kami lebih dekat ke Hadirat Ilahi dan Allah membukakan lebih banyak bagi kami. Di lain pihak, dilayani dapat menimbulkan kebanggaan dan kalbu menjadi lemah dan menyebabkan kami menjauh dari Hadirat Ilahi.”
Syekh Ubaydullah (q) berkata,
“Aku tidak mengambil tarekat ini dari buku-buku, tetapi aku menjalani tarekat ini dengan berkhidmah pada orang lain.” “Setiap orang masuk melalui pintu yang berbeda-beda; aku memasuki tarekat ini melalui pintu khidmah.”
Beliau sangat ketat dalam menjaga adab baik eksternal maupun internal, baik di dalam khalwatnya maupun di antara masyarakat. Abu Sa`ad al-Awbahi berkata, “Aku menemaninya selama 35 tahun terus-menerus. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya membuang kulit atau biji buah dari mulutnya, dan beliau tidak pernah membuka mulutnya ketika ada makanan di dalamnya. Ketika beliau mengantuk, beliau tidak pernah menguap. Aku tidak pernah melihatnya meludah. Aku tidak pernah melihatnya melalukan sesuatu yang membuat orang merasa jijik. Aku tidak pernah melihatnya duduk dengan menyilangkan kakinya. Beliau hanya duduk dengan posisi berlutut dalam adab yang sempurna.”
Perkataannya yang Luar Biasa mengenai Kebesaran Al-Qur’an
Ia berkata,
Aku akan mengatakan kepada kalian mengenai banyak rahasia dari Alhamdulillahi Rabbi-l-`alamiin (‘Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam’) [1:2]. Pujian yang sempurna adalah pujian dari Allah kepada Allah. Kesempurnaan dalam pujian itu terjadi ketika hamba yang memuji-Nya tahu bahwa ia bukan apa-apa. Hamba itu harus tahu bahwa ia benar-benar kosong, tidak ada tubuh atau bentuk yang terwujud untuknya, tidak ada nama, tidak ada perbuatan yang merupakan miliknya, tetapi ia bahagia karena Allah (swt) membuat Sifat-Nya muncul pada dirinya.
Apakah makna dari firman Allah di dalam al-Qur’an, wa qaliilan min `ibadi asy-syakur (‘Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur’) [34:13]? Hamba yang sungguh ‘bersyukur’ adalah orang yang dapat melihat Sang Pemberi Nikmat kepada manusia.
Apakah makna dari ayat, f’a`rid `an man tawalla `an dzikrinaa (‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari Mengingat Kami‘) [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.
Muhyiddin Ibn `Arabi (q) berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan zikrullah, Mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab. Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang Arif berada di Hadirat Ilahi dan dalam keadaan Penglihatan Mutlak terhadap Keesaan Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillaah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam Eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam zikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.
Apakah makna dari ayat, kunu ma`a-sh-shadiqiin (‘Bersamalah dengan orang-orang yang benar’) [9:119]? Ini artinya menjaga pertemanan baik secara fisik maupun spiritual. Seorang salik dapat duduk dalam suatu majelis bersama para shadiqin, melihat sosok mereka, mendengar mereka dan Allah akan menerangi kalbu mereka dan akan mengajari mereka agar menjadi seperti para shadiqin itu. Untuk menjaga hubungan secara spiritual dengan para shadiqin, seorang salik harus mengarahkan kalbunya menuju kalbu spiritual mereka. Seorang salik harus menjaga hubungan itu dalam kalbunya hingga mereka dapat merefleksikan semua rahasia mereka dan maqam-maqam mereka kepadanya. Ia tidak boleh memalingkan wajahnya kepada yang lain di dunia ini kecuali kepada gurunya yang akan membawanya ke Hadratillah.
Cintai dan ikuti para pecinta. Dengan demikian, kalian akan menjadi seperti mereka dan cinta mereka akan tercermin pada kalian.
Mereka bertanya tentang zikir dengan LA ILAHA ILLALLAH. Ia berkata,
Beberapa guru mengatakan, LA ILAHA ILLALLAH adalah zikirnya orang awam, sedangkan ALLAH adalah zikirnya orang-orang pilihan (al-Khawas), dan HUWA adalah zikirnya orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan. Tetapi bagiku LA ILAHA ILLALLAH adalah zikir dari orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan karena ia tidak ada akhirnya. Sama seperti Allah adalah Sang Pencipta setiap saat, sehingga setiap saat ilmu akan meningkat untuk orang-orang Arif. Bagi seorang Arif, maqam sebelumnya bukan apa-apa ketika ia telah memasuki maqam baru yang lebih tinggi. Seorang Arif menyangkal suatu maqam ketika ia meninggalkannya dan mengafirmasi maqam yang baru ketika ia memasukinya. Ini adalah tajali dari LA ILAHA ILLALLAH pada diri hamba Allah.
Yang dimaksud dengan ayat Ya ayyuha-l-ladziina amanu, aminu (‘Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah!’) [4:136] adalah, ‘Wahai orang-orang beriman, kalian selamat’. Kalian selamat karena kalian telah menghubungkan kalbu kalian dengan Allah `Azza wa Jalla, dan setiap orang yang menghubungkan kalbunya dengan Allah akan dijamin keselamatannya.
Mengenaia ayat, limani-l-Mulku-l-yawm, lillahi-l-Wahidi-l-Qahhar (‘kepada siapa pemilik Kerajaan sekarang? [40:16], ia berkata,
Ayat ini mempunyai banyak penjelasan, tetapi kunci unut memahami bahwa kerajaan yang di maksud di sini adalah Kalbu Sang Saik. Jika Allah melihat kalbu sang salik dengan cahaya Penglihatan-Nya dan kemudian Dia menghapus eksistensi segala sesuatu kecuali Allah (swt) di dalam kalbunya. Itulah sebabnya mengapa Bayazid sering mengucapkan subhanii ma a`zhama sya’nii (‘Mahasuci aku untuk Kebesaranku!’) dan Hallaj, ana-l-haqq (‘Aku adalah Sang Kebenaran’). Pada maqam itu kalbu yang berbicara, kalbu di mana Allah telah menghapus segalanya kecuali Dia Sendiri.
Apa makna dari ayat kulla yawmin Huwa fi sya’n (‘Setiap hari (waktu) Dia dalam kesibukan (memanifestasikan Diri-Nya dalam berbagai cara yang menakjubkan)’ [55:29]? Ayat ini terkait dengan dua aspek Baqa setelah Fana.
Pertama, seorang salik, setelah ia menyadari Kebenaran dalam kalbunya dan mapan dalam penglihatannya tentang Dzat Allah `Azza wa Jalla yang Khas, kembali dari Maqamul Fana’ menuju Maqam Hadir Sepenuhnya. Inderanya menjadi tempat munculnya Asma dan Perbuatan Allah. Di dalam dirinya, ia menemukan jejak-jejak Atribut Duniawi dan Surgawi. Ia kini mampu membedakan antara kedua level atribut tersebut, dan mampu meraih manfaat dari setiap Atribut dan Ilmu.
Makna kedua dari ayat tersebut adalah bahwa seorang salik menemukan di dalam dirinya, pada setiap saat dan setiap partikel terkecil dari waktu, sebuah Jejak dari Dzat Allah Yang Khas, yang tidak dapat ditemui di luar Maqamul Fana’ dalam Penglihatan terhadap Yang Maha Esa. Dari satu fraksi waktu menuju fraksi lainnya, ia akan memvisualisasikan bagian-bagian dari Maqam Dzat Allah Yang Khas dan mampu memahami ‘keterkaitkan’ segala sesuatu dalam Kesatuan Ilahiah. Keterkaitan ini bervariasi dalam warna dan pengaruhnya terhadap seseorang, karena itu akan dapat dibedakan sesuai dengan waktu kemunculannya. Maqam ini adalah maqam yang sangat langka dan hanya beberapa wali yang mampu mencapainya. Beberapa wali yang mencapainya tersebut pada setiap abad berada pada maqam yang sangat mulia, dan mereka sadar akan makna dari ayat, kulla yawmin Huwa fi sya’n.
Apakah makna dari hadits, ‘Tutuplah semua pintu yang menghadap ke masjidku kecuali pintu Abu Bakar?’ Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hidup dalam maqam cinta yang sempurna terhadap Nabi (s). Seluruh pintu menuju Nabi (s) tertutup kecuali pintu cinta, sebagaimana yang direpresentasikan oleh pintu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Jalan guru-guru Tarekat Naqsybandi terhubung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq (r) menuju Nabi (s). Cinta kepada guru akan membawa seorang salik menuju pintu Abu Bakar (r) yang akan mengantarkannya menuju cinta pada Nabi (s), dan dari sana menuju cinta pada Allah `Azza wa Jalla.
Makna dari Shiddiq
Jika seorang Shiddiqin yang menempuh perjalanan di Jalan Allah mengalami kelalaian dalam waktu sesaat, ia telah kehilangan lebih dari apa yang telah dicapainya selama ribuan tahun. Jalan kita adalah jalan di mana seluruh maqam dilipatgandakan dengan cepat dalam setiap saat. Satu detik dapat dilipatgandakan dengan nilai seribu tahun.
Ada sekelompok orang di antara para pengikutku yang dilaporkan kepada sang khalifah sebagai orang-orang yang munafik. Khalifah diberi masukan bahwa jika ia membunuh mereka, maka ia akan dihargai, karena orang-orang akan selamat dari kesesatan mereka. Ketika mereka dibawa ke hadapan sang khalifah, ia memerintahkan agar mereka dibunuh. Sang eksekutor mendekat untuk membunuh orang pertama, tetapi sahabatnya menyela dan mengatakan, ‘Tinggalkan ia dan bunuh aku dulu.’ Ketika eksekutor itu mendekati orang kedua, orang ketika memanggilnya dan berkata, ‘Bunuh aku dulu.’ Hal ini terjadi berulang kali terhadap mereka berempat.
Sang eksekutor sangat terkejut. Ia bertanya, ‘Dari kelompok mana kalian ini? Seolah-olah kalian mencintai kematian.’ Mereka berkata, ‘Kami adalah kelompok yang mengutamakan orang lain daripada diri kami sendiri. Kami telah mencapai suatu maqam di mana untuk setiap perbuatan yang kami lakukan, pahala kami digandakan dan kami mengalami peningkatan dalam ilmu spiritual. Masing-masing dari kami berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain, bahkan jika hanya untuk sesaat, agar diangkat lebih tinggi dalam pandangan Allah.’ Sang eksekutor mulai gemetar untuk tidak dapat mengeksekusi mereka. Ia pergi menghadap khalifah dan menjelaskan kondisinya. Sang khalifah segera melepaskan mereka dan berkata, ‘Jika orang-orang seperti mereka dikatakan munafik, maka tidak ada lagi orang-orang shiddiqiin yang tersisa di bumi.’
Adab Syekh dan Murid
Ia berkata,
Sufisme mengharuskan kalian untuk membawa beban semua orang dan tidak menempatkan beban kalian pada seseorang.
Ia berkata,
Waktu terbaik dalam suatu hari adalah satu jam setelah salat `Ahsar. Pada saat itu murid harus meningkatkan ibadahnya. Salah satu bentuk ibadah terbaik pada saat ini adalah duduk dan mengevaluasi perbuatan yang dilakukan pada hari itu. Jika seorang salik menemukan bahwa apa yang telah dilakukannya baik, ia harus bersyukur kepada Allah. Jika ia menemukan sesuatu yang salah, ia harus memohon pengampunan.
Salah satu perbuatan terbaik adalah mengikuti seorang Syekh yang kamil (sempurna). Mengikuti dan berkumpul bersamanya akan membuat salik mencapai Hadratillah Allah ‘Azza wa Jalla. Berkumpul dengan orang-orang dengan kondisi mental yang berbeda-beda menyebabkan orang mengalami kondisi yang berbeda-beda.
Suatu hari Bayazid al-Bisthami (q) sedang duduk di suatu majelis dan beliau mendapati adanya ketidaksetujuan di dalam kelompok itu. Beliau berkata, ‘Lihatlah dengan cermat di antara kalian. Adakah orang yang tidak berasal dari kelompok kita?’ Mereka saling memandang tetapi tidak dapat menemukannya. Beliau berkata, ‘Lihat lagi, apakah ada seseorang yang bukan dari kita.’ Mereka melihat lagi dan menemukan sebuah tongkat yang bukan milik seseorang di antara mereka. Beliau berkata, ‘Buang tongkat itu segera, karena itu mencerminkan pemiliknya dan cerminan itu menyebabkan ketidaksetujuan.’
Syekh harus muncul dalam kehadiran murid-muridnya dengan mengenakan busana terbaik dan rapi. Melalui rabithah (koneksi kalbu) murid menghubungkan diri mereka dengan Syekh. Jika ia kotor atau berantakan, akan sulit bagi murid-murid untuk mempertahankan kualitas rabithah mereka. Untuk itulah Nabi (s) memerintahkan para pengikutnya untuk menyisir rambut mereka dan mengenakan busana terbaik selama beribadah.
Allah memberiku kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Bahkan jika aku mengirimkan surat ke Raja Khata, yang mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, ia akan datang dengan merangkat tanpa alas kaki untuk menemuiku. Namun demikian, aku tidak pernah menggunakan kekuatan itu, karena di dalam tarekat ini keinginan kita harus mengikuti Kehendak Allah `Azza wa Jalla.
Salah seorang pengikut Ubaydullah (q) berkata, “Kami duduk dalam hadiratnya dan beliau meminta tinta, kertas dan kalam. Beliau menulis banyak nama. Kemudian beliau menulis sebuah nama pada potongan kertas lainnya, dan nama itu adalah Abu Sa`id. Beliau mengambil kertas itu dan meletakkannya di dalam turbannya. Kami bertanya padanya, “Siapakah orang yang namanya kau letakkan di dalam turban itu?” Beliau berkata, ‘Itu adalah orang yang akan diikuti oleh orang-orang di Tashkent, Samarqand dan Bukhara.’ Setelah satu bulan kami mendengar bahwa Raja Sa`id datang untuk mengambil alih Samarqand. Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar namanya sebelemnya.”
Diriwayatkan bahwa, “Pada suatu hari Raja Abu Sa`id bermimpi di mana beliau bertemu dengan Imam Besar Ahmad al-Yasawi, salah seorang khalifah dari Syekh Yusuf al-Hamadani (q). Beliau meminta Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk membaca al-Fatiha dengan niat bahwa Allah akan memberi dukungan kepada Abu Sa’id. Di dalam mimpinya Abu Sa`id bertanya, ‘Siapakah Syekh itu?’ dan dijawab bahwa itu adalah ‘Ubaydullah al-Ahrar (q).’ Ketika beliau bangun, masih terbayang-bayang wajah Syekh di pikirannya. Beliau lalu memanggil penasihatnya di Tashkent dan bertanya padanya, ‘Adakah orang yang bernama Ubaydullah?’ Ia berkata, ‘Ya’, maka Sultan kemudian berangkat menuju Tashkent untuk bertemu dengannya dan beliau menemukannya di desa Farqa.
“Syekh keluar untuk menemuinya dan Sultan langsung mengenalinya. Dengan segera hatinya tertarik. Beliau turun dari kudanya dan berlari menemui Syekh, mencium tangan dan kakinya. Beliau meminta Syekh untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Syekh berkata, ‘Wahai anakku, ketika kita memerlukan sesuatu, kita membaca al-Fatihah sekali dan itu sudah cukup. Kita sudah melakukannya sebagaimana yang kau lihat di dalam mimpimu.’ Sultan terkejut karena Syekh mengetahui mimpinya. Beliau lalu meminta izin untuk pindah ke Samarqand dan Syekh berkata, ‘Jika niatmu adalah untuk mendukung Syari`ah Nabi (s0 maka aku bersamamu dan Allah akan mendukungmu.’ Sultan menjawab, ‘Ini adalah niatku.’ Syekh berkata, ‘Ketika kau melihat musuh datang menentangmu, bersabarlah dan jangan langsung menyerang. Tunggu hingga kau melihat burung-burung gagak datang dari belakangmu, barulah kau menyerang.’ Ketika hal ini terjadi dan kedua pasukan saling berhadapan, Abu Sa`id menunggu sementara pasukan `Abdullah Mirza yang lebih besar menyerang. Para jenderal mendesak agar Abu Sa`id membalas serangannya. Beliau berkata, ‘Tidak. Tunggu hingga burung-burung hitam datang, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekhku. Barulah kita akan menyerang.’ Ketika beliau melihat burung-burung gagak berdatangan, beliau memerintahkan pasukan untuk menyerang. Kuda `Abdullah Mirza menjadi terperangkap di dalam lumpur, dan ia dapat ditangkap dan ditawan. Kemudian Abu Sa`id mampu menguasai seluruh wilayah itu.
“Beliau lalu memanggil Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk pindah dari Samarqand ke Tashkent. Syekh Ubaydullah (q) menerimanya dan pindah ke sana dengan seluruh pengikutnya. Beliau menjadi penasihat Sultan. Setelah beberapa tahun Sultan Abu Sa`id menerima kabar bahwa Mirza Babar, keponakan dari `Abdullah Mirza, bergerak menuju Khorasan dengan 100,000 pasukan untuk membalas kekalahan pamannya dan menguasai kembali kerajaannya. Sultan Abu Sa`id menemui Syekh Ubaydullah (q) dan menceritakan hal ini dengan berkata, ‘Kami tidak mempunyai tentara yang cukup.’ Syekh Ahrar (q) berkata, ‘Jangan khawatir.’ Ketika Mirza Babar tiba di Samarqand, Sultan Abu Sa`id berkonsultasi dengan para penasihatnya. Mereka menyarankannya untuk mundur ke Turkestan. Beliau lalu mempersiapkan diri untuk kembali ke Turkestan. Syekh datang menemuinya dan berkata, ‘Mengapa engkau mengabaikan perintahku? Aku berkata agar kau tidak perlu takut. Dengan diriku sendiri, sudah cukup untuk menghadapi 100,000 pasukan.’
Pada hari berikutnya, wabah penyakit menyerang pasukan Sultan Mirza Babar, menyebabkan ribuan dari mereka tewas. Sultan Mirza Babar membuat perjanjian damai dengan Abu Sa`id. Kemudian Mirza Babar meninggalkan Samarqand dalam kekalahan dengan sisa pasukannya.”
Syekh Ubaydullah (q) wafat setelah salat `Isya pada hari Sabtu, 12 Rab’i ul-Awwal, 895 H./1489 M. di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Beliau meninggalkan banyak kitab, termasuk Anas as-Salikin fit-Tasawwuf, dan al-`Urwatu-l-wutsqa li Arbaba-l-i`tiqad. Beliau mendirikan sebuah madrasah dan masjid besar yang sampai sekarang masih digunakan.
Putranya Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir pada saat wafatnya melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang bersinar dari matanya yang membuat semua lilin terlihat remang-remang. Seluruh Samarqand, termasuk Sultan, terguncang dan berduka atas wafatnya. Sultan Ahmad dan seluruh pasukannya menghadiri pemakamannya. Sultan turut menganggkat kerandanya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia fana ini.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Muhammad az-Zahid al-Qadi as-Samarqandi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ubaydullah-al-ahrar-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
21. S.S. Muhammad az-Zahid (QS)
“Keburukkanku adalah aku tidak lagi peduli dengan keburukkanku.
O Memperbaiki keburukkanku – itu adalah Engkau Siapa keburukkanku.
Untuk sementara waktu, aku bertobat; tapi karena aku mengenalmu,
Pertobatanku tersesat di dalam Engkau. Engkau mendekat sekarang seperti Engkau semakin jauh.
Kapan penantian akan datang?”
Abu Bakr ash-Shibli.
Ia adalah Kesempurnaannya Orang-Orang yang Saleh, Kejeniusannya para Mursyid dan Intinya Kewalian. Padanya tercurah al-Khilafa al-Rabbaniyyah, dan Kerajaan Spiritual adalah naungannya. Ia menggabungkan Ilmu Surgawi dengan Ilmu Syari`ah di dalam dirinya, dan ia menggenggam tarekat dan hakikat terbaik, sampai ia menjadi lokus bagi semua Wahyu dan Ilham Spiritual. Di dalam dirinya muncul Ilmu dari para Arifiin. Ia terkenal sebagai Orang yang Unik dalam Ilmunya dan dalam Menggunakan Kalam. Di dalam kalbunya ia membawa rahasia yang mempunyai daya tarik bagi kalbu manusia. Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan Wahyu Surgawi di dalam dirinya, dan Yang memberikan Keramat di dalam setiap masalah yang penting. Dia menghiasi dirinya dengan Cahaya Sempurna Sayyidina Muhammad (s) pada awal kenaikannya menuju Maqam Ilmu Spiritual. Ia adalah Rahasia Syekhnya, Qiblat bagi para pengikut Syekhnya, dan Pewaris Ilmu Syekhnya.
Ia menulis sebuah kitab yang dinamakan Silsilat al-`Arifiin wa Tadzkirat ash- Shiddiqiin yang mengenai penanda spiritual Syekhnya, Syekh `Ubaydullah (q). Di dalamnya ia mengatakan,
“Aku berkhidmah pada Syekhku selama 12 tahun sampai beliau wafat, yaitu sejak 883 hingga 895 H. Latar belakang hubungan dan bay’atku kepadanya berawal dari suatu hari di mana aku pergi dengan sahabatku, Syekh Ni`matullah dari Samarqand menuju Herat untuk melanjutkan sekolah kami. Ketika kami sampai di desa Syadiman, kami tinggal selama beberapa hari di sana untuk beristirahat karena saat itu sedang musim panas. Suatu hari Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q) datang ke kota yang sama, dan kami menemuinya pada saat `Ashar.
Beliau bertanya kepadaku darimana aku berasal. Aku berkata, ‘Dari Samarqand.’ Beliau berbicara kepada kami dengan penuh adab. Melalui ucapannya, beliau membuka masalah-masalah pribadi yang ada di dalam hatiku, satu demi satu, hingga beliau mengatakan mengapa aku pergi ke Herat. Itu sangat luar biasa sehingga membuat hatiku tersambung kepadanya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jika tujuanmu adalah untuk menuntut ilmu, kau dapat menemukannya di sini, tidak perlu pergi ke Herat.’ Aku akui bahwa setiap gosip kecil dan inspirasi yang ada di dalam kalbuku terbuka baginya bagaikan halaman-halaman sebuah buku; namun demikian aku masih berniat untuk pergi ke Herat.
Salah satu pengikutnya yang tidak senang dengan niatku berkata, ‘Syekh sedang sibuk menulis, kau boleh pergi.’ Aku tidak pergi, tetapi menunggu sampai Syekh kembali muncul. Akhirnya Syekh kembali dan berkata kepadaku, ‘Sekarang ceritakan kisahmu yang sebenaranya. Mengapa kau ingin pergi ke Herat? Apakah kau ingin mencari jalur spiritual atau kau ingin menuntut ilmu eksternal (ilmu duniawi)’ Temanku menjawab mewakiliku, ‘Ia mencari ilmu spiritual, tetapi ia mengejar ilmu eksternal sebagai pembungkusnya.’ Beliau berkata, ‘Jika seperti itu, bagus.’ Kemudian beliau membawaku ke sebuah taman pribadi dan kami berjalan bersama sampai kami lenyap dari pandangan orang-orang. Beliau menggandeng tanganku dan aku segera mengalami keadaan fana’ yang panjang. Aku memahami bahwa beliau menghubungkan aku dengan Syekhnya dan dari Syekhnya kepada Syekh seterusnya hingga kepada Nabi (s) dan dari Nabi (s) kepada Allah (swt).
Ia lalu mengatakan kepadaku bahwa aku akan mampu membaca dan mamahami tulisannya. Beliau membungkusnya dan memberikannya kepadaku sambil mengatakan bahwa di dalamnya teradapat hakikat ibadah melalui ketaatan, kesalehan dan ketawadukan. Melalui manuskrip ini, jika engkau mengikutinya, kau akan menyadari suatu penglihatan Allah (swt).
Jalan ini adalah berdasarkan cinta kepada Allah, yang berdasarkan pada Sunnah Nabi (s), yaitu mengikuti jejaknya. Nabi (s) bersabda, ‘Kalian harus mengikuti jalanku dan jalan para khalifah setelahku.’ Untuk ini kau harus berkumpul bersama ulama-ulama yang saleh yang merupakan para pewaris Ilmu Agama dan Pewaris Ilmu Surgawi; Pewaris Ilmu Gaib dan Ilmu Sifatullah; Pewaris Cinta Hadratillah. Dengan berkumpul bersama mereka kau akan dibimbing untuk mewujudkan Ilmu Ilahi dan untuk mengikuti jalan Nabi (s) yang murni.
Kau harus menjauhi ulama yang korup, yang menggunakan agama sebagai jalan untuk mengumpulkan kesenangan duniawi dan mendapatkan ketenaran dan jabatan. Hindari Sufi-Sufi yang Menari; mereka bagaikan anak-anak, tidak bertanggung jawab. Jangan dengarkan orang yang berbicara tanpa pemahaman mengenai segala hal yang tidak masuk akal, mengenai halal dan haram tanpa pernah berbicara mengenai pentingnya tidak menyimpang dari Akidah Ahl as-Sunnah wal-Jama`ah.
Jangan dengarkan argumen para filsuf dan orang-orang yang tidak mengerti tentang tasawuf kecuali hanya namanya saja, namun berpura-pura sebagai Sufi. Wahai anakku, semoga Allah menyambutmu dengan salam Islam.
Beliau kemudian kembali ke majelisnya, membacakan Fatihah untukku dan mengizinkan aku untuk pergi ke Herat. Aku lalu meninggalkan hadiratnya dan mengarahkan langkahku ke Bukhara. Beliau mengutus seseorang kepadaku, membawakan sebuah surat untuk Syekh Kallan, putra Mawlana Sa`d ad-din al-Kashgari. Di dalam surat itu tertulis, ‘Kau harus merawat putraku yang membawa suratku ini dan menjaganya dari ulama-ulama yang buruk.’ Ketika aku melihat isyarat baik darinya, cintaku terhadapnya tertanam dalam kalbuku. Tetapi aku tidak kembali kepadanya, namun tetap melanjutkan perjalan ke Herat.
Jalan menuju Bukhara memakan waktu yang lama, karena tungganganku lemah. Aku harus berhenti setiap satu atau dua mil. Aku telah menempuh perjalanan dengan enam keledai ketika akhirnya tiba di Bukhara. Ketika aku tiba mataku sakit sehingga aku tidak dapat melihat selama beberapa hari. Ketika kondisiku membaik dan aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke Herat, aku mengalami demam yang tinggi. Aku merasa sangat sakit sampai terpikir olehku bahwa jika aku melanjutkan perjalananku, mungkin aku akan mati. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan kemudian kembali untuk berkhidmah kepada Syekh.
Setelah aku sampai di Tashkent, aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi. Aku meninggalkan buku-bukuku, pakaianku, dan tungganganku pada seseorang. Salah satu pembantu Syekh `Ubaydullah (q) melihatku di jalan. Aku berkata, ‘Mari kita mengunjungi Syekh.’ Ia berkata, ‘Di mana tungganganmu? Bawalah ke rumahku setelah itu baru kita pergi.’ Ketika aku akan mengambil tungganganku itu sebuah suara datang kepadaku, ‘Hewan tungganganmu sudah mati dan semua barang yang ada di sana sudah hilang.’ Aku menjadi sangat bingung. Aku menyadari bahwa Syekh tidak senang dengan rencanaku mengunjungi Syekh Ilyas. Suatu pikiran terlintas di dalam hatiku, ‘Lihatlah bagaimana Syekh telah mengarahkan semua kekuatannya untuk mengangkatku sementara aku memutuskan untuk mendatangi orang lain.’ Aku memutuskan untuk tidak mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi tetapi langsung mendatangi Syekh `Ubaidullah al-Ahrar. Ketika hal ini masuk ke dalam hatiku, seorang pria mendatangiku dan berkata, ‘Kami menemukan hewan tungganganmu beserta barang-barangmu di sana.’ Aku mendatangi orang yang kutitipkan hewan dan barang-barangku padanya dan ia berkata kepadaku, ‘Aku mengikat hewan tungganganmu di sini, tetapi ketika aku melihatnya kembali ia telah lenyap. Aku lalu mencarinya ke mana-mana. Seolah-olah bumi telah menelannya. Kemudian aku kembali lagi, ternyata aku menemukannya di sana, tepat di tempat aku mengikatnya semula.’ Aku lalu mengambil hewan itu dan pergi menuju Samarqand untuk menemui Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q). Ketika aku tiba, beliau keluar menyambutku, ‘Selamat datang, selamat datang.’ Aku tinggal bersama Syekh dan tidak pernah meninggalkannya lagi sampai akhir hayatnya.
Ia mempunyai keyakinan yang sempurna. Ia menerima apapun yang dikatakan oleh Syekhnya dan tidak ada yang dapat mengubah keyakinannya itu. Ia berkata,
Syekhku sering berbicara mengenai spiritualitas dan ilmu rahasia. Beliau selalu mengarahkan bicaranya kepadaku dan bertanya kepadaku, ‘Ketika kau mendengarku berbicara tentang Hakikat Ilahiah, apakah hal itu menimbulkan konflik terkait dengan keyakinan yang kau dapat dari orang tuamu atau gurumu?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu engkau adalah orang yang dapat kami ajak bicara.’
Suatu hari Syekhku sakit dan beliau memintaku untuk memanggil seorang dokter dari Herat. Mawlana Qassim datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, lakukan perjalananmu dengan cepat karena Syekh tidak tahan untuk sakit yang lama.’ Aku lalu menempuh perjalanan dengan cepat dan kembali dengan seorang dokter tetapi aku mendapati Syekh dalam keadaan sehat, sementara Mawlana Qassim telah wafat. Perjalananku memakan waktu tiga puluh lima hari. Aku bertanya kepada Syekhku, ‘Bagaimana Mawlana Qassim wafat padahal beliau masih muda?’ Beliau berkata, ‘Ketika kau pergi Mawlana Qassim mendatangiku dan berkata, ‘Aku memberikan hidupku untukmu.’ Aku berkata padanya, ‘Wahai anakku, jangan lakukan itu, karena begitu banyak orang yang mencintaimu.’ Ia berkata, ‘Wahai Syekhku, aku datang ke sini bukan untuk berkonsultasi padamu. Aku telah mengambil keputusan dan Allah telah menerimanya dariku.’ Apapun yang kukatakan, aku tidak bisa mengubah keputusannya. Hari berikutnya ia menjadi sakit dan penyakit yang sama denganku, yang terefleksi padanya. Ia wafat pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal dan dengan cepat aku menjadi pulih tanpa memerlukan seorang dokter.’”
Syekh Muhammad az-Zahid wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 926 H/1520 M. di Samarqand. Ia meneruskan rahasianya kepada keponakannya, Syekh Darwisy Muhammad as-Samarqandi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/muhammad-az-zahid-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
22. S.S. Darwish Muhammad as-Samarqandi (QS)
“Ini bukan bagian saya, jika cobaan datang ke arah saya, untuk berpaling dari mereka,
juga, jika saya dibanjiri dengan sukacita, untuk meninggalkan diri saya sendiri;
Karena aku bukan dari mereka yang, karena kehilangan satu hal, merasa terhibur
Dengan yang lain; Saya berharap tidak kurang dari Semua. “
Shaykh `Abdul-Qadir al-Jilani.
Ia adalah seorang Ghawts dari para Awliya yang termasyhur dan Berkah dari para Ulama Islam. Ia adalah Fajar dan Cahaya bagi Timur dan Barat. Ia adalah Master bagi Kerajaan Bimbingan. Ia dibesarkan di rumah pamannya yang mengajarinya akhlak terpuji, mendidiknya dengan ilmu agama dan spiritualitas, dan merawatnya dari keran moralitas dan etika. Ia memuaskan dahaganya dengan Hakikat Surgawi dan Ilmu Gaib, sampai kalbunya menjadi Rumah bagi Wahyu Ilahi, sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Langit dan bumi tidak bisa menampung Aku, tetapi kalbu hamba-Ku yang Mukmin dapat menampung-Ku.”
Ia dikenal di zamannya sebagai Wali Darwisy. Ia memahami semua pemahaman tentang agama dan ia mampu untuk menghapus kejahatan dan kesesatan dari guru-guru palsu di zamannya. Ia membangkitkan kembali kalbu-kalbu yang telah layu dan ia mengobati kalbu yang terluka, sampai ia menjadi keberkahan bagi zamannya dan menjadi Bimbingan bagi Esensi Manusia. Ia mempunyai banyak pengikut di seluruh negeri. Rumah dan masjidnya senantiasa penuh dengan orang yang ingin meminta dan mencari nasihatnya.
Suatu ketika setelah shuhba yang diadakan Syekhnya bersama murid-murid lainnya, Syekh Muhammad az-Zahid (q) memintanya untuk naik ke atas sebuah bukit di kejauhan dan memintanya untuk menunggu kedatangannya. Syekh mengatakan bahwa ia akan datang kemudian. Darwisy Muhammad begitu mematuhi Syekhnya sehingga ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Adabnya sempurna. Ia pergi ke bukit itu dan menunggu Syekhnya di sana, tanpa menggunakan pikirannya untuk bertanya, “Bagaimana aku akan pergi ke sana, apa yang harus aku lakukan setibanya di sana, dan seterusnya.” Ia segera pergi dan ketika tiba, ia mulai menunggu. Waktu salat `Ashar tiba dan Syekh belum muncul. Kemudian matahari terbenam. Egonya berkata kepadanya, “Syekhmu tidak akan datang. Kau harus pulang. Mungkin Syekh lupa.” Namun demikian keyakinannya yang tulus berkata, “Wahai Darwisy Muhammad, percayalah pada Syekhmu dan percayalah bahwa beliau akan datang, sebagaimana yang dikatakannya. Kau harus menunggu.”
Bagaimana kalbu Darwisy Muhammad bisa mempercayai egonya ketika kalbunya telah diangkat untuk bersama Syekhnya? Ia menunggu dan bersiap-siap. Malam pun tiba dan sangat dingin di sana. Ia membeku. Ia terjaga sepanjang malam dan satu-satunya sumber kehangatan adalah zikirnya “la ilaha illallah”. Hingga Subuh Syekh masih belum muncul juga. Ia merasa lapar dan mulai mencari sesuatu untuk dimakan. Ia menemukan beberapa pohon buah, makan, dan kembali menunggu
Syekhnya. Satu hari berlalu, kemudian hari berikutnya. Ia kembali berjuang melawan egonya, tetapi ia tetap teguh dengan pikirannya, “Jika Syekhku adalah seorang Syekh sejati, beliau tahu apa yang dilakukannya.”
Satu minggu berlalu kemudian satu bulan. Syekh belum datang juga. Satu-satunya selingan dalam menunggu Syekhnya adalah melakukan zikrullah, dan salat-salat hariannya adalah kegiatan lainnya sehari-harinya. Ia terus melakukannya hingga kekuatan dari zikirnya membuat binatang-binatang berdatangan dan duduk di sekitarnya untuk berzikir bersamanya. Ia menyadari bahwa kekuatan istimewa itu berasal dari Syekhnya.
Musim dingin tiba dan Syekh belum datang juga. Salju mulai turun. Suhu sangat dingin dan tidak ada makanan lagi di sana. Ia mulai memotong kulit kayu dan memakan lapisan yang lembab di dalamnya, begitu pula dari akar dan daun-daunan yang dapat ia temukan. Rusa-rusa mendatanginya dan ia mulai mengambil susu dari biri-biri betina. Ini adalah keajaiban lain yang muncul darinya. Biri-biri itu tidak bergerak ketika ia memerahnya, kemudian biri-biri lainnya pun datang. Ia telah diangkat dari satu level spiritual ke level yang lebih tinggi, dan gurunya mengirimkan ilmu spiritual melalui keajaiban dan penglihatan ini. Khidr (a) mendatanginya dan mengajarinya.
Satu tahun lewat, lalu tahun berikutnya, lalu tahun ketiga dan tahun keempat. Syekh belum datang juga dan Darwisy Muhammad terus naik ke level kesabaran yang lebih tinggi. Ia terus berpikir, “Syekhku tahu.” Pada akhir tahun ketujuh ia mulai mencium wangi Syekhnya memenuhi udara di sekitarnya. Ia berlari untuk menemui Syekhnya bersama semua binatang liar yang menemaninya selama ini. Saat itu rambutnya sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Syekh Muhammad az-Zahid (q) tiba. Ketika Darwisy Muhammad melihatnya, kalbunya diliputi kebahagiaan dan kecintaan yang sangat kuat. Ia berlari padanya dan mencium tangan Syekhnya dengan terharu, sambil berkata, “Salamu `alaykum, wahai Syekhku! Betapa aku mencintaimu wahai Syekhku!”
Syekhnya berkata, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak turun?” Ia berkata, “Wahai Syekhku, kau memintaku untuk datang ke sini dan menunggumu, jadi aku menunggumu di sini.” Syekh berkata, “Bagaimana jika aku mati atau mungkin aku lupa?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana mungkin kau akan lupa sementara engkau adalah wakil dari Nabi (s)?” Beliau berkata, “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada diriku?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, wahai Syekhku, jika aku tidak datang ke sini, menunggumu dan mematuhimu, kau tidak akan datang kepadaku atas izin Nabi (s)!” Darwisy Muhammad telah mendeteksi di dalam kalbunya bahwa Syekhnya datang atas perintah Nabi (s).
Syekhnya tertawa dan berkata, “Ayo ikut aku.” Saat itu beliau menuangkan kepadanya rahasia dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi yang ada di dalam kalbunya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk menjadi Syekh bagi murid-muridnya. Darwisy Muhammad tetap berkhidmah pada Syekhnya hingga Syekh Muhammad az-Zahid wafat.
Darwisy Muhammad sendiri wafat pada tanggal 19 Muharram 970 H. Ia meneruskan rahasia Tarekat ini pada putranya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/darwish-muhammad-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
23. S.S. Muhammad Khwaja al-Amkanaki (QS)
“O, bulan purnama yang sempurna! Rumah dari hati adalah Engkau! Akal – yang dulunya tuan – telah menjadi budakmu dan penjaga pintu.
Sejak hari Alast [“Bukankah Aku”] roh telah mabuk dengan-Mu, meskipun untuk sementara waktu itu terganggu oleh air dan tanah liat.
Karena tanah liat sekarang telah tenggelam ke dasar, airnya jernih – tidak ada lagi yang aku katakan, ‘Ini milikku, itu adalah Engkau.’ “
Rumi, Divan
Ia adalah Pewaris Rahasia-Rahasia Nabi (s) dan yang Utama di antara para Awliya Terpilih. Ia adalah seorang Imam yang kemegahannya diketahui oleh semua orang dan yang keberkahannya menjangkau tempat yang luas.
Ia dilahirkan di daerah Amkana, sebuah desa di Bukhara. Ia dibesarkan oleh ayah dan pamannya. Selama masa kanak-kanaknya ia mendapat bimbingan yang sangat baik, sampai ia menjadi seperti orang yang berada di bawah sebuah kubah mulia, yang melindunginya dari segala noda. Ia tidak pernah menemukan suatu karakteristik yang baik kecuali kemudian ia mendapatkannya. Kesalahan apapun, bahkan yang terkecil akan dibuangnya. Ia tidak pernah menjumpai suatu maqam yang tinggi tanpa mencakupnya, begitu pula dengan rahasia yang berharga tanpa ia menjaganya, dan juga rasa spiritual yang lezat tanpa menikmatinya. Ia mengikuti ayahnya seperti matahari di hari yang cerah dan bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Ia duduk di Singgasana Penerus dan ia berusaha melakukan yang terbaik untuk mengangkat kalbu para pengikutnya. Ia mengenakan Burdah (Mantel) Qutub dan setiap atom di dunia ini, termasuk pada manusia atau binatang, tumbuhan atau benda-benda tak bergerak mendapat dukungan dari spiritualitasnya. Cahaya dari kekuatannya menerangi Jalan dari Tarekat ini, sehingga kemasyhurannya tersebar luas, dan orang-orang berdatangan untuk menimba ilmunya, mendapat bimbingan melalui cahayanya dan mendapat pencerahan melalui bimbingannya. Pintunya menjadi tujuan bagi setiap Arifin dan Qiblat bagi kalbu para Shalihin. Ia dibusanai dan dihiasi dengan Atribut Ilahi, membuktikan posisinya yang tinggi di Dimensi Surgawi.
Berikut ini adalah beberapa ucapannya yang diberkati,
“Setiap orang harus tahu bahwa agar seorang salik mengalami kemajuan di dalam Tarekat ini, pertama ia harus memanaskan gambaran Syekhnya ke dalam kalbunya, sampai jejak-jejak panas dari koneksi itu menjadi dapat terlihat. Ia harus mengarahkan panas itu menuju Kalbu yang Mendasar (Hakiki, Esensial) dan Universal. Ini adalah level kalbu di mana terdapat hakikat gabungan dari seluruh manusia dan seluruh makhluk, baik duniawi maupun surgawi. Meskipun tidak ada inkarnasi fisik, semua leluhur dan pada akhirnya seluruh makhluk hadir di dalam kalbu Esensial. Sorang salik tidak boleh terganggu oleh detail-detail pada makhluk, tetapi haru mengarahkan kekuatan kalbunya menuju Dzat yang Hakikat-Nya mencakup segala sesuatu. Ia harus terbebas dari segala keraguan terkait manifestasi Dzat yang selalu Hadir, dan harus tahu bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah (swt). Ia harus melihat dengan Mata Kebenaran bahwa semua makhluk muncul dan menjadi nyata semata-mata hanya melalui Allah.”
“Yang diminta dari Tarekat ini adalah mengarahkan diri kalian menuju Maqam Pengikisan Diri dan Maqamul Fana, yang merupakan Maqam Pertama dari Kebingungan. Ini akan mengantarkan kalian menuju Maqam Penerimaan Cahaya Murni dari Esens. Pada maqam itu tidak ada elemen lain yang ada kecuali Esens yang Murni tersebut. Bahkan Nama dan Sifat tidak bisa muncul di dalam Maqam Esens yang Murni tersebut. Orang yang dapat mencapai Maqam Esens yang Murni lebih tinggi daripada orang yang berada pada Maqam Asma wal Sifat.”
Ia wafat pada tahun 1016 H. Ia meneruskan rahasianya kepada Syekh Muayyidu-d-Din Muhammad al-Baqi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/muhammad-khwaja-al-amkanaki-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
24. S.S. Muhammad al-Baqi Billah (QS)
O, Sayyid! Seorang bijak pernah berkata ‘Menjadi darwis adalah untuk memperbaiki anganatau, tak ada lagi yang tinggal di hati kecuali Yang Ada’ Sesungguhnya, benarlah apa yang dikatakannya O, Sayyid, sejak tabir bukanlah apa-apa, kecuali angan Ia harus disingkirkan melalui angan. Siang malam kau harus bergelut dengan angan Keesaan.
Putra Syaikh Baqi, Khwaja Khurd
Beliau adalah seorang Cendikia yang Fana dalam Allah (fana billah), Hadir dalam Eksistensi-Nya (baqa billah), dan diangkat ke tingkat panorama spiritual tertinggi. Beliau adalah Rahasia dari Rahasia Allah dan Keajaiban dari Keajaiban Allah. Kepribadiannya merupakan kombinasi dari dua jenis ilmu pengetahuan, yaitu Pengetahuan Eksternal dan Pengetahuan Surgawi. Allah memberinya dari dua Samudra dan menganugerahkan kekuasaan dalam dua dunia yaitu dunia Jinn dan manusia.
Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi berkata, “Muhammad al-Baqi adalah Orang yang Berdiri di Singgasana semua Syaikh. Beliau adalah Deputi dari seluruh Guru Mata Rantai Emas Naqsybandi yang telah mencapai ujung titik tak hingga dan mencapai tingkat wilayat (Persahabatan Ilahi) tertinggi.
Beliau adalah qutb (Kutub Spiritual) yang menyokong semua makhluk di bumi. Beliau membuka sekat rahasia dari Realitas. Beliau adalah orang yang membuktikan Tingkat Realitas Muhammad. Beliau adalah pilar bagi orang-orang yang terbimbing. Beliau adalah Intisari dari Para Cendikia dan panduan bagi orang-orang yang membenarkan (muhaqqiqin).”
Beliau lahir pada tahun 972 H di kota Kabul, negri `Ajam yang merupakan koloni Kesultanan India. Ayahnya adalah seorang hakim yang bernama Abdu-s-Salam. Pada awalnya beliau pindah ke India karena alasan pribadi. Di sana beliau tertarik dengan sebuah atraksi dari Daya Tarik Ilahi. Beliau lalu meninggalkan kehidupan dunianya dan mencari ilmu spiritual dari Sulthanil Awliya di masa itu. Beliau terus menjalin hubungan dengan para Guru dan Awliya, sampai beliau sendiri menjadi samudra intelektual dan Wali dalam hal spiritualitas.
Beliau terus melakukan perjalanan sampai singgah di kota Samarqand. Di sana beliau menjalin hubungan dengan Guru di masanya, yaitu Muhammad Khwaja al-Amkanaki. Beliau menerima thariqat Naqsybandi darinya. Dalam waktu singkat beliau sudah menerima apa yang biasanya baru didapatkan para pencari dalam kurun waktu seumur hidup. Beliau juga diangkat dengan pemeliharaan spiritual oleh Syaikh Ubaidullah al-Ahrar . Kemuliaannya menjadi terkenal di mana-mana. Syaikh beliau, Muhammad Khwaja al-Amkanaki, memberi otoritas untuk menerima murid dan melatih mereka dalam tata cara yang sesuai dengan thariqat Naqsybandi. Syaikh juga memerintahkannya untuk kembali ke India. Beliau mengatakan, “Engkau akan mempunyai seorang pengikut yang bersinar bagaikan matahari.” Kelak pengikut ini adalah Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi.
Beliau kembali ke India dan tinggal di kota Delhi-Jahanabad. Beliau mengisi kota itu keimanan, ilmu, rahasia dan cahaya. Beliau juga menyebarkan thariqat Naqsybandi ke seluruh Sub benua India sehingga jutaan orang menjalin hubungan dengannya melalui para deputinya. Semua ummat di Sub benua India itu tertarik dengan pengetahuan dan Kekuatan Surgawi serta Karakteristik Rasulullah yang tersandang dalam dirinya. Sudah terkenal pula bahwa setiap orang yang datang menemuinya lalu melihat matanya, atau duduk dalam asosiasinya untuk melakukan dzikir bersama, akan mengalami keadaan tidak sadarkan diri dan mencapai tingkat Fana, hanya dengan sekali pertemuan saja. Dengan kekuatan ajaibnya, beliau menarik jutaan orang sehingga thariqat Naqsybandi menjadi buah bibir setiap orang di masa itu.
Beliau wafat pada hari Rabu, 14 Jumadil Akhir 1014 H di kota Delhi pada usia 40 tahun dan empat bulan. Makamnya berada di sebelah selatan kota Delhi. Beliau meneruskan Rahasia kepada penerusnya, Syaikh dari Mata Rantai Emas ini, Pejuang di Millennium kedua, al-Imam ar-Rabbani Mujaddid alf-ath-Thani, Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi.
25. S.S. Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi (QS)
“Jika Tuhan menyebabkan seseorang mendekatiNya,
Ia menyatakan diri-Nya sebagai objek keinginannya, tanpa sepengetahuannya,
Seperti api Musa, yang dilihatnya melalui mata kebutuhannya,
Dan siapa Keilahian yang tidak dia kenali.
Jika kamu mengerti kata-kata saya
Engkau tahu bahwa Engkau membutuhkan bentuk nyata:
Jika Musa telah mencari sesuatu selain api
Dia akan melihat Dia dalam hal itu, dan bukan sebaliknya.”
Ibn Arabi, Fusus al-Hikam
Ia adalah Mutiara dari Mahkotanya para Awliya yang Berilmu. Ia adalah Harta bagi mereka yang Muncul Sebelumnya dan yang Lahir Setelahnya. Di dalam dirinya tergabung seluruh nikmat dan kemurahan mereka. Ia adalah Bukit Sinainya dari Tajali Ilahi, Pohon Lotus Terjauh dari Ilmu yang Khas, dan Mata Air dari Ilmu Kenabian yang Tersembunyi. Ia adalah Sang Jenius di antara para Ulama, dan ia adalah Sultan bagi bumi, yang tersenyum ketika ia dilahirkan dan dimuliakan dengan kehadirannya. Ia adalah seorang Mursyid Kamil Mukammil. Ia adalah Sang Penyeru menuju Hadirat Allah, seorang Qutub dan Imam yang Unik. Ia adalah Sang Mujahid bagi Milenium Kedua, Sayyidina wa Mawlana (Junjungan dan Guru kami) asy-Syekh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, ibn asy-Syekh `Abdul Ahad, ibn Zainu-l-`Abidin, ibn `Abdulhayy, ibn Muhammad, ibn Habibullah, ibn Rafi`uddin, ibn Nur, ibn Sulayman, ibn Yusuf, ibn `Abdullah, ibn Ishaq, ibn `Abdullah, ibn Syu`ayb, ibn Aad, ibn Yusuf, ibn Syihabuddin, yang dikenal sebagai Farq Syah al-Qabidi, ibn Nairuddin, ibn Mahmud, ibn Sulayman, ibn Mas`ud, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Asghari, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Akbar, ibn Abdu-l-Fattah, ibn Ishaq, ibn Ibrahim, ibn Nair, ibn Sayyidina `Abdullah (r), ibn Amir al-Mu’minin, Khalifah Nabi (s), Sayyidina `Umar al-Faruq (r).
Ia dilahirkan pada hari `Asyura, 10 Muharram tahun 971 H., di desa Sihar Nidbasin. Dalam beberapa terjemahan desa itu disebut Sirhind di kota Lahore, India. Ia menerima ilmu dan pendidikannya melalui ayahnya dan melalui banyak syekh di zamannya. Ia mengalami kemajuan di dalam tiga tarekat: Suhrawardiyya, Qadiriyya, dan Chistiyya. Ia diberi izin untuk melatih para pengikutnya di dalam ketiga tarekat itu pada usia 17 tahun. Ia sibuk dalam menyebarkan ajaran tarekat ini dan dalam membimbing para pengikutnya, namun ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya dan ia terus-menerus mencarinya. Ia merasa tertarik dengan Tarekat Naqsybandi, karena melalui rahasia dari ketiga tarekat yang dijalaninya ia dapat melihat bahwa Tarekat Naqsybandi adalah yang terbaik dan tertinggi. Kemajuan spiritualnya akahirnya membawanya ke hadirat Ghawts dan Qutub di zamannya, yaitu asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q), yang telah diutus dari Samarqand ke India atas perintah Syekhnya, yaitu Syekh Muhammad al-Amkanaki (q). Ia lalu mengambil Tarekat Naqsybandi dari asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q) dan tinggal bersamanya selama dua bulan dan beberapa hari, hingga Sayyidina Muhammad al-Baqi (q) membukakan bagi kalbunya rahasia dari tarekat ini dan memberinya otoritas untuk melatih murid-murid dalam tarekat ini. Beliau berkata mengenai Syekh Ahmad al-Faruqi (q), “Ia adalah Qutub tertinggi di zaman ini.”
Nabi (s) memprediksikan kemunculannya di dalam salah satu haditsnya, di mana beliau (s) bersabda, “Akan ada di antara umatku, seorang pria yang dipanggil Silah. Melalui syafaatnya banyak orang yang akan diselamatkan.” Hal ini disebutkan di dalam koleksi Suyuti, Jam`ul-Jawami`. Yang menegaskan mengenai kebenaran dari hadits ini adalah apa yang ditulis oleh Imam Rabbani mengenai dirinya sendiri, “Allah telah menjadikan aku sebagai Silah di antara dua Samudra.” Silah artinya “hubungan.” Jadi yang ia maksudkan adalah bahwa Allah menjadikannya sebagai penghubung antara dua samudra–dua ilmu, yaitu ilmu lahir dan batin. Syekh Mir Husamuddin berkata, “Aku melihat Nabi (s) di dalam sebuah mimpi di mana beliau (s) berdiri di atas minbar dan memuji Syekh Ahmad as-Sirhindi. Nabi (s) bersabda, ‘Aku bangga dan senang dengan kehadirannya di antara umatku. Allah menjadikannya sebagai seorang mujahid, yang membangkitkan agama.’”
Banyak awliya yang memprediksikan kemunculannya. Salah satu di antara mereka adalah Syekh Ahmad al-Jami (q). Beliau berkata, “Setelah aku akan muncul tujuh belas orang Ahlullah, semuanya bernama Ahmad dan yang terakhir di antara mereka akan menjadi kepala dari mileniumnya. Ia akan menjadi yang tertinggi di antara mereka semua dan ia akan menerima Maqamul Kasyf. Ia akan membangkitkan agama ini.”
Selain itu yang memprediksikan kedatangannya adalah Mawlana Khwaja al-Amkanaki (q). Beliau berkata kepada khalifahnya, “Seorang pria dari India akan muncul. Ia akan menjadi imam bagi abad ini. Ia akan dilatih olehmu, jadi bergegaslah untuk bertemu dengannya, karena para Ahlullah menanti kedatangannya.” Muhammad al-Baqi (q) berkata, “Itulah sebabnya aku pindah dari Bukhara ke India.” Ketika mereka bertemu beliau berkata kepadanya, “Kau adalah orang yang kemunculannya telah diprediksikan oleh Syekh Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). Ketika aku melihatmu, aku tahu bahwa engkau adalah Qutub di zamanmu. Ketika aku memasuki daerah Sirhindi di India, aku menemukan sebuah lampu yang sangat besar dan sangat terang hingga cahayanya sampai ke langit. Setiap orang mengambil dari cahaya lampu itu. Dan engkau adalah lampu itu.”
Dikatakan bahwa Syekh ayahnya, yaitu Syekh `Abdul Ahad, yang merupakan seorang syekh dari Tarekat Qadiri telah memberikan sebuah jubah dari syekhnya yang diwariskan dari Ghawts al-Azham, Sayyidina `Abdul Qadir al-Jilani (q). Sayyidina `Abdul Qadir mengatakan kepada penerusnya, “Simpanlah untuk seseorang yang akan muncul pada akhir dari milenium pertama. Namanya adalah Ahmad. Ia akan membangkitkan agama ini. Aku telah membusanainya dengan seluruh rahasiaku. Di dalam dirinya terpadu ilmu lahir dan batin.”
Pencarian Raja-Raja dan Raja-Raja Pencari
Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) berkata,
“Ketahuilah bahwa Penjaga Langit menarikku karena mereka ingin agar aku tertarik, dan mereka memfasilitasiku dengan jalan untuk melintasi ruang dan waktu (at-tayy) dalam berbagai maqam salik yang berbeda-beda. Aku mendapati bahwa Allah adalah Inti bagi semua hal, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para Ahli Tasawuf. Kemudian aku mendapati Allah di dalam semua hal tanpa inkarnasi (hulul). Lalu aku mendapati Allah bersama semua hal. Kemudian aku melihat-Nya di depan semua hal dan kemudian aku melihat-Nya mengikuti semua hal. Akhirnya aku sampai pada maqam di mana aku melihat-Nya dan aku tidak melihat yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan istilah Musyahadah, yang juga merupakan Maqamul Fana’. Itu adalah tahap pertama dalam Kewalian, dan merupakan maqam tertinggi dalam Memulai Tarekat ini. Penglihatan ini pertama muncul di cakrawala, kemudian yang keduanya di dalam Diri. Kemudian aku diangkat ke Maqamul Baqa’ yang merupakan tahap kedua dalam Kewalian.
“Ini adalah sebuah maqam yang jarang dibicarakan oleh para Awliya, karena mereka tidak mencapainya. Mereka semua berbicara mengenai Maqamul Fana’, tetapi maqam berikutnya adalah Maqamul Baqa’. Pada maqam itu sekali lagi aku mendapati semua makhluk tetapi aku melihat bahwa inti dari semua makhluk ini adalah Allah, dan Dzat Allah adalah Inti dari diriku. Lalu aku mendapati Allah di dalam semua hal, tetapi pada hakikatnya di dalam diriku. Aku diangkat ke maqam yang lebih tinggi, untuk melihat bahwa Allah bersama segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia bersama dengan diriku. Lalu aku diangkat untuk melihat bahwa Dia mendahului segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mendahului diriku. Lalu aku diangkat ke suatu maqam di mana Dia mengikuti segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mengikuti diriku. Lalu aku melihat-Nya di dalam segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia berada di dalam diriku. Lalu aku melihat segala hal tetapi aku tidak melihat Allah. Dan ini adalah akhir dari semua maqam di mana mereka telah membawaku sejak awal. Singkatnya, mereka mengangkatku ke Maqamul Fana’, lalu ke Maqamul Baqa’ dan mereka membawaku kembali bersama orang-orang, pada Maqam orang-orang awam. Ini adalah maqam tertinggi dalam membimbing orang ke Hadratillah. Itu adalah Maqamul Irsyad yang sempurna, karena cocok dengan pemahaman manusia.”
Ia berkata, “Hari ini aku menemani orang yang telah mencapai Ujung dari Ujung, Qutub bagi seluruh makhuk, seorang Insan Kamil, Syekh Muhammad al-Baqi (q). Melalui dirinya aku menerima berkah yang luar biasa, dan dengan berkahnya aku dikaruniai Haqiqatul Jadzbah, kekuatan daya tarik yang membuatku dapat mencapai setiap manusia yang telah diciptakan Allah. Aku diberi kehormatan untuk mencapai suatu maqam yang menggabungkan Maqamul Awwal dengan Maqamul Akhir. Aku mencapai semua maqam Pencarian dan aku mencapai Maqamul Akhr, yang merupakan makna dari ‘Mencapai Nama ar-Rabb’, melalui dukungan Sang Singa Allah, Asadullah, `Ali ibn Abi Thalib karamallaahu wajhah, semoga Allah memuliakan wajahnya. Aku diangkat ke Maqamul Arasy, yang merupakan Hakikat dari Kebenaran Muhammad (s), dengan dukungan (madad) dari Syah Baha’uddin Naqsyband. Kemudian aku diangkat lebih tinggi lagi, ke Maqamul Jamaal, yang merupakan maqam Kebenaran dari Qutub-Qutub Muhammad (s) dengan dukungan dari Ruh Nabi yang suci.
“Aku mendapat dukungan dari Syekh `Ala’uddin al-`Aththaar, yang darinya aku menerima Maqam-Maqam Qutub Spiritual Terbesar (al-qutubiyyati-l-`uzhma) dari Hadirat Nabi Muhammad (s). Kemudian Perhatian Ilahiah Allah menarikku dan aku naik menuju ke suatu Maqam di atas Qutub-Qutub itu, suatu Maqam Asal yang Istimewa. Di sini dukungan dari al-Ghawts al-A`zham, `Abdul Qadir Jilani (q) mendorongku ke atas menuju Maqam Asal dari Asal. Kemudian aku diperintahkan untuk turun kembali, dan ketika aku kembali aku melewati ke-39 tarekat selain Naqsybandiyyah dan Qadiriyyah. Aku melihat maqam-maqam dari syekh mereka dan mereka menyapa dan menyalamiku dan mereka memberikan semua harta perbendaharaan mereka dan semua ilmu pribadi mereka yang membuatku dapat menyingkap hakikat yang belum pernah tersingkap bagi orang lain di zamanku.
“Kemudian dalam perjalanan turunku, aku bertemu dengan Khidr (a), dan beliau menghiasi diriku dengan Ilmu Surgawi (`ilmu-l-ladunni) sebelum aku mencapai maqam para Qutub.”
“Abu Dawud mengatakan di dalam sebuah hadits autentik bahwa Nabi (s) bersabda, ‘Pada setiap awal abad Allah akan mengirimkan seseorang yang akan membangkitkan agama,’ tetapi ada perbedaan antara Mujahid bagi suatu abad dengan Mujahid bagi suatu milenium. Hal itu seperti perbedaan antara seratus dengan seribu.”
“Di dalam suatu penglihatan spiritual, Nabi (s) memberiku kabar gembira, ‘Kau akan menjadi pewaris spiritual dan Allah akan memberimu otoritas untuk memberi syafaat atas nama ratusan ribu orang pada Yawmil Hisab.’ Dengan tangan sucinya beliau (s) memberiku otoritas untuk membimbing orang dan beliau (s) berkata kepadaku, ‘Aku tidak pernah memberi otoritas itu sebelumnya.’”
“Ilmu yang muncul dariku berasal dari maqam Kewalian, tetapi aku menerimanya dari Cahaya Nabi Muhammad (s). Para Wali tidak dapat membawa ilmu semacam itu, karena itu di luar ilmu mereka. Itu adalah Ilmu dari Inti Agama ini dan Inti dari Ilmu tentang Dzat Allah wal Sifat. Tidak ada orang yang membicarakan hal semacam itu sebelumnya dan Allah telah mengaruniaiku untuk membangkitkan agama ini pada milenium kedua.”
“Allah menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia dari Tauhid yang Unik dan Dia mencurahkan ke dalam kalbuku segala macam Ilmu Spiritual dan pemurniannya. Dia menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia ayat-ayat suci al-Qur’an sehingga aku dapat menemukan samudra ilmu di bawah setiap huruf dari al-Qur’an yang semua menunjukkan Maha Tingginya Dzat Allah (swt). Jika aku mengungkapkan satu kata dari rahasia tersebut, mereka akan memenggal leherku, sebagaimana yang mereka lakukan kepada Hallaj dan Ibn `Arabi. Ini adalah makna dari hadits Nabi (s) di dalam Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah (r), “Nabi (s) mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku ungkapkan kepada orang, tetapi yang kedua jika aku mengungkapkannya mereka akan menggorok leherku.”
“Allah (swt) telah menunjukkan kepadaku semua nama yang masuk ke dalam tarekat kita, sejak zaman Sayyidina Abu Bakr (r) hingga Yawmil Hisab, baik pria maupun wanita, dan mereka semua akan masuk ke dalam Surga, dengan syafaat dari para syuyukh dalam tarekat ini.”
“Al-Mahdi (a) akan menjadi salah satu pengikut tarekat ini.”
“Suatu hari aku sedang berzikir bersama para pengikutku, kemudian suatu inspirasi masuk ke dalam kalbuku bahwa aku telah melakukan suatu hal yang salah. Kemudian Allah membukakannya kepada mataku, ‘Aku telah mengampuni orang yang duduk bersamamu dan orang yang meminta syafaat melalui dirimu.’”
“Allah telah menciptakan aku dari residu Nabi-Nya (s).”
“Ka`bah selalu datang dan melakukan tawaf di sekelilingku.”
“Allah (swt) berkata kepadaku, ‘Siapapun orang yang kau salati jenazahnya, ia akan diampuni, dan jika orang mencampurkan tanah dari makammu dengan tanah dari makam mereka, mereka pun akan diampuni.”
“Allah berkata, ‘Aku telah memberimu karunia dan kesempurnaan yang istimewa yang tidak pernah diterima oleh seseorang sampai zamannya Mahdi (a).’”
“Allah memberiku kekuatan irsyad (memberi bimbingan) yang luar biasa. Bahkan jika aku mengarahkan bimbinganku kepada sebuah pohon yang mati, ia akan menghijau kembali.”
Seorang syekh besar menulis surat kepadanya, “Maqam-maqam yang telah kau raih dan kau bicarakan, apakah para Sahabat mendapatkannya, dan jika ya, apakah mereka menerimanya pada sekali waktu atau dalam waktu yang terpisah?” Ia menjawab, “Aku tidak dapat memberimu jawaban kecuali jika engkau datang kehadiratku.” Ketika syekh itu datang, dengan segera ia menyingkapkan hakikat spiritualnya dan membersihkan kegelapan dari kalbunya sampai syekh itu berlutut dan berkata, “Aku percaya, aku percaya! Sekarang aku melihat bahwa maqam-maqam ini semunya tersingkap kepada para Sahabat hanya dengan melihat Rasulullah (s).”
Suatu ketika di bulan Ramadan, ia diundang oleh sepuluh orang muridnya untuk berbuka puasa bersama mereka. Ia menerima undangan mereka satu per satu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, ia hadir di setiap rumah, berbuka puasa, dan mereka melihatnya bersama mereka di rumah mereka masing-masing pada saat yang bersamaan.
Suatu saat ia melihat ke langit yang saat itu sedang hujan. Ia berkata, “Wahai hujan, berhentilah sampai jam anu dan anu.” Hujan itu lalu berhenti tepat sampai waktu yang ia sebutkan, setelah itu hujan kembali turun.
Suatu ketika Raja memerintahkan seorang pria untuk dieksekusi. Orang itu mendatangi Syekh Ahmad dan berkata, “Mohon tulislah surat untuk menghentikan eksekusiku.” Ia lalu menulis surat kepada Sultan, “Jangan eksekusi orang ini.” Sultan merasa takut terhadap Sayyidina Ahmad al-Faruqi dan mengampuni orang itu.
Suatu ketika seorang murid berniat untuk mengunjungi Syekh Ahmad al-Faruqi (q). Dalam perjalanan ia diundang untuk menjadi tamu seseorang yang tidak menyukai syekh. Namun demikian murid itu tidak mengetahui hal ini. Setelah makan malam, tuan rumah mulai mencaci Syekh. Menjelang tidur pada malam itu, dalam hatinya ia berkata, “Ya Allah, aku datang untuk mengunjungi Syekh, bukannya mendengar seseorang yang mengutuk Syekh. Ampunilah aku.” Ia lalu tidur dan ketika ia bangun ia mendapati bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Ia lalu segera pergi menemui Syekh dan menceritakan semuanya. Sayyidina Ahmad al-Faruqi mengangkat tangannya dan berkata, “Berhenti! Tidak perlu menceritakan apa yang terjadi. Akulah yang menyebabkan kejadian itu.”
Ia berkata,
“Aku diberi otoritas untuk memberi tarekat dalam tiga tarekat yang berbeda: Naqsybandi, Suhrawardi dan Chistiyyah.”
Ia begitu terkenal hingga membuat iri para ulama ilmu lahiriah di zamannya. Mereka datang kepada Raja dan berkata, “Ia mengatakan hal-hal yang tidak dapat diterima dalam agama.” Mereka mendesak Raja untuk memasukannya ke dalam penjara. Akhirnya ia dimasukkan ke dalam penjara selama tiga tahun. Putranya, Syekh Sayyid berkata, “Ia berada dalam pengawasan yang sangat ketat di penjara. Para penjaga ditempatkan di sekeliling selnya. Namun demikian setiap hari Jumat ia akan terlihat di masjid jami. Tidak peduli pengawasan seketat apapun yang diberikan, ia tetap dapat meloloskan diri dari penjara dan muncul di masjid.” Dari sini mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menempatkannya di dalam penjara dan akhirnya mereka pun membebaskannya.
Ia menuliskan banyak buku, salah satu yang paling terkenal adalah Maktubat.
Di dalamnya ia berkata,
“Harus diketahui bahwa Allah telah menempatkan kita di bawah Perintah dan Larangan-Nya. Allah berfirman, ‘Apapun yang diberikan oleh Nabi kepadamu, ambillah, apapun yang telah dilarangnya, tinggalkanlah.’[59:7] Jika kita ikhlas dalam hal ini, kita harus mencapai Fana’ dan cinta pada Dzat-Nya. Tanpa ini kita tidak bisa meraih derajat kepatuhan. Jadi, kita berada di bawah kewajiban lainnya, yaitu mencari Jalan Sufisme, karena Jalan ini akan membimbing kita menuju Maqamul Fana’ dan Cinta pada Dzat-Nya. Setiap tarekat berbeda satu sama lain dalam hal maqam-maqam kesempurnaannya, begitu pula dalam hal menjaga Sunnah Nabi (s) dan memiliki definisi sendiri mengenai apa yang diperlukan. Setiap tarekat mempunyai jalan masing-masing dalam menjaga Sunnah Nabi (s). Tarekat kita, melalui para syuyukh meminta kita untuk menjaga seluruh perintah Nabi (s) dan meninggalkan hal-hal yang dilarangnya. Syekh kita tidak mengikuti jalan yang mudah (rukshah) tetapi berusaha keras menjaga jalan yang sulit (azimah). Dalam semua langkah mereka, mereka selalu ingat ayat Qur’an, ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau jual beli dari Mengingat Allah’[24:37].
“Dalam perjalanan menuju penyingkapan Hakikat Ilahiah, seorang salik bergerak melalui tahapan-tahapan ilmu dan kedekatan yang beragam terhadap Tuhannya:
– “Bergerak menuju Allah adalah gerakan vertikal dari maqam-maqam yang lebih rendah menuju maqam-maqam yang lebih tinggi; sampai gerakannya melampaui ruang dan waktu dan seluruh maqam melebur menjadi apa yang disebut `Ilm ul-wajib Allah. Ini juga disebut Fana’.
– “Bergerak di dalam Allah adalah tahapan di mana seorang salik bergerak dari maqam Asma wal Sifat menuju sebuah maqam yang tidak dapat digambarkan oleh kata ataupun tanda. Ini adalah Maqam Baqa bi’l-Lah.
– “Bergerak dari Allah adalah tahapan di mana seorang salik kembali dari alam surgawi ke dunia sebab dan akibat, turun dari maqam ilmu tertinggi ke maqam terendah. Di sini ia melupakan Allah oleh Allah, dan ia mengenal Allah dengan Allah dan ia kembali dari Allah kepada Allah. Ini disebut Maqam Yang Terjauh dan Terdekat.
– “Bergerak di dalam sesuatu adalah bergerak di dalam makhluk. Ini melibatkan pengetahuan yang erat semua elemen dan maqam-maqam di dunia ini setelah lenyap dalam Maqamul Fana’. Di sini seorang salik dapat mencapai Maqamul Irsyad, Maqam Bimbingan, yang merupakan maqam para Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak Nabi (s). Ia membawa Ilmu Ilahi ke dunia makhluk untuk membangun Bimbingan.
“Seluruh proses bagaikan memasukkan benang ke dalam jarum. Benang mencari lubang jarum, melewatinya kemudian kembali lagi ke asalnya. Ada dua ujung yang bertemu, membentuk sebuah simpul dan mengamankan benang itu seluruhnya. Mereka membentuk satu keseluruhan, benang, lubang dan jarumnya, dan benda-benda lainnya yang mereka tangkap dijahit dalam satu kesatuan pada kain.”
“Harus diketahui oleh setiap orang bahwa para Syekh Naqsybandi memilih untuk membimbing murid-muridnya pertama melalui gerakan dari Allah, berjalan dari maqam tertinggi ke maqam terendah. Atas alasan ini mereka mempertahankan hijab-hijab awam murid-muridnya dari penglihatan spiritual dan hanya menghilangkan hijab-hijab itu pada tahap terakhir. Tarekat yang lain memulainya dengan pegerakan menuju Allah, bergerak dari maqam terendah menuju maqam tertinggi dan mereka menghilangkan hijab-hijab awam terlebih dahulu.”
“Disebutkan di dalam Hadits Nabi (s) bahwa ‘Para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi.’ Ilmu para Nabi ada dua macam: ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia. Seorang ulama tidak bisa disebut sebagai seorang pewaris bila ia tidak mewarisi kedua ilmu tersebut. Jika ia hanya mengambil satu macam ilmu, maka ia belum lengkap. Oleh sebab itu para pewaris sejati adalah orang-orang yang mengambil ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia, dan hanya para Awliya yang sungguh menerima dan menjaga warisan ini.”
Ia meninggalkan banyak buku lainnya. Ia wafat pada tanggal 17 Shafar 1034 H. dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di desa Sirhind. Ia adalah seorang syekh dalam empat tarekat: Naqsybandi, Qadiri, Chisti dan Suhrawardi. Ia lebih menyukai Naqsybandi karena ia berkata, “Ia adalah induk bagi semua tarekat.”
Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Syekh Muhammad Ma`shum (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ahmad-al-faruqi-as-sirhindi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
26. S.S. Muhammad al-Ma’sum (QS)
Di Tempat perlindungan hatiku mencari perlindungan,
ditembak dengan panah permusuhan.
Wahai rahmat Tuhan untuk hamba-Nya, Tuhan menempatkan kepercayaan-Nya kepadamu
di antara semua bentuk tak hidup.
O Singgasana Rajaku, O cahaya hatiku, O kesejukan mataku,
O hatiku di dalam!
O rahasia sejati dari jantung kehidupan, kepercayaan sakralku,
cintaku yang paling murni!
O Arah yang kuubah dari setiap jalan dan lembah,
Dari sumber yang Nyata, lalu dari atas,
dari kepunahan, lalu dari kedalaman!
Ya Ka’bah Allah, wahai hidupku, wahai jalan keberuntungan,
O bimbingan saya!
Allah memberikan terang-Nya di pengadilan Engkau, dan sesuatu dari terang-Nya
muncul di hati.
Ibn `Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah.
Ia adalah Tali Allah (`Urwat-il-Wutsqa), seorang Mursyid yang Saleh yang menggabungkan Syari`ah dan Hakikat di dalam dirinya dan yang menunjukan perbedaan antara Kebodohan dengan Bimbingan Sejati. Ia dilahirkan pada tahun 1007 H. Ia dididik oleh ayahnya dengan ilmu para Awliya yang istimewa. Ia menduduki Singgasana al-Irsyad di dalam Tarekat Naqsybandi dalam usia 26 tahun setelah Syekhnya wafat. Ia menjadi terkenal di mana-mana. Namanya menjadi buah bibir, bahkan raja-raja pun mengakui kebesarannya di zamannya. Orang-orang datang dari segala penjuru untuk bertemu dengannya.
Sejak kecil ia sudah menjadi seorang wali. Ia tidak pernah mau disusui di bulan Ramadan. Ia berbicara mengenai Ilmu Tauhid pada usia tiga tahun, dengan mengatakan, “Aku adalah tanah, aku adalah langit, aku adalah Tuhan… Aku adalah ini, aku adalah itu.” Ia menghafal Qur’an dalam waktu tiga bulan ketika berumur enam tahun. Ia berusaha untuk mempelajari ilmu sejati, Syari`at dan Hakikat melalui kalbunya dan ia mencapai maqam yang tinggi dari ilmu-ilmu ini. Pada usia 17 tahun ia sudah dianggap sebagai ulama terbesar di zamannya. Fatwanya sangat terpercaya. Ia tidak menerima bid’ah maupun penyimpangan.
Ketika ia masih muda, ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q) menyatakan bahwa akan muncul kekuatan besar dalam dirinya. Suatu ketika ia berkata kepada ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q), “Aku melihat diriku sebagai kehidupan yang bergerak di setiap atom dari alam semesta ini. Dan alam semesta ini mengambil cahaya darinya sebagaimana bumi mendapatkan cahaya dari matahari.” Ayahnya berkata, “Wahai anakku, itu artinya engkau akan menjadi seorang Qutub di zamanmu. Ingatlah itu dariku.”
Suatu saat ayahnya berkata kepadanya, “Kau telah dicetak dari residu dari residuku, yang merupakan residu dari tanahnya Nabi (s).”
Ayahnya berkata, “Aku telah menuangkan kepada putraku, Muhammad Ma`shum segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku.”
Ia berkata, “Seorang Arif yang sempurna yang dimulikan untuk berada di dalam Maqamul Wujud Sepenuhnya akan menyaksikan dan mengamati Keindahan Allah dalam cermin alam semesta ini dan ia akan melihat dirinya dalam segala hal. Alam semesta ini akan menjadi dirinya dan ia akan menjadi alam semesta ini. Ia akan melihat dirinya bergerak di dalam setiap individu dari alam semesta ini, mencakup Keseluruhan dari Bagian dan Bagian dari Keseluruhan.”
Dari Keramatnya
Suatu ketika salah satu wakilnya, Khwaja Muhammad ash-Shiddiq sedang berjalan dengan menunggangi kuda. Kakinya terpeleset dari kudanya dan ia tergantung pada salah satu pijakan kaki kudanya. Kuda itu berlari hingga ia berpikir bahwa ia akan mati, tetapi ia teringat untuk mengatakan, ‘Wahai Syekhku, madad, tolonglah aku.’ Ia melihat Syekhnya muncul, mengambil tali kekang kuda itu dan menghentikannya.
Salah satu muridnya berkata, “Aku tenggelam ke dalam laut dan aku tidak bisa berenang. Aku memanggil namanya dan beliau muncul dan mengeluarkan aku.”
Suatu saat ia sedang duduk bersama para pengikutnya di khaniqah (pondok untuk salat, berdoa dan bertafakur) dan mereka mulai melihat air keluar dari tangan dan lengannya. Mereka terkejut dan bertanya padanya, “Apakah itu wahai Syekh kami?” Ia berkata, “Tadi salah seorang muridku berada di kapal dan kapal itu dihantam badai dan tenggelam. Ia memanggilku dan aku segera menarik tangannya dan menyelamatkannya dari tenggelam.” Kami mencacat waktu kejadian itu dan beberapa bulan kemudian seorang pedagang datang kepada kami. Kami bertanya tentang peristiwa itu dan ia berkata, “Ya, pada saat itu Syekhku datang dan menyelamatkan aku.”
Pernah terjadi di mana seorang pesulap biasa membuat api, lalu ia akan memasuki api itu dan api itu tidak mengenainya. Hal itu menimbulkan fitnah dan kebingungan di antara masyarakat. Kemudian Syekh membuat api yang sangat besar di tengah kota dan ia berkata kepada pesulap itu, “Masuklah ke dalam apiku!” Pesulap itu ketakutan. Kemudian ia menarik salah satu muridnya, “Masuklah ke dalam api itu, dan ketika kau berjalan, ucapkan, “LA ILAHA ILLALLAH.” Murid itu masuk ke dalam api itu dan api itu menjadi dingin dan menyelamatkan dirinya, sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Ibrahim [21:69] ketika ia dilemparkan ke dalam api. Ketika pesulap itu melihat hal ini, ia segera mengucapkan Syahadat: asy-hadu an la ilaha illa-l-Lah, wa asy-hadu anna Muhammadan rasulu-l-Lah dan masuk Islam.
Suatu ketika Syekh `Abdur Rahman at-Tirmidzi berkata, “Aku datang bersama saudaraku untuk mengunjungi Syekh Muhammad Ma`shum (q). Ia menghadiahkan baju-bajunya kepada setiap orang kecuali kepadaku. Ketika kami kembali ke negeri kami, aku merasa sangat sedih karena aku tidak mendapatkan apa-apa darinya. Tak lama beredar kabar bahwa Syekh akan berkunjung ke kota kami. Semua orang menyambutnya dan aku pun bergabung dengan mereka. Aku melihat Syekh datang dengan seekor kuda putih. Ia memandang padaku dan berkata, ‘`Abdur Rahman, jangan sedih. Aku mengujimu dan aku menyimpan jubah istimewaku yang aku warisi dari ayahku, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) untukmu.’ Aku lalu mengambil jubah itu darinya dan memakainya. Dengan segera segala sesuatu lenyap dan Syekhku muncul di hadapanku: dalam setiap atom, dalam setiap partikel, beliau muncul. Aku mengalami keadaan yang sangat membahagiakan dan aku memasuki Hadirat Ilahi.”
Suatu hari seorang tuna netra datang kepadanya dan memohon, “Mohon doakan aku agar Allah mengembalikan penglihatanku.” Ia lalu menggosokkan air ludahnya ke mata orang itu dan berkata, Pulanglah ke rumahmu dan jangan membuka matamu sampai kau tiba di sana.’ Ketika orang itu tiba di rumahnya dan membuka matanya, ia dapat melihat.
Orang-orang berkata kepadanya, “Ada seseorang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Ia menjadi resah dan di tangannya ia memegang sebuah pisau untuk memotong semangka. Ketika ia memotong semangka itu, ia berkata, “Sebagaimana aku memotong semangka ini, aku memotong leher orang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Tiba-tiba orang itu pun mati.
Ia berkata,
“Ketika aku menunaikan Haji, aku melihat Ka`bah memeluk dan menciumku dengan penuh semangat dan penuh emosi. Kemudian Allah menyingkapkan suatu penglihatan spiritual bagiku, cahaya dan keberkahan memancara dariku, dan jumlahnya semakin bertambah dan bertambah; sampai ia memenuhi gurun; lalu semua pegunungan dan semua samudra; kemudian ia memenuhi alam semesta dan memasuki setiap atom di alam ini. Kemudian semua atom ini ditarik kembali menuju cinta pada Inti Ka`bah. Aku melihat banyak makhluk spiritual, di antara mereka adalah para malaikat dan awliya, mereka semua berdiri di hadiratku seolah-olah aku adalah Sultan mereka. Kemudian aku menerima surat tertulis yang disampaikan oleh malaikat, dan di sana tertulis, ‘dari Tuhan Surgawi, Alam Semesta dan Seluruh Makhluk, Aku menerima Hajimu.’”
“Kemudian aku melanjutkan perjalananku untuk mengunjungi Madinati’l- Munawwarah, kotanya Nabi (s). Aku memasuki kota Nabi (s) dan aku pergi mengunjungi makam beliau (s). Ketika aku mengarahkan wajahku kepada wajahnya, aku melihat Nabi (s) keluar dari makamnya, dan beliau (s) memeluk dan menciumku. Kemudian aku melihat diriku dalam suatu keadaan di mana kalbuku seolah-olah berpadu dengan kalbunya, lidahku dengan lidahnya, telingaku dengan telinganya, sampai aku melihat diriku sendiri, aku melihat Nabi (s) dan ketika aku melihat Nabi (s) aku melihat diriku sendiri. Penglihatan itu membawaku ke Maqam Kenaikan (Mi’raj) menuju ke tempat di mana Nabi (s) mengalami kenaikan pada malam Isra Mi’raj. Aku menerima semua ilmu yang Nabi (s) ingin aku menerimanya.
“Kemudian aku menuju kedua khalifah Nabi (s). segera setelah aku berada di hadirat Sayyidina Abu Bakr (r), aku melihat sebuah jubah merah di pundakku. Kemudian aku berpindah ke makam Sayyidina `Umar (r) dan aku melihat jubah kuning di pundakku. Ketika aku meninggalkan mereka, aku melihat jubah hijau disandangkan di pundakku, yang aku tahu bahwa itu adalah jubah Nabi (s). Kemudian aku melihat suatu penglihatan di mana Allah menyingkapkan semua hijab dari kalbuku, dan aku melihat bahwa semua yang telah diciptakan oleh Allah dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, semuanya memerlukan Habibullah Sayyidina Muhammad (s), dan beliau (s) adalah pusat dari semua cahaya yang bergerak di dalam setiap atom.”
“Apa yang diberikan oleh Nabi (s) kepadaku pada saat itu, jika aku mengatakannya, orang-orang akan memotong leherku. Kemudian aku melihat bahwa setiap shalawat atas Nabi (s), setiap pujian pada Nabi (s) dan setiap puisi yang ditulis atas nama Nabi (s), seolah-olah itu untukku. Kemudian aku melihat bahwa semua alam semesta, dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, telah diterangi dan bersinar dengan cahayaku. Ketika saatnya tiba untuk kembali ke negeriku, aku kembali mengunjungi Nabi (s) untuk terakhir kalinya dan aku menangis pada saat perpisahan itu dan aku melihat Nabi (s) keluar dari maqamnya. Beliau (s) membusanaiku dengan busana yang belum pernah kulihat sebelumnya dan beliau (s) memberikan sebuah mahkota di kepalaku. Mahkota itu berasal dari Raja Diraja, dari Hadirat Ilahi, yang dihiasi dengan berbagai macam batu permata yang tidak bisa digambarkan di dunia ini. Dan aku tahu bahwa Mahkota itu dan Busana-Busana itu telah diberikan kepadaku dari Busana-Busana Allah (swt), yang Dia berikan kepada Nabi-Nya (s) pada malam Isra Mi’raj dan yang telah disimpan oleh Nabi (s) untukku dan kemudian diberikan kepadaku pada malam itu.”
Syekh Muhammad Ma`shum (q) merupakan Keramat dari Keramat-Nya allah dan Cahaya yang Allah curahkan ke dunia ini untuk membimbing manusia. Dikatakan bahwa ia telah memberi bay’at kepada lebih dari 900.000 orang ke dalam tarekat ini dan ia mempunyai 7.000 wakil, dan mereka semua adalah wali. Hal itu disebabkan karena dalam seminggu shuhbah (asosiasinya), ia dapat membawa para pengikutnya ke Maqamul Fana’, dan dalam satu bulan ke Maqamul Baqa’. Dikatakan pula bahwa ia dapat membawa para pengikutnya menuju Maqamul Wujud dengan sekali duduk di dalam majelisnya.
Ia wafat pada tanggal 9 Rabiul Awal 1079/1668 M. Ia meneruskan rahasia dari Tarekat ini kepada Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/muhammad-al-masum-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
27. S.S. Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi (QS)
“Suara seruling adalah citra panggilan Allah kepada manusia.
“Kami semua adalah bagian dari Adam dan mendengar melodi itu di Surga.
“Meskipun air dan tanah liat telah menutupi kita dengan keraguan, kita masih ingat suara-suara itu.
“Tapi karena mereka bercampur dengan debu kesedihan, bagaimana seharusnya nada tinggi dan rendah ini menghasilkan kegembiraan itu?”
Rumi, Mathnavi.
Ia adalah seorang Mujahid bagi tarekat ini dan Mujahid bagi jalur sejati dari Sunnah Nabi (s). Ia mendapat manfaat spiritual yang besar dari leluhurnya, yaitu Sayyidina `Umar al-Faruq (r), dan dari kakeknya, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q). Dengan berkah dari Nabi (s), ia mampu menyebarkan tarekat ini lebih jauh dan lebih luas.
Ia dilahirkan pada tahun 1055 H./1645 M. Ia dibesarkan di rumah ayahnya, Muhammad Ma`shum (q), dan ia disusui dengan susu dari ilmu ayahnya, kakeknya dan leluhurnya yang diberkati. Semasa ayahnya masih hidup ia duduk di Singgasana Bimbingan dan ia mengikuti jejak para pendahulunya. Rumahnya menjadi cahaya bagi para ulama yang datang bagaikan ngengat dari segala penjuru. Ketika ilmu halusnya berkembang, ia menjadi semakin terkenal bahkan di langit, mencapai orbit dari orang-orang yang arif sampai ia mampu menguraikan Simbol-Simbol dari Ilmu yang tersembunyi dan membuka Perbendaharaan dari Urusan-Urusan Surgawi. Ia menyebarkan ilmu lahir dan batin, dan ia memadukan para pemula dengan orang-orang yang sudah ahli dan ia mengajarkan Ilmu tentang Rasa (dzawq).
Atas perintah ayahnya ia pindah ke kota Delhi untuk menyebarkan ilmu Syari`ah dan cahaya Hakikat. Sultan sendiri, Muhammad Alamagir, menjadi muridnya, sehingga orang-orang di Dewan, menteri-menteri, dan semua pangeran menjadi muridnya. Dengan dukungan Sultan, tak lama seluruh kerajaan pun menerimanya. Ia mewujudkan Sunnah Nabi (s) dan menginspirasikan cinta untuk Syari`ah ke seluruh bangsa. Dengan ilmu yang mendalam yang memenuhi kalbunya, ia mengangkat bendera Islam dan menghilangkan jejak-jejak kebodohan dan tirani dari kerajaan.
Melalui berkah dari pertemanan dengan Syekh Sayfuddin (q), Allah menjadikan Sultan berhasil dalam segala urusannya dan mencegah terjadinya hal-hal yang berbahaya dan melanggar hukum di wilayahnya. Sultan membasmi para penindas dan orang-orang yang berbuat zalim. Ia terus menjaga hubungannya dengan Syekh, mengikutinya sebagai murid. Melalui dorongan Syekh, ia mampu menghafal kitab suci al-Qur’an. Ia mengisi waktu-waktu malamnya dengan melakukan amalan tarekatnya, dengan berzikir, sementara siang harinya ia mengurusi urusan-urusan di kerajaannya.
Syekh berusaha untuk menghapuskan segala bentuk penderitaan dan penindasan dari kerajaan melalui Sultan, dan usahanya berhasil dengan gemilang, hingga seluruh India hidup dalam damai. Syekh mendapat posisi yang begitu terhormat di mana seluruh sultan dan pangeran akan berdiri untuk menghormatinya.
Suatu hari seseorang berdiri bersama pangeran-pangeran lain dan sultan dalam hadirat Syekh, kemudian sebuah bisikan menyindir masuk ke dalam kalbunya, mengatakan, “Sombong sekali Syekh ini.” Syekh lalu memandangnya dan berkata, “Kau benar, karena Keangkuhanku berasal dari Keangkuhan Allah.”
Suatu ketika seorang pria menyangkal kata-kata Syekh. Malamnya ia bermimpi di mana sekelompok orang datang dan menyerangnya. Mereka memukulinya berkali-kali dan bertanya, “Beraninya kau menyangkal ucapan Syekh, padahal ia adalah Pecinta Allah?” Orang itu bangun dan mendapati dirinya luka-luka, ia segera mendatangi Syekh dan memohon ampun.
Di dalam khaniqahnya (pondok untuk berkhalwat), setiap hari sekitar 6000 salik tinggal di sana dan mereka makan makanan yang disediakannya.
Suatu hari ia mendengar suara ney (flute dari bambu) dari rumah tetangganya. Ia begitu terpesona dengan alunan suaranya sehingga membuatnya jatuh pingsan. Setelah sadar ia berkata, “Apakah menurut kalian aku hampa dengan gairah dan emosi? Tidak, mereka yang mendengar ney tetapi tidak merasakan gairah dan emosilah yang hampa. Tetapi ketika kita mendengar sesuatu yang indah, kita begitu tersentuh sehingga kita segera ditransfer menuju Hadirat Ilahi.”
Bagi para Awliya, panggilan Allah terdengar tanpa ada campuran dari “debu kesengsaraan” dan itulah sebabnya mereka jatuh pingsan ketika mereka mendengarnya.
Suatu hari seorang penderita kusta datang dan meminta doanya agar ia bisa disembuhkan. Syekh lalu meniupnya dan dalam waktu singkat penyakitnya lenyap.
Syekh Muhammad Sayfuddin wafat pada tahun 1095 H./1684 M. dan ia dimakamkan di kota Sirhind. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Grandsyekh Nur Muhammad al-Badawani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/muhammad-sayfuddin-al-faruqi-al-mujaddidi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
28. S.S. Nur Muhammad al-Badawani (QS)
“Dengarlah, ya faqir: setiap kali aku kurang sesuatu, besar atau kecil, dan berpaling darinya membelakangi Tuhanku, aku menemukannya di depanku, berkat kekuatan Dia yang mendengar dan mengetahui. Kami melihat bahwa kebutuhan orang-orang biasa dipenuhi dengan memperhatikan mereka, sedangkan kebutuhan orang-orang pilihan dipenuhi oleh fakta bahwa mereka berpaling dari mereka dan berkonsentrasi pada Tuhan.
“Dia yang dengan mengingat Aku terganggu dari permohonannya, akan menerima lebih dari mereka yang meminta” (Hadits Qudsi).
Mulay al-Arabi ad-Darqawi.
Ia adalah seorang keturunan Nabi (s). Cahayanya bersumber dari Maqam Surgawi. Ia menuangkan kedamaian dan kebahagiaan ke dalam kalbu-kalbu yang bingung dan menjadikannya sebagai Sosok bagi setiap nikmat dan jalan menuju Allah (swt) bagi semua orang di zamannya. Melalui dirinya Allah telah memperbarui Syari`ah dan Hakikat seperti bulan purnama di gelapnya malam. Berapa banyak Sunnah yang telah dilupakan kemudian dihidupkan kembali dan berapa banyak bid’ah yang telah menghasut kemudian dihilangkannya?
Ia dilahirkan pada tahun 1075 H./1664 M. Ia dibesarkan di sebuah rumah yang diberkati, memuaskan dahaganya terhadap ilmu lahir dan batin di mata air Tarekat Naqsybandi sejak masa kanak-kanaknya. Ia menerima berkah dari Syekhnya, dan mereka bangga dengan kemajuannya. Ia terus mengalami kemajuan hingga di negeri India ia menjadi Lampu yang bersinar. Orang-orang berdatangan menemuinya dari segala penjuru, mereka mendapatkan berkah dari rahasianya dan berkah dari para leluhurnya. Ia menduduki Singgasana Tarekat ini mengikuti Syekhnya dan ia bagaikan mercusuar yang membimbing dengan cahayanya bagi mereka yang mencari di Jalannya. Ia meninggalkan nama yang termasyhur, dan bagaimana tidak, bila Nabi Muhammad (s) adalah leluhurnya? Ia adalah Cabang dari Pohon Ilmu Kenabian dan Keturunan Murni dari Keluarga Nabi (s). Tidak heran bila ia menjadi kiblat bagi para Awliya dan gerbangnya menjadi tujuan bagi semua orang di Jalan Allah.
Ia begitu saleh hingga ia menghabiskan waktunya dalam membaca dan mempelajari adab Nabi (s) dan para Awliya. Ketaatannya yang ketat terhadap Bentuk dan Niat mengikuti Nabi (s) dalam semua perbuatannya diilustrasikan dalam peristiwa berikut. Suatu hari ia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kanannya, yang bertentangan dengan kebiasan Nabi (s). Hal itu mengakibatkan ia mengalami sembelit selama tiga hari, karena ia telah menyimpang dari kepatutan mengikuti Sunnah dengan satu langkahnya itu. Ia memohon ampun kepada Allah dan Allah melepaskannya dari kesulitannya itu.
Ia memulai hidupnya dalam keadaan meniadakan diri. Ia tetap dalam keadaan itu selama lima belas tahun. Dalam periode itu ia selalu berada dalam keadaan fana ini, dan tidak pernah keluar dari keadaan tersebut kecuali ketika melakukan ritual salat. Ketika salat ia akan kembali ke dalam keadaan sadar diri. Setelah selesai ia akan kembali ke keadaannya semula. Ia berhati-hati untuk makan hanya dari pendapatan yang diperoleh dari keringat di dahinya. Ia hanya makan roti yang dipanggangnya sendiri, dan ia memakannya hanya dalam potongan-potongan yang sangat kecil. Ia menghabiskan seluruh waktunya dalam bertafakur dan kontemplasi. Ketika rotinya habis, ia akan kembali untuk mempersiapkannya, setelah itu ia akan kembali pada tafakur dan kontemplasinya. Akibat seringnya berkontemplasi, punggungnya menjadi bungkuk. Ia berkhidmah terhadap Syekhnya selama bertahun-tahun. Ia juga berkhidmah pada Syekh Muhammad Muhsin, putra dari narator hadits besar di zamannya, Syekh `Abdul Haqq, salah satu khalifah dari Syekh Muhammad Ma`shum (q), hingga melalui khidmahnya ia mencapai maqam kesempurnaan yang tinggi.
Ia pernah berkata, “Selama tiga puluh tahun terakhir bertafakur, ‘Bagaimana aku akan mendapatkan penghasilan’ tidak pernah terlintas di dalam kalbuku. Subjek mengenai rezeki tidak pernah masuk ke dalam kalbuku, tetapi aku makan ketika aku merasa perlu.” Ia tidak pernah makan dari makanan yang disediakan oleh orang yang sombong. Ia berkata, “Makanan dari orang kaya yang sombong berisi kegelapan.”
Jika ia meminjam sebuah buku, ia akan membacanya dalam tiga hari, karena ia berkata, “Refleksi dari kegelapan dan kelalaian dari pemilik buku akan tercermin kepadaku.” Ia sangat berhati-hati dalam hal itu. Khalifahnya, Sayyidina Habibullah (q) akan menangis bila mengingatnya, dan ia akan mengatakan kepada para pengikutnya, “Kalian tidak melihatnya. Jika kalian hidup di zamannya, kalian akan memperbarui iman kalian atas Kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia sepertinya.”
Sayyidina Habibullah (q) juga mengatakan, “Penglihatan Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) sangat detail dan akurat. Ia dapat melihat lebih baik dengan kalbunya dibandingkan dengan apa yang bisa dilihat orang dengan matanya. Ketika aku berada di hadiratnya, beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat jejak-jejak perzinaan dalam dirimu. Apa yang telah kau lakukan pada hari ini?’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, ketika aku mendatangimu mataku melihat seorang wanita di jalan.’ Beliau berkata, ‘Lain kali berhati-hatilah dalam melindungi matamu.’”
Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu ketika aku sedang dalam perjalanan menemui Syekh, aku melihat seorang pecandu alkohol di jalan. Ketika aku bertemu dengan Syekh, beliau berkata kepadaku, ‘Aku melihatmu dalam jejak-jejak alkohol.’ Dari sini aku menyadari bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini memantul dari satu orang kepada orang yang lain, dan karakter seseorang memantul kepada orang lain. Itulah sebabnya kita harus menjaga diri kita agar senantiasa bersih sepanjang waktu, dan selalu berkumpul dengan orang-orang di Jalan Allah.
Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu hari seorang wanita datang kepadanya dan berkata, ‘Wahai Syekhku, jin menculik putriku dan aku telah mencoba berbagai cara untuk mendapatkannya kembali, tetapi tidak membantu.’ Beliau lalu bertafakur mengenai hal itu selama hampir satu jam. Kemudian beliau berkata, ‘Putrimu akan kembali besok sekitar waktu Ashar, jadi sekarang pulanglah dan istirahat.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sangat menanti-nantikan datangnya waktu itu, dan menantikan putriku kembali sehingga sulit sekali aku beristirahat. Tepat pada waktu yang dikatakan oleh Syekh, aku mendengar ada ketukan di pintu dan ternyata itu adalah putriku. Aku bertanya apa yang terjadi. Ia berkata, ‘Aku telah diculik dan dibawa ke gurun oleh seorang jin. Ketika aku berada di sana, kemudian seorang Syekh datang dan membawaku ke sini.’”
Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) wafat pada tahun 1135 H./1722-23 M. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada penerusnya, Syekh Syamsuddin Habib Allah Jan-i-Janan al-Mazhar (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/as-sayyid-nur-muhammad-al-badawani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
29. S.S. Shamsuddin Habib Allah (QS)
“Mataku tidak pernah melihat siapa pun yang lebih indah darimu;
Tidak ada wanita yang melahirkan satu lagi yang tampan,
Lahir sempurna seolah-olah itu adalah keinginanmu. “
Hassan ibn Thabit, berbicara kepada Nabi.
Ia adalah Matahari dari Kebahagiaan Abadi. Ia adalah Kekasih Allah (swt). Ia adalah Ruh bagi Ahlul Haqq, dan ia adalah Inti dari Ruh Ahlul Dzawq. Ia adalah salah satu Panji dari Rasul yang Mulia. Ia mengangkat Agama Nabi Muhammad (s). Ia membangkitkan Tarekat Naqsybandi.
Ia dilahirkan pada tahun 1113 H./1701 M. di India. Sejak kanak-kanak cahaya Bimbingan dan jejak Kesalehan bersinar dari keningnya. Karakternya dicetak dengan Tajali Keindahan Ilahiah (tajalli-l-jamal). Ia terkenal akan ketampanannya, seperti Nabi Yusuf (a), dan setiap orang mencintainya karena ia melambangkan keindahan. Itu adalah Sifat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi (s), “Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan,” dan itu juga merupakan sifat Nabi (s), sebagaimana Anas (r) berkata, “Nabimu (s) adalah sosok yang paling indah penampilannya dan suaranya adalah yang terindah di antara semua Nabi.” Karena hal ini, Syekh `Abdur-Ra’uf al-Munawi berkata, “Nabi (s) tidak ada duanya dalam hal keindahannya.”
Ketika Syekh Mazhar (q) berusia sembilan tahun, ia melihat Sayyidina Ibrahim (a) yang memberikan kekuatan keramat melalui transmisi spiritual. Pada usianya ini, jika seseorang menyebutkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dalam kehadirannya, ia akan melihatnya muncul dengan mata fisiknya. Ia juga mampu melihat Nabi (s) dan seluruh Sahabat Nabi (s) dan para Syekh Tarekat Naqsybandi, khususnya Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q).
Ayahnya membesarkannya dan mendidiknya dalam semua cabang ilmu agama. Pada usia yang masih muda kalbunya tertarik dengan cahaya spiritual yang muncul dari Syekhnya, yaitu as-Sayyid Nur Muhammad (q). Syekhnya membukakan mata kalbunya dan menyuapinya dengan nektar dari bunga Ilmu yang tersembunyi. Syekh membawanya keluar dari Maqam Kesadaran Diri dan mengangkatnya ke Maqam-Maqam yang lebih tinggi yang membuatnya sangat takjub dan akhirnya jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia menemani Syekh Nur Muhammad (q) dalam mi’raj berikutnya. Syekh mengizinkannya untuk mengamati Misteri dari Dunia yang Tersembunyi dan memberinya hadiah-hadiah berupa Kekuatan Keramat dan Maqam-Maqam yang Tinggi.
Seseorang melihat Syekhnya membukakan Sembilan Titik, yang merupakan lokus dari Rahasia-Rahasia Naqsybandi pada dirinya. Dari ilmu sembilan titik ini, ia menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam lima titik yang lebih kuat, hingga Syekhnya memberinya otoritas untuk “mengaktifkan” Kesembilan Titik itu setiap saat dan untuk menggunakannya. Kemudian Syekh membawanya kembali ke hadiratnya dan hanya hadiratnya. Beliau membawanya naik-turun, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan membungkusnya dengan cahayanya dan melindunginya dengan pandangannya, sampai ia mencapai kesempurnaan tertinggi dan membangkitkan dirinya dari Kebodohan.
Dengan teguh dan tulus ia berkhidmah kepada Syekhnya. Ia terus mengalami kemajuan dengan melaksanakan khalwat di gurun dan hutan atas perintah Syekhnya. Dalam khalwat ini makanannya hanya rumput dan dedaunan dan yang dipakainya hanyalah apa yang menutupi auratnya. Suatu hari setelah berkali-kali khalwat, ia memandang cermin tetapi ia tidak melihat dirinya, yang dilihat adalah Syekhnya.
Pada tahap ini Syekh memberinya otoritas untuk membimbing hamba Allah menuju tujuan mereka, membimbingnya ke Jalan yang Lurus, dan beliau menempatkannya pada Singgasana Penerus, dan melalui dirinya Matahari Bimbingan naik ke Menara Kebahagiaan.
Ketika gurunya wafat, ia terus berziarah ke makamnya selama dua tahun dan ia menerima cahaya dan ilmu yang dapat ditransmisikan oleh Syekhnya dari makamnya. Kemudian melalui hubungan spiritual ia diperintahkan untuk terhubung dengan seorang syekh yang masih hidup.
Ia sampai di Pintu seorang Mursyid Kamil di zamannya, Syekh Muhammad Afzal, Syekh Safi Sa`dullah, dan Syekh Muhammad `Abid. Ia merapatkan diri kepada Syekh Syah Kalsyan dan kepada syekh lain yang bernama Muhammad az-Zubair. Ia sering menghadiri sesi Syekh Muhammad Afzal, salah satu khalifah dari putra Syekh Muhammad Ma`sum (q). Ia datang dan belajar dari Syekh `Abdul Ahad dan menerima ilmu hadits Nabi (s) darinya. Selama di kelas, setiap kali Syekh menyebutkan sebuah hadits, ia akan lenyap melalui mahuwa dzat (menarik diri), dan sebuah penglihatan akan muncul kepadanya di mana ia akan mendapati dirinya sedang duduk bersama Nabi (s) dan mendengar hadits itu secara langsung dari Nabi (s). Ia akan mengoreksi setiap kesalahan yang mungkin terjadi dalam narasi hadits yang disampaikan, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang jenius di dalam ilmu hadits.
Ia terus menemani Syekh-Syekh ini selama dua puluh tahun. Ia terus mengalami kemajuan dalam Maqam Kesempurnaan, sampai ia menjadi Samudra Ilmu. Ia diangkat menuju Cakrawala Qutub sampai ia menjadi Qutub di zamannya, bersinar seperti matahari di siang hari. Syekh Muhammad Afzal berkata, “Syekh Mazhar Habibullah diberi Maqam Qutub dan ia adalah poros tengah dari tarekat ini di masa kini.”
Kesempurnaan spiritualnya menarik orang dari segala penjuru di Sub Benua India. Dalam hadiratnya, setiap salik akan menemukan apa yang ia perlukan, sampai-sampai dengan berkahnya Sub Benua India menjadi seperti Ka`bah yang dikelilingi oleh kumpulan malaikat.
Di dalam dirinya yang mulia berpadu kekuatan dari empat tarekat. Ia adalah mursyid bagi Tarekat Naqsybandi, Qadiri, Suhrawardi dan Chisti. Ia sering berkata, “Aku menerima rahasia-rahasia dan ilmu dari tarekat-tarekat ini dari Syekhku, Sayyid Nur Muhammad Badawani (q), sampai aku menerima kekuatan yang istimewa dalam tarekat-tarekat ini. Beliau mengangkatku dari Tahap Ibrahimiah ke Tahap Muhammadiah, yang membuatku dapat melihat Nabi (s) duduk di tempatku sementara aku duduk di tempat beliau. Kemudian aku menghilang dan aku melihatnya duduk di kedua tempat itu. Kemudian aku melihatnya menghilang dan aku melihat diriku sendiri duduk di kedua tempat itu.”
Berikut ini adalah beberapa perkataan dari Syekh Mazhar (q):
“Suatu ketika aku sedang duduk dalam hadirat Syekh Muhammad `Abid dan Syekh berkata, “Kedua matahari pada kedua ujung bertemu, dan jika cahaya keduanya dipadukan dan dipancarkan ke seluruh alam semesta ini, ia akan membakar segala sesuatu.”
“Syekh Muhammad Afzal lebih tua dariku tetapi beliau biasa berdiri ketika aku masuk ke ruangan, dan beliau berkata kepadaku, ‘Aku berdiri untuk menghormati silsilah mulia yang kau miliki.’”
“Dunia dan segala isinya serta alam semesta dan segala isinya ada dalam genggamanku, dan aku dapat melihat mereka sejelas aku dapat melihat tanganku.”
Ia mempunyai pengalaman ajaib yang tak terhitung dan penglihatan spiritual yang sangat banyak tentang alam Surgawi begitu juga dengan dunia yang lebih rendah.
Suatu ketika ia berjalan dengan beberapa pengikutnya tanpa membawa perbekalan. Mereka berjalan dan setiap mereka merasa lelah, mereka akan beristirahat. Syekh akan memanggil mereka dan berkata, “Makanan ini untuk kalian,” dan semeja makanan muncul di hadapan mereka.
Suatu hari dalam perjalanan terjadi badai yang sangat mengerikan, angin menerbangkan semua yang ditemuinya. Cuaca sangat dingin dan orang-orang menggigil karena kedinginan. Situasi mereka bertambah buruk hingga seolah-olah mereka akan mati di gurun yang membeku itu. Kemudian Syekh Mazhar mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah ia mengelillingi kami tetapi tidak mengenai kami.” Dengan segera awan diangkat dari mereka, dan meskipun hujan yang dingin terus berlangsung selama satu mil ke depan, di sekeliling mereka suhunya meningkat hingga ke suhu yang nyaman bagi mereka.
Ia berkata, “Suatu ketika aku berziarah ke makam Syekh Muhammad Hafiz Muhsin. Aku mengalami keadaan fana dan dalam penglihatan spiritualku aku melihat tubuhnya. Tubuhnya utuh, tidak terurai, dan kain kafannya masih utuh dan bersih, hanya sedikit kotor di bagian kakinya. Melalui kekuatan spiritualku, aku bertanya mengenai hal itu. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku akan menceritakan sebuah kisah kepadamu. Suatu hari aku mengambil sebuah batu dari halaman tetanggaku dan meletakkannya pada sebuah lubang di halamanku, dan aku berkata kepada diriku, ‘Besok pagi akan kukembalikan padanya,’ tetapi aku lupa. Akibatnya muncul kotoran di kafanku. Perbuatan tadi mencemari kafanku.’”
Ia berkata, “Sepanjang kalian diangkat dalam kesalehan, kalian akan diangkat dalam kewalian.”
Suatu hari ia menjadi marah pada seorang tiran, dan ia berkata, “Sebuah penglihatan spiritual datang kepadaku di aman aku melihat semua Syekh, dari Abu Bakr ash-Shiddiq (r) hingga Syekh yang sekarang, mereka semua tidak senang dengan tiran itu.” Hari berikutnya tiran itu meninggal dunia.
Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Wahai tuanku, saudaraku telah dipenjara di desa sebelah. Mohon doanya agar Allah menyelamatkannya.” Ia berkata, “Wahai anakku, saudaramu tidak dipenjara, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang salah dan besok kau akan menerima surat darinya.” Apa yang dikatakannya menjadi kenyataan.
Ia menginformasikan kepada para pengikutnya mengenai kabar gembira dan beberapa orang yang iri menolak untuk menerima apa yang ia katakan. Ia berkata, “Jika kalian tidak percaya, mari kita bawa seorang hakim. Kita akan menyampaikan sudut pandang kita masing-masing dan biarkan ia menilai di antara kita.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima hakim lain kecuali Nabi (s) dan di Yawmil Hisab kami akan meminta penilaiannya mengenai hal ini.” Kemudian ia berkata, “Tidak perlu menunggu sampai Hari Kiamat. Kita akan meminta Nabi (s) memberikan penilaiannya sekarang.” Ia kemudian bertafakur secara mendalam dan ia diminta untuk membaca Surat al-Fatihah. Setelah ia melakukannya, tiba-tiba Nabi (s) muncul ke hadapan semua orang dan beliau (s) berkata, “Al-Mazhar Habibullah adalah benar dan kalian semua salah.”
Mengenai Penciptaan
Ia berkata, “Wujud hanyalah Sifat Allah sendiri. Dunia ini semata-mata hanyalah bayangan dari hakikat yang wujudnya ada di Hadriat Ilahi. Hakikat dari semua makhluk yang mungkin (haqa’iq al-mumkinat) adalah hasil dari perbuatan Sifat dan Kualitas Ilahiah pada Sesuatu yang Hampa (`adm). Wujud Sejati dari semua yang termanifestasi dalam makhluk fisik yang ditegaskan dalam bentuk cahaya dalam Hadirat Ilahi.
“Segala sesuatu yang muncul dalam penciptaan fisik semata-mata hanyalah bayangan dari hakikatnya yang bercahaya yang diproyeksikan oleh Kualitas Ilahiah terhadap kekosongan dari yang tak berwujud. Alam dari Sifat Ilahiah merupakan Asal dari Mata Air bagi Alam Semesta yang tercipta (mabadi’ ta`ayyunat al-a`lam). Karena semua makhluk fisik muncul dari kombinasi Kualitas Ilahiah Allah dengan Kekosongan, dengan demikian makhluk mempunyai bagian dari dua asal yang sifatnya berbeda. Dari sifat kehampaan yang tak berwujud dan bukan apa-apa muncul kualitas yang kental dari substansi fisik di mana dalam lingkup perbuatan manusia ia menghasilkan kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Dari Sifat Ilahiah muncul Cahaya, Ilmu, dan Kebaikan. Dengan demikian seorang Sufi ketika ia melihat pada dirinya sendiri, melihat semua kebaikan di dalam dirinya sebagai cahaya dari Sifat Ilahi yang terefleksikan padanya, tetapi itu bukan berasal darinya. Sebuah perumpamaan mengenai hal itu bisa berupa sebuah setelan bagus yang dipinjam membuat orang terlihat menawan, tetapi sesungguhnya itu bukan miliknya dan untuk itu ia tidak patut menerima pujian. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai substansi dasar, penuh kegelapan dan kebodohan, dengan sifat yang lebih buruk daripada binatang. Dengan persepsi ganda ini, ia melepaskan keterikatannya dari tarikan ego dan tidak menonjolkan dirinya, dan berpaling ke arah tobat terhadap Sumber Ilahiah untuk semua Kebaikan. Dengan berpalingnya ini, Allah mengisi kalbunya dengan cinta dan rindu terhadap Hadirat Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Menjelang wafatnya, Syekh Mazhar (q) berada dalam keadaan beremosi tinggi dan dalam cinta yang intens kepada Allah. Ia mengalami perasaan yang sangat tidak membahagiaan karena begitu lama berada di dunia yang fana ini. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan bertafakur, dan ketika ditanya, ia akan selalu mengatakan bahwa ia berada dalam Maqamul Fana dan Wujud dalam Allah (swt). Ia meningkatkan zikirnya pada hari-hari terakhirnya, dan sebagai hasilnya muncul cahaya yang mempunyai daya tarik yang kuat sehingga ribuan salik masuk ke dalam tarekat. Setiap hari ada tiga ribu orang yang datang ke pintunya, dan ia tidak akan membiarkan seorang pun di antara mereka yang tidak bertemu dengannya. Akhirnya, ia menjadi begitu kelelahan sehingga ia dijadwalkan hanya 2 kali sehari bertemu dengan orang-orang.
Suatu hari, salah seorang pengikutnya, yaitu Syekh Mullah Nasim, meminta izin untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi orang tuanya di kampung halamannya. Ia berkata, “Wahai anakku, jika engkau ingin pergi, silakan. Tetapi mungkin aku tidak ada di sini ketika engkau kembali.” Jawaban ini beredar dari mulut ke mulut, dan mengguncangkan hati orang-orang, karena itu menandakan bahwa eranya akan berakhir. Dengan tetesan air mata dan hati yang luka, orang-orang di sekitar Punjab mulai bersedih. Rumahnya penuh dan tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi bila ia wafat. Kemudian ia mengambil sehelai kertas dan menulis kepada salah seorang penerusnya, Mullah Abdur-Razzaq, “Wahai anakku, kini aku sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan ajalku sudah dekat. Ingatlah aku di dalam doamu.” Ia mengirim surat itu padanya dan ia juga mengirim surat yang sama kepada banyak orang lainnya.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, ia berkata, “Tidak ada yang tersisa di dalam hatiku apapun yang ingin kuraih atau sesuatu yang belum tercapai. Tidak ada sesuatu yang kuminta kepada Allah yang belum kuterima. Keinginanku sekarang hanyalah meninggalkan dunia ini dan berada dalam Hadirat-Nya seterusnya. Allah telah memberiku segala sesuatu, kecuali izin untuk bertemu dengan-Nya. Aku memohon kepada Allah untuk membawku kepada-Nya pada hari ini, sebelum besok. Tetapi aku tidak ingin menemui-Nya sebagai orang biasa. Aku ingin menemui-Nya sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai seorang syahid yang selalu hidup. Jadi, ya Allah, jadikanlah aku seorang syahid di dunia ini dan bawalah aku kepada-Mu sebagai seorang syahid. Kematian semacam ini akan memberi kebahagiaan bagi hatiku dan akan menjadikan aku berada di hadirat Nabi-Mu (s) dan Ibrahim (a) dan Musa (a) bersama 124.000 Nabi-Mu; dan bersama semua Sahabat Nabi (s), dan bersama dengan al-Junayd (q) dan mursyid tarekat ini, Syah Naqshband (q), dan bersama mursyid seluruh tarekat. Ya Allah, aku ingin menggabungkan antara menyaksikan kesyahidan fisik dengan kematian spiritual dalam Maqam Penyaksian, dalam Maqamul Fana’.”
Sore harinya, pada hari Rabu, tanggal tujuh Muharram 1195 H/1780 M. seorang pelayannya mendatanginya dan berkata, “Ada tiga orang di pintumu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Ia berkata, “Biarkan mereka masuk.” Ketika mereka masuk, ia keluar dari kamarnya dan menyalami mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah engkau Mirza Jan Janan Habibullah?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian orang kedua berkata kepada orang ketiga, “Ya, ini orangnya.” Salah seorang di antara mereka mengambil pisau dari kantongnya dan menikamnya dari belakang, menusuk ginjalnya. Karena usianya, ia tidak mampu menahan beratnya tusukan itu sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Ketika waktunya salat Subuh, Raja mengirim seorang dokter. Ia meminta dokter itu untuk pulang dan berkata, “Aku tidak memerlukannya. Dan untuk orang yang telah menikamku, aku memaafkannya, karena aku senang untuk mati sebagai seorang syahid dan mereka datang sebagai jawaban atas doaku.”
Ia wafat pada hari Jumat. Ketika sampai pada tengah hari, ia membaca Surat al-Fatihah dan Ya Sin sampai waktu `Ashar. Ia bertanya pada muridnya, berapa jam lagi sampai matahari terbenam. Mereka berkata, “Empat jam.” Ia menjawab, “Masih lama sampai aku bertemu Tuhanku.” Ia berkata, “Aku telah melewatkan 10 salat dalam hidupku, semuanya terjadi dalam dua hari terakhir ini, karena tubuhku penuh dengan darah dan aku tidak dapat mengangkat kepalaku.” Mereka bertanya kepadanya, “Jika seorang yang sakit dalam kondisi yang lemah seperti itu, apakah ia wajib untuk salat dengan gerakan matanya dan dahinya atau menunda salatnya?” Ia menjawab, “Keduanya benar.” Ia menunggu dengan sabar hingga matahari terbenam, kemudian ia wafat. Saat itu adalah malam `Asyura, 1195 H./1781 M. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/shamsuddin-habib-allah-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
30. S.S. Abd Allah ad-Dahlawi (QS)
“Apakah tidak cukup menyedihkan bahwa aku mohon kepada Engkau tanpa henti,
Seolah-olah aku jauh dari Engkau, seolah-olah Engkau tidak hadir?
Aku meminta amal Engkau tanpa keserakahan, dan aku tidak melihat apapun
Siapa yang miskin seperti aku, dan yang menginginkan Engkau seperti aku menginginkan Engkau.”
Abu-l-Hasan Nuri.
Ia adalah Puncak bagi orang-orang Arif dan Raja bagi Mursyid al-Kamil, Sang Penyingkap Ilmu Agama dan Penyingkap Rahasia Keyakinan; Yang Membenarkan Maqam Kesempurnaan, Syekh dari semua Syekh di Sub Benua India, Pewaris Ilmu dan Rahasia Tarekat Naqsybandi. Ia dikenal sebagai seorang Penyelam dan Perenang yang Unik dalam Samudra Keesaan; seorang Musafir di Gurun Maqamul Zuhud; Qutub bagi semua tarekat dan Qibrit al-Ahmar (Belerang Merah “Yang Paling Langka di antara yang langka) bagi semua kebenaran.
Ia menyempurnakan dirinya sendiri dan menghiasi dirinya dengan adab terbaik. Ia mengangkat dirinya hingga ke Langit Ilmu Spiritual yang Tinggi dan menghiasi dirinya dengan bintang-bintangnya. Ia menjadi bintang dalam segala ilmu. Ia tumbuh menjadi bulan purnama dan ia melihat cahaya muncul dari Matahari gurunya, sampai gurunya menerimanya untuk melatihnya secara formal dan merawatnya.
Syekh mendukungnya dengan kekuatan spiritualnya dan mengangkatnya menuju tingkat keberkahan tertinggi yang telah diraihnya, sampai ia mencapai maqam Haqqul Yaqiin dan maqam dari Pohon Lotus Terjauh. Kemudian ia mengirimnya kembali ke dunia ini, sampai ia menjadi mursyid bagi setiap umat manusia. Ia diberi izin untuk memberi bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Ia mendukung Syari`ah dan menegakkan Sunnah, dan membangkitkan Kebenaran dari lima tarekat: Qadiri, Suhrawardi, Kubrawi, Chishti dan Naqsybandi. Ia meneruskan rahasia-rahasia dari lima tarekat kepada para penerusnya, dan melaluinya kepada semua Syekh dalam Silsilah Keemasan. Ia mengangkat semua muridnya ke maqam-maqam yang terpuji dari Wali Abdal (Wali Pengganti) dan Awtad (Wali Pasak atau Tiang).
Ia dilahirkan pada tahun 1158 H./1745 M. di desa Bitala di Punjab. Ia adalah seorang keturunan dari Ahlul Bait. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan zuhud, yang mendapat pelatihan dalam Tarekat Qadiri melalui Syekh Nasir ad-Din al-Qadiri, yang dilatih oleh Khidr (a). Sebelum ia dilahirkan, ayahnya melihat di dalam mimpi di mana Sayyidina `Ali, khalifah keempat, mengatakan kepadanya, “Panggilah ia dengan namaku.” Ibunya bermimpi bertemu dengan seorang yang saleh yang berkata, “Kau akan mempunyai seorang anak laki-laki. Panggillah ia dengan nama `Abdul Qadir.” Kemudian ayah dan ibunya mempunyai mimpi yang sama di mana Nabi (s) mengatakan kepada mereka untuk menamai anaknya dengan nama `Abdullah. Karena perintah Nabi (s) lebih utama untuk didahulukan, maka beliau menamai anaknya `Abdullah Syah Ghulam `Ali.
Ia mampu menghafal al-Qur’an dalam satu bulan karena kejeniusannya. Ia mendidik dirinya sendiri dalam ilmu lahir dan batin, sampai ia menjadi yang tertinggi di antara para ulama. Ketika masa kanak-kanak, ia sering pergi ke gurun, berzikir di sana selama berbulan-bulan sekaligus; dengan memakan apapun yang bisa didapatkannya. Suatu ketika ia tinggal selama 40 hari tanpa tidur dan tanpa memakan apapun. Zikirnya tidak berhenti. Syekh ayahnya memerintahkan ayahnya untuk membawa anaknya kepadanya untuk diberi bay’at dalam Tarekat Qadiri. Malam di mana ia tiba di rumah Syekh itu, ternyata ia sudah wafat. Ayahnya berkata, “Kami ingin memberimu Tarekat Qadiri, tetapi sekarang kau bebas untuk menempuh jalan apapun yang cocok bagimu.”
Ia terus menemani Syekh dari Tarekat Chisti di Delhi, di antaranya adalah Syekh Dia’ullah, Syekh `Abdul `Addad, khalifah dari Syekh Muhammad Zubair, Syekh Mirdad, Mawlana Fakhruddin, dan banyak lagi lainnya, sampai ia berusia dua puluh dua. Ia datang sendiri ke Khaniqah Syekh Jan Janan Habibullah (q). Ia meminta izinnya untuk memasuki Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Syekh Habibullah berkata kepadanya, “Lebih baik bagimu untuk berada dalam tarekat-tarekat itu yang mempunyai cita rasa dan gairah, karena di dalam tarekat kami tidak ada yang lain kecuali menjilati batu tanpa garam.” Ia berkata, “Itulah tujuan tertinggiku.” Syekh Habibullah menerimanya dan berkata, “Semoga Allah memberkatimu. Tinggallah di sini.”
Ia berkata, “Setelah aku menerima ilmu hadits dan menghafal Qur’an dan mempelajari tafsirnya, aku berdiri di hadapan Syekhku. Beliau memberi bay’at dalam Tarekat Qadiri melalui tangan sucinya. Beliau juga memberiku bay’at dalam Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Aku sedang berada di hadirat majelis zikir dan dalam asosiasinya selama 15 tahun. Kemudian beliau memberiku otoritas untuk membimbing dan melatih murid-murid. Pada awalnya aku merasa ragu karena aku takut bahwa Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) tidak akan memberiku izin untuk mengajar dalam Tarekat Naqsybandi. Suatu hari aku melihatnya dalam penglihatan spritual selama masa-masa keraguanku, beliau duduk di sebuah singgasana. Syah Naqsyband (q) lalu masuk. Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) segera berdiri dan mempersilakan Syah Naqsyband (q) untuk duduk di singgasana itu dan beliau tetap berdiri dalam hadiratnya. Dalam hatiku terlintas pikiran bahwa ini adalah sebuah tanda untuk menghormati Syah Naqsyband (q). Beliau berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Syah Naqsyband (q). Yang menjadi tujuan adalah Allah. Jalur apapun yang kau pilih, kau dapat mencapai-Nya.’”
Ia berkata, “Aku hidup dengan pendapatan dari sebuah properti yang aku miliki. Tetapi kemudian aku melepaskannya demi Allah. Setelah itu aku mengalami banyak kesulitan karena tidak mempunyai pendapatan. Aku hanya memiliki sebuah tikar tua untuk tidur dalam cuaca yang dingin dan sebuah bantal kecil untuk menyangga kepalaku. Aku menjadi sangat lemah. Aku mengunci diriku di kamarku dan berkata kepada diriku sendiri, ‘Wahai diriku, ini adalah kuburanmu. Aku tidak akan membuka pintu itu untukmu. Apapun yang Allah sediakan untukmu, kau boleh mengambilnya. Kau akan tinggal di sini tanpa makanan dan tanpa apa-apa kecuali tikar dan bantal itu. Air akan menjadi makananmu. Wahai ruhku, zikrullah akan menjadi makanan untukmu.’ Aku tinggal dalam kondisi seperti itu selama 40 hari, aku menjadi sangat lemah, sampai Allah mengirimkan seseorang mengetuk pintuku. Ia melayaniku dengan memberi makanan dan pakaian selama 50 tahun.”
Ia berkata, “Ketika aku mengunci pintu kamarku dan aku mengatakan apa yang kukatakan, Perlindungan Allah datang kepadaku. Suatu hari seseorang datang dan berkata, ‘Buka pintunya.’ Aku berkata, ‘Aku tidak ingin membukanya.’ Ia berkata, ‘Bukankah engkau memerlukan aku?’ Aku berkata, ‘Tidak, aku memerlukan Allah (swt).’ Pada saat itu aku mengalami penglihatan spiritual di mana aku diangkat ke Hadratillah dan seolah-olah aku telah menghabiskan waktu seribu tahun di Hadirat-Nya. Kemudian aku kembali dan Dia berkata, ‘Bukalah pintu itu.’ Setelah itu aku tidak pernah mengalami kesulitan lagi.”
Orang-orang berdatangan dari mana-mana. Kemasyhurannya sampai ke Byzantium, Iraq, Khorasan, Transoxiana, dan Suriah. Ketenaranny juga mencapai Afrika Utara. Ia mengirimkan khalifah dan deputinya ke mana-mana atas perintah Sayyidina Muhammad (s). Di antara mereka adalah Sayyidina Khalid Baghdadi (q). Ia mencapai orang-orang melalui mimpi dan membimbing orang-orang di negeri-negeri yang jauh. Orang-orang menempuh perjalanan jauh untuk menemuinya, mengatakan kepadanya, “Kau memanggilku melalui mimpiku.”
Khaniqahnya biasanya memberi makanan untuk 2000 orang setiap hari dan selalu penuh. Ia tidak pernah menyimpan makanan untuk keesokan hari. Karena kesederhanaannya ia tidak pernah berselonjor, karena ia takut kalau-kalau itu akan terarah kepada Nabi (s) atau kepada Wali tertentu yang berada di Hadratillah. Ia tidak pernah melihat pada cermin. Jika seekor anjing memasuki rumahnya untuk mencari makan, ia akan berkata, “Ya Allah, siapakah aku menjadi wasilah bagi-Mu dengan Pecinta-Mu? Dan siapakah aku hingga memberi makan mereka ketika Engkau memberiku makan dan memberi mereka makan? Ya Allah, aku berdoa demi makhluk-Mu, makhluk yang ini, dan semua orang yang datang padaku meminta kasih sayang, kirimkanlah aku Rahmat demi mereka dan bawalah aku lebih dekat dengan-Mu dan tolonglah aku untuk memegang Sunnah Nabi (s) dan menerima apa yang telah Kau tetapkan dan meninggalkan apa yang Kau larang.”
Ia berkata, “Suatu ketika Isma`il al-Madani datang mengunjungiku, atas perintah Nabi (s). Dari negerinya, Hijaz, ia telah menempuh ribuan mil. Beliau membawa beberapa relik peninggalan Nabi (s) sebagai hadiah untukku. Aku meletakkannya di Masjid Jami di Delhi.”
Ia berkata, “Suatu ketika Raja Nabdilkahand mendatangiku dan beliau memakai busana orang-orang kafir. Ketika aku melihatnya, aku marah terhadapnya dan aku katakan, ‘Kau tidak bisa duduk di hadiratku dengan pakaian semacam itu.’ Raja itu menjawab, ‘Jika kau mengecamku sedemikian rupa, aku tidak akan datang ke majelismu.’” Syekh berkata, “Itu lebih baik.” Raja itu lalu berdiri dengan marah dan kemudian pergi. Ketika ia sampai di pintu, sesuatu terjadi padanya, tidak ada yang tahu apa itu. Ia lalu melemparkan busana ala kafir itu dan segera kembali dan mencium tangan Syekh lalu mengambil bay’at darinya. Raja itu kemudian menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia. Orang-orang bertanya apa yang terjadi padanya dan ia menjawab, “Ketika aku pergi keluar, aku melihat Syekh datang ke pintu bersama Nabi (s), padahal beliau berada di dalam! Itulah yang membuatku kembali kepadanya.”
Ia sangat jarang tidur. Ketika ia bangun untuk melakukan salat Tahajud, ia akan membangunkan setiap orang untuk duduk bertafakur bersamanya dan membaca al-Qur’an. Yang menjadi amalannya setiap hari adalah membaca sepertiga al-Qur’an kemudian salat Fajar bersama jemaahnya. Kemudian ia akan duduk dalam majelis zikir dan tafakur hingga matahari terbit. Ia akan salat Isyraq kemudian memberikan shuhba. Ia akan duduk membaca Hadits dan membaca tafsir Qur’an. Ia lalu salat Duha kemudian duduk untuk makan bersama para pengikutnya. Ia makan sedikit dan setelah makan ia akan membaca buku religius atau buku-buku spiritual dan menulis beberapa surat. Setelah Zhuhur ia akan duduk dan membaca tafsir dan hadits sampai waktu `Ashar. Setelah `Ashar ia akan berbicara mengenai Sufisme dan tokoh-tokoh terkemuka, seperti: al-Qusyayri, atau Ibn ‘Arabi atau Syah Naqsyband (q). Kemudian ia akan duduk di dalam majelis zikir sampai Maghrib. Setelah Maghrib ia akan duduk dalam majelis privat bersama pengikutnya. Kemudian ia akan makan malam dan salat `Isya. Setelah `Isya ia akan mengisi waktu dengan zikir dan tafakur. Ia akan tidur selama satu atau dua jam, lalu ia akan bangun untuk melakukan Tahajud.
Masjidnya terlalu kecil untuk para pengikutnya, karena ia hanya bisa menampung 2.000 orang. Jadi, ia biasa membaca zikir untuk para pengikutnya secara bergiliran, setiap giliran, masjidnya penuh.
Siapapun yang memberinya donasi, pertama ia akan membayarkan zakat dari donasi itu. Menurut Mazhab dari Imam Abu Hanifa, tanpa menunggu waktu berjalan selama setahun, karena memberi zakat segera lebih baik daripada memberi sedekah. Ia akan menggunakan sisa dari donasi itu untuk mempersiapkan makanan dan manisan untuk fakir miskin dan membelanjakan untuk kebutuhan zawiyah dan kebutuhan pribadinya.
Beberapa orang pernah mencuri uang itu, tetapi ia tidak menegur mereka, tetapi akan menyerahkan urusannya kepada Allah. Suatu hari seseorang mencuri sebuah buku darinya kemudian mengembalikannya dengan menjualnya. Ia memuji orang itu dan memberinya sejumlah uang. Seorang muridnya berkata, “Wahai guruku, buku ini adalah buku yang dicuri dari perpustakaanmu sendiri dan di dalamnya ada tanda tanganmu.” Ia berkata, “Jangan menggunjing, urusan itu adalah antara dia dengan Allah.”
Ia selalu duduk dengan posisi berlutut, tidak pernah bersila atau berselonjor, tetapi dengan posisi menghormati Nabi (s) dan ia wafat dalam posisi seperti ini. Ia menyembunyikan apa yang ia berikan sebagai sedekah. Ia tidak pernah melihat berapa banyak yang ia berikan dan kepada siapa ia memberikannya. Ia memakai pakaian lama. Jika ia diberi pakaian baru, ia akan menjualnya dan membeli banyak pakaian tua dari hasil penjualannya. Ia berkata, “Lebih baik bagi orang banyak mempunyai beberapa baju daripada hanya seorang mempunyai baju yang bagus.”
Asosiasinya seperti asosiasi Sufyan ats-Tsawri, seorang Sahabat Nabi (s): tidak pernah bersuara keras, tidak ada gunjingan, dan tidak ada urusan duniawi yang didiskusikan. Tidak ada yang terdengar di sana kecuali tentang spiritualitas dan agama.
Suatu hari Syekh berpuasa dan salah seorang pengikutnya berbicara kasar tentang Raja India. Ia berkata kepadanya, “Sayang sekali bagiku, aku kehilangan puasaku.” Mereka berkata kepadanya, “Wahai guru kami, kau tidak melakukan apa-apa; orang yang bicaralah yang bertanggung jawab.” Ia berkata, “Tidak, orang yang bicara dan yang mendengar membagi dosa itu bersama.”
Ia sangat mencintai Nabi (s) sehingga setiap kali nama sucinya disebutkan ia akan terguncang dan pingsan. Ia sangat teliti dalam mengikuti Nabi (s) dalam perbuatan dan menjaga Sunnahnya.
Kata-Kata mengenai Kesempurnaannya dan Kesempurnaan dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Tarekat Naqsybandi dibangun atas empat prinsip, yaitu: menjaga Hadirat Allah; ilham Ilahiah, daya tarik dan mengabaikan bisikan-bisikan.”
“Siapa pun yang meminta Rasa dan Kerinduan, ia tidak benar-benar meminta Hakikat dari Hadratillah.”
“Seorang salik harus sangat waspada bagaimana ia melewati setiap momen hidupnya. Ia harus tahu bagaimana ia salat; ia harus tahu bagaimana ia membaca Qur’an; ia harus tahu bagaimana ia membaca Hadits; ia harus tahu bagaimana ia melantunkan Zikir; ia harus tahu berapa banyak kegelapan yang ia dapatkan dari makanan yang meragukan.”
“Makanan ada dua macam; yang pertama adalah untuk memuaskan diri dan yang kedua untuk memelihara diri. Yang pertama tidak dapat diterima, tetapi yang kedua dapat diterima karena ia memberikan kekuatan yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kalian dan menjaga Sunnah Nabi (s).”
“Sebagaimana meminta yang halal (hal-hal yang dibolehkan) adalah kewajiban bagi setiap Mukmin; menolak yang halal juga merupakan kewajiban bagi setiap Arif, Seorang yang Arif, seorang Sufi adalah orang yang menolak dunia dan akhirat, meskipun keduanya adalah halal. Ia tidak menerima yang lain kecuali Allah (swt).”
“Harus dimengerti oleh setiap orang bahwa semua kesempurnaan berpadu pada diri Nabi (s). Penampilan kesempurnaannya pada setiap abad dan waktu yang berbeda adalah berdasarkan pada kesiapan dan keadaan dari abad dan waktu pada saat itu. Itulah sebabnya penampilan dari kesempurnaannya di masa hidupnya dan di masa para Sahabat berada dalam bentuk Jihad dan perjuagan dalam berdakwah. Penampilannya kepada para awliya di abad berikutnya melalui hadirat sucinya adalah dalam bentuk Gaib (Peniadaan Diri), Fana, Cita Rasa, Gairah, Emosi, Rahasia Tauhid dan keadaan spiritual lainnya. Itulah yang telah muncul ke dalam kalbu dan pada lidah para Awliya.”
“Bagi kita malam yang lapar adalah malam Mi’raj. Malam yang lapar adalah malam yang menginginkan Allah.”
“Bay`ah (Inisiasi) ada tiga kategori: yang pertama adalah untuk perantaraan Syekh; kedua untuk tobat dari dosa-dosa; dan yang ketiga untuk terpaut atau terhubung dengan dan menerima silsilah.”
“Semua kesempurnaan manusia kecuali Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q), sementara Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Syah Naqsyband (q).”
“Manusia ada empat kategori: mereka yang tidak seperti manusia, karena semua yang mereka minta hanyalah dunia; lalu mereka yang meminta Akhirat; manusia yang matang yang meminta Akhirat dan Allah; dan manusia istimewa yang hanya meminta Allah.”
“Ruh manusia akan diambil oleh Malaikat Maut, tetapi ruh orang yang terpilih tidak dapat didekati oelh malaikat; Allah sendiri yang mengambilnya dengan Tangan Suci-Nya.”
“Pikiran Ilahi adalah pikiran yang tahu tujuannya tanpa sebuah mediator, sedangkah Pikiran Duniawi adalah pikiran yang perlu melihat jalannya melalui seorang pemandu dan seorang wali.”
“Barang siapa yang ingin berkhidmah, ia harus berkhidmah pada Syekhnya.”
Dari Penglihatan Spiritualnya
Mengenai penglihatan spiritualnya, ia berkata,
“Suatu ketika aku mempunyai sebuah penglihatan spiritual di mana aku melihat al-Mir Ruhullah, salah satu pengikut Jan Janan Habibullah (q), yang berkata kepadaku, ‘Nabi (s) sedang menantimu.’ Di dalam penglihatan itu aku bergerak ke tempat di mana Nabi (s) menunggu. Beliau memelukku dan dengan pelukan itu aku berubah seperti dirinya. Kemudian aku berubah seperti sosok Syekhku, Jan Janan Habibullah (q). Kemudian aku berubah seperti Syekh Amar Kulal (q). Kemudian aku berubah seperti Syah Naqsyband (q), dan kemudian aku berubah seperti `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q). Kemudian aku berubah seperti Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r), Sahabat Nabi (s).”
“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual mendekati waktu salat `Isya di mana aku melihat Nabi (s) mendatangiku dan berkata, ‘Aku mempunyai nasihat untukmu dan murid-muridmu; jangan tidur sebelum `Isya.’”
“Suatu ketika aku mendapat penglihatan spiritual di mana aku bertanya kepada Nabi (s), ‘Kau bersabda bahwa ‘Barang siapa yang melihatku, maka ia telah melihat Kebenaran.’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, dan ia akan melihat Allah (swt).”
“Suatu hari aku mempunyai penglihatan spiritual di mana aku melihat Nabi (s) datang kepadaku dan beliau (s) berkata kepadaku, “Jangan melewatkan membaca Qur’an dan melakukan zikir, kau dan murid-muridmu, dan kirimkanlah selalu pahalanya sebagai hadiah untukku; dengan begini kau akan memperolah pahala yang besar.”
“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual dan aku berkata kepada Nabi (s), ‘Aku sungguh takut dengan api neraka.’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Siapapun yang mencintai kami, ia tidak akan masuk neraka.’”
“Suatu ketika aku mempunyai suatu penglihatan spiritual dan aku melihat Allah (swt) berbicara padaku. Dia berkata, “Wahajahmu adalah wajah Sulthan al-Awliya, dan engkaulah orangnya.’”
“Di dalam penglihatan spiritualku aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku, memelukku, dan memasuki pakaianku. Kami menjadi satu. Aku bertanya padanya, ‘Siapakah engkau?’ Beliau menjawab, ‘Syah Bahauddin Naqsyband, dan kau adalah aku dan aku adalah engkau.’”
Suatu ketika ia berada di tepi laut dan ombak sedang mengamuk dan ia melihat sebuah kapal sedang berlayar. Kapal itu terancam tenggelam, tetapi segera setelah ia memandangnya, kapal itu berhenti terombang-ambing dan laut menjadi tenang.
Suatu ketika salah seorang pengikutnya, Syekh Ahmad Yar, sedang menempuh perjalanan dagang dalam sebuah karavan. Karavan itu berhenti untuk beristirahat. Ia tertidur dan di dalam mimpinya ia melihat Syekhnya berkata, “Pergilah segera dari sini, ada perampok yang akan menyerang.” Ia terbangun dan bercerita kepada orang-orang, tetapi mereka tidak mau percaya. Akhirnya ia pergi sediri dan perampok itu datang dan membunuh semua orang.
Suatu hari Syekh Zul Syah bersiap-siap untuk mengunjungi Syekh `Abdullah dari tempat yang sangat jauh. Ia tersesat di jalan. Seorang pria mendatanginya dan menunjukkan arah yang benar. Ia bertanya kepadanya siapa dia. Ia menjawab, “Aku adalah orang yang akan kau datangi.”
Syekh Ahmad Yar berkata, “Suatu ketika Syekh `Abdullah pergi untuk melayat seorang wanita salehah yang putrinya meninggal dunia. Wanita itu dan suaminya menjamunya. Syekh berkata kepada wanita itu dan suaminya, ‘Allah akan memberi kalian seorang anak laki-laki menggantikan putri kalian.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sudah berusia enam puluh tahun dan aku telah melewati masa usia suburku, dan suamiku sudah berusia 80 tahun. Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai anak?’ Beliau berkata, ‘Jangan bertanya bagaimana Allah dapat melakukannya! Itu adalah suatu keberkahan untuk kalian dan restuku untuk kalian.’ Kemudian beliau pergi keluar, mengambil wudu dan salat dua rakaat di masjid. Kemudian beliau mengangkat tangannya untuk berdoa, ‘Ya Allah karuniakan seorang anak kepada mereka sebagaimana yang telah Kau janjikan kepadaku.’ Kemudian beliau memandangku dan berkata, ‘Doa itu telah diterima.’ Berikutnya, wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki.”
Suatu hari seorang wanita yang merupakan saudara dari Mir Akbar `Ali dan seorang murid dari Syekh jatuh sakit. Mir Akbar `Ali mendatangi Syekh dan memintanya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan penyakitnya, tetapi Syekh menolak untuk memberikan doa. Mir Akbar`Ali tetap bersikeras. Syekh berkata, “Itu mustahil, karena wanita itu akan meninggal dunia dalam lima belas hari.” Mir `Ali pulang ke rumah dan dua minggu kemudian wanita itu meninggal dunia.
Suatu ketika di daerah sekitar Delhi terjadi kekeringan dan tidak ada tanaman yang bisa tumbuh. Orang-orang menjadi putus asa. Pada suatu hari yang sangat panas Syekh `Abdullah pergi keluar halaman masjid dan di bawah matahari yang menyengat, ia berkata, ‘Ya Allah, aku tidak akan bergerak dari sini sampai Engkau menurunkan hujan kepada kami.’ Belum lagi doanya selesai, langit dipenuhi awan dan hujan mulai turun. Hujan itu terus berlangsung selama 40 hari.
Ia berkata, “Aku ingin mati seperti Syekhku, Mirza Jan Janan Habibullah, sebagai seorang syahid. Tetapi aku ingat bahwa setelah beliau wafat orang-orang menderita kekeringan selama tiga tahun dan banyak terjadi pembunuhan dan masalah karena Allah murka dengan orang yang membunuhnya. Oleh sebab itu ya Allah, aku tidak ingin mati seperti itu, tetapi aku meminta-Mu untuk membawaku kepada-Mu.”
Ia wafat pada tanggal 12 Shafar 1241 H./1825 M. Ia wafat dengan buku Hadits Nabi (s), Jami` at-Tirmidzi, di tangannya. Ia dimakamkan di sebelah makam Syekhnya di Khaniqah Jan Janan Habibullah di Delhi.
Ia meninggalkan banyak buku, termasuk Maqamat an-Naqsybandiyya, Risalat al-Isytighal bi Ismi-l-Jalal, Manahij at-Tahqiq, dan Minatu-r-Rahman.
Ia meneruskan rahasianya kepada Mawlana Syekh Khalid al-Baghdadi al-`Utsmani as-Sulaymani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abdullah-ad-dahlawi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
31. S.S. Khalid al-Baghdadi (QS)
Dia memujiku, dan aku memuji-Nya, Dia melayaniku dan aku melayani-Nya, Dengan kehadiranku, ku yakin akan Dia, Dan dengan keteguhanku, aku menolak-Nya, Tetapi Dia yang mengetahuiku, ketika aku menolaknya, Dan kemudian kutemukan Dia dan bertafakur kepada-Nya (Ibnu Arabi, Fusus Hikam)
Ia adalah Ulama dari para Ulama dan Wali dari para Wali dan Arif dari para Arifin dan Cahaya dan Bulan Purnama dari Tarekat ini di zamannya. Ia adalah Pemegang Rahasia dari Hakikat dan Hakikat dari Rahasia. Rahasianya bergerak ke dalam setiap manusia sebagaimana ruh bergerak ke dalam tubuh. Jika Nabi Muhammad (s) bukanlah Khatamul Anbiya, mungkin saja kata-katanya merupakan wahyu Ilahi. Ia menyebarkan ilmu Syari`ah dan Tasawuf. Ia adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Syari`ah dan Hakikat. Ia adalah Ulama dari Mursyid Kamil dan Wali dari Ulama Kamil. Ia mencapai semua ilmu spiritual dan ilmu duniawi. Ia mempelajari batang dan cabang-cabangnya. Ia adalah Pusat dari Lingkaran Qutub di zamannya dan ia merupakan jalan untuk menggabungkan akhir dengan awal dan awal dengan akhir.
Ia adalah seorang Mujaddid, Pembangkit Nilai-Nilai Agama dari abad ke-13 Hijriah. Alam semesta bangga akan kehadirannya. Ia dilahirkan pada tahun 1193 H./1779 M. di desa Karada, di kota Sulaymaniyyah, Iraq. Ia dibesarkan dan dilatih di kota itu, di mana ada banyak sekolah dan masjid di sana. Bahkan kotanya dianggap sebagai kota pendidikan utama pada masa itu. Kakeknya adalah Pir Mika’il Chis Anchit, yang artinya Mika’il, Wali dengan enam jari. Gelarnya adalah `Utsmani karena ia adalah keturunan Sayyidina `Utsman ibn `Affan (r), khalifah ketiga Rasulullah (s). Ia mempelajari Qur’an dan penjelasan dari Imam Rifai menurut Mazhab Syafi’ii. Ia terkenal akan puisinya. Ketika ia berusia lima belas tahun ia menganut zuhud sebagai akidahnya, lapar sebagai tunggangannya, keterjagaan sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.
Ia adalah seorang salik di Dunia Allah dan ia mencapai berbagai jenis ilmu yang ada di zamannya. Ia belajar dari dua ulama besar di zamannya, yaitu Syekh `Abdul Karam al-Barzinji dan Syekh Abdur al-Barzinji, dan ia membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Ia kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana ia mempelajari ilmu matematika, filosofi, dan logika. Kemudian ia datang ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia mengenai Prinsip-Prinsip Fikih.
Kemudian ia mempelajari karya Ibn Hajar, Suyuti, dan Haythami. Ia mampu menghafal tafsir Qur’an dari Baydhawi. Ia mampu menemukan pemecahan bahkan bagi pertanyaan-pertanyaan tersulit di bidang fikih. Ia mampu menghafal Qur’an dalam empat belas Qiraat yang berbeda, dan ia menjadi sangat terkenal di mana-mana karena kemampuannya ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, yang merupakan gubernur daerah Baban berusaha membujuknya untuk mengurus sekolah di kerajaannya. Namun ia menolaknya dan ia pindah ke kota Sanandaj, di mana ia mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Gurunya dalam disiplin ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandaji. Setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu sekuler ia kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul terjadinya wabah penyakit pada tahun 1213 H/1798 M. ia mengambil alih madrasah Syekh `Abdul Karam Barzinji. Ia mengajarkan ilmu-ilmu modern, dan memverifikasi persamaan-persamaan yang rumit dalam astronomi dan kimia.
Ia kemudian melaksanakan khalwat, meninggalkan semua yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala ibadah dan banyak zikir, baik zikir jahar maupun khafi. Ia tidak lagi mengunjungi sultan, tetapi ia tetap berkumpul bersama murid-muridnya sampai tahun 1220 H./1806 M. ketika ia memutuskan untuk menunaikan ibadah Haji dan mengunjungi Nabi (s). Ia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melalui kota Mosul dan Yarbikir dan ar-Raha dan Aleppo dan Damaskus, di mana ia bertemu para ulama di sana dan mengikuti Syekh di sana, yang merupakan syekh bagi ilmu qadim dan modern, serta guru ilmu hadits, asy-Syekh Muhammad al-Kuzbara. Ia menerima otoritas dalam Tarekat Qadiri dari Syekh al-Kuzbari dan deputinya, Syekh Mustafa al-Kurdi, yang turut menemaninya pergi hingga sampai di kota Nabi (s).
Ia memuji Nabi (s) dalam puisi Persia sedemikian rupa sehingga orang-orang merasa takjub akan kefasihannya. Ia menghabiskan waktu yang panjang di Kota Nabi (s). Ia melaporkan:
“Aku sedang mencari seorang saleh yang langka untuk mendengarkan nasihat darinya ketika aku melihat seorang Syekh di sebelah kanan dari Rawdhatu-sy-Syarifa. Aku memintanya untuk memberikan nasihat, dari seorang ulama yang bijak kepada seorang yang bodoh. Beliau menasihatiku agar tidak merasa keberatan ketika aku memasuki Mekah, terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dan bertentangan dengan Syari`ah. Beliau menasihati agar aku tetap diam. Aku lalu mencapai Mekah dan aku menjaga nasihat itu di dalam hatiku. Aku pergi ke Masjidil Haram dini hari pada hari Jumat. Aku duduk di dekat Ka’bah membaca Dala’il al-Khayrat, ketika aku melihat seorang pria dengan janggut hitam bersandar pada sebuah tiang dan memandangku. Dalam hatiku terlintas bahwa orang itu kurang memperlihatkan penghormatan kepada Ka’bah, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa mengenainya dan mengenai persoalan itu.
“Ia memandangku dan memarahiku dengan berkata, ‘Hei bodoh, tidakkah kau tahu bahwa kemuliaan hati orang beriman lebih berharga daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa engkau mengkritikku di dalam hatimu karena aku berdiri membelakangi Ka’bah dan wajahku mengarah padamu. Apakah kau tidak mendengar nasihat Syekh di Madinah yang mengatakan kepadamu untuk tidak mengkritik?’ Aku mengejarnya dan meminta maaf, mencium tangan dan kakinya dan memohon bimbingannya menuju Allah. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hartamu dan kunci untuk kalbumu bukan di daerah ini, tetapi di India. Syekhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kau lakukan.’ Aku tidak menjumpai seseorang yang lebih baik darinya di seluruh Masjidil Haram. Ia tidak mengatakan kepadaku India mana yang harus kutuju, sehingga aku kembali ke Syam dan berkumpul bersama ulama-ulama di sana.”
Ia kemudian kembali ke Sulaymaniyyah dan melanjutkan ajarannya mengenai penyangkalan diri. Ia selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, ada seseorang yang datang ke Sulaymaniyyah. Beliau adalah Syekh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf, yang dikenal dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi, salah seorang khalifah dari Qutub al-A`zham, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berjumpa dengannya dan memberinya penghormatan dan bertanya mengenai mursyid kamil yang dapat menunjukkan jalan baginya. Beliau mengatakan, “Ada seorang Syekh kamil, seorang Ulama dan Arifin, yang menunjukkan jalan pada salik menuju Raja Diraja, seorang yang ahli dalam urusan-urusan pelik, mengikuti Tarekat Naqsybandi, membawa akhlak Nabi (s), seorang mursyid dalam Ilmu Spiritual. Ikutlah denganku untuk berkhidmah kepadanya di Jehanabad. Sebelum aku berangkat, beliau berkata kepadaku, ‘Kau akan bertemu seseorang, ajaklah ia bersamamu.’”
Syekh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H./1809 M. melalui kota Ray, kemudian Tehran, dan beberapa provinsi di Iran di mana ia bertemu dengan seorang ulama besar Isma`il al-Kashi. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapur. Ia mengunjungi Master dari semua induk Tarekat di Bistham, Syekh Bayazid al-Bisthami, dan ia memujinya di makamnya dengan puisi Persia yang sangat fasih. Kemudian ia bergerak ke Tus, di mana ia mengunjungi as-Sayyid al-Jalal al-Ma’nas al-Imam `Ali Rida, dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya yang membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian ia memasuki kota Jam dan ia mengunjungi asy-Syekh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya. Kemudian ia memasuki kota Herat di Afghanistan, kemudian Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini, ulama-ulama besar yang ditemuinya akan menguji pengetahuannya mengenai Syari`ah dan Makrifat, begitu pula di bidang logika, matematika, dan astronomi. Mereka mendapati bahwa ia bagaikan sungai yang luas, yang mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tak bertepi.
Kemudian ia pindah ke Lahore, di mana ia bertemu dengan Syekh Tsana’ullah an-Naqsybandi dan meminta doa restunya.
Ia mengingat,
“Malam itu aku tidur di Lahore dan aku bermimpi di mana Syekh Tsana’ullah an-Naqsybandi menarikku dengan giginya. Ketika aku bangun, aku ingin menceritakan mimpi itu padanya, tetapi beliau berkata, ‘Jangan menceritakan mimpimu kepadaku. Kami sudah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk melanjutkan perjalanan menuju saudaraku dan Syekhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q). Pembukaan kalbumu ada di tangannya. Kau akan mengambil bay’at dalam Tarekat Naqsybandi.’ Kemudian aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syekh. Aku meninggalkan Lahore, menyeberangi gunung dan lembah dan gurun sampai aku sampai di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perlu satu tahun untuk mencapai kota ini. Empat puluh hari sebelum aku sampai, beliau mengatakan kepada murid-muridnya, ‘Penerusku akan datang.’”
Malam ketika ia memasuki kota Jehanabad ia menulis puisi dalam bahasa Arab, menelusuri tahun-tahun perjalanannya dan memuji Syekhnya. Kemudian ia memujinya dengan puisi dalam bahasa Persia yang memukau orang-orang karena kefasihannya. Ia memberikan segala yang dibawanya dan semua yang ada di sakunya kepada fakir miskin. Kemudian ia dibay’at oleh Syekhnya, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berkhidmah di zawiyahnya dan membuat perkembangan pesat dalam berjuang melawan diri (nafs). Lima bulan belum berlalu ketika ia menjadi salah seorang di antara orang-orang dari Hadratillah dan yang mempunyai Visi Ilahiah.
Ia memohon izin dari Syekh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syekh kemudian memberinya otoritas tertulis terhadap lima tarekat.
Yang pertama adalah Tarekat Naqsybandi, atau Silsilah Keemasan, yang menjadi subjek dari buku ini.
Yang kedua adalah Tarekat Qadiri melalui Syekh dari Sayyidina Ahmad al-Faruqi, Syah as-Sakandar dan dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junayd, as-Sirra as-Saqati, Musa al-Kazim, Ja`far ash-Shadiq (a), Imam al-Baqir (a), Zain al-`Abidiin (a), al-Husayn (a), al-Hasan (a), `Ali ibn Abi Thalib (r), dan Sayyidina Muhammad (s).
Tarekat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, mata rantai silsilahnya serupa dengan Silsilah Qadiriyyah sampai al-Junayd, yang kembali kepada Hasan al-Basri dan setelah itu kepada Sayyidina `Ali (r) dan Nabi (s).
Beliau juga memberinya otoritas dalam Tarekat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur yang sama seperti Qadiriyyah, tetapi melalui Syekh Najmuddin al-Kubra.
Terakhir, ia diberi otoritas dalam Tarekat Chisti melalui suatu jalur dari `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan Jan Janan (q) kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) dan kemudian melalui banyak syekh kepada Syekh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad Chishti, dan Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan al-Basri, Sayyidina `Ali (r), dan Nabi (s).
Beliau memberinya otoritas untuk mengajar semua Ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Awrad. Ia mampu menghafal Kitab Itsna `Asyari (Dua Belas Imam), yang merupakan sumber rujukan mengenai ilmu dari keturunan Sayyidina `Ali (r).
Ia lalu pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H./1813 M. untuk kedua kalinya dan ia tinggal di Madrasah Ahsa’iyya Isfahaniyyah. Ia mengisi waktunya dengan memperdalam ilmu-ilmu Allah dan memperbanyak Zikrullah. Kemudian beberapa orang yang iri menulis surat berisi kritikan kepadanya dan mengirimkannya kepada Sultan, Sa`id Pasha, gubernur Baghdad. Mereka menuduhnya kufur dan mengkritiknya dengan tuduhan-tuduhan lain yang tidak dapat diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, ia berkata, “Jika Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bukan seorang yang beriman, lalu siapa yang beriman?” Ia lalu mengusir musuh-musuh yang iri tersebut dari hadapannya dan memenjarakan mereka.
Syekh meninggalkan Baghdad untuk beberapa waktu dan kemudian kembali lagi untuk ketiga kalianya. Ia kembali ke madrasah yang sama yang saat itu telah direnovasi untuk menyambutnya. Ia mulai menyebarkan berbagai ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Ia menyingkap rahasia-rahasia Hadratillah, menerangi kalbu manusia dengan cahaya yang Allah berikan ke dalam kalbunya, sampai gubernur, para ulama, guru-guru, para pekerja dan orang-orang dari berbagai latar belakang menjadi pengikutnya. Baghdad pada zamannya sangat terkenal akan ilmunya, sehingga kota itu disebut “Tempat bagi Dua Macam Ilmu,” dan “Tempat bagi Dua Matahari.” Serupa dengan hal itu, ia juga dikenal sebagai “Yang Mempunyai Dua Sayap” (dzu-l-janahayn), sebuah kiasan bagi penguasaan ilmu lahir dan batin yang dimilikinya. Ia mengirimkan khalifah-khalifahnya ke mana-mana, dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Suriah) ke Turki, dari Iran ke India, dan Transoxania (wilayah sekitar Uzbekistan sekarang), untuk menyebarkan jalan para pendahulunya di Tarekat Naqsybandi.
Ke mana pun ia pergi, orang-orang akan mengundangnya ke rumah-rumah mereka, dan rumah mana pun yang ia masuki, rumah itu menjadi makmur. Suatu hari ia mengunjungi Kubah Batu (Qubbat ash-Shakhrah) di Yerusalem bersama banyak pengikutnya. Ia sampai di Kubah Batu dan khalifahnya, `Abdullah al-Fardi, keluar untuk bertemu dengannya bersama sekelompok orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke dalam Gereja Kumama untuk memberkatinya dengan kehadirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kotanya Nabi Ibrahim (a), ayah dari semua Nabi, dan ia disambut oleh orang-orang di sana. Ia masuk ke dalam Masjid Ibrahim al-Khalil dan ia mengambil keberkahan dari dindingnya.
Ia pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Sekelompok besar khalifah dan murid-muridnya turut menemaninya. Kotanya Masjidil Haram beserta para ulama dan Awliyanya keluar untuk menemuinya dan semuanya mengambil bay’at darinya. Mereka memberinya kunci-kunci kedua Kota Suci dan mereka menganggapnya sebagai Syekh Spiritual bagi Dua Kota Suci. Ia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi pada hakikatnya Ka’bah yang memutarinya.
Setelah hajinya dan berziarah ke makam Nabi (s), ia kembali ke Syam asy-Syarif (Suriah yang diberkati). Ia diterima dengan hangat oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, di mana ketika ia memasuki Syam, sebuah parade yang sangat besar diadakan dan 250.000 orang menyambutnya di gerbang kota. Semua ulama, menteri, Syekh, orang kaya dan miskin datang untuk turut mengambil keberkahan dan meminta doanya. Itu bagaikan sebuah hari raya. Para penyair melantunkan puisi mereka dan orang-orang kaya memberi makan pada fakir miskin. Semua orang sama di hadapannya ketika ia memasuki kota. Ia membangkitkan ilmu Spiritual dan ilmu lahir dan menyebarkan cahaya itu sehingga orang-orang, baik Arab dan non-Arab menerima Tarekat Naqsybandi dari tangannya.
Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 1242 H./1827 M. ia memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus. Murid-muridnya sangat senang dan ia berkata, “Alhamdulillah, kita akan melakukannya jika Allah memanjangkan umur kita, setelah Ramadan, pada awal Syawal.” Itu merupakan tanda bahwa ia mungkin akan meninggalkan dunia fana ini.
Pada hari pertama di bulan Syawal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu muridnya memintanya untuk mendoakan dirinya agar selamat dari wabah itu, dan ia menambahkan, “Dan untukmu juga Syekhku.” Ia berkata, “Aku merasa malu di hadapan Tuhanku, karena niatku ketika datang ke Syam adalah untuk mati di Tahan Suci ini.”
Yang pertama meninggal dunia adalah putranya, Bahauddin, pada malam Jumat dan ia berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kami,” dan ia menguburkannya di Jabal Qasiyun. Putranya berumur lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu fasih dalam tiga bahasa: Persia, Arab, dan Kurdi, dan ia biasa membaca Qur’an.
Kemudian, pada tanggal 9 Dzul-Qaidah, putrnya yang lain, Abdur Rahman juga meninggal dunia. Ia lebih tua setahun dari adiknya. Mawlana Khalid (q) memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam untuk menguburkan putra keduanya. Ia berkata, “Di antara murid-muridku, banyak yang akan meninggal dunia.” Ia memerintahkan mereka untuk menggali lebih banyak untuk murid-muridnya, termasuk istri dan putrinya, dan ia memerintahkan mereka untuk mengairi daerah itu. Kemudian ia berkata, “Aku memberi otoritas sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi kepada Syekh Isma`il asy-Syirwani.” Ia mengatakan hal ini pada tahun kematiannya, 1242 H./1827 M.
Suatu hari ia berkata, “Aku mendapat suatu penglihatan spiritual yang luar biasa kemarin: aku melihat Sayyidina `Utsman Dzun-Nurayn (r) seolah-olah beliau wafat dan aku melakukan salat untuknya. Beliau membuka matanya dan berkata, ‘Ini adalah dari keturunanku.’ Beliau menggandeng tanganku dan membawanya kepada Nabi (s), dan berkata kepadaku agar membawa seluruh murid Naqsybandi di zamanku dan di zaman setelahku hingga zamannya Mahdi (a), dan beliau memberkati mereka. Kemudian aku keluar dari penglihatan itu, dan aku melakukan salat Maghrib bersama anak-anak dan murid-muridku.
“Rahasia apapun yang kumiliki telah kuberikan kepada deputiku, Isma`il asy-Syirwani. Siapa yang tidak menerimanya, berarti ia bukan bagian dariku. Jangan berdebat, jadilah satu pikira dan ikuti pendapatnya Syekh Isma`il. Aku menjamin siapapun di antara kalian yang menerima dan mengikutinya, ia akan bersamaku dan bersama Nabi (s).”
Ia memerintahkan mereka agar tidak menangisinya, dan ia meminta mereka untuk menyembelih hewan dan memberi makan fakir miskin demi kecintaan kepada Allah dan demi kehormatan Syekh. Ia kemudian meminta mereka untuk mengirimkan bacaan Qur’an dan doa. Ia memerintahkan mereka untuk tidak menulis apa-apa di makamnya, kecuali “Ini adalah makam Sang Ghariib (orang asing) Khalid.”
Setelah `Isya’ ia masuk ke dalam rumahnya, memanggil semua keluarganya, dan menasihati mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Fajr, ia bangun, berwudu dan salat sebentar. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan berkata, “Tidak ada yang boleh memasuki kamar ini kecuali atas perintahku.” Ia berbaring di sisi kanan, menghadap Qiblah, dan berkata, “Aku telah terkena wabah dan aku akan menanggung semua wabah yang diturunkan di Damaskus.” Ia mengangkat tangannya dan berdoa, “Siapapun yang terkena wabah, biarkan wabah itu mengenaiku dan selamatkan semua orang di Syam.”
Hari Kamis tiba, dan semua Khalifahnya masuk ke kamarnya. Sayyidina Isma`il asy-Syirwani bertanya, “Bagaimana perasaanmu?” Ia berkata, “Allah telah mengabulkan doaku. Aku akan membawa semua wabah dari semua orang di Syam dan aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka menawarinya air, tetapi ia menolak, dan berkata, “Aku meninggalkan dunia untuk bertemu Tuhanku. Aku telah menerima untuk membawa semua wabah dan membebaskan orang-orang yang terinfeksi di Syam. Aku akan meninggal pada hari Jumat.”
Ia membuka matanya dan berkata, “Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq,” ikrar yang dibaca dalam bay’at Tarekat Naqsybandi, dan ia membaca ayat 27-30 dari Surat al-Fajr: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya! Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam Surga-Ku!” Kemudian ia menyerahkan jiwanya kepada Tuhannya dan ia pun wafat, seperti yang telah diprediksikannya, pada tanggal 13 Dzul Qaidah, 1242 H./1827 M. Mereka membawanya ke madrasahnya dan memandikannya dengan air yang penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sambil berzikir, khususnya Syekh Isma`il asy-Syirwani, Syekh Muhammad, dan Syekh Aman. Mereka membaca Qur’an di sekelilingnya dan di pagi harinya, mereka membawanya ke sebuah masjid di Yulbagha.
Syekh Isma`il asy-Syirwani meminta Syekh Aman `Abdin untuk melakukan salat jenazah untuknya. Masjid tidak mampu mengakomodasi semua orang yang hadir. Dikatakan bahwa lebih dari 300.000 orang melakukan salat di belakangnya. Syekh Isma`il berjanji kepada orang-orang yang tidak bisa melakukan salat di masjid bahwa ia akan melakukan salat jenazah kedua kalinya di makam. Orang-orang yang memandikannya membawa jenazahnya ke kuburnya. Hari berikutnya, Sabtu, seolah-olah suatu keajaiban terjadi di Syam, wabah itu tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia.
Mawlana Khalid meneruskan Rahasianya kepada penerusnya Syekh Isma`il asy-Syirwani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/khalid-al-baghdadi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
32. S.S. Ismail ash-Shirwani (QS)
“Aku berbincang tentang diriku, bagi mereka yang mendengar ucapanku: ‘perhatikan bagaimana dia membual!’ bagaimana aku bisa membandingkan yang Nyata dengan yang tidak nyata,
ketika satu tetes, satu atom-Nya mengisi dua dunia? satu bagian merupakan bagian dari semua, dan semua ada disini dalam Dia dua dunia hilang Ruh dan yang dia percepat
Ada matahari disini, kilaunya juga siapakah yang pernah melihat kilau matahari berpisah dari Matahari? sufi sepenuhnya disana, hanya jejaknya ada disini. dan jejak tersebut tidak pernah berpisah dari semua”
(Al Ansari al-Harawi, Munajat)
Syaikh Isma`il ash-Shirwani adalah orang yang membawa tariqat Naqshbandi ke Daghestan. Beliau menyerukan jihad melawan penjajahan Rusia yang sangat kejam dan menghidupkan agama Islam kembali di negri ini setelah sekian lama dibasmi. Beliau lahir pada hari Selasa, 7 Dzul Qaidah 1201H/1787 M di Kurdemir, distrik Shirwan di Daghestan, Kaukasia. Beliau memiliki tubuh yang sangat kekar dan tinggi. Beliau juga mempunyai warna kulit yang putih bersih. Mata dan janggutnya berwarna hitam. Suaranya bernada tinggi. Di antara nasihatnya, beliau berkata, “Jika seseorang mengabdikan dirinya kepada Allah swt, kebaikan pertama yang ia dapatkan adalah bahwa ia tidak lagi membutuhkan manusia” “Siapa pun yang mendengar kata-kata bijak namun tidak mengamalkannya, ia termasuk munafik.”
“Allah memberikan hamba-Nya kenikmatan dalam berdzikir. Jika seseorang bersyukur kepada Nya dan merasa sengan dengan hal itu, Allah akan membuatnya dekat dengan Nya. Jika orang itu tidak bersyukur kepada Nya dan senang dengan hal itu, dia akan menerima kenikmatan dari berdzikir itu tetapi hanya meninggalkannya di lidahnya.” “Sufisme adalah kemurnian, dia bukan suatu deskripsi. Dia adalah Kebenaran tanpa akhir, bagaikan sungai mawar merah.”
“Tasawwuf adalah berjalan dengan Rahasia Allah.” “Siapa pun yang memilih berteman dengan orang kaya dan meninggalkan orang miskin, Allah akan membuat hatinya mati.”
Suatu hari Syaikh Isma`il yang sedang berada di masjid mengamati seorang miskin yang belum makan, minum dan tidur. Beliau mendekatinya dan bertanya padanya, “Apa yang kamu inginkan?” Dia berkata, Saya menginginkan roti hangat dan beberapa makanan.” Syaikh Isma`il mengangkat tangannya dan berdoa, “Yaa Allah, ini adalah hamba-Mu yang belum makan selama 3 hari. Aku mohon berilah ia makanan yang Engkau perkenankan untuknya.” Belum selesai beliau berdo’a seorang laki-laki memasuki masjid dan berkata, Istri saya sakit dan saya bersumpah untuk memberi makan orang miskin agar istri saya diberkati. Saya telah membawa roti hangat dan beberapa makanan untuk diberikan kepada yang lapar.”
Salah satu pengikutnya di Daghestan berkata, “Syaikh Isma`il berkata kepada dirinya sendiri, ‘Wahai egoku, Aku marah terhadapmu. Aku akan melemparkanmu ke dalam kesulitan.’ Beliau lalu pergi ke pegunungan di Daghestan dan berbaring di mulut gua di mana terdapat 2 ekor singa. Keduanya tidak bergerak, dan kita yang mengikutnya sangat heran. Lalu singa jantan mendekati beliau dengan sekerat daging yang besar di mulutnya dan duduk, jauh darinya, tidak mendekat namun hanya mengamatinya. Lalu singa betina mendekatinya dengan sedikit daging di mulutnya. Dia mulai menangis dan mengaum. Singa jantan mendekati si betina dan menghentikan tangisannya. Mereka berdua duduk memperhatikan Syaikh. Lalu singa jantan mengambil dua ekor anaknya dan menyerahkannya kepada ibunya, sementara itu dia mendekati Syaikh Isma’il. Dia duduk di sampingnya, menunggu di sana sampai Syaikh pergi.”
Suatu hari Syaikh Isma`il melewati sebuah desa. Ketika beberapa orang melihatnya dan mengenalinya, semua orang berlari mendatanginya. Syaikh di desa itu datang dan berkata, “Wahai Syaikh Isma`il, datang dan ajarilah kami.” Beliau berkata, “Wahai Abu Said, Allah mempunyai dua jalan pengajaran: jalan yang biasa dan yang istimewa. Jalan yang biasa adalah yang kamu dan pengikutmu kerjakan. Yang istimewa, mari ikutlah bersamaku dan Aku akan menunjukkannya.” Mereka mengikutinya sampai tiba di sebuah sungai. Beliau berkata, “Ini adalah jalan Allah,” lalu beliau menyebrang sungai itu dan menghilang.
Syaikh Abdur Rahman ad-Daghestani meriwayatkan:”Suatu hari aku sedang duduk bersama dalam sebuah majwlis. Kami melihat Syaikh Isma`il mendekat dengan memakai jubah wool dan dengan sepatu baru di kakinya. Aku bertanya dalam hati, ‘Syaikh Isma`il itu adalah seorang Syaikh Sufi sejati. Aku akan datang padanya dan menanyakan hal yang sangat sulit untuk mengujinya apakah beliau sanggup menjawab atau tidak.’ Aku mendekatinya dan beliau melihatku. Ketika aku mendekat beliau berkata, ‘Wahai Abdur Rahman, Allah berfirman dalam al-Qur’an untuk menjauhi pikiran yang buruk. Janagan mencoba bertanya kepadaku. Itu bukan suatu perilaku yang baik.’ Aku berkata dalam hati, ‘Ajaib! Ini adalah keajaiban yang hebat! Bagaimana beliau bisa mengatahui pertanyaanku dan bagaimana beliau mengetahui namaku?’ Aku harus mengikutinya dan bertanya lebih banyak.’ Aku berlari mengejarnya tetapi aku tidak dapat menemukannya.
Syaikh Muhammad ad-Daghestani berkata, “Suatu ketika aku keluar untuk menemui Syaikh Isma`il ash-Shirwani. Aku mencium tangannya dan meminta untuk menemaninya dalam perjalanan. Aku bepergian dengannya selama 2 hari. Selama itu aku tidak pernah melihatnya makan atau minum. Aku menjadi sangat lapar dan haus dan menjadi sangat lemah untuk melanjutkan perjalanan tanpa makanan dan minuman. Aku berkata, ‘Wahai Syaikh, Aku sangat lemah.’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu lapar atau haus?’ Aku berkata, ‘Ya, keduanya.’ Beliau berkata, ‘kalau begitu kamu tidak pantas menemaniku. Tututplah matamu.’ Aku menutup mata dan ketika aku membukanya aku menemukan bahwa aku telah berada di rumah.”
Beliau wafat pada hari Rabu,10 Dzul-Hijjah 1255 H/ 1839 M Beliau dimakamkan di Amasya.
Beliau meneruskan rahasianya kepada ketiga kalifah yang seluruhnya adalah murid-muridnya. Suksesi yang banyak ini serupa dengan masa Sayyidina Shah Naqshband, ketika beliau menyerahkan rahasia tariqat kepada banyak kalifah, perbedaannya adalah pada masa Shah Naqshband, beliau menyerahkan rahasia utamanya hanya kepada seorang, Sayyidina `Ala’uddin al-Attar, di lain pihak Syaikh Isma`il menyerahkannya kepada tiga orang: Syaikh Khas Muhammad ash-Shirwani, Syaikh Muhammad Effendi al-Yaraghi al-Kurali, dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
33. S.S. Khas Muhammad Shirwani (QS)
“Aku menangis tetapi Dia membuatku bahagia.
Aku menjadi sadar tetapi Dia membuatku mabuk.
Aku diselamatkan tetapi Dia menenggelamkan aku.
Satu waktu Dia bersahabat denganku,
Di waktu yang lain Dia mengangkatku
Di waktu yang lain lagi, Dia memerangi aku
hingga aku menjadi marah.
Satu waktu aku bermain dengan-Nya,
Satu waktu aku menemani-Nya,
Di waktu yang lain aku menghindari-Nya,
Di waktu yang lain aku berbicara dengan-Nya
Jika engkau mengatakan bahwa Dia senang,
Kau akan mendapati Dia murka,
atau jika kau katakan Dia mempunyai kewajiban,
kau akan mendapati Dia memutuskan.”
Abdul Karim Jili
Ia adalah ulama yang paling bijaksana di zamannya, dihiasi dengan keindahan ilmu, dibusanai dengan kesalehan dan kesabaran, dicerahkan dengan inti dari keyakinan dan didukung dengan keteguhan imannya. Ia dapat membedakan yang haqq dari yang batil. Ia tidak tertandingi dalam keelokan dan klarifikasinya. Ia adalah master dari tarekat ini dan yang pertama dalam jemaah. Ia adalah sang pemenang di antara orang-orang yang arif dan sang penunjuk arah bagi para salik.
Bicaranya menjadi teladan dan indah dalam kefasihannya. Bukti-bukti dan contoh-contoh yang diberikannya merupakan metafora yang menjelaskan suatu konsep agar dapat diterima dan dipahami oleh orang-orang. Semua orang kagum akan kefasihannya. Jika ia melewati sebuah kota di Daghestan, orang-orang akan berbaris di jalan untuk melihatnya. Para penulis biasa mendatangi majelisnya untuk mendengar kefasihan tutur katanya, sementara para ahli fiqh datang untuk mendengar uraian fiqhnya, para filsuf untuk logika yang disampaikannya, para pembicara untuk kejelasan ceramahnya, dan para Sufi untuk Tajali Kebenarannya.
Ia dilahirkan di Kulal, sebuah distrik di Shirwan, di selatan Daghestan pada hari Senin, tanggal 1 Muharram 1201 H./1786 C.E.
Ia berperawakan tinggi dan kulitnya sangat putih. Janggutnya berwarna antara hitam dan putih. Matanya hitam. Nada suaranya tinggi.
Ia adalah salah satu fuqaha yang saleh dan banyak berdoa. Ia mengikuti dan mengajarkan Mazhab Syafi’i. Ia hafal “Kitab ul-Umm” dari Imam Syafi’i. Ia mampu memberi fatwa pada usia dua puluh tahun. Ia sangat dihormati oleh semua orang di kotanya. Ia memperoleh pelajaran Tasawuf pertamanya dari keluarganya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata, “Jalan kita dikontrol dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
“Aku telah berjumpa dengan empat tipe awliya dari Tarekat Naqsybandi, dan dari masing-masing tipe ada tiga puluh contoh; tetapi pada akhirnya aku mengikuti Syekh Isma`il ash-Shirwani (q).”
“Allah tidak mengirim segala sesuatu ke bumi ini kecuali sebagai pelajaran bagi hamba- hamba-Nya.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang arif?” Ia menjawab, “Seorang arif adalah orang yang mengetahui rahasia kalian tanpa kalian mengatakannya.”
Ia berkata, “Kami tidak mengambil Sufisme melalui pembicaraan atau kata-kata yang menyolok atau dengan mengatakan, ‘Syekh kami mengatakan ini dan itu.’ Kami mengambil Sufisme dengan lapar dan meninggalkan dunia dan dengan mengasingkan diri dari semua orang.”
Ia pernah ditanya, “Apa perbedaan antara murid dan murad?” Ia menjawab, “Murid adalah orang yang memperoleh ilmunya melalui aktivitas dan kegiatan belajarnya, sedangkan murad adalah orang yang menerima ilmunya melalui ilham dan inspirasi. Murid bergerak dan berjalan, tetapi murad terbang, dan sangat berbeda antara orang yang berjalan dengan orang yang terbang.”
“Keikhlasan antara Allah dan hamba-hamba-Nya tidak disaksikan oleh seseorang, tidak pula malaikat mencatatnya, dan tidak pula Setan merusaknya serta tidak pula nafsu menghancurkannya.”
“Bahkan para shiddiqin pun dapat mengubah pendapatnya lebih dari empat puluh kali dalam semalam, meskipun ia dapat dipercaya. Sementara al-Musyahid (orang yang menyaksikan) pandangannya teguh selama empat puluh tahun.”
Orang yang berada pada “Maqam Musyahada” dari Hadratillah, ia melihat Hakikat. Ia akan mencapai tiga tahap penyaksian: ilm al-yaqin;
ayn al-yaqin; dan haqq al-yaqin. Ilmu yang ia peroleh akan diterima secara langsung dari Hadratillah, yang tidak pernah berubah. Oleh sebab itu orang-orang pada maqam ini keputusannya teguh, dan itu berasal dari Hakikat, bukannya dari buah pikiran akalnya.
Ia berkata, “Seseorang tidak bisa disebut sebagai hamba yang bijaksana sampai tidak tampak lagi pada dirinya hal-hal yang tidak disukai Allah.”
“Tarekat Sufi Naqsybandi adalah berdasarkan empat karakteristik perilaku, yaitu: tidak bicara kecuali jika ditanya atau diminta, tidak makan kecuali jika lemah karena lapar; tidak tidur kecuali ketika lelah; dan tidak tinggal diam ketika berada di Hadirat-Nya (yakni bermunajat terus kepada Allah).”
“Kemurnian kalbu tergantung pada kemurnian zikir dan kemurnian zikir tergantung pada tidak adanya syirik khafi (syirik yang tersembunyi).”
“Bicaranya Nabi (s) adalah dari Hadratillah, sedangkan bicaranya Sufi adalah dari Musyahadah (Penyaksian).”
“Jalan bagi Sufi kepada Allah adalah dengan berjuang melawan diri mereka sendiri.”
“Ilmu Tauhid telah terhijab dari mata ulama lahir (ulama dengan ilmu eksternal) sejak dulu kala. Mereka hanya bisa membicarakan bagian luarnya saja.”
“Apa yang menyebabkan kalbu merasa gembira dan damai ketika ia mendengar suara yang indah? Itu adalah suatu konsekuensi dari peristiwa di mana Allah telah berbicara kepada ruh ketika mereka masih berupa atom di Hadirat-Nya; Allah bertanya kepada mereka, ‘Bukankah Aku adalah Tuhanmu?’ Manisnya Kalamullah menjadi terpatri pada mereka. Sehingga di dunia ini, ketika kalbu mendengar suatu zikir atau musik, ia mengalami kegembiraan dan kedamaian, karena ini adalah refleksi dari manisnya Kalamullah tadi.”
Mengenai Keramatnya
Selama dua puluh tahun ia tidak makan kecuali hanya sekali seminggu. Wirid hariannya terdiri dari salat 350 rakaat.
Syekh Ahmad al-Kawkasi berkata, “Suatu ketika aku sedang menempuh perjalanan dari suatu kota ke kota lain dengan menembus hutan untuk suatu urusan yang penting. Di tengah perjalanan salju turun dengan lebatnya, dan angin bertiup kencang. Setelah salju berhenti, hujan mulai turun, membuat semua jalan seperti sungai. Aku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melewati hutan itu. Aku masuk ke hutan itu menjelang malam, tetapi aku tersesat di tengah hutan. Langit menumpahkan hujan dan malam menyelimutiku, banjir semakin tinggi dan aku tidak tahu ke mana aku harus pergi. Aku sampai pada sebuah sungai yang mengalir melewati pepohonan. Banjir membuat sungai itu seperti samudra, penuh dengan gelombang. Jembatan di atasnya telah hancur, tetapi aku harus menyebranginya. Air sungai semakin tinggi hingga mencapai kakiku dan kemudian mencapai kaki kudaku. Aku takut akan tenggelam bersama kudaku. Aku lalu mengangkat kedua tanganku dan berdoa kepada Tuhanku, “Ya Allah, tolonglah aku dalam kesulitan ini.” Dengan segera aku mendengar sebuah suara di belakangku yang mengatakan, ‘Wahai Ahmad, mengapa engkau memanggilku dan membuatku keluar dari rumahku? Aku menoleh dan aku melihat Syekh Khas Muhammad di belakangku, tetapi beliau sangat besar. Beliau berkata, ‘Peganglah tanganku dan mari kita sebrangi sungai ini.’ Aku merasa ketakutan. Beliau berkata, “Bila engkau bersama kami, kau tidak perlu takut.’ Lalu kami menyebrangi sungai dan beliau berjalan di atas air dan aku berjalan bersamanya di atas air hingga ke sebrang. Beliau berkata, ‘Sekang kau sudah aman,’ lalu beliau menghilang. Ketika aku sampai di tempat tujuanku dan pergi ke masjid, aku melihat beliau sedang duduk di sana. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?’ Beliau berkata, ‘Wahai Ahmad, bagi kami tidak ada batas. Kami bisa berada di mana saja dan kapan saja.’”
Jihadnya
Benningsen dan Wimbush menggambarkan tentang pengaruh Syekh Isma`il ash-Shirwani (q) dan khalifahnya di Daghestan, “Tarekat Naqsybandiyyah memainkan peranan penting dalam sejarah bangsa Kaukasia. Disiplinnya kuat, dedikasi mereka total bagi cita-citanya, dan mempunyai hierarki yang ketat, hal itu dapat terlihat dari epik perlawanan orang-orang gunung di Kaukasia terhadap penaklukan Rusia. Suatu perlawanan yang berlangsung sejak 1824 hingga 1855, di mana bukan hanya pemimpin gerakan mereka tetapi juga para penguasa setempat (na’ib) dan mayoritas para pejuangnya adalah para pengikut Naqsybandi. Dapat dikatakan bahwa hampir selama lima puluh tahun perang Kaukasia memberikan kontribusi yang penting bagi kehancuran Kekaisaran Tsar baik secara moral maupun material dan mempercepat kejatuhan monarki Rusia. “Persaudaraan itu juga meraih hasil lain yang mendalam dan bertahan lama, yaitu mengubah orang-orang setengah kafir di daerah pegunungan itu menjadi penganut Muslim ortodoks yang kuat, dan mereka berhasil memperkenalkan Islam ke daerah di atas Chechnya dan suku-suku di Kirkasia, di bagian barat Kaukasus yang menganut paham animisme.”… “Migrasi besar-besaran Muslim Kaukasus ke Turki tidak menghancurkan Tarekat Naqsybandiyyah di Daghestan dan Chechnya; karena akarnya telah menyebar begitu luas dan mendalam.”
Khas Muhammad (q) wafat pada hari Minggu, tanggal 3 Ramadan 1260 H./1844 M. ketika kembali ke Daghestan setelah menunaikan ibadah haji. Ia dimakamkan di Damaskus. Ia meneruskan otoritas tarekat ini kepada penerusnya, yaitu Sayyiddina asy-Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q), sesuai dengan kehendak Syekh mereka sebelumnya, Sayyidina Isma`il ash-Shirwani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/khas-muhammad-shirwani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
34. S.S. Muhammad Effendi al-Yaraghi (QS)
“Karena Cinta-Mu, Aku tidak pernah berhenti berdiri di suatu maqam di mana akal kebingungan.” (Abul-Hasan an-Nuri).
Beliau adalah seorang Imam yang shaleh yang dihormati oleh setiap orang. Beliau membawa perbendaharaan pengetahuan dan tata aturan dan perilaku yang menarik dari dalamnya. Perkataan beliau yang sangat banyak bagaikan buku panduan bagi para pencari. Dari keningnya bersinar Cahaya Pengetahuan Surgawi. Beliau sangat berani dalam pertempuran melawan penjajahan Rusia yang berlangsung di masanya. Beliau mempunyai Iman yang sejati dan keyakinan yang murni. Beliau sangat rendah hati kepada setiap orang. Beliau melahirkan tanda-tanda kesempurnaan dalam meletakan ego di bawah pengendaliannya. Beliau mendorong banyak orang untuk mengikuti Thariqat Sufi Naqsybandi dan memberi dukungan terhadap ucapan, tindakan dan hati mereka. Beliau adalah Taman yang penuh dengan Mawar di mana kumbang–kumbang berdatangan untuk mendatangi nektar dan menghasilkan madu terbaik. Orang-orang berlari mendekatinya untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti.
Beliau (dalam dirinya) sendiri adalah Tanda dari Kekuatan Ajaib dalam hal mengetahui rahasia hati dari para pengikutnya dan menunjukan jalan menuju tingkat yang sempurna dari Cinta Ilahi. Beliau adalah seorang tokoh Sufi besar, seorang yang pengetahuannya luas dan dikenal di seluruh bangsa yang berada di sekitar Daghestan. Keharuman namanya tersebar mulai dari Turki, Persia, dan seluruh Negara Arab. Hati beliau penuh dengan ketulusan, sementara jiwanya lembut dan murni. Beliau mempelajari pengetahuan eksternal untuk melengkapi pengetahuan internal. Beliau adalah seorang cendikia di bidang al-Qur’an dan Hadits. Beliau juga menguasai ilmu syari’ah, kimia, astronomi, dan logika. Beliau adalah referensi dari semua ilmu.
Di siang hari beliau melatih ribuan muridnya mengenai strategi militer untuk melawan Rusia dan di malam harinya beliau mengajarkan spritualitas. Beliau jarang sekali tidur, tidak lebih dari dua jam dalam sehari. Makanannya seringkali hanya berupa air, dan pakaiannya hanya berupa selembar kain wool. Beliau dikenal di seluruh Daghestan. Beliau hidup di masa pemerintahan Syah Syamus, seorang Gubernur Daghestan yang memerintah dengan tangan besi dan kejam.
Beliau lahir di Kural, Syirwan, Daghestan pada hari Selasa, 2 Dzul-Qaidah 1191 H/1777 M. Beliau bertubuh tinggi, berkulit putih, berjanggut putih dan bermata hijau. Dari Ucapannya Beliau pernah berkata, “Jika para pecinta Tuhan Yang Maha Esa mengungkapkan Cinta mereka kepada-Nya, maka dari deskripsinya itu setiap pecinta akan meninggal.“
“Para pencari (murid) tidak menginginkan apapun bagi diri mereka kecuali yang Allah telah tetapkan baginya. Dan dia tidak membutuhkan apaun dari alam semesta ini kecuali Tuhannya.” “Jika seorang pencari, setelah berpuasa selama lima hari berkata ‘aku lapar’ maka dia tidak cocok mengikuti thariqat kami.” “Depresi dalam hati berasal dari tiga macam penyakit, yaitu: kehilangan keharmonisan dengan alam, mengikuti kebiasaan yang menyimpang dari Sunnah dan mengikuti orang-orang yang korup (fasik). “
“Ketika hati sangat mendambakan untuk menyaksikan Zat Allah , maka Allah akan mengirimkan Sifat-Sifat-Nya. Mereka akan menjadi tenang, tentram dan merasa sangat bahagia.” Pembuktian adalah untuk mata. Kesaksian (musyahada) berasal dari hati. Penyingkapan (kasyf) adalah untuk rahasia (asrar) dari penglihatan spiritual.“
“Kapankah Allah tidak senang dengan hamba-Nya? Yaitu, ketika seorang hamba merasa terganggu dengan lamanya berdzikir secara kolektif. Jika adalah cinta sejati, maka itu akan terasa seperticintanya terhadap Allah sekejap mata .” “Kematian menolak kebahagiaan bagi yang mencintai kehidupan dunia. “ “Allah tidak akan pernah mengangkat seseorang yang mencintai uang.” “Cinta seorang yang beriman bagaikan sebuah cahaya dalam hatinya.” “Islam berarti menyerahkan hatimu kepada Tuhanmu dan tidak menyakiti orang lain. “
Sebagai tanda kerendahan hatinya beliau pernah berkata, “Jika seseorang dipanggil keluar dari mesjid ‘Yang paling fasik diharap keluar!’ ‘maka Aku adalah orang pertama yang akan keluar. ‘” “Barangsiapa yang mendatangi Allah dengan hatinya, Allah akan mengirimkan hati seluruh hamba-Nya kepadanya.” “Aku melihat dalam diri manusia karya ciptaan Allah tetapi konsep yang salah dari mereka membuat mereka buta dengan pandangan ini, dan aku mendengar dari mereka dzikir yang tak pernah berakhir untuk memuji Sang Pencipta, tetapi telinga mereka sendiri tuli untuk hal itu. “
”Tidak setiap orang mampu memakai pakaian dari wool, untuk memakai pakaian ini dibutuhkan kemurnian hati.” “Barangsiapa yang memakai baju wool dengan kerendahan hati, maka Allah akan meninggikannya dan menyinari hatinya. Barang siapa yang memakainya dengan arogan dan sombong, Allah akan merendahkannya.
Beliau biasa menempatkan muridnya untuk berkhalwat dalam beberapa tingkatan. Murid senior yang sudah banyak melakukan khalwat, akan diperintahkan untuk melakukan khalwat yang sangat ketat di ruangan bawah tanah yang khusus. Beliau menerima pria dan wanita yang datang kepadanya untuk meminta nasihat. Beliau juga mempunyai murid pria dan wanita yang beliau tempatkan untuk berkhalwat, masing-masing di ruangan yang terpisah.
Seorang cendikiawan yang cemburu atas kepopuleran Syaikh Yaraghi berupaya untuk menghancur kan reputasinya dengan mengadukan Syaikh Yaraghi kepada Gubernur Daghestan, Syah Syamus, dan menyatakan bahwa Syaikh Yaraghi mencampur murid-murid pria dan wanita. Cendikiawan itu berkata kepada gubernur, “Orang itu menghancurkan syari’ah,” walaupun di masa itu, Syaikh Yaraghi dikenal sebagai orang yang ketat dalam menjalankan syari’ah dan Sunnah.
Cendikiawan tersebut berusaha menekan gubernur agar menjebloskannya ke dalam penjara. Gubernur kemudian mengirim utusan kepada Syaikh Muhammad Effendi al-Yaraghi dengan sebuah surat. Syaikh membaca surat itu dan berkata kepadanya, “Tunggu! Aku akan memberikan hadiah untuk gubernur dengan syarat dia tidak membukanya sampai Aku tiba di hadapannya.” Beliau lalu masuk ke dalam kamarnya dan keluar dengan membawa sebuah kotak yang diberikan kepada kurir itu. Gubernur menerima kotak itu dan dia merasa takut untuk membukanya. Sayyidina Muhammad Effendi al-Yaraghi datang bersama para pengikutnya. Ketika beliau masuk gubernur berdiri menyambutnya, orang–orang yang melihatnya terkejut dan sadar bahwa sesuatu telah terjadi, karena bukanlah kebiasaan gubernur untuk berdiri menyambut seseorang.
Syaikh berkata, “Buka kotak itu!” Dia membuka kotak itu dan menemukan sebuah surat di dalamnya. Di bawah surat itu terdapat batu bara yang membara. Di bawah bara api itu terdapat selembar kain, sama sekali tidak terpengaruh oleh bara itu. Di bawah kain terdapat serbuk mesiu. Syaikh berkata lagi, “Baca surat itu!” Dia membuka surat itu dan mulai membacanya dengan keras, “Kepada gubernur. Walaupun tuduhan kepada kami tidak benar, namun demikian kami ingin bertanya, adakah seseorang yang mampu menjaga sekotak penuh bara api yang menyala dan di bawahnya terdapat serbuk mesiu selama satu minggu…,” saat itu gubernur mulai bergetar. Syaikh berkata kepadanya, “Jangan gemetar. Baca terus!” Gubernur itu melanjutkan, “…di mana terletak serbuk mesiu selama satu minggu tanpa menimbulkan bahaya atau ledakan, apakah dia tidak sanggup untuk menjaga murid-muridnya, baik pria maupun wanita dari ledakan dengan api gairah?”
Suatu waktu seorang ibu membawa anak laki-lakinya kepada Syaikh. Anak itu berumur empat bulan. Syaikh memanggil anak itu, dan yang membuat orang-orang takjub adalah karena anak itu berjalan menuju Syaikh. Beliau berkata kepada anak itu, “Ikuti apa yang Aku baca,” dan anak itu mengulangi bacaan Surat al-Ikhlash (surat ke-112). Syaikh lalu berkata, “Bacalah surat itu sendiri,” dan anak itu membacanya sendiri. Seseorang yang melaporkan peristiwa itu berkata, “Aku bertemu lagi dengan anak itu 30 tahun kemudian, dan dia menunjukkan kemampuan intelegensi yang sangat tinggi seperti pada saat berada di depan Syaikh.”
Jihad Syaikh Muhammad Effendi al Yaraghi
Leslie Blanch menyatakan dalam bukunya, “Sabres of Paradise,” bahwa Syaikh Muhammad Effendi al-Yaraghi merupakan Syaikh dari Imam Syamil an-Naqsybandi. Selama peperangan mereka melawan Rusia, beliau mengajarkan strategi dan taktik, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayiddina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni kepadanya.
Dalam bab 34 Gammer berkata mengenai Syaikh, dalam bukunya, “Muslim Resistance to the Tsar…” “… Pada saat lingkaran kilauan bayonet tentara Rusia mendekat dari segala sisi, pengaruh Mula Muhammad [al-Yaraghi]telah berkembang dengan baik tahun demi tahun. Yang tidak dapat diraba, non-material, pengaruh itu diam-diam mampu menembus barikade baja yang runcing secara meyakinkan bagaikan sebuah kapal khayal yang melewati karang yang menghadang, atau seperti kobaran api yang merayap melawan angin. Dua kekuatan, material dan moral, bergerak dalam lingkaran yang terpusat dengan arah yang berlawanan, dengan langkah yang terjaga secara kompak, dan ketika di bagian luar di Pusat Daghestan tampak semangat kebebasan terinjak di bawah kaki tentara-tentara Tsar, api keramat siap untuk meledak keluar dan menerangi tanah di semua penjuru, bahkan sampai ke perbatasan terluar.” “Sumber Rusia secara sepakat mengaku bahwa sejak awal Muhammad al-Yaraghi dan murid-muridnya mengobarkan semangat jihad melawan Rusia. Ini tidaklah mengejutkan… Lebih jauh lagi, peranan Sufi ta’ifas, khususnya Naqsybandiyya, dalam gerakan jihad seluruh ummat Muslim telah ditegaskan…. [karena] pengaruh ceramah yang diberikan oleh Muhammad al-Yaraghi.” “…Perhatian pertama dari Muhammad al-Yaraghi dan murid-muridnya adalah membangun dan menegakkan syari’ah dan menghapus ‘adat [kebiasaan yang terus dipakai].”
Syaikh berbicara kepada penduduk yang bermukim di pegunungan Daghestan, “Kalian bukan Muslim, bukan Kristen dan bukan pula atheis… Rasulullah bersabda, “dia adalah seorang Muslim yang sejati… yang mematuhi al-Qur’an dan menyebarkan syari’ahku. Dia yang bertindak menurut perintahku akan berdiri di surga lebih tinggi daripada semua Awliya yang mendahuluiku.”… ”Berjanjilah, Wahai manusia, untuk menghentikan semua kebiasaan buruk dan selanjutnya menjauhi perbuatan dosa. Gunakan waktumu, siang dan malam di masjid. Beribadahlah kepada Tuhan dengan bersemangat. Memohonlah ampunan dengan meratap kepada-Nya. Syaikh Yaraghi seringkali memprediksi masa depan para pengikutnya dan prediksinya selalu menjadi kenyataan. Ketika penderita tuna netra dan cacat mendatanginya dan beliau berdo’a untuk mereka, mereka menjadi sembuh. Jika orang miskin datang kepadanya dan beliau berdo’a untuk mereka, mereka akan menjadi kaya raya.
Beliau meninggal pada hari Rabu, 17 Muharram 1265 H/1848 M. Beliau memberi otoritas kepada penerusnya, Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni untuk menjadi Pemimpin Thariqat berikutnya, dengan Rahasia yang telah diberikan oleh Syaikh mereka berdua, Sayyidina Isma`il asy-Syirwani, dan sebagaimana beliau telah diperintahkan olehnya.
35. S.S. Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (QS)
Ia adalah salah satu dari Manusia Sempurna yang Allah busanai dengan Asmaul Husna wal Sifat. Ia membuatnya sebagai Pilar utama dari Ilham Ilahiah berupa Rahasia yang tesembunyi dan Kunci untuk membuka Singgasana Ilmu. Ia mewakili Tuhannya sebagai Bayangan-Nya di dunia ini, kalbunya dihiasi dengan permata dari Essensi Wahdaniah yang Unik. Dia menjadikannya sebagai Rumah bagi Cahaya-Nya. Ia adalah Rezeki bagi kalbu-kalbu para Salik dan ia merupakan wasilah bagi mereka yang ingin mendengar Kalamullah secara langsung. Ia adalah Sang Kibrit al-Ahmar, “Belerang Merah” menurut Timbangan Ilahiah, Sang Penjamin bagi Tersingkapnya Rahasia-Rahasia Ibadah yang dalam. Ia adalah Kamus bagi bahasa Ilmu-Ilmu Khusus: padanya bersemayam Zamrud Hijau dan Merah Delima bagi Sang Penyelam di Samudra itu, yang darinya muncul Warisan Besar dalam membangkitkan ilmu spiritual dan agama.
Ia memahami perkataan burung dan ia merupakan penerjemah Gairah Cinta Ilahi dan ia dimuliakan dengan Ilham-Ilham dari Tarekat ini. Ia adalah penampilan Maqam Kenabian dari Hakikat Muhammad (s). Ia adalah Mursyid dari Mursyid, Cahaya dari Cahaya, Arif dari Arif. Ia adalah seorang Mursyid dari tarekat ini yang mengambil kekuatannya melalui garis hubungan darah kepada Nabi (s), ia adalah seorang Sayyid Hasani wal Husayni, dan ia mengambil kekuatan spiritual tarekat ini dari Nabi (s) melalui Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dan Sayyidina `Ali (r).
Ia dilahirkan di distrik Kubu, dari Ghazikumuk, di Daghestan pada hari Kamis, 16 Muharam tahun 1203 H./1788 M. Sejak dilahirkan ke dunia ini ia sudah berada dalam Maqamul Syahadah (Penyaksian) dan sepanjang hidupnya ia berada dalam Maqamul Kasyf, atau tanpa hijab.
Ia adalah seorang ulama baik dalam ilmu lahir maupun ilmu batin. Ia dikenal dapat berbicara dalam 15 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Urdu, Pashtu, Hindi, Rusia, Turki, dialek Daghestani dan Circassia, dan Armenia. Ia telah menghafal Qur’an dalam hati dan mengingat 775.000 Hadits, baik yang sahih maupun yang palsu.
Ia adalah seorang ensiklopedia hadits dan referensi bagi tafsir kitab suci al-Qur’an. Ia adalah seorang ahli Fikih dan Logika. Ia adalah seorang ilmuwan dan ahli matematika. Ia memiliki kecakapan khusus dalam ilmu Fisika. Ia adalah seorang ahli homeopati. Bahkan tidak ada cabang ilmu apapun yang belum dipelajarinya secara mendalam. Ia adalah seorang Sufi besar dan menulis buku berjudul “Adab al-Muridiyya fi ‘th-Thariqat an-Naqsybandiyya,” “Adab Murid di dalam Tarekat Naqsybandi.”
Ia adalah seorang Kutub dari Syekhnya di zamannya dan ia menempati posisi itu selama empat puluh tahun. Syekhnya, yaitu Syekh Isma`il (q), menunjukkan berbagai ilmu rahasia yang penting untuk melatih dan mengangkat murid-muridnya.
Ketika Syekh Syekh Isma`il (q) masih hidup, Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q) sudah merupakan seorang wali. Di masa hidupnya dua wali besar lainnya dari Daghestan dan khalifah dari Syekhnya, Sayyidina Khas Muhammad (q) dan Syekh uhammad Effendi al-Yaraghi (q), ia terus menjadi wali yang membawa rahasia utama dari Tarekat Naqsybandi. Namun demikian, hanya ketika Syekhnya, Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) wafat, ia diberi izin untuk menjadi Mursyid tarekat ini.
Ia berbadan tinggi namun kurus. Kulitnya sangat putih. Janggutnya sangat panjang dan lebar. Matanya merah, suaranya lembut dan manis.
Ketika ia masih muda, ia adalah seorang murid dari ulama dan Sufi di Daghestan. Untuk beberapa saat ia menjadi sekretaris Gubernur Ghazikumuk. Ia memutuskan untuk meninggalkannya karena, “Allah memberiku kekuatan untuk melihat dengan dua mata istimewa, kekuatan untuk melihat ke dalam tujuh Langit dan melihat menembus bumi. Aku tidak bisa bekerja untuk seorang penindas.” Ia meinggalakan pekerjaan itu dan mengarahkan dirinya menuju Tarekat Naqsybandi, yang subur pada masa itu. Ia mempersiapkan orang-orang untuk berperang melawan Rusia. Kemudian ketika ia menjadi seorang Syekh, ia menjadi penasihat dan pemberi ilham di belakang perlawanan bersenjata Imam Syamil (q) yang juga adalah ayah mertuanya.
Ilmunya mengenai Tarekat Naqsybandi membuat orang-orang dari berbagai daerah datang untuk mendengar perkataannya. Ketika orang bertanya mengapa ia meninggalkan jabatannya di pemerintahan, ia menjawab dengan kata-kata sebagaimana yang dikutip di atas tadi. Mereka takjub dengan jawabannya. Dalam waktu yang singkat ia menjadi sangat terkenal.
Sepanjang zamannya Syekh Syamil (q), gubernur lainnya yang bernama Arlar Khan, memintanya untuk menerima posisi mufti (pemegang kewenangan agama). Ia menolaknya dengan berkata, “Aku tidak akan bekerja untuk para penindas.” Kemudian gubernur memerintahkannya untuk mengambil jabatan itu, tetapi ia mengabaikannya dan kemudian pergi. Gubernur kemudian memerintahkan agar ia digantung. Syekh Jamaluddin (q) berdiri dengan tali mengelilingi lehernya dan segera akan dieksekusi. Tiba-tiba Gubernur berlari ke arah balkon dan berteriak, “Stop! Stop! Jangan gantung dia.” Dalam keramaian itu, Gubernur terjatuh dari balkon dan menewaskan dirinya. Orang-orang segera melepaskan tali dari leher Sayyidina Jamaluddin (q) dan membiarkannya pergi. Ini adalah salah satu keramatnya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Kau harus menggunakan ilmumu. Jika engkau tidak menggunakannya, ia akan digunakan untuk menentangmu.”
“Langkah pertama dalam Maqam Wahdaniyah Yang Khas adalah menjaga sabda Nabi (s), yaitu ‘Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.’”
“Ibadah seorang yang Arif adalah lebih baik daripada mahkota di kepala raja.”
“Jika ilmu yang akan kubicarakan berasal dari diriku, maka ia akan musnah; tetapi bila itu berasal dari-Nya, dan karena itu berasal dari-Nya, maka ia tidak akan pernah musnah.”
“Di antara amal yang pahalanya tidak dapat dilihat oleh malaikat adalah Zikrullah.”
“Asosiasi terbaik dan tertinggi adalah duduk bersama-Nya dalam Maqam at-Tawhiid.”
“Jagalah waktumu, karena mereka berjalan dan tidak akan pernah kembali. Sungguh malang orang yang lalai. Sambungkan wazifa harianmu satu dengan yang lain, seperti mata rantai, kau akan mendapat manfaat darinya. Jangan membuat kalbumu sibuk dengan kehidupan duniawi, karena itu akan menyingkirkan pentingnya Akhirat dari dalam kalbumu.”
“Kisah orang-orang yang saleh dan para awliya bagaikan batalion Pasukan Allah, di mana maqam murid dibangkitkan dan ilmu rahasia dari Sang Arif menjadi dikenal. Bukti dari hal ini ada di dalam kitab suci al-Qur’an, ketika Allah berfirman kepada Nabi (s), ”Kami akan ceritakan kisah-kisah Rasul yang datang sebelummu, untuk meneguhkan hatimu” [11:120].
“Jadikanlah kalbumu bersama Allah `Azza wa Jalla, dan tubuhmu bersama orang-orang, karena siapa yang meninggalkan orang-orang akan meninggalkan jemaah dan siapa yang meninggalkan jemaah akan jatuh ke dalam kelalaian. Orang yang menggunakan Rahasianya untuk bersama orang-orang akan jatuh ke dalam ujian dan godaan dan ia akan dihijab dari Hadirat Tuhannya.”
“Allah telah menyingkapkan kepada hamba-hamba-Nya mengenai kekurangan mereka ketika Dia mengungkapkan bahwa mereka diciptakan dari tanah liat. Dia tunjukkan kepada mereka kehinaannya bahwa mereka berasal dari setetes air yang hina (mani). Dan Dia membuat mereka menyaksikan ketidakberdayaannya ketika Dia menciptakan kebutuhan untuk pergi ke kamar kecil.”
“Kebanggaan adalah bahaya yang sangat besar bagi manusia.”
“Ilmu mengenai Keesaan merupakan kekhususan bagi Sufi yang memungkinkan mereka dapat membedakan antara yang Abadi dan yang sementara.”
Dari Keramatnya
Dikatakan bahwa Allah mengaruniainya dengan dua mata tambahan dari kedua mata normalnya dan ini memberikan penglihatan tambahan baginya. Satu mata terletak di bawah pusarnya, dan satu lagi di atas pusarnya. Ketika ia masih bayi, para wanita di Ghazikumuk berdatangan untuk melihat kedua mata tambahan itu.
Allah memberi kekuatan spiritual kepada kedua mata ini di mana Dia menyingkapkan ilmu gaib untuk diketahui, baik Ilmu Surgawi maupun ilmu terkait makhluk spiritual (jin) dari dunia ini.
Dengan mata di atas pusarnya ia dapat melihat Ilmu Surgawi dan diberikan kekuatan spiritual untuk memindahkan dirinya ke Hadirat Ilahi dengan penglihatan yang lengkap, tanpa kehilangan kesadarannya. Ia dapat melihat Rahasia-Rahasia Ilahi dalam kesadaran penuh dan berbicara mengenainya kepada para pengikutnya. Setiap kali muridnya bertanya mengenai maqam-maqam Surgawi, ia akan menjawabnya dengan melihat maqam itu dengan Penglihatan yang Sempurna terlebih dahulu, baru kemudian memberikan jawabannya.
Mata di atas pusarnya digunakan untuk menjawab semua pertanyaan mengenai dunia ini dan mengenai jin. Ia sangat terkenal dalam menjelaskan kepada para pengikutnya mengenai apa yang mereka perlukan mengenai masa depan, masa sekarang dan masa lalu mereka. Silsilah dan hubungan kekerabatan antara murid-muridnya dengan leluhurnya disingkapkan baginya seperti sebuah kitab. Ia dapat memuaskan setiap orang yang bertanya mengenai leluhurnya karena ia dapat menyebutkan leluhur mereka satu per satu.
Suatu hari ia duduk bersama murid-muridnya dan memakan apel. Tiba-tiba ia mengambil apel-apel itu dari piring dan melemparkannya ke udara. Murid-muridnya terkejut melihat tindakan yang seperti kekanak-kanakan itu, khususnya dalam kaca mata prinsip Sufi yang dengan tegas menghindari semua perbuatan yang tergolong tidak berguna dan tidak ada urusannya (ma la ya`ni). Ia memandang mereka dan berkata, “Jangan melihat pada suatu perbuatan dan salah menafsirkannya, itu akan menjadi sebuah kesalahan yang fatal. Makna dari tindakan yang tadi kulakukan akan diketahui dalam beberapa jam, ketika seorang murid akan datang dari desa lain dan kalian akan mendapat penjelasannya.”
Sebagaimana yang diprediksikan, seorang pria datang dan berkata, “Wahai Syekhku, saudaraku baru saja meninggal dunia.” Syekh berkata, “Itulah yang terjadi. Sekarang katakan kepada mereka kapan tepatnya ia meninggal dunia.” Ia berkata, “Ia meninggal dunia empat jam yang lalu.” Syekh menjelaskan, “Aku melihat malaikat `Izra’il (a) datang untuk mencabut nyawa seorang pengikutku dengan kemarahan dan hukuman. Aku melemparkan apel itu ke atas dan dengan tindakan itu, aku menghentikan `Izra’il (a). Aku berkata agar ia kembali kepada Allah `Azza wa Jalla, dan mengatakan kepada-Nya bahwa Sayyid Jamaluddin (q) meminta agar Dia mengubah kematian hamba-Nya itu dari su’ul khatimah (akhir yang buruk) menjadi khusnul khatimah. Dalam perjalanan `Izra’il (a) kembali dengan jawaban bahwa Allah telah mengubah takdirnya dari hukuman menjadi rahmat, aku melemparkan apel kedua dan mengatakan kepada `Izra’il (a) agar ia pergi dan aku sendiri yang akan mencabut nyawa muridku. Akulah yang mencabut nyawanya keluar dari jasadnya pada tujuh napas terakhirnya.”
Suatu ketika ada beberapa pengunjung dari Kazan yang menempuh perjalanan untuk bertemu Sayyidina Jamaluddin (q). Dalam perjalanannya mereka melewati rumah seorang wanita tua yang bernama Salahuddin `Ayesya. Wanita itu berkata, “Bila kalian bertemu dengan Syekh, mintalah padanya untuk memberiku bay’at, karena aku sendiri tidak bisa pergi menemuinya.” Pada akhir pertemuan mereka dengan Syekh Jamaluddin (q), mereka memintanya untuk memberi wirid bagi Salahuddin `Ayesya. Ia berkata, “Bawakan sehelai kain ini kepadanya.” Mereka lalu membawakan sehelai kain yang diberikan oleh Syekh itu dan menyerahkannya kepada Salahuddin `Ayesya. Wanita itu mengambilnya, membukanya, melihatnya dan mengatakan, “Aku mengerti, aku mengerti!” dan ia mengangkat kain itu ke atas kepalanya. Lalu ia pergi dan beberapa waktu kemudian, ia datang kembali membawa sebuah bejana berisi susu. Ia berkata, “Bawakan ini kembali kepada Syekh.” Ketika mereka kembali dan memberikan susu itu, Syekh sedang dalam keadaan sakit parah karena telah dianiaya oleh Gubernur. Syekh lalu meminum susu itu dan berkata, “Alhamdulillah, aku disembuhkan melalui susu yang diperah dari rusa oleh wanita itu. Ia sangat bijaksana. Ia segera mengerti. Aku meletakkan sebuah arang yang menyala di dalam kain itu tetapi kain itu tidak terbakar. Ketika aku mengirimkannya kepadanya, ia mengerti bahwa memegang tarekat ini bagaikan memegang sebuah bara api yang menyala. Ia mengambil arang itu dan mengirimkan susu. Susu itu adalah lambang kemurnian kalbu. Jadi ia mengirimiku sebuah jawaban dengan mengatakan, “Aku menerima kesulitan di jalan ini (dalam tarekat ini), dan aku mendedikasikan kemurnian kalbuku kepadamu.” Kemudian orang-orang desa itu kembali menemui wanita itu dan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Syekh. Ia berkata, “Ketika aku menerima arang itu, dua ekor rusa muncul di pintuku. Aku tidak pernah melihat hal itu. Aku segera mengerti bahwa aku harus memerah mereka dan mengirimkan susunya kepada Syekh.”
Suatu ketika Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q) sedang bersama murid-muridnya di sebuah masjid jami di sebuah kota untuk melakukan salat Isya berjamaah. Ketika salat telah selesai, semua orang keluar dan mereka mengunci masjidnya. Satu orang tetap tinggal di dalam masjid itu, ia bersembunyi di balik pilar. Namanya adalah Orkallisa Muhammad, salah satu murid terbaik dari Sayyid Jamaluddin (q). Ia berbicara sendiri, mengatakan, “Hei Orkallisa Muhammad, sekarang tidak ada orang lain bersamamu, kau sendiri sekarang. Bela dirimu.” Dan ia menjawab sendiri, “Bagaimana aku dapat membela diriku? Aku adalah orang terburuk yang pernah Allah ciptakan di bumi. Aku bersumpah bahwa jika apa yang aku katakan tidak sesuai dengan apa yang kuyakini, maka istriku menjadi haram bagiku!” Ia tidak tahu bahwa Syekhnya juga bersembunyi di dalam masjid itu dan mengamatinya. Syekh melihat ke dalam kalbunya. Ia melihat bahwa kalbunya sungguh menganggapnya sebagai orang terburuk di antara seluruh makhluk.
Sayyid Jamaluddin (q) menampakkan dirinya, tertawa dan berkata, “Wahai Orkallisa, datanglah ke sini.” Orkallisa sangat terkejut melihat Syekhnya karena ia berpikir bahwa ia sendirian. Syekh berkata kepadanya, “Kau benar, dan kau juga setia dan tulus.” Segera setelah ia mendengar hal ini, Orkallisa Muhammad melayang hingga kepalanya membentur langit-langit masjid. Ia kemudian jatuh dan melayang lagi dan jatuh lagi dan seterusnya hingga tujuh kali. Ketika seorang murid dibersihkan dari dunia ini, ruhnya akan mengangkatnya dan ia akan terbang seperti seekor burung.
Lalu Syekh Jamaluddin (q) berkata kepadanya, “Duduklah.” dan ia pun duduk. Syekh lalu menunjuk dengan telunjuknya ke kalbu Orkallisa Muhammad dan membuat gerakan berputar. Ketika ia memutarkan jarinya, ia membuka kalbunya, bukan kepada Hadirat Ilahi, tetapi kepada rahasia-rahasia yang tersembunyi yang sudah berada di dalam kalbunya. Apa yang dibukakan Syekh kepadanya adalah enam level yang akan dibukakan kepada seorang salik agar ia dapat menapaki langkah pertamanya di dalam tarekat ini (level murid, setelah level muhib). Mereka adalah hakikat daya tarik (haqiqat al-jadzba), hakikat mencurahkan ilmu dengan melimpah (haqiqat al-fayd), hakikat untuk memfokuskan diri kepada Allah (haqiqat at-tawajjuh), hakikat memberi perantaraan atas izin Allah (haqiqat at-tawassul), hakikat memberi bimbingan (haqiqat al-irsyad), dan hakikat menggulung, dapat bergerak sesuka hatinya di dalam dimensi ruang (haqiqat at-tayy).
Keenam kekuatan yang dibukakan kepadanya adalah Langkah Utama yang pertama di dalam Jalan Sufi. Setelah ia membukakan keenam kekuatan ini, ia dapat membawanya ke Maqam Syahadah/Penyaksian. Di dalam maqam itu, ia melihat dirinya duduk bersama 124.000 burung putih yang mengelilinginya. Seekor burung hijau yang besar terbang di bagian tengah. Setelah penglihatan itu, burung-burung putih itu lenyap dan di tempatnya kini muncul rohani dari 124.000 awliya. Lalu burung hijau itu lenyap dan muncul rohani dari Sayiddina Muhammad (s). Nabi (s) berkata, “Aku bersaksi bahwa ia telah mencapai Maqamul Ihsan dan sekarang kau dapat mempercayainya. Berikan dia rahasia dari Tarekat Naqsybandi.” Kemudian Sayidd Jamaluddin (q) menuangkan dari kalbunya ke kalbu Orkallisa Muhammad, rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak pernah diimpikannya. Ia berkata kepada Syekhnya, “Wahai Syekhku, apakah hal-hal ini ada di dalam tarekat?” Ia berkata, “Ya, wahai anakku, dan ini baru awal dari perjalanan ini.”
Dikatakan bahwa rahasia dari Syekhnya dapat terlihat pada diri Orkallisa Muhammad. Ia memberikan khotbah Jumat di atas minbar dan ia dapat menepukkan tangannya dan berkata, “Wahai manusia, menangislah!” kemudian orang-orang mulai menangis. Kemudian ia menepukkan tangannya lagi dan berkata, “Tertawalah!” dan mereka mulai tertawa. Kemudian ia memanjatkan doa, mengatakan, “Ya Allah, mereka telah menangis dalam pertobatan mereka dan mereka memohon ampunanmu, ampunilah mereka. Dan mereka tertawa atas nikmat dan rahmat-Mu!” Kemudian ia akan menepukkan tangan untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, “Apakah kalian menerima Tarekat Naqsybandi menjadi tarekat kalian?” dan mereka semua menjawab, “Ya.” Lalu ia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian mau berzikir 5000 kali ‘Allah’ di lidah dan 5000 kali ‘Allah,’ dalam hati?” dan mereka menjawab, “Ya.” Dengan metode ini ia menyebarkan Tarekat Naqsybandi ke seluruh Daghestan, Kazan, Rusia Selatan dan di antara pasukan Imam Syamil.
Jihadnya
Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) sangat terlibat dalam mengarahkan perang melawan Rusia. Ia berperang untuk menjaga agar ajaran spiritualitas tetap kuat di Rusia, sebagaimana di zaman sebelumnya. Ia mendukung Imam Syamil dalam perang melawan Rusia selama hampir 40 tahun. Prajuritnya semata-mata berasal dari murid Naqsybandi, karena ia tidak memperbolehkan ada afiliasi lain di dalam pasukannya. Leslie Blanch menulis hal berikut mengenai hubungan mereka di dalam bukunya, “The Sabres of Paradise”:
“Syamil mematuhinya [Syekh Jamaluddin] lama setelah ia [Syamil] menjadi penguasa yang angkuh yang tidak mentoleransi adanya kritikan. Dengan tutornya, Syamil termasuk murid yang sangat disiplin dan rajin. Ia mempelajari bahasa Arab dan literatur Arab, filosofi dan teologi, mengalami kemajuan menuju doktrin Sufi yang rumit di mana evolusi agama merupakan prinsip fundamental di dalam Sufisme, termasuk studi komparatif mengenai Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Tampaknya ia bukanlah seorang murid biasa dan Jamaluddin mempersiapkan dirinya untuk takdir yang besar, yang menurut beberapa sumber, telah tertulis di keningnya.” [hal. 54-55]
“Ia [Imam kedua di Daghestan] mengalami kemajuan pesat dalam hierarki di madrasah, menjadi salah satu murid dalam lingkaran eksklusif. Namun, betapa pun jauhnya mereka menyusun rencana jihad mereka, tetap saja mereka mengambil inspirasi spiritualnya dari ajaran Sufi [Jamaluddin].”
“Imam Syamil menikah dengan putri Mullah Jamaluddin, Zaydat.” [hal. 211]
“Secara umum, Imam Syamil menghabiskan waktunya dalam tafakur atau berdoa, atau mengikuti diskusi teologis dengan guru spiritualnya, Mullah [Sayyid] Jamaluddin.” [hal. 352]
Ketika Syekh Syamil dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Rusia pada tahun 1279 H./1859 M. Syekh Jamaluddin (q) memutuskan untuk melakukan hijrah masal bersama para penduduk Daghestan ke Istanbul, Turki. Ketika keputusan itu telah ditetapkan, orang-orang dari Daghestan, Kazan, Chechnya, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan dan daerah lainnya, semuanya mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan daerah yang dikuasai Rusia. Mereka pergi ke Turki dan negeri-negeri Arab lainnya.
Syekh Syamil dibebaskan oleh Rusia dengan syarat bahwa ia bersumpah tidak akan melakukan perlawan lagi terhadap mereka. Ia lalu menunaikan ibadah haji dan mendapat sambutan sebagai pahlawan di Mekah, dikatakan bahwa ia diangkat ke atas Ka’bah untuk berdoa di sana agar semua orang memperoleh manfaat dengan melihatnya. Ia wafat di Madinah dan dimakamkan di Makam para Sahabat, al-Baqi`.
Hijrah
Syekh Jamaluddin (q) pindah ke Istanbul, ditemani oleh keluarganya dan keluarga Syekh Syamil. Di sana mereka tinggal di distrik Uskudar, di sisi Asia dari Istanbul. Dari sana ia menyebarkan ajaran Tarekat Naqsybandi ke seluruh Turki.
Pada saat itu semua rumah dibangun dari kayu. Suatu hari kebakaran hebat terjadi di kota Uskudar. Orang-orang meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka datang kepadanya, dan mendesaknya untuk segera pergi. Ia berkata dengan sangat tenang, “Aku tidak akan pergi karena rumahku tidak akan terbakar. Rumah ini dibangun dari uang yang diperoleh dengan tanganku sendiri. Rumah yang dibangun dengan uang yang murni dan halal tidak akan terbakar.” Seluruh distrik itu terbakar, tetapi rumahnya tidak tersentuh oleh api. Rumah itu terus diperlihara hingga sekarang, dan menjadi sangat terkenal.
Perilakunya bersama keluarga dan murid-muridnya selalu sempurna. Ia menjaga akhlak terbaik bersama mereka. Ia tidak pernah bereaksi terhadap keluhan atau keberatan dari keluarganya. Ia tidak pernah keberatan atau mengkritik murid-muridnya. Ia selalu berusaha untuk membuat mereka senang.
Suatu hari, tak lama sebelum wafatnya, ia memanggil istri dan putrinya. Ia berkata, “Hari ini aku telah melakukan sebuah pekerjaan besar, dan itu menyita seluruh tenagaku sehingga aku menjadi sangat lemah. Bila kalian nanti membaca koran, kalian akan melihat bahwa ada sebuah kapal besar yang kandas di Selat Bosphorus. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu dan mereka diselamatkan oleh seseorang yang tidak dikenal. Akulah orang itu, dan kalian akan mendengar mengenai hal itu.” Kemudian ia wafat. Keesokan harinya, putrinya dengan rasa takjub dan berurai air mata membaca berita itu di koran, mengenai sebuah kapal besar yang kandas dan seseorang yang tidak dikenal telah menyelamatkan semua orang di kapal itu. Koran itu masih disimpan oleh keturunannya.
Ia wafat pada tanggal 5 Syawal tahun 1285 H./1869 M. dalam usia 8o tahun. Ia dimakamkan di Uskudar, Istanbul, dekat dengan keluarga Imam Syamil.
Beberapa saat setelah wafatnya dan setelah pemakamannya, lokasi makamnya menjadi hilang, tidak ada orang yang dapat menemukannya. Ia tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun. Syekh Syarafuddin (q), yang muncul 40 tahun setelah wafatnya adalah orang yang menemukan kembali makamnya. Ketika ia tinggal di Rasyadiya, 150 mil dari Istanbul, ia mendapat suatu penglihatan di mana ia dibawa ke Uskudar. Ia dibawa ke sebuah makam dan seseorang muncul di hadapannya dengan memakai jubah hijau. Ia berkata, “Aku adalah Syekh Jamaluddin (q). Kau harus mengungkapkan kembali makamku.” Syekh Syarafuddin (q) bertanya, “Bagaimana aku dapat mengetahui makammu?” Ia berkata, “Ini adalah makam Karaja Ahmad, seorang wali yang dimakamkan di sini,” sambil menunjuk ke sebuah tempat tak jauh dari situ. Lalu ia berkata, “Anakku, lakukan yang terbaik untuk menemukan lokasi makamku.” Keesokan harinya Syekh Syarafuddin (q) menulis kepada orang-orang di Istanbul, dan mengatakan kepada mereka untuk menggali di tempat yang ia sebutkan. Mereka menggali di tempat itu dan mereka menemukan sebuah nisan bertuliskan nama Syekh Jamaluddin (q).
Syekh Jamaluddin (q) meneruskan Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi kepada Sayiddina Abu Ahmad as-Sughuri (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/jamaluddin-al-ghumuqi-al-husayni-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
36. S.S. Abu Ahmad as-Sughuri (QS)
“’Sang Pedang Agama’ ialah dia yang memasuki pertempuran demi Agama dan dia yang seluruh upayanya lillaahita’ala; diperuntukkan bagi Tuhan. Dia pisahkan yang benar dari yang tak benar, dan dia pisahkan yang sesungguhnya kebenaran dari sekumpulan kekeliruan. Namun terlebih dahulu dia perangi dirinya sendiri, dan dia bersihkan sifatnya. Sebagaimana Nabi saw pernah bersabda, ‘Mulailah dari dirimu sendiri!’”(Rumi, Fihi ma fihi)
Beliau adalah Penerus Ilmu Rasulullah saw di masanya, Imam para Kutub, dan Penasihat dari Kerajaan Bimbingan. Beliau melepaskan dahaga spiritualnya dengan minum dari sumber Pengetahuan Surgawi dan beliau mencapai maqam fana di usia 30 tahun. Beliau adalah puncak para Awliya yang zuhud. Beliau ditunjuk oleh Kerajaan Surgawi sebagai Khalifah Kerajaan ini di bumi. Dalam dirinya terkombinasi dua jenis pengetahuan, dan beliau memperoleh dan memahami manfaat dari Taraqat dan aqaqat. Beliau menjadi pusat segala Inspirasi Surgawi dan Wahyu. Beliau adalah Rahasia dari Rahasia Allah dan Keajaiban dari Keajaiban Allah. Beliau adalah Panji-Panji yang unik dari Pengetahuan tentang Spiritualitas dan Pengetahuan dari Pena. Beliau bagaikan Bintang Kutub yang memberi arah dan menerangi jalan bagi orang-orang di masanya. Beliau memulihkan hati yang mati dan beliau mengenakan jubah Wali Besar. Tidak ada satu atom pun di bumi ini yang tertinggal tanpa dukungan kekuatan spiritualnya. Beliau lahir di Sughur, sebuah desa di Daghestan pada hari Rabu, 3 Rajab 1207H/1789 AD.
Beliau berdiri pada singgasana Kutub selama 40 tahun. Kepopulerannya tersebar ke mana-mana. Beliau melatih para pengikutnya dan meninggalkan mereka dengan kekuatan spiritualnya. Jika seseorang muncul dalam kehadiratnya, walaupun hanya 1 jam, dia akan diangkat ke Maqam Pendengaran dan Maqam Pengelihatan. Beliau berkata, “Aku tidak tergantung pada upaya murid, tetapi Aku bergantung kepada cahaya yang Allah berikan kepadaku untuk murid itu. Aku mengangkatnya dengan cahaya itu, karena Aku tahu tidak mungkin orang itu meraih Maqam Tanpa Sekat dengan usahanya sendiri. Itulah arti dari do’a Rasulullah saw, “Ya Allah, jangan tinggalkan Aku kepada egoku walau hanya sekejap.”
Berikut ini adalah beberapa ucapannya: “Allah telah menyediakan rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Siapapun yang tidak mengetahui hikmah mengenai rezeki hariannya yang Allah berikan kepadanya, dia akan dianggap lalai dalam Thariqat kita.” “Orang yang dapat mencapai Realitas Thariqat ini sangat jarang. Dengan kekuatan Realitas itu, orang dapat meraih semua Wali di dunia ini, dan dengan Kekuatan Ilahi yang dianugerahkan ketika kalian mencapai Realitas dari Thariqat ini, kalian dapat meraih semua malaikat, satu demi satu.”
“Cahaya spiritual yang Allah berikan kepadamu di jalan ini adalah Penunjuk Jalan yang menerangi Jalan menuju Kehadirat Ilahi tanpa rasa takut.”
“Dalam thariqat ini, memuliakan sesuatu selain Allah adalah kafir.” “Sufi adalah orang yang telah meninggalkan dunianya, Hari Akhiratnya, dan Kehadirat Ilahi di belakang dan mereka yang hidup menyatu dengan-Nya.” Abu Ahmad as-Sughuri k menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan berkhalwat. Beliau menyukainya, beliau senang menyendiri dan mengasingkan diri dari orang banyak. Dengan alasan itu, beliau cukup senang ketika beliau ditempatkan dalam penjara bawah tanah oleh Rusia, dan itu kerap terjadi padanya.
“Suatu ketika Aku sedang berkhalwat, tiba-tiba ruangan dipenuhi dengan panorama yang indah. Aku tidak mengangkat mataku, tetapi tetap bermeditasi dalam khalwatku. Kemudian sebuah pedang spiritual bersinar dengan cahaya yang lebih terang daripada matahari. Cahaya itu turun ke arah kepalaku. Aku ingin tahu apa itu. Sebuah bayangan tampak di mana Rasulullah menyelimutiku dengan jiwanya, Aku masuk ke dalam dirinya dan Aku melihat diriku dalam dirinya.” “Suatu ketika Aku memasuki kehadirat Syaikhku, Sayyidina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni k. Beliau berkata, ‘Anakku, engkau telah mendapat maqam tertinggi dari Kesempurnaan Muhammad saw.’ Aku berkata, ‘Wahai Syaikhku, Aku ingin mencapai garis keturunan dari maqammu.’ Segera setelah Aku mengatakannya, Aku melihat beliau lenyap dari tempatnya dan muncul dalam diriku, dan Aku melihat diriku hilang dan muncul di tempatnya dan menempati wujudnya.”
Dari Kekuatan Ajaibnya
Beliau diberikan kekuatan ajaib yang belum pernah didapat para Awliya lainnya. Beliau dianugerahkan kekuatan untuk membuka selubung hal-hal yang tersembunyi di alam semesta. Beliau juga dianugerahkan Pengetahuan Spiritual Ilahi untuk mengetahui maqam seseorang setelah kematiannya. Luasnya tak terhingga, begitu luasnya sehingga tidak ada buku yang sanggup mencakup deskripsinya.
Konon ketika masih muda, beliau biasa melihat Nama Allah tertulis di cahaya antara bumi dan langit. Hal itu membangkitkan kesederhanaan dan kerendahan hati yang luar biasa. Tidak ada yang sanggup mengambil fotonya. Bila ada orang yang mencobanya, kameranya akan rusak. Demikian pula ketika orang mencoba menggambarkan wajahnya di atas kertas, penanya tidak akan bergerak, atau pada hari berikutnya gambarnya akan hilang. Beliau berkata, “Aku tidak ingin dikenal di dunia ini setelah Aku meninggalkannya, karena Aku tidak mengharapkan diriku mempunyai suatu eksistensi.” Beliau sering melakukan shalat Fajar (Subuh) dengan wudhu yang sama ketika melakukan shalat `Isya, menunjukkan bahwa beliau tidak tidur.
Suatu saat ketika beliau sedang bepergian dengan keluarganya menuju Hijaz, mereka terjebak di padang pasir tanpa memiliki air. Keluarganya sangat haus. Beliau berkata kepada pelayannya, ‘Pergilah kalian dan carilah sedikit air.” Dia berkata, “Wahai Syaikhku, bagaimana Aku bisa menemukan air di tengah padang pasir ini?” Dia bertanya kepada orang di karafan apakah ada yang mempunyai air, tetapi tak seorang pun mempunyainya dan semua kantong air telah kosong. Kemudian Syaikh mengambil kantong air yang kosong itu dan pergi ke gurun selama 10 menit. Ketika beliau kembali, kantongnya telah terisi penuh dan dengan air dan beliau memuaskan dahaga semua keluarganya termasuk orang-orang dalam karafan itu. Beliau lalu mengisi semua kantong air di karafan itu dengan air yang berasal dari satu kantong yang dimilikinya, kemudian beliau kembali ke keluarganya dengan kantong air yang masih penuh seolah-olah tidak pernah digunakan sebelumnya.
Dari Kata-katanya
Beliau berkata, “Aku mencapai tiga tingkat kewalian, Peleburan (Fana’), Kekekalan (Baqa’), dan Hikmah Spiritual (Ma`rifa). Aku menerima ketiganya dari kehadirat Cahaya Rasulullah Sayyidina Muhammad saw, dan Aku juga menerima Tiga tingkat kesempurnaan dan Tujuh Realitas dari guruku, Sayyidina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni k.” “Kesombongan tidak pernah memasuki hati seseorang tanpa mengakibatkan penurunan derajat pikirannya setara dengan meningkatnya jumlah kesombongan dalam hatinya.” “Kesulitan mungkin akan menyentuh orang-orang yang beriman, tetapi kesulitan itu tidak akan mempengaruhi orang yang berdzikir.”
Jihad Beliau
Beliau adalah orang yang menghidupkan syari’at dan thariqat di masanya dan beliau juga menarik ribuan orang kembali kepada Islam dan thariqat Naqsybandi. Di Daghestan beliau dianggap sebagai seorang Syaikh spiritual yang membawa ajaran thariqat Naqsybandi dan pada saat yang bersamaan, beliau juga adalah seorang pejuang, seperti Imam Syamil , karena beliau memerangi Rusia. Beliau adalah pemegang kekuasaan agama yang utama setelah wafatnya Sayyid Jamaluddin k. Tentara Rusia beberapa kali memenjarakannya.
Suatu kali ketika mereka menangkap beliau, mereka memasukkannya ke dalam sebuah kereta kuda untuk dibawa pergi. Semua orang di desanya berbaris untuk melepasnya. Mereka menangis seolah-olah kehilangan buah hatinya. Beliau duduk di kereta kuda dengan tenang dan mencari seseorang dalam keramaian itu. Orang yang mengendarai kereta itu memecut kudanya agar bergerak tetapi kudanya diam saja. Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri k berkata, “Mengapa engkau memukul kuda itu?” Dia berkata, “Aku memukulnya agar kuda-kuda itu bergerak.” Beliau berkata lagi, “Mereka tidak akan bergerak sampai aku memerintahkannya. Mereka berada di bawah kendaliku. Dan Aku sedang menunggu seseorang.”
Mereka duduk dengan keadaan itu selama beberapa jam, kemudian seorang pria berlari menembus kerumunan. Dia adalah seorang opsir Rusia. Sayyidina Abu Ahmad k bertanya kepadanya, “Bukankah engkau putra temanku, Ahmad? Mengapa engkau menjadi opsir Rusia? Engkau adalah warga Daghestani. Engkau tidak boleh bersama mereka pada saat mereka membunuh Muslim.” Kemudian dia berkata kepada Syaikh, “Ya Syaikhku, Aku akan mendengarmu.” Beliau berkata, “Sudah tentu engkau akan mendengar kami, bahkan binatang buas di hutan pun mendengarkan kami ketika kami pergi ke sana untuk berdzikir.
Kuda-kuda ini pun mendengarkan kami dan tidak akan bergerak kecuali atas perintah kami. Ayahmu adalah seorang Syaikh besar dan Aku berkata engkau harus meninggalkan mereka. Engkau akan menjadi seorang Wali. Wahai anakku, jangan tinggalkan orang yang mempunyai pengetahuan eksoterik dan esoterik sekaligus. Lihatlah makam itu dan jangan lupa bahwa suatu hari engkau dan Aku akan dimakamkan di sana.” Dengan segera opsir muda itu melepaskan seragamnya dan mengambil bay’at dari Syaikh. Tentara Rusia lalu menangkapnya sebagai tahanan. Kemudian Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri k berkata, “Sekarang engkau diizinkan untuk bergerak, “ dan kuda-kuda itu pun mulai bergerak.
Allah dan Rasulullah mencintainya karena ketulusannya. Syaikhnya sangat senang dengannya, dan warga desa sangat menyayanginya. Setiap kali beliau dilepaskan dari penjara, rumahnya selalu penuh dengan beraneka ragam makanan dan tamu. Mereka bertanya kepadanya, “Engkau tidak bekerja, tentara Rusia memerangimu dan engkau berperang melawannya, bagaimana mungkin rumahmu selalu dipenuhi makanan? Beliau berkata, “Setiap orang yang berjuang di jalan Allah akan disediakan rezeki baginya. Dan itulah yang Allah katakan dalam al-Qur’an, “Setiap kali Zakariyya u masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, dia mendapati makanan di sisinya.” [3:37].
Wafatnya
Beliau meninggal di Sughur pada tanggal 17 Rabi’ul-Awwal 1299/1882 CE. Pada usia 93 tahun.
Bertahun-tahun setelah wafatnya, anak perempuannya melihat beliau dalam mimpinya. Beliau berkata kepadanya, “Wahai putriku, batu di makamku telah jatuh dan menimpa dadaku sehingga menekan dan menyakitiku.” Esok harinya putri beliau pergi ke Syaikh di kotanya dan menceritakan mimpi itu. Dia juga menceritakan mimpinya kepada setiap orang yang dijumpainya. Orang-orang mempercayai mimpi itu dan dengan segera pergi dan membuka makamnya. Mereka menemukan bahwa batu yang menutupi tubuhnya telah jatuh, dan dinding makam itu telah runtuh di sekeliling tubuhnya.
Mereka menemukan tubuhnya dalam keadaan bersih dan tidak berubah. Kain kafannya masih tetap putih, seolah-olah beliau baru di makamkan pada saat itu. Mereka memindahkan tubuhnya, lalu menggali ulang makam itu dan meletakkan tubuhnya kembali. Setiap orang merasa terkejut dan heran bagaimana beliau bisa sampai ke dalam mimpi putrinya dan mengatakan tentang situasi di makamnya. Yang lebih mengagetkan lagi, kondisi tubuhnya masih sempurna. Setelah melihat hal ini, mereka semua melakukan bay’at dengan penerusnya, Sayyidina Abu Muhammad al-Madani k. Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri k mempunyai dua orang khalifah, yaitu: Abu Muhammad al-Madani k dan Syaikh Syarafuddin ad-Daghestani k. Rahasia dari Mata Rantai Emas diteruskan kepada yang pertama, dan setelah wafatnya diteruskan kepada khalifah keduanya.
37. S.S. Abu Muhammad al-Madani (QS)
“Seorang Ahlullah mabuk tanpa air,
Seorang Ahlullah merasa kenyang tanpa daging panggang.
Seorang Ahlullah semuanya membingungkan,
Seorang Ahlullah tidak memerlukan makanan dan tidur.
Seorang Ahlullah, ia adalah lautan yang tak bertepi,
Seorang Ahlullah menurunkan hujan mutiara tanpa awan.
Seorang Ahlullah tidak mengetahui kesalahan, melainkan hanya kebenaran.”
Rumi.
Berkahnya mencapai setiap orang di zamannya. Ia adalah seorang yang khas, yang membawa Rahasia dari Deskripsi Kenabian. Ia duduk di Singgasana Bimbingan, menyebarkan ilmu lahir dan batin, khususnya dari Hadirat Ilahi. Ia adalah seorang mursyid dari tarekat ini. Ia adalah seorang yang dihormati di antara orang-orang yang arif. Ia adalah pendukung bagi kaum yang lemah. Ia memiliki keramat yang besar, yang terlihat ke mana pun ia pergi.
Ia dilahirkan di Kikunu, sebuah desa di distrik Ghunib, di negeri Timurhansuro, Daghestan pada tahun 1251 H./1835 M. Bersama keluarganya ia hijrah dari Daghestan ke kota Rasyadiya, antara Bursa dan Istanbul pada tahun 1314 H./1896 M.
Ia merupakan seorang pewaris sejati dari penampilan fisik Nabi (s) dan pewaris spiritualnya. Ia sangat tampan, dan mirip dengan Nabi (s) sesuai dengan gambaran mengenai Nabi (s) di dalam Sirah Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi (s)). Ia menulis sebuah buku berjudul “Ya waladi”, “Wahai Anakku,” di dalam tradisi Imam Ghazali yang menulis “Ayyuha-l-walad”, “Wahai Anak-Anakku.”
Desa Kikunu, di mana ia dibesarkan, merupakan sebuah tempat spiritual. Para penduduk desa memelihara Syariah dan mereka semua menjadi pengikut Syekh. Satu hari sebelum kelahirannya, Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) melewati desa itu dan berkata, “Dari desa ini seorang anak yang tercerahkan akan muncul. Cahayanya akan bersinar dari bumi ke langit. Ia akan menjadi seorang wali besar.” Beliau meramalkan kelahiran dan maqam yang tinggi dari Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q).
Daghestan di zamannya dikenal sebagai “Negeri para Wali.” Di tahun-tahun pertamanya, dua Syekh besar tinggal di sana, yaitu Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q).
Ia menerima kekuatan irsyad dalam enam tarekat: Qadiri, Rufa`i, Syadzili, Chisyti, Khalwati dan Naqsybandi. Ia terkenal sebagai seorang Syekh dalam enam tarekat.
Dari Keramatnya
Suatu ketika, sebelum Syekh Muhammad al-Madani (q) mengambil Tarekat Naqsybandi, Haji Nuri dan Haji Murtaza melewati desanya dan berkata kepadanya, “Kami akan mengunjungi Ahmad as-Sughuri untuk mengambil bay’at darinya. Apakah kau ingin ikut bersama kami?” Ia menjawab, “Ya,” dan ketiganya berniat untuk mengikuti tarekat ini melalui Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q).
Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q) memberi nasihat kepada mereka, lalu beliau memanggil Abu Muhammad al-Madani (q), memberinya bay`at ke dalam Tarekat Naqsybandi dan memberi talqin zikir di lidahnya. Beliau tidak memberi apa-apa kepada Haji Murtaza dan Haji Nuri. Beliau berkata, “Aku memberikan rahasia kepada Abu Muhammad al-Madani. Tidak perlu mengambil rahasia dariku. Ambillah darinya. Siapapun yang ingin mengikuti tarekatku boleh mengambilnya melalui Abu Muhammad al-Madani.” Mereka mengeluh di dalam hati, “Mengapa Ahmad as-Sughuri (q) menjadikan Abu Muhammad al-Madani (q) sebagai perantara di antara kami?”
Suatu hari desa mereka dilanda kekeringan. Penduduk desa meminta mereka singgah di desanya Abu Muhammad al-Madani (q) untuk memintanya berdoa memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Dalam perjalanan mereka untuk menemuinya, mereka berbicara satu sama lain, “Kita akan mengetahui sekarang, apakah ia sungguh seorang wali dan mengapa Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q) mengedepankan ia di antara kita.” Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah rumah, dan melihat seorang wanita cantik di dalamnya. Mereka sangat tertarik dengan kecantikan wanita itu sehingga mereka berdiri memandangnya untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya mereka tiba di rumah Abu Muhammad (q) dan mereka mengetuk pintunya.
Dari dalam, ia berkata, “Siapa itu?” Mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang pelan, mengatakan, “Bagaimana ia menjadi seorang Syekh bila ia tidak mengetahui siapa yang berada di pintunya?” Mereka mengetuk lagi, tetapi tidak ada jawaban. Lalu dari balik pintu terdengar suara, “Haji Murtaza dan Haji Nuri, adalah mudah bagi seseorang untuk menjadi seorang Syekh dan mursyid tanpa mengetahui siapa yang ada di balik pintu, tetapi sulit sekali bagi seseorang untuk menjadi seorang Syekh dan mursyid bila ia mengikuti hawa nafsunya di jalan yang tidak halal, dengan melihat seorang wanita telanjang.” Ia berkata kepada mereka, “Aku tidak bisa mempersilakan kalian untuk masuk ke dalam rumahku.”
Dalam ketergesaan mereka pergi, mereka sampai lupa untuk mengatakan kepadanya bahwa mereka datang untuk memintanya berdoa agar diturunkan hujan. Setelah lima menit, Syekh menyusul mereka dengan berlari dan mengatakan, “Sedangkan untuk maksud kedatangan kalian, segera setelah kalian tiba di desa kalian, hujan akan turun.” Setelah mereka tiba di desanya, awan berkumpul dan mulai menurunkan hujan.
Jihadnya
Rusia sangat takut kepadanya dan takut terhadap kekuatan yang dimilikinya sehingga mereka membawanya ke Siberia dengan niat untuk membunuhnya. Ia mampu membebaskan dirinya dan kemudian melarikan diri ke Turki. Penduduk Daghestan ingat betul bagaimana beratnya ia memerangi Rusia, baik secara fisik maupun spiritual. Bahkan tentara Rusia pun sering membicarakan keberaniannya dan keramat yang dimilikinya. Banyak peristiwa yang melibatkan dirinya dicacat oleh musuh-musuhnya.
Suatu ketika ia berperang dengan Rusia, sampai mereka menyerbu dengan kekuatan militer yang besar. Ia melarikan diri ke sebuah rumah, dan tidak ada orang yang tahu bahwa ia berada di sana. Seorang wanita melihatnya dari atap rumahnya dan ia berkata kepada tentara Rusia, “Muhammad al-Madani ada di rumah itu.” Mereka datang untuk menangkapnya. Mereka melihat bahwa rumah tempat persembunyiannya dikelilingi oleh rumput-rumput yang hijau dengan berkah dari kehadirannya, padahal di tempat lain tidak ada tanaman hijau yang dapat terlihat akibat cuaca yang sangat panas di musim panas itu. Berkat informasi wanita itu, mereka dapat menangkapnya. Pada malam harinya, wanita itu mengalami sakit parah, dan keesokan harinya ia meninggal dunia. Sebagaimana Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) di dalam Hadits Qudsi, “Barang siapa yang memerangi wali-Ku, Aku akan menyatakan perang terhadapnya.”
Mereka menjadikannya sebagai tahanan rumah, dan mengatakan bahwa ia bisa pergi ke restoran terdekat untuk makan. Ia menolak untuk makan di restoran mereka dan ia tidak pernah memakan makanan mereka. Ia berkata, “Kalian adalah musuhku dan aku tidak akan memakan makananmu.” Ia tidak pernah memakan makanan mereka selama berbulan-bulan, dan mereka tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan. Akhirnya seseorang datang dari Negeri Sartar, dan berkata kepada gubernur, “Jika ia tidak mau memakan makananmu, serahkan ia kepadaku, aku akan membawanya ke negeriku untuk merawatnya.” Mereka lalu mengirimkannya ke sana.
Ada seorang pemuda dari Kikunu yang sedang menuntut ilmu di Bukhara dan ia bertunangan dengan seorang gadis dari Sartar. Ia mempelajari Syariah. Ia telah pergi selama bertahun-tahun dan belum pernah kembali. Sementara itu pasangannya telah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Berita mengenai hal ini sampai ke Bukhara, dan pemuda itu pun mendengarnya. Ia menjadi gelisah. Malam itu, sebelum ia tertidur, ia mendengar sebuah suara yang mengatakan, “Kembalilah ke Sartar. Kembalilah ke Sartar.” Ia mendengar suara itu pada hari berikutnya dan berikutnya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Sartar. Ia menempuh perjalanan yang sangat panjang, mendekati Moskow, untuk sampai ke Sartar. Ia terus berjalan dan berjalan sampai akhirnya sampai di desa itu.
Ia mendapati semua orang berkumpul di suatu tempat, membawa makanan. Mereka berkata kepadanya, “Seorang Syekh besar dari Kikunu telah datang ke Sartar, dan ia menyembuhkan orang dan memberi makan fakir miskin. Kami sangat tertarik dengan kekuatan spiritualnya sehingga kami semua menjadi pengikutnya. Ikutlah bersama kami untuk menemuinya.” Pemuda itu bergabung bersama mereka. Penduduk desa berkata kepada Syekh, yang merupakan Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q), “Kau mungkin akan dibawa oleh Rusia. Mohon tinggalkan seseorang di sini yang mempunyai kewenangan untuk membimbing kami dalam tarekat.” Ketika pemuda itu tiba di rumah Syekh, Syekh berkata kepadanya, dengan suara yang sama yang pernah didengarnya di Bukhara, “Wahai anakku, kau telah mendengar pesan kami, kau mendengar suara kami. Datanglah! Kau akan menjadi khalifahku dan kau akan mengajarkan orang-orang ini apa yang mereka perlukan mengenai spiritualitas dan kewajiban-kewajiban dalam agama. Dan kau akan menikahi tunanganmu.” Pemuda itu sangat senang. Ia mengambil bay’at Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya dari Syekh Abu Muhammad al-Madani (q). Syekh lalu menikahkannya dengan tunangannya.
Ini merupakan sebuah anugerah yang ajaib dari Abu Muhammad al-Madani (q) bagi kota Sartar. Itu juga merupakan sebuah tanda bahwa hari-harinya di Sartar akan berakhir. Hari berikutnya, Rusia datang untuk membawanya ke Siberia. Ia dikunci di dalam sebuah penjara dengan tingkat keamanan yang tinggi. Walaupun mereka mengurungnya di dalam selnya, mereka sering melihatnya berada di halaman untuk salat, duduk atau membaca. Para penjaga sangat terkejut, mereka membawanya kembali. Beberapa jam kemudian mereka menemukannya kembali di luar. Mereka lalu merantainya ke dinding. Tetap saja mereka menemukannya berada di luar selnya, sedang berjalan dengan seseorang. Belakangan ia mengatakan bahwa ia sedang berjalan dengan Sayyidina Khidr (a). Mereka kembali merantainya tetapi lagi-lagi mereka melihatnya berada di luar selnya. Mereka sangat kesal sehingga mereka mengirimkan surat ke Moskow, meminta nasihat untuk menanganinya. Moskow mengatakan, “Masukkan dia ke dalam penjara bawah tanah yang sangat dalam.” Mereka berusaha melakukannya, tetapi tidak peduli berapa dalam mereka memasukkannya, ia selalu dapat ditemukan di luar selnya. Akhirnya mereka menjadi muak dengannya dan membiarkannya bebas untuk pergi dalam perbatasan Rusia. Syekh berniat untuk melarikan diri ke Turki.
Ketika mereka sudah membiarkannya bebas pergi di Siberia, ia bertemu dengan seorang petugas dan berkata kepadanya, “Anakku, aku akan bertemu denganmu di Istanbul, Turki. Kami akan bertemu denganmu di sana.” Belakangan pemuda itu menjadi muak bekerja untuk militer Rusia dan ia mengundurkan diri. Dengan keluarganya, ia pindah ke Turki dan berakhir di Istanbul. Di sana ia bertemu dengan Syekh Abu Muhammad al-Madani (q), seperti yang pernah dikatakannya.
Dalam perjalanannya ke Turki, Sayyidina Muhammad al-Madani (q) memutuskan untuk melewati kampung halamannya di Kaukasus untuk mengunjungi orang tua dan keluarganya. Satu hari sebelum tiba, saudarinya bermimpi bahwa ia bertemu dengannya dan mengatakan bahwa ia akan datang. Keesokan harinya saudarinya berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, buatlah makanan yang lebih banyak karena saudaraku akan datang hari ini.” Ibunya berkata, “Apa katamu? Bahkan tidak ada orang yang mengetahui apakah ia masih hidup di Siberia dan kau katakan bahwa ia akan datang ke sini?” Saat itu pintu diketuk dan Sayyidina Muhammad al-Madani (q) muncul.
Hijrahnya
Ketika ia sedang makan bersama keluarganya, ia memberitahu mereka, “Aku harus bergegas, karena ada kapal yang menunggu untuk membawaku ke Trabzon melalui Laut Hitam.” Mereka terkejut dan berkata kepadanya, “Kita di Kaukasia dan kau mengatakan tentang Trabzon?”
Sayyidina Muhammad al-Madani (q) mengarahkan dirinya ke pesisir Laut Hitam di wilayah Rusia. Ketika ia tiba di sana, kapal telah menunggu untuk membawanya ke Turki. Ia mendatangi kapten dan berkata kepadanya, “Bawalah aku ke Turki dengan kapalmu.” Kapten itu menjawab, “Aku telah mencoba untuk melaut selama dua puluh empat hari, tetapi kapal ini tidak berjalan dengan baik.” Syekh berkata, “Sekarang ia akan berjalan dengan baik. Ambillah uang ini sebagai tiketku dan antarkan aku ke Turki.” Kapten itu membawanya dan menempatkannya di dekat kamar mesin. Kemudian kapten itu tidur, sementara anak buahnya mengemudikan kapal. Di dalam mimpinya, kapten itu melihat bahwa mesin kapalnya telah berubah bentuk menjadi sosok Syekh dan kapal itu mempunyai sayap dan terbang menuju Trabzon. Ia bangun dan berlari keluar. Anak buahnya berkata, “Kita telah sampai di Trabzon.” Ia turun ke kamar Syekh dan Syekh bertanya kepadanya, “Apakah kita sudah sampai?” Ia berkata, “Ya Syekhku, aku datang untuk memberitahumu bahwa aku ingin mengambil bay’at darimu. Perjalanan ini secara normal memakan waktu tiga hari, tetapi kita tiba dalam satu hari.” Kapten itu lalu berbay’at ke dalam Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya.
Syekh meninggalkan kapal dan pergi ke sebuah kedai kopi. Ia melihat seorang mantan tahanan di dalam kedai itu yang pernah bersamanya di Siberia. Namanya Muhammad at-Tawil. Ia berkata, “Alhamdulillah Syekhku, kau telah sampai di sini dengan selamat. Kau akan menjadi tamu di rumahku.”
Ketika Sultan Abdul Hamid mendengar bahwa Syekh Muhammad al-Madani (q) telah tiba dengan selamat di Trabzon, ia mengirimkan kapal untuk membawanya dari Trabzon ke Istanbul. Sementara itu, Syekh tetap tinggal sebagai tamu di rumah Muhammad at-Tawil. Selama Syekh Abu Muhammad al-Madani (q) berada di rumahnya, setiap hari ia menemukan dua koin emas di bawah kasurnya. Ia begitu terheran-heran sehingga setelah hari kelima, ia menemui Syekh yang mengatakan, “Selama aku berada di sini dan selama engkau menyimpan rahasia ini, kau akan menemukan koin-koin ini di bawah bantalmu setiap hari. Jika engkau tidak memberitahu orang-orang, koin-koin ini akan terus berdatangan.”
Suatu hari, beberapa saat setelah Syekh pergi ke Istanbul, istri dari Muhammad at-Tawil membersihkan tempat tidur dan ia menemukan dua koin emas. Ia mulai ribut menanyakan darimana asal koin-koin itu. Akhirnya Muhammad at-Tawil mengatakan bahwa itu adalah berkah dari Syekh. Segera setelah itu istrinya pergi dan mengabarkan kepada tetangganya. Setelah kejadian itu, keajaiban itu pun berhenti.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1308 H./1890 M. Namun demikian kisah itu tidak pernah diceritakan sampai putra Sayyidina Muhammad al-Madani (q) mengunjungi teman ayahnya, Muhammad at-Tawil beberapa waktu setelah ayahnya wafat. Muhammad at-Tawil menceritakan kisah itu dan memperlihatkan koin-koin yang ia dapatkan dengan begitu ajaibnya.
Sultan Abdul Hamid, Sultan dari Dinasti Utsmani adalah seorang pengikut Tarekat Naqsybandi, dan ia mengambil bay’at dari Sayyidina Muhammad al-Madani (q). Sultan memberinya pilihan lahan di Istanbul untuk dibangun zawiyah untuk tarekat ini dan rumah untuknya. Syekh menjawab, “Pilihan itu bukan terserah pada kami, tetapi itu terserah pada Hadirat Ilahi.” Jadi ia menunggu hingga keesokan harinya, dan Sultan Abdul Hamid sangat ingin mendengar jawabannya. Syekh Muhammad al-Madani berkata kepadanya, “Wahai anakku, Allah telah mengarahkan aku ke suatu tempat di mana Tarekat Naqsybandi akan berkembang. Di sanalah para pengikut Daghestani yang tulus akan berada dan di sanalah Tarekat Naqsybandi akan berkembang, dan di sanalah keponakanku akan mengambil kewenangan tarekat ini.” Sultan berkata, “Apapun keputusanmu, aku akan mematuhi keputusanmu.”
Hari berikutnya Abu Muhammad al-Madani (q) berkata kepada Sultan, “Kirimkan aku ke Yalova. Tempat yang kutuju berada di antara Yalova dan Bursa.” Sultan menyiapkan kereta kuda untuk membawanya ke mana pun yang ia inginkan. Ketika ia sampai di daerah Yalova, ia membiarkan kudanya pergi ke arah yang mereka inginkan. Mereka berhenti di sebuah tempat dekat Orhanghazi.
Di dalam hutan, ia membangun rumah pertama dari kayu. Dalam waktu singkat 680 rumah berdiri di hutan itu. Dan tempat itu diberi nama Rasyadiya, mengambil nama dari Sultan Rasyad, dan sekarang dikenal sebagai Gunekoy.
Semua imigran yang berasal dari Siberia dan dari Kaukasus pindah ke desa itu, di mana Syekh Muhammad al-Madani (q), Syekh Syarafuddin (q) dan Syekh `Abdullah (q) juga berada di sana. Suatu ketika orang-orang mendatangi Syekh Muhammad al-Madani (q) dengan mengeluh, “Bagaimana kami dapat makan? Tidak ada apa-apa di sini.” Ia menginjakkan kakinya di tanah, dan di tempat ia menginjakkan kakinya itu ditemukan sebuah tambang tanah liat dan besi. Pada saat yang sama, sebuah pohon tumbang. Dari tanda-tanda ini, ia memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan nafkahnya melalui pekerjaan tambang tanah liat dan besi serta menjual kayu. Berikutnya berdiri 750 rumah dan dua masjid serta satu sekolah yang terdiri atas 16 kelas untuk mengajari anak-anak.
Beberapa tahun kemudian, selama Perang Balkan, tentara Yunani dan Serbia yang berperang dengan Turki datang ke desa ini. Banyak rumah yang dihancurkan dan banyak warga desa yang melarikan diri, hingga tersisa 220 rumah setelah serbuan itu. Namun demikian tidak terjadi apa-apa pada masjidnya, dan semua salat tetap berlangsung di sana.
Di desa itu tidak ada kejahatan atau korupsi yang terjadi. Tidak ada minum-minuman keras, perjudian, tidak ada kemungkaran yang terjadi. Sejak kanak-kanak, setiap orang dibesarkan dengan melakukan zikir. Itu adalah setitik surga di bumi. Setiap orang hidup dalam keharmonisan, melakukan zikir setiap malam. Itu adalah sebuah desa yang ideal dan sebuah kota yang ideal. Itulah sebabnya mengapa Syekh berkata kepada Sultan Abdul Hamid bahwa, “Cahaya akan terpancar dari desa itu.”
Desa itu penuh dengan berkah. Mereka tidak memerlukan rezeki dari luar. Kayu-kayu ada di sana untuk bahan bakar di musim dingin. Mereka mempunyai hewan peliharaannya sendiri dan mereka mengolah sendiri makanannya. Orang-orang mengisi waktu dan perbuatan mereka dengan zikir. Ibu menyusui anak-anaknya dengan zikir. Kaum pria melakukan pekerjaannya dengan zikir. Seluruh desa dipenuhi zikir. Inilah bagaimana Syekh Abu Muhammad al-Madani (q), Syekh Syarafuddin (q) dan berikutnya Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) memelihara orang-orang di desa itu. Desa itu menjadi terkenal di seluruh Turki dengan sebutan “Desa Zikir.”
Turki terlibat dalam perang Balkan. Suatu ketika tetangga Syekh Muhammad al-Madani (q) yang bernama Hasan Muhammad al-Effendi, mendatanginya dan berkata, “Aku ingin ikut dalam perang dan meninggal sebagai syuhada.” Syekh berkata kepadanya, “Tidak perlu bagimu untuk pergi keluar desa ini untuk menjadi seorang syuhada. Kau akan menjadi syuhada di sini.”
Tak lama tentara Yunani dan Serbia mendekati desa itu. Mereka melemparkan tembakan ke arah desa, dan salah satunya mengenai Hasan Muhammad al-Effendi dan menewaskan dirinya. Ia meninggal dunia sebagai syuhada sebagaimana yang diinginkannya, sesuai dengan jalan yang telah diramalkan oleh Syekh.
Syekh Abu Muhammad (q) telah menikah selama bertahun-tahun dan semua anaknya adalah perempuan. Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Suatu hari ia berkata kepada orang-orang di sana, “Aku melihat ada tiga anak laki-laki mendatangiku.” Orang-orang sangat terkejut, karena istrinya sudah berusia lanjut dan telah melewati usia suburnya. Tak lama kemudian istrinya jatuh sakit dan kemudian wafat. Berikutnya Syekh menikah lagi dan dengan istri barunya ia mempunyai tiga anak laki-laki.
Suatu saat pada tanggal 27 Ramadan, pada malam Laylat ul-Qadr, ia sedang memimpin zikir dengan seluruh penduduk desa. Ia berkata, “Setiap orang terlibat dalam zikir. Seluruh binatang turut berzikir bersama kita. Cacing-cacing berzikir bersama kita. Burung-burung berzikir. Setiap makhluk di desa ini berzikir bersama kita kecuali seekor binatang yang terpisah dari ayahnya dan ia mengalami depresi. Allah tidak rida. Nabi (s) tidak rida dan para awliya tidak rida. Dan ini semua disebabkan oleh lelucon kekanak-kanakan!”
Ia berbicara kepada pemilik rumah di mana mereka melakukan zikir. “Pergilah ke putramu dan tanyakan apa yang ia miliki di dalam kotak.” Ia mendatangi putranya dan bertanya, “Apa yang kau miliki di dalam kotak? Binatang apa yang telah kau tangkap?” Anak itu kebingungan, “Kotak apa? Aku hanya mempunyai sebuah kotak korek api, dan di dalamnya aku masukkan seekor cacing.” Ayahnya berkata, “Ambil cacing itu dan kembalikan ke tanah.” Dari situ, para penduduk desa menjadi mengerti dan mereka membesarkan anak-anak mereka dengan pemahaman bahwa menyakiti makhluk apapun, betapapun kecilnya, akan mengakibatkan Allah tidak rida, Nabi (s) dan para Awliya tidak rida. Karena ajaran yang mendalam itu, desa itu menjadi murni dan tidak terjadi suatu kemungkaran.
Ia wafat pada hari Ahad, tanggal 3 Rabi`u’l-Awwal 1331 H./1913 M. Ia dimakamkan di Rasyadiya (Gunekoy), dan makamnya banyak diziarahi oleh orang-orang dari Daghestan, khususnya dari keluarga Syekh Syamil hingga sekarang.
Ia mewariskan rahasia dari lima tarekat yang dipegangnya dan memberikan kewenangan tarekat itu kepada keponakannya, Syekh Syarafuddin Daghestani (q) bersama dengan apa yang telah diwariskan oleh Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) kepadanya, yaitu rahasia dari Tarekat Naqsybandi. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-muhammad-al-madani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
38. S.S. Syarafuddin ad-Daghestani (QS)
“Tak kuasa kuketuk gerbang-Mu, Pangeran
pun bila berpaling, ke pintu mana tangan ini kuayunkan?
dan dalam kenistaan, kepada-Mu-lah kupasrahkan kepercayaan
aku si peminta-minta, menggapaikan jemari mengharapkan pemberian.
(Imam Shafi`i, Munajat)
Beliau adalah seorang yang ilmunya sempurna di Hadapan Allah. Beliau adalah kunci bagi Pengetahuan Ilahi yang paling sulit diperoleh. Beliau adalah seorang Ulama Sejati yang dihiasi Cahaya dari Atribut Ilahi. Beliau didukung dengan Iman yang Sejati. Beliau adalah Pejuang di Jalan Allah, Yang Maha Tinggi. Beliau adalah Suara Ilahi pada masanya. Beliau adalah Syaikh dari para Masyaikh dalam pengetahuan keislaman. Beliau adalah pemegang otoritas terhadap segala persoalan yang khusus, rumit, dan paling sulit di segala bidang pengetahuan.
Beliau adalah Samudra Ilmu Pengetahuan, bagaikan Topan bagi Spiritualitas, Air Terjun bagi Wahyu, Gunung Berapi bagi Cinta Ilahi, Pusaran Air bagi Daya Tarik, dan Pelangi bagi Atribut Ilahi. Beliau dibanjiri dengan pengetahuan bagaikan Sungai Nil yang dilanda banjir. Beliau adalah Pembawa Rahasia dari Sultan adz-Dzikr, yang sebelumnya tidak seorang pun bisa membawanya. Beliau adalah Guru yang menguasai Hikmah sejak awal abad 20 dan Yang Memulihkannya. Beliau adalah seorang yang jenius dalam Ilmu mengenai Hukum Islam, seorang mujtahid (pembaharu) di bidang Jurisprudensi, dan seorang narator hadits, sabda Rasulullah Ratusan ulama selalu menghadiri ceramahnya. Beliau adalah seorang mufti di masanya. Beliau juga adalah salah seorang kaligrafer yang baik dalam menulis ayat al-Qur’an.
Beliau adalah penasihat bagi Sultan Abdul Hamid. Beliau memegang jabatan Syaikh ul-Islam, pemegang otoritas keagamaan yang tertinggi di Kekaisaran Ottoman. Beliau sangat dihormati bahkan oleh pemerintah rezim baru Turki di masa Ataturk. Hanya Syaikh Syarafuddin dan deputinya, Syaikh `Abdullah, yang diizinkan untuk memakai turbannya di seluruh Republik Turki yang sekuler pimpinan Ataturk. Yang lainnya dipenjara karena memakai tutup kepala Rasulullah itu. Praktek Islam dalam bentuk luarnya sama sekali dilarang.
Syaikh Syarafuddin sering mengalami keadaan dengan Panorama Spiritual, di mana beliau akan memperoleh Manifestasi dari Kemegahan Ilahi (Tajalli-l-Jalal); dan pada saat itu, tidak ada orang yang sanggup melihat matanya. Jika seseorang memandangnya, tubuhnya akan terasa lemah dan tertarik dengan kuat kepadanya. Oleh sebab itu, ketika beliau sedang mengalami keadaan seperti itu, beliau selalu menutupi matanya dengan cadar (burqa’).
Beliau mempunyai warna kulit yang terang. Matanya biru, dan janggutnya hitam. Di masa tuanya, janggutnya sangat putih, seperti kapas. Beliau dilahirkan dengan mata dan hati yang terbuka. Beliau adalah seorang ulama dengan wajah yang bersinar bak berlian dan hati yang transparan bagaikan kristal. Sufisme merupakan rumah, sarang, dan hati baginya. Islam adalah tubuh, iman, dan keyakinannya. Realitas (haqiqat) adalah jejak, jalan, dan tujuannya. Kehadirat Ilahi adalah gua, dan tempat pengasingannya. Spiritualitas adalah kendaraannya. Beliau adalah lidah bagi seluruh masyarakat di Daghestan.
Beliau dilahirkan di Kikunu, Distrik Ganep, Negara Bagian Timurhansuru, Daghestan, pada hari Rabu, 3 Dzul-Qaidah 1292H bertepatan dengan 1 Desember 1875M. Syaikh Muhammad al-Madani adalah paman sekaligus mertuanya. Beliau memberinya kekuatan dari 6 aliran thariqat jauh sebelum beliau wafat, dan mewariskan semua muridnya kepadanya ketika beliau masih hidup. Dalam segala hal, Syaikh Muhammad al-Madani sering menerima pendapat dari Syaikh Syarafuddin.
Beliau lahir di masa yang sangat sulit, ketika praktek agama dilarang dan hal-hal yang berbau spiritual telah hilang. Namun demikian ibunya berkata, “Ketika aku melahirkannya, dia mengucapkan kalimat la ilaha illallah, dan setiap aku merawatnya dia selalu mengucapkan Allah, Allah.” Karena keajaibannya itu, beliau sangat terkenal di masa bayinya. Banyak ibu-ibu di distriknya yang sengaja datang untuk melihat beliau mengucapkan Allah, Allah ketika sedang dirawat. Jari telunjuk kanannya selalu membentang menunjukkan posisi syahadat. Sejak masa kanak-kanak, beliau bisa mendengar dzikir yang dilakukan oleh pepohonan, bebatuan, binatang, burung, dan pegunungan. Beliau dibesarkan dengan sangat baik oleh orang tuanya dan diawasi oleh pamannya. Do’a beliau selalu dikabulkan. Beliau juga selalu berada dalam khalwat.
Beliau mulai mendatangi asosiasi yang diadakan oleh Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri ketika masih berusia enam atau tujuh tahun. Beliau sangat pandai dan dengan segera dapat memahami ajaran Sufi yang diantarkan oleh Abu Ahmad as-Sughuri dari Kehadirat Ilahi itu. Pada usia tujuh tahun beliau berkata kepada ibunya, “Berikanlah aku anak lembu yang akan dilahirkan itu.” Ibunya berkata, “Jika dia betina, aku akan memeliharanya tetapi bila jantan aku akan memberikannya kepadamu.” Beliau berkata lagi, “Jangan menyusahkan dirimu wahai ibuku, karena lembu itu akan melahirkan bayi jantan.”
Ibunya berkata,”Bagaimana kamu mengetahuinya?” Beliau berkata, “Aku dapat melihat apa yang ada dalam rahimnya.” Satu jam kemudian, lembu itu melahirkan seekor lembu jantan. Beliau membawa anak lembu itu dan menjualnya, lalu beliau membawakan sepasang domba jantan dan betina kepada Syaikh Abu Ahmad as-Sughuri sebagai hadiah. Dalam perjalanannya menuju rumah Syaikhnya, kedua domba itu melarikan diri darinya. Beliau melanjutkan perjalanannya ke rumah Syaikh, lalu duduk di sampingnya, hatinya merasa sedih karena kehilangan kedua domba itu. Syaikh bertanya kepadanya, “Ada apa?” Beliau menjawab, “Aku mempunyai dua ekor domba yang akan kuhadiahkan untukmu, tetapi mereka kabur.” Beberapa waktu kemudian seorang pengembala datang dan berkata, “Aku menemukan dua ekor domba ini di antara hewan gembalaanku.” Itu adalah dua ekor domba yang melarikan diri darinya.
Ketika beliau muda, beliau sering berjalan-jalan bersama teman-temannya untuk mengumpulkan kayu. Beliau tidak memotong kayu dari pohon sebagaimana yang dilakukan teman-temannya, tetapi hanya mengumpulkan kayu-kayu kering di tanah. Hal ini membuat ayahnya resah. Ayahnya kemudian pergi menemui Syaikh Abu Ahmad as-Sughuri dan mengeluh bahwa anaknya hanya mengumpulkan kayu-kayu kering yang tidak berguna. Syaikh Abu Ahmad as-Sughuri berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak bertanya langsung kepadanya mengapa dia melakukan hal itu?” Syarafuddin muda menjawab, “Bagaimana mungkin aku memotong pohon yang masih hijau ketika dia sedang berdzikir, mengucapkan la ilaha illallah? Aku lebih suka mengumpulkan dahan-dahan mati, dan tidak membakar cabang-cabang pohon yang sedang berdzikir.”
Beliau meninggalkan Daghestan akibat serangan yang terus dilakukan oleh militer Rusia ke kampung-kampung di distriknya. Beliau pindah bersama keluarganya dan keluarga kakaknya ke Turki. Mereka berjalan mengarungi beberapa daerah selama lima bulan dan melewati musim dingin. Mereka berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Pertama mereka pergi ke Bursa, lalu mereka pergi ke Yalova di perairan Marmara, kira-kira 150 km dari Istanbul. Di sana beliau bersama kelurga dan kerabatnya tinggal di desa Rasyadiya, di mana pamannya telah lebih dulu tinggal di sana beberapa tahun sebelumnya dan membawa thariqat Naqsybandi dari Daghestan ke Turki.
Di Daghestan beliau dilatih oleh Syaikh Abu Ahmad as-Sughuri, yang memberinya thariqat Naqsyabandi ketika beliau masih sangat muda. Di Rasyadiya, Turki, beliau selanjutnya dilatih oleh Sayyidina Muhammad al-Madani , pamannya yang kelak menjadi mertuanya. Beliau membantunya membangun madrasah dan masjid pertama serta khaniqah bagi kampung tersebut. Paman beliau menyambut semua imigran yang melarikan diri dari tirani imperialis Rusia yang kejam. Selain itu banyak pula pelajar yang mendatangi sekolah pamannya itu dari berbagai daerah di Turki. Dengan cepat mereka membangun rumah-rumah baru di Rasyadiya dan daerah sekitarnya antara Bursa dan Yelova.
Selain thariqat Naqsyabandiya, paman beliau menghubungkannya dengan lima thariqat lain yang dibawanya, yaitu: Qadiri, Rifai’i, Syadhili, Chisyti dan Khalwati. Beliau menjadi Guru Besar bagi keenam aliran thariqat ini pada usia 27 tahun. Beliau sangat dihormati di Rasyadiya, terutama setelah beliau menikahi putri Syaikh Muhammad al-Madani. Beliau dikenal sebagai orang yang memiliki kekuatan ajaib di antara para pengikutnya, dan cerita mengenai kelebihannya itu segera tersebar ke seluruh penjuru Turki. Selain itu, beliau sangat mengusai pengetahuan di luar agama sehingga para ulama besar datang untuk mendengar ceramahnya.
Beliau telah melaksanakan beberapa khalwat di Daghestan, yang paling lama berlangsung selama 3 tahun. Di pegunungan Rasyadiya beliau berkhalwat selama enam bulan atas perintah Syaikh Abu Muhammad al-Madani. Beliau selalu berada dalam keadaan menyendiri ketika sedang berada di keramaian. Suatu hari dalam masa 6 bulan khalwatnya, ketika beliau berdiri dan hendak bersujud beliau menemukan seekor ular yang besar di tempat sujudnya, dengan posisi yang siap mematuknya. Beliau berkata dalam hati, “Aku tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah,” lalu beliau menempatkan kepalanya langsung di atas kepala ular itu. Dengan segera ular itu lenyap.
Selama khalwatnya itu banyak keadaan Cinta Ilahi yang diperlihatkan kepadanya. Segera setelah beliau menyelesaikan khalwatnya, Syaikh menariknya dan menyerahkan seluruh tanggung jawab untuk mengarahkan dan membimbing orang-orang. Syaikh Abu Muhammad kemudian selalu duduk dalam asosiasi menantunya sebagai muridnya. Beliau adalah Syaikh pertama yang menjadi murid dari seorang muridnya. Di luar kepatuhan terhadap desakan Syaikhnya agar beliau duduk di kursi yang lebih tinggi, Syaikh Syarafuddin kemudian menjadi orang yang memberikan ajaran Mata Rantai Emas walaupun berada dalam kehadiran Syaikhnya.
Syaikh Syarafuddin mendapat dukungan spiritual dari Sayyidina Syaikh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni dan Sayyidina Syaikh Abu Ahmad as-Sughuri, Syaikhnya ketika beliau berada di Daghestan. Beliau mencapai keadaan Cinta yang Murni bagi Allah. Pada keadaan itu beliau merasakan tubuhnya seolah-olah terbakar dengan Cinta kepada Allah, lalu beliau akan berlari dari meditasinya, menanggalkan semua pakaiannya dan menyelam ke dalam air yang dinginnya serasa es di musim dingin. Tiap kali beliau melakukan hal itu, seluruh penduduk desa dapat mendengar suara uap yang keluar dari sungai, seperti suara besi panas yang disiram air. Ada seorang murid Syaikh Syarafuddin yang masih hidup sampai sekarang (1994), yang ingat bahwa dia pernah mendengar suara desis air dan uap dari jarak ratusan yard.
Syaikh Syarafuddin merupakan seorang penerus spiritual Rasulullah. Melalui hubungan spiritual itu, beliau bisa mencapai kesempurnaan. Beliau adalah keturunan dari keluarga Miqdad bin al-Aswad, salah seorang Sahabat Terbesar dari Rasulullah, yang sering mewakili Rasulullah bila beliau sedang bepergian dari Madinah. Beliau melaporkan 42 sabda Rasulullah, di antaranya adalah: Rasulullah bersabda, “Di Hari Pembalasan matahari akan mendekati makhluk hingga berjarak kira-kira 1 mil dari mereka, manusia akan mengeluarkan keringat sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan, sebagian keringat mereka mencapai pergelangan kaki, sebagian lagi mencapai lutut, atau pinggang, sementara yang lain mendapati mulutnya penuh dengan keringat,” lalu Rasulullah menunjukkan tangannya ke mulutnya.” (Riwayat Muslim)
Syaikh Syarafuddin mempunyai sebuah tanda berupa tapak Tangan Rasulullah di punggungnya. Tanda lahir ini beliau dapatkan dari nenek moyangnya Miqdad bin al-Aswad, di tempat di mana Rasulullah menempatkan tangannya di punggung Miqdad dan berdo’a baginya dan untuk keturunannya. Tanda di punggung Sayiddina Syaikh Syarafuddin selalu mengeluarkan cahaya, sama halnya dengan wajahnya yang selalu bercahaya. Beliau menerima rahasia dari Rasulullah, yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu yang berada di belakangnya sejelas dengan apa yang ada di depannya.
Paman beliau, Syaikh Muhammad al-Madani, memberinya Khilafat (suksesi) dari thariqat ini, dan menjadikannya pemimpin di desanya. Beliau mengembangkan desanya untuk menarik lebih banyak emigran, dengan memperluas jalan, dan membuat saluran air ke dalam kota. Beliau selalu menyambut emigran yang datang dari Rusia, menawarkan apa yang mereka butuhkan baik berupa makanan maupun tempat tinggal dan ini dilakukan tanpa mengharap imbalan. Hasilnya, penduduk Daghestan merasa menemukan rumah yang baru menggantikan rumah yang telah mereka tinggalkan untuk Rusia, mereka menemukan kebahagiaan dan kedamaian di tanah yang baru. Para emigran merasa lebih bahagia untuk menemani seorang Syaikh yang masih hidup dalam memberikan pelajarannya yang telah dikenal di Daghestan, sebagaimana ajaran itu juga telah terkenal di Asia Tengah ratusan tahun sebelumnya. Dengan keberadaan beliau di desa itu, dan diberkahi dengan kehadirannya yang membawa Rahmat Ilahi, mereka menemukan cinta dan kebahagiaan yang telah hilang di bawah tirani militer Rusia.
Dari Kata-Katanya
Mengenai Sultan adz-Dzikr (Dzikr dalam Hati)
Beliau berkata sehubungan dengan posisi Dzikir dalam Hati:
“Siapa pun yang memasuki Posisi itu, dia akan mengalami dan mencapai Inti dari Nama Allah. Nama itu adalah Sultan dari seluruh Nama Allah, karena Dia mencakup seluruh makna Nama-Nama tersebut dan kepada-Nyalah seluruh Atribut Ilahi kembali. Dia bagaikan Kata yang berlaku untuk semua Atribut ini dan itulah sebabnya mengapa Dia disebut Ism al-Jalala, Nama Yang Paling Mulia karena Dia Yang Mahatinggi, Mahasuci, dan Mahabesar.”
“Melalui pemahaman akal saja tidak mungkin bisa memanen buah dari rahasia-rahasia ini. Tubuh manusia tidak dapat mencakup Realitas Makna mengenai Tuhan. Tubuh manusia mustahil mencapai Kerajaan yang Tersembunyi dari Yang Maha Unik. Karena bagi Orang-orang dalam Inti, yang mereka miliki hanya kekaguman dan ketakjuban, sekali mereka memasuki posisi Pengetahuan Yang Tersembunyi, mereka akan tersesat, pergi ke mana-mana. Lalu bagaimana dengan Orang-orang dalam Atribut-Nya, yaitu mereka yang mempunyai kualitas tinggi dan masing-masing menunjukkan sebuah Attribut Ilahi yang disandangkan dan menghiasi mereka? Tetap saja mereka tidak bisa dihiasi dengan Inti dari Nama yang mencakup seluruh Nama, kecuali dengan memasuki Rahasia Yang Tersembunyi dari 99 Nama tersebut. Pada saat itu mereka baru diizinkan untuk meraih posisi Tanpa Sekat terhadap Cahaya dari Nama yang Mencakup seluruh Nama dan Atribut, nama Allah.”
“Jika para pencari terus melakukan Dzikir dengan Nama yang Mahasuci Allah, dia akan mulai berjalan di tempat Dzikir itu, yang jumlahnya ada tujuh. Setiap pencari yang terus melakukan Dzikir Allah dalam hati, dari 5000 sampai 48.000 kali sehari, akan mencapai tingkat kesempurnaan sehingga dia akan menjadi sempurna dalam Dzikir itu. Pada saat itu dia akan menemukan bahwa hatinya terus mengucapkan nama Allah, Allah; tanpa perlu menggerakkan lidah. Dia akan membangun kekuatan internal dengan membakar kotoran di dalamnya karena Api Dzikir melalap semua pengotor. Tidak ada yang tersisa kecuali permata yang bersinar dengan kekuatan spiritual.
“Begitu Dzikir memasuki dan menjadi kokoh dalam hatinya, dia akan meningkat lagi mencapai keadaan di mana dia bisa mengetahui Dzikir yang dilakukan oleh seluruh ciptaan Allah. Dia akan mendengar seluruh makhluk mengucapkan kalimat Dzikir dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya. Dia mendengar setiap makhluk berdzikir dengan nada masing-masing dan irama yang berbeda satu sama lain. Pendengarannya terhadap yang satu tidak mempengaruhi pendengarannya terhadap yang lain, dia mampu mendengar semua secara simultan dan dia bisa membedakan masing-masing jenis Dzikir.”
“Ketika para pencari melewati tingkat itu, dia akan mengalami peningkatan lebih jauh dalam Dzikirnya, dia akan melihat bahwa setiap orang yang diciptakan oleh Allah melakukan Dzikir yang sama dengan dirinya. Pada saat itu dia akan menyadari bahwa dia telah mencapai Kesatuan Yang Unik dan Sempurna. Semua melakukan dzikir yang sama dan menggunakan kata-kata yang sama. Segala macam perbedaan akan terhapus dari pandangannya, dan dia akan melihat semua orang yang bersamanya mempunyai tingkatan yang sama dengan Dzikir yang sama pula. Ini adalah Tingkat Penyatuan Setiap Orang dalam Satu Kesatuan. Di sini dia akan menarik semua bentuk Syirik yang tersembunyi sampai ke akar-akarnya dan semua makhluk akan tampak sebagai Satu Kesatuan. Ini adalah langkah pertama dari tujuh langkah dalam perjalanannya.” “Dari Tingkat Kesatuan dia akan menuju ke Tingkat Inti dari Kesatuan, di mana setiap orang yang Ada menjadi Tidak Ada, dan hanya Kesatuan Allah saja yang tampak.”
“Kemudian dia akan menuju Tingkat Primordial dari Kesederhanaan Yang Sempurna, di mana dia bisa tampil dalam wujud apa saja.” “Dari sana dia akan menuju Tingkat Kunci dari Rahasia, yang dikenal dengan Tingkat Nama-Nama, di mana tipe asli dari setiap makhluk ditunjukkan kepadanya dari alam ghaib menuju dunia yang nyata. Ini akan membuatnya berenang dalam orbit Nama-Nama dan Segala Atribut dan dia akan mengetahui semua Pengetahuan Yang Tersembunyi.” “Selanjutnya dia akan menuju Tingkat Yang Tersembunyi dari Yang Tersembunyi, Inti dari semua Yang Tersembunyi. Dia akan mengatahui semua Yang Tersembunyi melalui Kesatuan yang Unik dari Inti. Dia akan melihat semua kekuatan dan bentuknya.”
“Dari sana dia menuju tingkat Realitas Sempurna dari Inti Nama-Nama dan Semua Aksi. Dia akan muncul di dalamnya, dalam atom mereka dan dalam totalitas mereka. Dia akan disandangkan dengan Nama Yang Paling Agung dan dia akan diagungkan dan dimahkotai dengan Tingkat Kebesaran.”
“Kemudian dia akan menuju ke Tingkat Turunnya Allah (munazala) dari Tingkatan-Nya yang Agung ke Tingkat Surga Dunia. Dia sampai pada Tingkat itu, yang terdekat dengan Tingkat Keduniaan, di luar itu para Pembaca Dzikir tidak mempunyai Tingkat lain untuk dicapai melalui bacaannya. Fajar datang ke dalam dirinya dan Mentari Kesempurnaan tampak dalam diri dan tubuhnya, karena hal itu telah tampak melalui Dzikir yang dilakukan dalam hati dan jiwanya. Sebagai hasilnya, ketika Mentari Kesempurnaan tampak pada tubuh dan seluruh anggota tubuhnya, dia akan berada di Tingkat yang telah disebutkan dalam sabda Rasulullah, Allah akan menjadi Telinga yang dipakainya untuk mendengar, Mata yang dipakainya untuk melihat, Lidah untuk berbicara, Tangan untuk menggenggam, dan Kaki untuk melangkah.” Kemudian dia akan mendapati dirinya dan menyatakan kepada dirinya bahwa, ‘Aku tidak berdaya dan sungguh lemah.’ Karena pada saat itu dia telah memahami makna Kekuatan Ilahi.”
Setiap beliau dimintai nasihat jika beliau berkata, “Lakukan apa yang kamu suka,” orang itu tidak akan pernah berhasil. Tetapi bila beliau berkata, “Lakukan ini dan lakukan itu,” maka orang tersebut akan berhasil. Konon beliau tidak pernah menyebutkan sesuatu yang telah berlalu. Beliau tidak pernah menerima suatu gunjingan dan akan mengusir para pelaku dari asosiasinya. Dilaporkan pula bahwa setiap kali orang duduk dalam asosiasinya, mereka akan merasakan bahwa kecintaan terhadap dunia akan lenyap dari hati mereka. Beliau sering mengatakan, “Jangan duduk tanpa berdzikir, karena kematian selalu mengikutimu.”
Beliau berkata, “Peristiwa yang paling membahagiakan bagi ummat manusia adalah ketika dia meninggal, karena ketika dia meninggal, dosanya juga ikut mati bersamanya.” Beliau berkata, “Setiap pencari yang tidak membiasakan diri dan melatih dirinya untuk berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk beribadah dan melayani saudaranya, tidak akan memperoleh kebaikan dalam Thariqat ini.”
Penyingkapan Rahasia Shah Naqsyaband Mengenai Syaikh Syarafuddin
Penerus beliau, Grandsyaikh kita, Syaikh `Abdullah ad-Daghestani, menceritakan hal berikut dalam ceramahnya: “Suatu ketika, dalam salah satu meditasiku, Syaikh Syarafuddin mendatangiku dan berkata mengenai kebesaran dan keistimewaan Shah Naqsyaband . Beliau memujinya dan mengatakan bagaimana Shah Naqsyaband akan memberikan perantaraan di Hari Pembalasan. Beliau berkata, Jika seseorang melihat mata Shah Naqsyaband , dia akan melihat mata beliau berputar, bagian yang putih di hitam dan yang hitam di putih. Beliau bermaksud menyimpan kekuatan spiritualnya untuk Hari Pembalasan dan tidak menggunakannya di dunia ini. “Pada Hari Pembalasan beliau akan mengeluarkan cahaya dari mata kanannya, cahaya itu lalu mengelilingi banyak orang dalam perkumpulannya dan masuk kembali ke mata kirinya. Siapa pun yang berada dalam lingkaran itu akan masuk Surga dan terhindar dari Neraka. Beliau akan mengisi keempat Surga dengan perantaraannya itu.”
“Ketika beliau sedang melukiskan peristiwa besar itu, Aku menyaksikan panorama yang kuat di mana Aku menyaksikan Peristiwa Hari Pembalasan dan melihat Shah Naqsyaband mengeluarkan cahaya, dan menyelamatkan orang-orang. Ketika Aku sedang mengamati hal itu, Aku merasakan cinta yang sangat dalam kepada Shah Naqsyaband, lalu Aku berlari menuju beliau dan mencium tangannya. Kemudian panorama itu menghilang dan Syaikhku pergi. Aku melanjutkan meditasiku pada hari itu dengan berdzikir, membaca al-Qur’an dan melakukan shalat. Di malam harinya, setelah melaksanakan shalat ‘Isya, Aku mengalami keadaan tidak sadarkan diri dan menempatkan Aku ke dalam keadaan panorama spiritual. Aku melihat Shah Naqsyaband memasuki ruangan. Beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, datanglah kepadaku.’ Kemudian rohku meninggalkan jasad dan Aku melihat tubuhku berada di bawahku dan tidak bergerak. Aku lalu menemani Shah Naqsyaband.”
“Kami menjelajahi ruang dan waktu, bukan dengan kekuatan melihat lalu mencapai tempat yang dilihat itu, tetapi dengan kekuatan dimana ketika kami baru memikirkan suatu tempat, kami tiba di tempat itu. Selama tiga malam dan empat hari non-stop, kami melakukan perjalanan dengan cara ini.” “Sudah menjadi kebiasaan dalam meditasiku, ketika Aku menginginkan makanan dan minuman sehari-hari, Aku tinggal mengetuk pintu. Mendengar ketukan dari lantai bawah, istriku akan membawakan makanan dan minuman untukku. Hari pertama dia tidak mendengar ketukan, hari kedua juga begitu. Akhirnya dia merasa sangat khawatir dan membuka pintu dan menemukan Aku terbaring di sana tanpa gerakan.
Dia berlari menuju Syaikh Syarafuddin dan berkata, Mari dan lihatlah anakmu. Dia terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Beliau berkata kepadanya, ‘Dia tidak meninggal. Kembalilah, dan jangan berbicara kepada siapa pun. Dia akan kembali.’ “Setelah tiga hari dan empat malam menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, Shah Naqsyaband berhenti. Beliau berkata, ‘Tahukah kamu siapa yang tampak di cakrawala itu?’ Tentu saja aku tahu, tetapi untuk menghormati Guru, aku berkata, ‘Wahai Guruku, engkau paling tahu.’ Lalu ketika orang itu mendekat beliau berkata, ‘Sekarang apakah kamu mengenalinya?’ Aku berkata lagi, ‘Engkau lebih tahu, wahai Guruku,’ walaupun Aku melihat itu adalah Syaikhku.
Beliau berkata, ‘Itu adalah Syaikhmu, Syaikh Syarafuddin. “Tahukah kamu siapa makhluk yang berada di belakangnya?’ menunjuk kepada suatu makhluk raksasa yang lebih besar daripada gunung yang paling tinggi di bumi ini, yang beliau tarik dengan sebuah tali. Untuk menghormatinya aku berkata lagi, ‘Engkau paling tahu, wahai Syaikhku.’ Beliau berkata, ‘Itu adalah Setan, dan Syaikhmu diberi kekuasaan atasnya, belum ada orang yang diberi otorisasi semacam itu sebelumnya. Sebagaimana setiap Wali diberi kekuasaan atas sesuatu yang khusus, begitu pula Syaikhmu. Bidang khususnya adalah bahwa setiap hari dan setiap malam, atas nama seluruh orang yang telah melakukan dosa karena pengaruh Setan,
Syaikhmu diberi otorisasi untuk membersihkan orang-orang itu atas dosa-dosa mereka, mengembalikan dosa itu kepada Setan, dan membawa orang-orang itu dalam keadaan bersih kepada Rasulullah. Kemudian dengan kekuatan spiritualnya, beliau mengangkat hati mereka, mempersiapkan mereka agar bisa masuk ke dalam lingkaran cahaya yang akan Aku sebarkan di Hari Pembalasan nanti. Aku akan mengisi empat surga dengan cara ini. Inilah yang menjadi spesialisasi Syaikh Syarafuddin. Selain itu, orang-orang yang tidak termasuk dalam keempat Surga tersebut akan memasuki Perantaraan Syaikh Syarafuddin, dengan seizin Rasulullah yang telah diberi kekuatan ini oleh Allah.
Ini adalah kekuasaan yang luar biasa yang telah diberikan kepada Syaikh Syarafuddin. Ketika beliau merantai leher Setan, beliau membatasi pengaruh dosa di bumi ini.” “Kemudian beliau berkata, kamu menanam benih cinta yang ada di hatimu. Seperti halnya kincir air yang mengairi sepetak sawah tetapi tidak bisa mengairi dua petak sawah, cinta yang kamu tumbuhkan terhadap Syaikhmu seharusnya hanya untuk Syaikhmu. Jika kamu membaginya untuk dua orang Syaikh, mungkin cinta itu tidak akan mencukupi, seperti halnya kincir air yang tidak bisa mengairi dua petak sawah. Jangan berikan hatimu kebebasan untuk pergi ke sana ke mari. Cintamu akan mencapaiku melalui Mata Rantai Emas dan akan berlanjut kepada Rasulullah. Jangan membagi dua cintamu untuk kami berdua. Sebelumnya tak seorang Wali pun yang diberi otorisasi seperti yang diberikan kepada Syaikhmu untuk ummat Muhammad , untuk seluruh ummat manusia.’”
“Kemudian Shah Naqsyaband membawaku kembali menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, selama empat hari dan tiga malam. Aku kembali ke tubuhku lagi. Aku merasakan jiwaku memasuki tubuhku dan aku menyaksikan jiwaku masuk ke dalam tubuhku sedikit demi sedikit, sel demi sel, dan melalui panorama itu aku bisa mengerti fungsi dari setiap sel. Kemudian panorama spiritual itu berhenti dan aku mengetuk pintu agar istriku membawakan makanan dan minuman untuk memberi energi bagi tubuhku. Itulah pengungkapan Shah Naqsyaband mengenai Syaikhku, Syaikh Syarafuddin.”
Salah satu murid Syaikh Syarafuddin yang berusia 120 tahun dan tinggal di Bursa, Eskici Ali Usta, melaporkan,“Syaikhku adalah seorang Syaikh yang luar biasa. Suatu saat ketika aku masih muda, aku berada di Istanbul, dan baru saja melakukan bay’at dengan Syaikh Syarafuddin . Kemudian aku bertemu dengan salah seorang teman dari Daghestan yang keras kepala dan tidak percaya dengan Sufisme. Aku bermaksud untuk berbicara dan melunakkan hatinya dengan menceritakan keajaiban yang dimiliki Syaikhku. Ternyata dia lebih meyakinkan dan bisa mengubah keyakinanku. Aku lalu menggantung tasbihku di dinding dan berhenti berdzikir. Beberapa saat kemudian aku sudah dikuasai hawa nafsu dan melakukan dosa besar dua kali.”
“Seminggu kemudian, aku pergi ke Sirkici dan melihat Syaikh dalam perjalanan. Beliau juga sedang berjalan kaki di distrik itu, dalam perjalanannya menuju Rasyadiya. Ketika aku melihatnya datang dari satu sisi, aku berpindah ke sisi yang lain dan berusaha untuk menghindarinya. Ketika aku bersembunyi di ujung jalan, aku merasakan sebuah tangan menempel di bahuku dan Syaikh berbicara kepadaku, ‘Mau kemana, wahai Ali?’ Aku kembali bersamanya dan di tengah perjalanan aku berpikir, ‘Aku tidak bisa menyembunyikan diriku lagi terhadap Syaikh dan Syaikh tidak dapat membawaku kembali lagi.”
“Kami melanjutkan perjalanan sampai bertemu dengan orang yang bernama Huseyyin Effendi. Syaikh berkata kepadaku, ‘Ketika kamu pertama kali datang kepadaku, Aku melihatmu dan menemukan karakter buruk dalam dirimu. Setiap orang mempunyai karakter baik yang bercampur dengan karakter buruk. Ketika kamu melakukan bay’at seluruh perbuatan buruk yang telah kamu lakukan sebelumnya, Aku ganti dengan perbuatan baik. Kecuali dua hal, yaitu keinginan seksual dan kemarahan. Minggu lalu kami hilangkan kedua karakter buruk itu dari dirimu.’ Ketika beliau mengucapkan hal itu, Aku sadar bahwa beliau telah duduk bersamaku dan melihat keinginan seksual dan kemarahanku, Aku mulai menangis, menangis, dan menangis. Ketika Aku menangis, Syaikh Syarafuddin mulai berbicara dengan orang yang bernama dengan Huseyyin dalam bahasa yang tidak pernah aku dengar sebelumnya, padahal aku berasal dari Daghestan dan aku mengetahui semua bahasa di daerahku. Akhirnya aku tahu bahwa Syaikh Syarafuddin berbicara dalam bahasa Syriac, bahasa yang paling jarang digunakan.
“Setelah dua jam menangis, beliau berkata, ‘Cukup! Allah telah mengampunimu, Rasulullah juga telah mengampunimu.’ Aku berkata, ‘Wahai Syaikhku, apakah engkau benar-benar mengampuniku? Apakah Rasulullah telah mengampuniku? Apakah Allah telah mengampuniku? Apakah para Masyaikh yang matanya terbuka telah mengampuniku?
Dulu Aku berpikir bahwa Aku melakukan perbuatan itu sendirian, tetapi sekarang Aku tahu bahwa engkau semua melihatku.’ Beliau berkata, ‘Wahai anakku, kita adalah hamba-hamba yang berada di depan pintu Rasulullah dan di depan pintu Allah. Apapun yang kita minta dari Mereka, Mereka akan menerima permintaan kita karena kita berada dalam kehadirat nya dan kita adalah Satu.’ Aku berkata, ‘Sebagai suatu itikad baik, karena Aku telah diampuni, bagaimana Aku bisa bersyukur kepada Allah dan memberi kehormatan kepadamu dan kepada Rasulullah.
Apakah dengan jalan merayakan mawlid (Kelahiran Rasulullah), atau berkurban, atau mengeluarkan sedekah lainnya?’ Beliau berkata, ‘Apa yang kami inginkan darimu adalah agar kamu senantiasa melakukan dzikir thariqat Naqsybandi.’ Inilah apa yang terjadi pada diriku bersama Syaikh Syarafuddin.”
Salah satu teman Eskici Ali Usta yang telah bermigrasi dengannya dari Daghestan menerima sepucuk surat dari Syaikh Syarafuddin ketika dia masih berada di Daghestan, isinya berbunyi, “Tinggalkan Daghestan. Tidak ada lagi spiritualitas di sana. Daghestan tidak lagi berada di bawah lindungan Ilahi karena di sana terlalu banyak tirani. Datanglah ke sini ke Turki, dan ke Rasyadiya.” Orang itu meletakkan surat dari Syaikh, mengabaikannya dan berpikir, “Bagaimana Aku meninggalkan semua kekayaanku dan semua yang kumiliki di sini?” Beberapa saat kemudian Rusia menguasai kota itu dan menyita semua kekayaannya. Lalu dia teringat dengan surat yang dikirim oleh Syaikh. Akhirnya dia segera menyusun rencana untuk melarikan diri ke Turki dan ke Rashadiya. Namun dia telah kehilangan keluarga dan semua kekayaannya akibat penundaannya itu.
Suatu kali Syaikh Syarafuddin datang ke Istanbul dan tinggal di Hotel Massarat. Beliau ditanya oleh seseorang yang bernama Syaikh Zia, “Bagaimana engkau akan meninggal?” Beliau menjawab, “Apakah pertanyaan itu penting bagimu, bagaimana Aku akan meninggal?” Dia menjawab, “Pertanyaan itu datang begitu saja ke dalam hatiku.” Beliau berkata, “Aku akan meninggal ketika kita mendapat serangan dari Armenia, dan pada saat itu banyak sekali orang-orang yang zhalim.” Malam harinya Syaikh Zia berwudhu lalu shalat 2 rakaat dan berdo’a kepada Allah, “Ya Allah singkirkanlah kesulitan itu (invasi dari Armenia) dari kami, dan panjangkan usia Syaikh kami yang tercinta.” Hari berikutnya Syaikh Syarafuddin berkata kepadanya, “Wahai Syaikh Zia, apa yang telah kamu lakukan semalam, berdo’a? Do’amu telah dikabulkan. Kesulitan itu telah dicabut dari diriku tetapi sebagai gantinya kamu akan menderita dan meninggal sebagai syuhada.” Delapan tahun setelah insiden di hotel itu, bangsa Armenia dan Yunani memasuki Rasyadiya. Zia Effendi tertembak mati, dan apa yang telah diprediksi oleh Syaikh Syarafuddin semuanya terjadi.
Yusuf Effendi, seorang yang pada tahun 1994 berusia sekitar 100 tahun, menceritakan kisah berikut, “Suatu ketika Syaikh Syarafuddin ditahan di Eskisehir, dan Aku adalah penjaganya. Di penjara itu terdapat pula orang yang sangat baik sifatnya, seorang Syaikh yang terkenal, Sa’id Nursi. Syaikh Syarafuddin dipenjara bersama khalifahnya, Syaikh `Abdullah, dan murid-murid yang lain. Ketika Sa’id Nursi mengetahui bahwa Syaikh Syarafuddin ditahan dalam penjara yang sama, beliau mengutus muridnya untuk bertanya apakah beliau membutuhkan sesuatu dan juga menawarkan bantuan. Syaikh Syarafuddin menjawab, ‘Terima kasih, tetapi kami bukan siapa-siapa dan kami tidak membutuhkan apa-apa.’” “Murid Sa’id Nursi terus mendatangi Syaikh Syarafuddin, bertanya apakah beliau membutuhkan sesuatu. Beliau selalu menolaknya. Suatu hari Syaikh Syarafuddin berkata kepada murid itu untuk menyampaikan pertanyaan kepada Syaikhnya, ‘Mengapa kita berada di sini?’ Murid Sa’id Nursi itu pergi menemui gurunya. Beliau menjawab, ‘Kita berada di sini untuk mencapai maqam Sayyidina Yusuf, Maqam Pilihan Diam.’ Setelah murid itu bertanya dan Syaikh Sa’id Nursi memberi jawaban, pembicaraannya pun berakhir.”
“Perubahan ini membuatku bingung dan Aku mulai merenungkannya secara mendalam. Kemudian Aku bertanya kepada Syaikh, ‘Apa rahasia keberadaan Anda di sini?’ Akhirnya, atas desakanku, Syaikh Syarafuddin menjawab, ‘Aku diutus ke sini untuk membawa rahasia orang banyak, orang-orang yang dipenjarakan tanpa sebab. Aku memberi dukungan kepada orang-orang ini. Allah mengutusku ke sini, karena kamu semua berkumpul di sini, dan sangat sulit mencapai kalian. Saya berada di sini untuk mengucapkan salam perpisahan kepadamu, karena kami segera akan meninggalkan dunia ini. Kami akan mengantarkan kepadamu rahasia-rahasia kamu. Bagi kami tidak ada istilah penjara, kami selalu berada dalam Kehadirat-Nya dan kami tidak pernah terpengaruh dengan penjara. Kalian semua akan meninggal beberapa saat lagi tetapi kalian akan bertemu lagi, ketika seorang tokoh penting meninggal dan barulah kalian semua akan bertemu kembali.’ Murid-murid Sa’id Nursi mendengar hal ini sebagaimana para tahanan lain yang mendengarkan dengan penuh antusias.”
Wafatnya
Setelah sekitar tiga bulan, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau berkata kepada Syaikh Abdullah, Aku akan segera pergi, karena Aku terlalu menguras tenagaku mensarikan rahasia Surat al-An’am.” Beliau meninggalkan wasiat baginya, dan menunjuk Syaikh Abdullah untuk menjadi penerusnya di Singgasana Pembimbing.
Tiga hari menjelang wafatnya, beliau memanggil Sultan ul-Awliya Mawlana Syaikh ‘Abdullah al-Faiz ad-Daghestani beserta beberapa pengikutnya, kemudian beliau berkata, “Selama tiga bulan Aku telah menyelami Samudera Surat al-An’am untuk mengeluarkan seluruh nama dari Thariqat Naqsyabandi yang berjumlah 7007 dari salah satu ayatnya. Alhamdulillah, Aku berhasil mendapatkan nama-nama mereka beserta seluruh gelarnya dan Aku telah mencatatnya pada catatan harianku yang Aku berikan kepada penerusku, Syaikh ‘Abdullah. Dia berisikan nama-nama seluruh Wali dari beragam kelompok yang akan ada pada masanya Imam Mahdi.”
Keesokan harinya beliau memanggil khalifahnya, Syaikh ‘Abdullah ad-Daghestani dan berkata, “Wahai anakku, inilah wasiatku. Aku akan pergi dalam dua hari ini. Atas perintah Rasulullah, Aku menunjukmu sebagai penerusku dalam Thariqat Naqsyabandi, bersamaan dengan lima thariqat lain yang telah Aku terima dari pamanku. Seluruh rahasia yang pernah diberikan padaku dan seluruh kekuatan yang telah disandangkan kepadaku dari para pendahuluku di Thariqat Naqsyabandi dan kelima thariqat lainnya, kini kusandangkan kepadamu. Seluruh pengikut yang engkau bay’at di Thariqat Naqsyabandi, juga dengan sendirinya akan di-bay’at di lima thariqat lainnya dan juga akan mendapatkan rahasia mereka. Segera, akan datang kepadamu perintah untuk meninggalkan Turki dan pergi menuju Damaskus (Syam asy-Syarif) [yang pada saat itu amatlah sulit untuk dicapai karena peperangan yang dahsyat].”
Syaikh ‘Abdullah berkata, “Beliau memberikan wasiat tersebut dan Aku berusaha menyembunyikannya sebagaimana Aku ingin menyembunyikan diriku sendiri.”
Beliau wafat pada tanggal 27 Jumadil Awwal, Ahad, 1355H./ 1936 di Rasyadiya. Beliau dimakamkan di pemakaman Rasyadiya, di suatu puncak bukit. Hingga kini masjid dan zawiyanya masih terbuka, dan banyak orang mengunjunginya untuk mendapatkan rahmat dan berkahnya. Awrad yang sama yang dulu dikerjakan Syaikh Syarafuddin , Khatam Khwajagan (Dzikr para Guru) masih ada di sana, tergantung di dinding.
Grandsyaikh kita, Syaikh ‘Abdullah, khalifah dan penerus Sayiddina Syaikh Syarafuddin berkata, “Ketika berita wafatnya diketahui, semua orang datang ke rumahnya untuk mendapatkan berkahnya serta barakahnya. Bahkan Ataturk, Presiden Republik Turki yang baru, mengirimkan delegasi kehormatannya. Kami memandikan jasadnya. Ketika kami membaringkannya untuk dimandikan, beliau memindahkan kedua tangannya ke pahanya untuk menampung air yang tercurah darinya ketika kami memandikannya, sehingga semua pengikutnya dapat minum dari air pemandian tersebut. Ketika semua pengikutnya telah selesai minum, beliau kembali memindahkan tangannya kembali ke tempat semula. Itulah keajaiban dari Samudera Keajaibannya, dan itu terjadi bahkan setelah kematiannya.”
“Ketika kami menguburkan jenazahnya keesokan harinya, lebih dari 300.000 orang datang ke pemakamannya dan kota pun tidak mampu mengakomodasi kerumunan massa tersebut. Mereka datang dari Yalova, Bursa dan Istanbul. Betapa kerumunan orang berduka yang dahsyat. Para lelaki menangis, Para wanita meraung, serta anak-anak pun menangis juga. Semoga Allah Yang Maha Kuasa mengangkat para Walinya di setiap abad.”
Yusuf Effendi, salah seorang pengikutnya berkata, “Memang benar bahwa kami tidak pernah bersama-sama dengan seluruh pengikutnya di suatu tempat yang sama–kami terlalu banyak–namun pada saat kematiannya, seluruh kota mendengar, Bursa, Adapazar, Yalova, Istanbul, Eskisehir, Orhanghazi, Izmir, dan seluruh penduduknya bergabung untuk menyelenggarakan shalat jenazah.”
Syaikh Syarafuddin telah menulis banyak buku, namun semuanya hilang selama Perang Balkan. Namun demikian, banyak manuskrip yang masih tertinggal di keluarganya yang berisi rahasia dari Thariqat Naqsyabandi. Para pengikutnya mendatangi mereka untuk membaca buku-buku tersebut.
Beliau mewariskan Rahasianya kepada penerusnya, Sultan ul-Awliya Mawlana wa Sayyidina Syaikh ‘Abdullah al-Faiz ad-Daghestani.
39. S.S. `Abdullah al-Fa’iz ad-Daghestani (QS)
Engkau adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hati.
Kelopak mataku tidak pernah tertutup
Kecuali bahwa Engkau berada di antara mereka dan mataku.
Cinta-Mu adalah bagian dariku seperti pembicaraan internal jiwa.
Aku tidak dapat bernapas kecuali Engkau ada dalam napasku
Dan Aku menemukan-Mu berburu menembus setiap indraku.
Abul Hasan Sumnun
Beliau dilahirkan di Daghestan pada tahun 1309 H/1891 M dari sebuah keluarga dokter. Ayah beliau adalah seorang dokter umum dan kakaknya adalah dokter bedah di dinas militer Rusia. Beliau dibesarkan dan dididik secara khusus oleh pamannya yang bernama Syekh Syarafuddin ad-Daghestani QS, imam Tarekat Naqsybandi pada masa itu. Selama masa kehamilan adiknya, Syekh Syarafuddin QS mengatakan,
Bayi lelaki yang sedang engkau kandung tidak mempunyai pelindung di hatinya. Dia akan mampu melihat kejadian yang telah atau akan terjadi. Dia akan menjadi salah seorang yang dapat membaca pengetahuan tak terlihat, langsung dari Lauh Mahfuz. Kelak dia akan menjadi seorang ‘Sultan al-Awliya’. Di antara para awliya, dia akan dijuluki ‘Pemimpin Umat Muhammad’. Dia akan menyempurnakan kemampuan bersama Tuhannya sekaligus bersama umat dalam waktu yang bersamaan. Dia akan mewarisi rahasia dari Nabi SAW ketika beliau bersabda, ‘Aku mempunyai satu wajah menghadap pada Sang Pencipta, dan satu wajah memandang pada ciptaan-ciptaan-Nya.’ Dan ‘Aku mempunyai satu jam dengan Sang Pencipta dan satu jam bersama ciptaan-Nya.’
Jika telah lahir, beri dia nama `Abdullah (hamba Allah SWT), karena dia akan membawa rahasia pengabdian. Dia akan menyebarkan tarekat kembali ke negara-negara Arab. Melalui anakmu ini, penerusnya (Syekh Nazim QS-penerj.) akan menyebarkan tarekat ini di negara-negara barat dan timur jauh. Jagalah dia baik-baik. Aku meminta hal itu sampai dia berusia 7 tahun, yang kemudian engkau akan memberikannya padaku untuk kudidik di bawah perlindunganku.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari Kamis, ibunya yang bernama Amina melahirkan beliau, yang kemudian diberi nama `Abdullah QS. Pada saat persalinan, tidak seorang pun menemaninya. Suaminya sedang sibuk dan kakaknya sedang pergi. Amina mengatakan bahwa ia mendapat penglihatan di mana dua wanita mendatanginya. Yang satu adalah Rabi’a al-Adawiyya QS dan yang satunya adalah Asiya (istri Firaun yang mempercayai keimanan Nabi Musa AS). Mereka membantu persalinannya. Setelah beberapa saat ketika penglihatan itu berakhir, Amina melihat bayinya telah lahir. Pada saat itu, suaminya tiba dan menolongnya.
Orang tua beliau tidak pernah mendengar Syekh `Abdullah QS kecil menangis. Di masa kanak-kanak usia satu tahun, mereka sering melihat Syekh `Abdullah QS menundukkan kepalanya di lantai seperti sedang bersujud. Ibunda, keluarga dan para tetangga heran melihat hal ini. Beliau bisa berbicara pada umur 7 bulan dan mampu membuat orang lain dengan jelas memahami perkataannya. Beliau sungguh berbeda dengan anak-anak seusianya. Sering dijumpai kepala Syekh `Abdullah kecil bergerak ke kanan dan ke kiri sambil menggumamkan Nama Allah SWT. Pada usia tiga tahun, beliau sering mengatakan tentang masa depan para tamu yang datang. Beliau mampu mengetahui nama orang yang bersangkutan tanpa mengenalnya atau diberitahu sebelumnya. Beliau membuat kagum masyarakat, banyak orang mendatangi orang tuanya agar dapat melihat anak luar biasa itu dan mendengarnya berbicara.
Pada usia 7 tahun, beliau telah selesai belajar Quran. Duduk bersama pamannya, Syekh Syarafuddin QS sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang-orang padanya. Jawaban-jawaban beliau sungguh jelas berkaitan dengan syariat Islam, meskipun belum pernah mempelajari hukum. Beliau akan membaca ayat-ayat pendukung tanpa pernah mempelajari ilmu syariat. Hal ini membuat masyarakat semakin tertarik pada Syekh `Abdullah kecil QS.
Rumah ayahnya selalu penuh dengan kunjungan orang yang menanyakan masalah-masalah, kesulitan dan urusan sehari-hari. Beliau akan menjawab dan meramalkan hasilnya. Pada usia 7 tahun beliau menjadi amat terkenal, sehingga ketika orang ingin menikah, mereka akan menanyakan apakah perkawinannya ditakdirkan untuk berhasil. Lebih dari itu, mereka menanyakan apakah perkawinannya telah sesuai dengan Takdir Tuhan seperti tercantum dalam Loh Mahfuz.
Para ulama saat itu menyetujui keputusan-keputusan dan hukum peradilannya. Kaum yang memahami kagum akan pengetahuan Syekh `Abdullah QS yang baru berusia 7 tahun, mereka akan datang dari jauh untuk mendengarkan pengetahuan spiritual yang mengalir bak air terjun. Pamannya bertanya bagaimana ia bisa berbicara dengan begitu mudah dan tiada akhirnya. Jawaban beliau adalah, “Wahai pamanku, hal itu datang padaku seperti kata-kata yang tertulis tepat di depanku, berasal dari Hadirat Ilahi. Aku hanya melihat dan membaca apa yang telah tertulis.” Beliau sering berdiskusi tentang masalah-masalah dari pengetahuan mendalam yang sebelumnya belum ada yang membahasnya. Pada usia 7 tahun itu Syekh `Abdullah QS mengatakan pada para pakar hikmah saat itu, “Jika aku bicara tentang apa yang telah diletakkan pada hatiku, yaitu Pengetahuan Ilahi, bahkan para awliya pun akan menebas leherku.”
Beliau cermat sekali dalam menjaga kewajiban syariat Islam. Beliau yang pertama muncul di masjid ketika tiba waktunya salat, 5 kali sehari. Beliau yang pertama hadir dalam majelis zikir, juga yang pertama datang dalam pertemuan para ulama juga pertemuan-pertemuan spiritual lainnya.
Beliau masyhur dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan membaca surat al-Fatiha, meniupkannya pada si sakit sehingga mereka sembuh. Beliau mempunyai keahlian menyembuhkan orang walaupun berada pada jarak yang jauh. Masyarakat mendatanginya demi kesembuhan orang tua, istri, atau siapa pun yang sakit dan tak mampu datang pada beliau. Dalam waktu singkat mereka akan sembuh di mana pun tempatnya. Penyembuhan hanyalah salah satu keutamaan yang beliau miliki.
Berbicara tentang Dirinya Sendiri
Aku adalah seorang keturunan Miqdad bin al-Aswad RA, seseorang yang Nabi SAW tunjuk sebagai wakil beliau bilamana Nabi SAW meninggalkan Madinah untuk suatu misi. Aku mewarisi, seperti pamanku, lima tanda dari Tangan Barakah Nabi SAW yang diletakkan di punggung kakekku, Miqdad bin al-Aswad RA. Dari tanda lahir ini memancar sebuah cahaya yang khas.
Pada saat itu sekitar tahun 1890-an, Daghestan berada di bawah penjajahan dan tirani tentara Rusia. Paman beliau, sebagai pemuka agama di desanya juga ayahnya yang terkenal sebagai dokter, memutuskan untuk pindah dari Daghestan menuju Turki. Mereka meminta Syekh `Abdullah QS untuk mengadakan konsultasi spiritual untuk masalah hijrah itu. Syekh `Abdullah QS mengisahkan kejadian itu,
Malam itu aku salat malam. Aku kembali berwudu, dan salat 2 rakaat. Aku duduk bertafakur, menghubungkan diriku lewat perantaraan Syekhku kepada Nabi SAW. Aku melihat Nabi SAW mendatangiku bersama 124.000 sahabat-sahabat beliau. Beliau mengatakan, “Wahai anakku, aku lepaskan seluruh kekuatanku dan kekuatan 124.000 sahabat-sahabatku dari hatiku. Katakan pada pamanmu dan pengikutnya di desa ini untuk pindah ke Turki segera.”
Kemudian Nabi SAW memelukku dan aku merasakan diriku hilang dalam diri Nabi SAW. Begitu hal itu terjadi aku melihat diriku terangkat sebagaimana Nabi SAW melakukan perjalanan malamnya (Isra’ Mi’raj). Aku melihat diriku menaiki Buraq yang mengantarkan Nabi SAW. Aku juga melihat diriku sendiri mengalami sebuah maqam ‘Sejarak dua busur panah’ [53:9], di mana yang kulihat hanyalah Nabi SAW dan bukan diriku sendiri.
Aku merasakan diriku menjadi sebuah bagian dari keseluruhan Nabi SAW. Lewat kenaikan itu, aku menerima kenyataan bahwa Nabi SAW memasukkan ke dalam hatiku apa yang beliau terima dalam Malam Kenaikan (Isra’ Mi’raj). Segala macam pengetahuan yang masuk dalam hatiku berupa kata-kata yang bercahaya, berubah warnanya mulai dari hijau kemudian ungu. Pemahaman-pemahaman yang diberikan itu tidak terukur besarnya.
Aku mendengar sebuah suara yang berasal dari Hadirat Ilahi yang mengatakan, “Mendekatlah, wahai hamba-Ku, menuju Hadirat-Ku.” Begitu aku mendekat melalui Nabi SAW, segalanya menjadi hilang, bahkan realitas spiritual Nabi SAW pun lenyap. Tidak ada yang eksis kecuali Tuhan, Dia Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Agung.’
Kembali aku mendengar sebuah suara dari seluruh Sifat-Sifat dan Nama-Nama–Nya yang bercahaya dalam Hadirat-Nya, ‘Wahai hamba-Ku, kini saatnya maqam penghidupan melalui Nabi SAW, setelah menjadi fana, muncul serta hidup kembali dalam Hadirat Ilahi, dihiasi dengan ke-99 Sifat-Sifat. Aku melihat diriku di dalam diri Nabi SAW dan muncul di dalam setiap ciptaan yang eksis berkat Kekuatan Tuhan. Itu membawa kami pada maqam di mana kami mampu menyadari bahwa ada jagad-jagad lain selain jagad ini, dan di sana ada berbagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung. Kemudian kurasakan pamanku menggucang-guncang pundakku sambil mengatakan, ”Anakku, sudah waktunya Salat Subuh.”
Aku salat di belakang beliau bersama 300 penduduk desa yang berjamaah bersama kami. Selesai salat, pamanku berdiri dan mengatakan, “Kami telah meminta keponakan kami untuk melakukan konsultasi spiritual.” Setiap orang tak sabar mendengar apa yang telah aku peroleh. Namun kemudian pamanku berkata, “Dia dibawa menuju hadirat Nabi SAW dengan kekuatanku. Nabi SAW telah memberi izin kita untuk hijrah ke Turki. Lalu beliau membawa keponakanku menuju maqam-maqam sampai ke maqam ‘Dengan jarak dua busur panah [53:9]’. Nabi SAW juga membawanya menuju sebuah maqam Pengetahuan di mana Nabi SAW belum pernah membukaya bagi awliya mana pun, termasuk aku sendiri. Kenaikannya adalah sebuah petunjuk bagi awliya dulu dan yang akan datang; dan sebuah kunci untuk membuka Samudra Pengetahuan dan Kebijaksanaan.“
Aku berkata pada diriku sendiri, “Pamanku bersamaku dalam peristiwa penglihatan itu dan dengan kekuatan beliaulah aku menerima penglihatan itu.”
Setiap penduduk desa mulai bersiap untuk hijrah. Kami bergerak dari Daghestan menuju Turki dalam sebuah perjalanan yang penuh kesulitan akibat adanya pasukan Rusia dan para perampok yang tak segan membunuh tanpa sebab. Mendekati perbatasan Turki, kami memasuki kawasan hutan yang terkenal penuh dengan para tentara Rusia. Saat itu waktunya Salat Subuh. Pamanku mengatakan, ”Setelah Salat Subuh kita akan memasuki hutan itu.” Setelah salat, kami pun mulai bergerak. Syekh Syarafuddin QS berseru pada semua orang, ”Berhenti!” lalu beliau meminta secangkir air. Seseorang membawakan air itu dan beliau membacakan surat Yaa Siin, ‘ Dan kami jadikan di depan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, lalu Kami tutup matanya sehingga tidak melihat [36:9] Allah SWT adalah sebaik-baik penjaga. Dia Maha Penyayang dari semua Penyayang [12:64].
Begitu beliau membaca ayat-ayat ini, setiap orang merasakan sesuatu memasuki hati mereka. Aku melihat mereka gemetar. Tuhan menganugerahiku sebuah penglihatan di mana saat itu pasukan Rusia mengelilingi kami di bagian mana pun di hutan itu. Mereka akan menembak apa pun yang bergerak, walaupun itu hanya seekor burung. Kami melewati mereka dan kami selamat. Kami berjalan menyusuri hutan namun mereka tidak mendengar suara kami ataupun suara ternak kami. Kami tiba di sisi lain dari perbatasan itu.
Penglihatan itu lenyap ketika Syekh Syarafuddin QS selesai membaca Surat Yaa Siin. Beliau cipratkan air itu pada kepala kami sambil mengatakan, “Bergerak sekarang! Namun jangan menengok ke belakang.” Begitu kami maju, kami mampu melihat para tentara Rusia di setiap penjuru hutan, namun kami merasa bahwa kami tidak terlihat oleh mereka. Kami bergerak sekitar 20 mil melalui hutan itu. Butuh waktu dari pagi sampai lewat tengah malam. Kami tidak berhenti kecuali untuk salat. Kami mendengar para tentara itu menembaki orang-orang, burung-burung, binatang-binatang dan apa pun yang bergerak, namun kami melewati mereka tanpa terdeteksi. Hanya rombongan kami yang selamat. Kami keluar dari hutan dan menyebrang menuju Turki.
Awalnya kami menuju Bursa, di mana Syekh Syarafuddin QS mendirikan rumah selama setahun. Kemudian beliau pindah ke Rashadiya, bergabung dengan pamannya, Syekh Abu Muhammad al-Madani QS, di mana mereka membangun sebuah desa bagi para imigran dari Daghestani. Berjarak 30 mil dari Yalova, tepatnya di pesisir Marmara, yaitu 50 mil dari Bursa, atau 60 mil dari Adapazar. Beliau membangun masjid pertama di desa itu. Di sebelah masjid itu, beliau membangun rumah beliau sendiri. Para imigran sibuk membangun rumah-rumah mereka. Ayah ibuku membangun sebuah rumah bersebelahan dengan rumah Syekh Syarafuddin QS.
Ketika menginjak umur 13 tahun, Turki di bawah serangan pasukan Inggris, Perancis, dan Yunani. Tentara Turki mengenakan wajib militer bagi warganya, bahkan pada anak-anak. Mereka menginginkan aku untuk bergabung, namun pamanku, yang mempunyai hubungan erat dengan Sultan Abdul Hamid, menolak untuk mengirimku bergabung. Ayahku telah meninggal dan ibuku sendirian, sehingga aku harus membantu beliau. Ketika umurku mencapai 15 tahun, Syekh Syarafuddin QS mengatakan padaku, ”Anakku, engkau sudah dewasa. Menikahlah sekarang.” Aku pun menikah pada umur yang masih belia, 15 tahun; kemudian tinggal bersama ibu dan istriku.
Khalwat Pertama dan Latihan Spiritual
Syekh Syarafuddin QS merawat dan melatih Syekh `Abdullah QS dengan disiplin spiritual secara intensif dan zikir yang panjang waktunya. Enam bulan setelah pernikahan, beliau diperintahkan untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Beliau bercerita,
Aku masih seorang pengantin baru, yaitu 6 bulan ketika Syekhku memerintahkan aku untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Ibuku sangat kecewa, beliau mendatangi Syekhku, yaitu kakaknya sendiri dan protes akan keputusan itu. Istriku juga kecewa, namun hatiku sama sekali tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, aku sangat senang memasuki khalwat yang sangat aku idam-idamkan itu.
Aku berangkat khalwat, meskipun ibuku menangis dan mengatakan, “Tidak ada lagi yang aku miliki selain engkau. Kakakmu masih di Rusia, dan ayahmu telah meninggal.” Aku kasihan melihat ibuku, namun aku sadar akan perintah Syekhku dan itu pasti berasal langsung dari Nabi SAW. Aku memasuki khalwat itu dengan perintah untuk mandi dengan air dingin enam kali sehari, serta menjaga segala kewajiban-kewajiban dan zikir hariannya. Sebagai tambahan, aku diperintahkan untuk membaca tujuh sampai lima belas juz Quran dan mengulang Nama Allah SWT 148.000 kali dan selawat Nabi SAW 24.000 kali setiap harinya.
Banyak lagi latihan-latihan lainnya yang harus dilakukan dengan terfokus dan penuh ketenangan. Aku berada di sebuah gua, di tengah sebuah hutan besar, di atas gunung bersalju yang tinggi. Satu orang ditunjuk untuk melayaniku dengan 7 buah zaitun dan 2 ons roti setiap harinya. Saat itu umurku lima belas setengah tahun. Ketika aku selesai berkhalwat umurku sudah mencapai dua puluh tahun, berat badanku hanya 100 pound, sangat kurus.
Penglihatan-penglihatan dan pengalaman-pengalaman yang telah terbuka tidak mampu aku ceritakan dengan kata-kata. Aku memasuki khalwat itu dengan mengatakan pada egoku, “Egoku, ketahuilah, aku tidak akan meninggalkan khalwat ini, bahkan jika aku harus mati. Jangan coba-coba mengubah pikiranku atau menipuku.”
Ada sedikit lubang di atas gua, namun aku menutupnya dengan sepotong kain. Aku hanya tidur sebentar dalam khalwat itu. Aku tidak merasa butuh untuk tidur, karena dukungan surgawi begitu kuatnya. Suatu saat aku menerima penglihatan ketika Nabi SAW berkhalwat di gua Hira. Selama 40 hari aku duduk di belakang beliau dan tidak pernah tidur tetapi tetap dalam keadaan seperti itu.
Ketika aku berzikir, setelah lewat tengah malam, badai melanda pegunungan itu. Aku mendengar badai itu merobohkan pepohonan, kemudian datang hujan dan akhirnya turun salju. Begitu dingin dan tidak ada yang menghangatkanku kecuali panasnya hawa zikirku. Sebuah angin kencang menerbangkan sumpalan kain pada lubang di atap gua. Aku pun membeku, dan salju mulai berjatuhan di tubuhku. Begitu dinginnya, sehingga aku tak mampu menggerakkan jari-jariku untuk berzikir. Jantungku seakan terhenti. Terlintas keinginan untuk menutup lubang itu kembali, namun Syekhku datang dengan berteriak, “Anakku! Engkau sibuk dengan dirimu sendiri atau dengan Dia yang telah menciptakanmu?! Jika engkau mati kedinginan, itu lebih baik daripada mengizinkan hatimu lalai walau sesaat.” Penglihatan itu membuat hatiku terasa hangat dan kemudian aku mengulangi zikirku segera. Aku perang melawan diri sendiri. Akhirnya aku mengatakan, “Biarkan aku mati, tetapi aku akan tetap melanjutkan zikirku.” Tiba-tiba, angin disusul salju pun berhenti. Sebuah pohon jatuh, tepat menutupi lubang di atap gua.
Suatu hari setelah salat malam, ketika aku sibuk dengan zikir dan hatiku terhubung dengan Asalnya, aku mengalami penglihatan bahwa diriku sedang berzikir di Hadirat Ilahi. Pada saat yang sama aku merasakan sesuatu membelitku, aku sadar itu bukan sesuatu yang spiritual tetapi berwujud. Aku teringat dengan perkataan Nabi SAW, “Tidak ada ketakutan di dalam hatiku kecuali takut pada Tuhan.” Meskipun sesuatu membelit tubuhku, aku tetap tidak terganggu dalam Hadirat-Nya.
Pada tingkatan itu aku mencapai maqam kesadaran akan 777.777 kali pengulangan Nama Ilahi. Ketika akan mencapai 777.778 aku mendengar dari Hadirat Ilahi, “Wahai hamba-Ku, malam ini engkau telah mencapai rahasia kesadaran akan angka/jumlah (wuquf adadi). Engkau telah berhasil meraih kunci maqam itu. Masukilah Hadirat-Ku dalam tingkatan seseorang yang mampu berbicara pada Tuhannya, tingkatan Musa AS ketika dia berbicara dengan Hadirat Ilahi.“
Aku menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang para awliya belum pernah mampu mencapainya. Aku gunakan kesempatan itu untuk bertanya pada Allah SWT, “Ya Allah, apakah Nama-Mu Yang Teragung?” Dan aku mendengar, “Wahai hamba-Ku, engkau akan diberi jawabannya nanti.” Lalu penglihatan itu lenyap bertepatan dengan waktunya untuk Salat Subuh.
Sebelum salat, aku diwajibkan untuk mandi dengan air dingin. Namun karena tidak ada air yang mengalir maka aku pun mandi dengan salju. Ketika akan bangkit untuk mandi, sebuah kepala ular menghadap tepat di wajahku, ternyata dialah yang membelit tubuhku. Kepalanya begitu tenang sehingga jika ada gerakan karena rasa takut bisa membuatnya menyerangku. Aku tidak mempedulikan ular itu. Aku tahu jika aku merasa takut, dia akan menyerang. Jadi dalam pikiranku, aku membuatnya tidak ada. Aku tidak bisa mandi dengan ular membelitku, namun perintah Syekh harus aku ikuti. Maka aku guyur air di sekujur pakaian dan ular itu. Selama 40 hari, ular itu tetap membelitku. Ketika salat, ular itu menggerakkan kepalanya untuk memberi kesempatan aku bersujud. Selama 40 hari, ular itu terus menatapku, menungguku berbuat kesalahan atau ketakutan, untuk kemudian menyerangku. Itu ujian dari Syekhku, untuk melihat apakah aku takut pada selain Allah SWT. Pada akhirnya hal itu berakhir, ular itu mulai melepaskan belitannya dari tubuhku. Dia berhenti sebentar di hadapanku untuk kemudian menghilang.
Syekh `Abdullah QS melewatkan waktu 5 tahun dalam khalwat semacam itu, yang berakhir ketika beliau menginjak usia 20 tahun. Ketika beliau kembali, beliau sudah pantas untuk masuk wajib militer. Syekh `Abdullah QS pun bergabung dalam kemiliteran.
Kenaikan Beliau
Syekh `Abdullah QS bercerita dalam sebuah insiden yang terjadi selama pengabdian beliau dalam dinas militer Kekhalifahan Utsmani (Ottoman),
Aku menjumpai ibuku hanya dalam waktu satu atau dua minggu. Lalu mereka mengambilku untuk berperang dalam Safar Barlik di Dardanelles. Suatu hari ada serangan dari musuh dan kami, 100 orang tertinggal di belakang untuk mempertahankan wilayah perbatasan. Aku adalah seorang penanda yang ulung, mampu memukul sebuah ancaman dari jarak jauh. Kami tidak mampu mempertahankan posisi kami di bawah serangan yang tajam. Aku merasakan sebuah peluru menembus jantungku, aku pun terjatuh di tanah.
Ketika aku terbaring sekarat, aku melihat Nabi SAW menghampiriku. Beliau berkata, ”Oh anakku, engkau ditakdirkan untuk meninggal di sini, namun kami masih memerlukanmu di bumi ini, baik secara spiritual maupun fisik. Aku datang padamu untuk menunjukkan bagaimana seorang manusia meninggal dan bagaimana malaikat mengambil nyawa.” Beliau memberiku penglihatan di mana aku melihat rohku mulai meninggalkan tubuhku, dari sel ke sel, berawal dari ibu jari kakiku. Begitu kehidupan dilepaskan, aku dapat melihat berapa banyak sel-sel dalam tubuhku. Fungsi-fungsi setiap sel, dan penyembuh setiap penyakit dari setiap sel dan aku juga mendengar zikir di setiap sel itu.
Begitu rohku mulai bergerak meninggalkan tubuh, aku mengalami apa yang orang rasakan ketika meninggal dunia. Aku dibawa melihat berbagai keadaan saat kematian: kepedihan, kemudahan, dan kematian yang sangat membahagiakan. Nabi SAW mengatakan, “Engkau termasuk orang yang meninggal dengan keadaan bahagia.” Aku menikmati kematian itu, karena hal itu membuatku memahami ayat Quran, ‘Kami adalah milik Allah SWT, dan pada-Nya kami kembali‘ [2:156].
Penglihatan itu berlanjut sampai aku mengalami saat rohku sampai pada napas terakhir. Aku melihat malaikat maut datang dan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Segala macam penglihatan bagi orang yang sedang sekarat aku alami, namun aku masih dalam keadaan hidup, sehingga aku dapat memahami rahasia segala tingkatan itu.
Aku melihat rohku memandang ke bawah pada jasadku, dan Nabi SAW mengatakan padaku, “Kemarilah!” Aku menemani Nabi SAW dalam sebuah penglihatan akan ketujuh surga. Aku melihat apa pun yang Nabi SAW inginkan aku melihatnya di dalam tujuh surga-surga itu. Beliau mengangkatku pada maqam kebenaran di mana aku melihat nabi-nabi, semua awliya, seluruh syuhada, dan kaum yang lurus imannya.
Beliau mengatakan, “Oh anakku, sekarang aku akan membawamu melihat siksaan-siksaan neraka.“ Di sana aku melihat semua yang Nabi SAW pernah sebutkan dalam hadis-hadis dan sabda beliau tentang siksaan-siksaan neraka. Aku pun berkata, “Wahai Nabi SAW, engkaulah yang dikirim sebagai wasilah bagi umat manusia, adakah cara agar mereka dapat terselamatkan?”
Beliau menjawab, “Anakku, dengan syafaatku mereka dapat terselamatkan. Aku menunjukkan padamu, takdir dari kaum yang aku tidak mempunyai kekuatan untuk campur tangan atas mereka.”
Nabi SAW berkata, “Anakku, kini aku kembalikan kamu ke dunia dan ke dalam tubuhmu.” Begitu Nabi SAW mengatakan hal itu, aku melihat ke bawah di mana terlihat tubuhku telah membengkak. Aku pun berkata pada Nabi SAW, “Wahai Nabi Allah SAW, lebih baik aku di sini bersamamu. Aku tidak mau kembali. Aku bahagia bersamamu dalam Hadirat Ilahi. Lihatlah dunia itu. Aku sudah pernah di sana dan sekarang aku telah meninggalkannya. Mengapa harus kembali? Lihat, tubuhku sudah membengkak.” Nabi SAW menjawab, “Oh anakku, engkau harus kembali. Itulah tugasmu.”
Atas perintah Nabi SAW, aku kembali pada tubuhku, meskipun aku tidak menginginkannya. Aku melihat peluru telah menyatu dalam daging, dan pendarahan telah berhenti. Begitu aku memasuki tubuhku dengan lembut, penglihatan itu pun berakhir. Aku melihat para dokter di medan peperangan sedang mencari mereka yang masih hidup di antara yang telah gugur. Salah seorang berteriak, “Yang itu masih hidup!” Aku terlalu lemah untuk bergerak atau pun berbicara, sampai aku menyadari bahwa tubuhku telah tergeletak di sana selama 7 hari. Mereka membawa dan merawatku, sampai kesehatanku pulih.
Mereka mengembalikanku pada pamanku. Begitu aku bertemu, beliau mengatakan, “Oh anakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu?” Aku tidak menjawab “Ya” ataupun “Tidak” karena aku tidak tahu yang mana yang dimaksud pamanku, kunjungan kemiliteran atau kunjungan bersama Nabi SAW. Kembali beliau bertanya, “Oh anakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu bersama Nabi SAW?“ Aku pun sadar bahwa beliau mengetahui segala hal yang telah terjadi padaku. Aku pun langsung menghampirinya dan mencium tangan beliau sambil berkata, “Oh Syekhku, aku harus mengakui bahwa aku tidak ingin kembali. Namun Nabi SAW mengatakan bahwa itulah tugasku.”
Kepasrahan Mutlak Syekh `Abdullah QS
Syekh `Abdullah QS melanjutkan kehidupannya di bawah pengawasan pamannya, Syekh Syarafuddin QS. Beliau lebih maju bahkan lebih tinggi dalam pengetahuan spiritual. Suatu hari Syekh Syarafuddin QS sedang duduk dalam sebuah pertemuan bersama 300 ulama, baik dalam hal agama maupun tarekat. Mereka bermaksud untuk mendiskusikan pentingnya kehidupan rohaniah. Mereka duduk di sebuah lembah dekat dengan masjid Syekh.
Syekh `Abdullah QS datang ke lembah itu. Para ulama berkata pada Syekh Syarafuddin QS, ”Kami kagum dengan apa yang telah engkau berikan pada anak itu.” Dan Syekh menjawab,
Lihatlah anak itu. Dia mendatangiku. Jika seorang anak berumur 7 tahun menghampirinya dan mengatakan, ”Syekhmu berpesan agar engkau pergi ke Mekkah.” Dan bahkan jika aku tidak mengirim anak itu, maka `Abdullah QS akan menerima dan melakukan apa yang anak kecil itu katakan. Ini karena dia menghubungkan semuanya denganku, dan dia tahu bahwa apa yang datang padanya adalah berasal dariku, tidak peduli apa maknanya. Dia paham bahwa apa yang datang padaku berarti berasal dari Nabi SAW, karena hatiku terhubung dengan beliau, dan itu bersumber pada Tuhan. Jika hal itu terjadi, dia tidak akan pergi ke istri atau ibunya ataupun mempersiapkan bekal. Dia akan langsung bergegas mengarahkan kakinya menuju Mekkah. Itulah mengapa aku mementingkan dirinya, karena aku juga tahu maqam seperti apa yang dia tempati sekarang.
`Abdullah QS berada pada maqam yang belum pernah seorang pun mampu memasuki ataupun melihatnya, termasuk diriku. Dia telah mencapai maqam yang lebih tinggi dariku dan lebih tinggi dari semua guru-guru pada tarekat ini. Karena tarekat berlanjut dari Syekh yang satu ke Syekh selanjutnya dan terus naik tingkatannya. Rahasia yang diberikan secara turun-temurun akan bertambah sampai pada penerus selanjutnya. Pada saat yang sama, tingkatan Nabi SAW juga semakin meningkat. Setiap saat begitu Nabi SAW naik tingkatannya, demikian juga dengan para awliya dalam lingkungan umat beliau. Inilah arti dari ayat, “di atas orang-orang yang berilmu ada Yang Maha Tahu. [12:76].
Sebuah Perjumpaan dengan Gurdjieff
(Kunjungi website Gurdjieff di http://www.gurdjieff.org/)
Grandsyekh `Abdullah QS sering melayani di khaniqah milik pamannya. Setiap hari ratusan tamu mengunjungi Syekh, kebanyakan dari Daghestan. Di antara tamu itu ada seorang guru dari Rusia, George Gurdjieff. Beliau baru tiba di Turki setelah melewati sebuah perjalanan panjang dan sulit dalam pelarian diri dari Rusia ketika ada revolusi komunis. Gurdjieff mempunyai hubungan dengan sufi-sufi berbagai tarekat dan telah sering mengembara di seluruh pelosok Kaukasus. Beliau bahagia bisa bertemu dengan para pewaris Tarekat Mulia Naqsybandi Daghestani.
Syekh Syarafuddin QS meminta Syekh `Abdullah QS sebagai penerima tamunya. Syekh `Abdullah QS menceritakan berbagai peristiwa pertemuan dengan murid-muridnya bertahun-tahun kemudian. Begitu keduanya bertemu, Syekh `Abdullah QS mengatakan, “Anda tertarik dengan pengetahuan akan 9 titik-titik itu. Kita bisa membicarakannya esok hari setelah Salat Subuh. Kini silakan makan dan istirahat.” Esoknya, Syekh `Abdullah QS memanggil Gurdjieff untuk Salat Subuh berjamaah. Ketika selesai, Syekh mulai membaca Surat Yaa Siin. Setelah itu Gurdjieff mendekati beliau untuk menanyakan pengalamannya. Gurdjieff mengatakan hal ini,
Begitu Anda selesai salat dan mulai membaca surat itu, aku melihat Anda datang dan meraih tanganku. Kami diarahkan pada sebuah taman mawar yang indah. Anda mengatakan bahwa taman ini adalah taman Anda dan mawar-mawar itu adalah murid-murid Anda, setiap dari mereka mempunyai warna dan harum yang berbeda-beda. Anda arahkan aku pada salah satu mawar merah dan mengatakan, ”Ini adalah kepunyaanmu. Ciumlah.” Saat aku menciumnya, aku melihat mawar itu mekar dan aku lenyap di dalamnya dan menjadi mawar itu. Aku memasuki akarnya dan aku dibawa ke hadirat Anda. Aku merasa memasuki hati Anda dan menjadi bagian dari diri Anda.
Lewat kekuatan spiritual Anda, aku mampu naik menuju pengetahuan akan kekuatan 9 titik-titik itu. Sebuah suara yang memanggilku dengan `Abdan Nur, mengatakan, “Cahaya dan pengetahuan ini telah dianugerahkan padamu dari Hadirat Tuhan agar membawa damai dalam hatimu. Namun kamu tidak boleh menggunakan kekuatan ilmu itu,“ suara itu mengucapkan selamat tinggal dan penglihatan berakhir saat Anda selesai membaca Yaa Siin.
Syekh `Abdullah QS menjawabnya,
Surat Yaa Siin dinamakan “Hati Quran” oleh Nabi Muhammad SAW dan pengetahuan akan 9 titik-titik ini dibuka padamu melalui surat ini. Penglihatan itu baraqah dari ayat: Salam! Sebagai ucapan dari Yang Maha Penyayang [36:58].
Setiap dari 9 titik-titik itu melambangkan 9 wali yang mempunyai tingkatan tertinggi dalam Hadirat Tuhan. Mereka adalah kunci-kunci menuju ilmu-ilmu rahasia di antara umat manusia, namun tidak ada izin untuk menggunakan kunci-kunci itu. Ini adalah sebuah rahasia yang secara umum tidak akan dibuka sampai Hari Kiamat kelak ketika Imam Mahdi AS muncul dan Yesus AS kembali.
Pertemuan kita ini telah diberkati. Jagalah itu sebagai sebuah rahasia dalam hatimu dan jangan dibicarakan dalam kehidupan ini. `Abdan Nur, itulah namamu bagi kami, kamu bebas untuk tinggal atau pergi sesuai tanggung jawabmu mengizinkan. Engkau selalu kami terima. Engkau telah mencapai keselamatan dalam Hadirat Ilahi. Semoga Tuhan memberkahimu dan memberimu kekuatan dalam tugasmu.
Syekh `Abdullah ad-Daghestani QS bersama murid-muridnya di Damaskus. Syekh Nazim QS di sebelah kanan beliau dan Syekh Hussein QS di sebelah kirinya.
Maqam-Maqam Beliau dan Perkataan Beliau setelah Khalwat Kedua
Setelah umur 30 tahun, Syekh `Abdullah QS diperintahkan untuk memasuki khalwat kedua selama 5 tahun. Selama khalwat itu, penglihatan-penglihatan dan maqam-maqam dianugerahkan pada beliau yang mustahil untuk dijabarkan dalam buku ini. Setelah khalwat kedua, kekuatan akan ketertarikan spiritual beliau meningkat. Beliau menjadi terkenal semasa hidup Syekh Syarafuddin QS. Orang-orang berdatangan untuk belajar dari beliau.
Beberapa Perkataan Beliau Yang Penting
Aku tidak berbicara pada kalian tentang berbagai maqam, manifestasi atau tingkatan tanpa aku pernah memasuki maqam itu atau mengalami manifestasinya. Aku tidaklah seperti yang lain. Aku tidak berbicara dengan memisahkan pandanganku dari hatiku. Menerangkan detil maqam-maqam padamu tanpa mengetahui realitasnya. Tidak demikian! Pertama aku mengikuti jalannya dan melihatnya. Aku mempelajari realitas dan rahasia-rahasia yang kutemukan selama perjalanan itu. Aku mengamalkan jalan itu sampai meraih kepastian, mata dari kepastian, kebenaran dari kepastian. Hanya dengan itu aku mengatakannya padamu, memberimu sedikit rasa dari apa yang telah aku rasakan sampai aku mampu membuatmu mencapai maqam itu tanpa melelahkan dan memberimu kesulitan.
Ada 5 maqam dalam hati: Qalb, Sirr, Sirr as Sirr, Khafa dan Akhfa. Qalb adalah hati, sirr adalah rahasia, sirr as sirr adalah rahasia di balik rahasia, khafa adalah tersembunyi, dan akhfa adalah yang paling tersembunyi. Rahasia tarekat ini berdasar atas 5 maqam tersamar dalam hati (lathaif).
Lathifah al-Qalb, tingkatan hati, ada di bawah wewenang Nabi Adam AS, karena ini melambangkan aspek fisik dari hati. Lathifah as-Sirr, tingkatan rahasia, ada di bawah wewenang Nabi Nuh AS, karena ini melambangkan kapal yang selamat dari kegelapan dan banjir akibat ketidakpatuhan. Lathifah Sirr as-Sirr, maqam rahasia di balik rahasia yang berada di bawah wewenang 2 nabi, yaitu Ibrahim AS dan Musa AS, di mana mereka melambangkan Hadirat Ilahi di muka bumi ini. Tuhan menciptakan Ibrahim AS sebagai simbol dari semua khalifah-Nya di bumi, sebagaimana tercantum dalam ayat ciptaan umat manusia[2:30]. Musa AS telah diberkahi dengan pendengaran dan perkataan pada Tuhan, 2 atribut penting dalam Pengetahuan.
Lathifah al-Khafa, maqam tersembunyi di bawah wewenang Yesus AS atas pengetahuan tersembunyi. Beliau melambangkan pengetahuan hikmah.
Lathifah al-Akhfa, maqam paling tersembunyi, di bawah Realitas Muhammad SAW karena beliau dianugerahi sebuah maqam tinggi di atas seluruh nabi dan utusan-utusan-Nya. Beliau yang dinaikkan pada malam Isra’ Mi’raj menuju Hadirat Ilahi. Ini melambangkan kalimat suci sebagai kesaksian keimanan dalam, “Tidak ada tuhan selain Allah SWT.” dilanjutkan “Muhammad adalah utusan Allah SWT.”
Cahaya-cahaya dari maqam-maqam ini telah ditunjukkan padaku. Cahaya dalam Hati berwarna kuning. Cahaya dari Rahasia berwarna merah. Cahaya dari Rahasia di balik Rahasia adalah putih. Cahaya dari Maqam Tersembunyi adalah hijau. Dan cahaya dari Maqam yang Paling Tersembunyi adalah hitam.
Kelima maqam-maqam itu adalah pusat dari sembilan 9 titik yang melambangkan tempat ilham dari Hadirat Tuhan dalam setiap hati manusia. Letaknya di bagian dada manusia dan melambangkan 9 tingkatan tersembunyi dan berbeda di setiap orang. Setiap maqam terhubung dengan seorang wali, yang mempunyai wewenang untuk mengontrol titik itu.
Jika para pencari dalam Tarekat Naqsybandi mampu membuka selubung dan membuat kontak spiritual dengan awliya yang punya wewenang atas titik-titik ini, dia bisa saja diberi pengetahuan dan kekuatan untuk menggunakan ke sembilan titik ini.
Persyaratan yang berhubungan dengan pembukaan ke sembilan titik ini hanya dapat disinggung secara tak langsung. Maqam pertama, berkenaan dengan kekuataan untuk memenjarakan ego. Kunci dari maqam kedua adalah zikir dengan La ilaha ill-Allah. Maqam ketiga adalah menyaksikan pengukiran Nama Allah SWT di dalam hati (naqsy). Maqam keempat berhubungan dengan arti dari apa yang diukir dalam hati. Maqam kelima adalah menanamkan ukiran itu dengan zikir kalian. Maqam keenam adalah dengan membuat jantung berhenti memompa pada suatu ketika dan mulai memompa lagi pada suatu saat. Tingkatan ketujuh adalah menjadi waspada berapa kali kita menghentikan jantung dan berapa kali hitungan kita saat membuatnya memompa lagi. Tingkatan kedelapan adalah dengan menyebut ayat Muhammadun Rasulullah SAW ketika menghentikan jantung dan setiap memulihkannya lagi. Tingkat kesembilan adalah dengan kembali ke dalam gua kalian, sebagaimana firman Tuhan dalam Surat al-Kahfi, Dan jika kamu menjauhkan diri dari mereka dan apa yang mereka sembah selain dari Allah SWT, maka bersembunyilah kamu ke dalam gua, niscaya Tuhan kamu akan mencurahkan kepada kamu rahmat-Nya dan menyiapkan barang-barang kebutuhan dalam urusan kamu [18:16]
Gua itu adalah Hadirat Tuhan, Di sini seseorang mengucapkan doa Nabi SAW, “Ya Allah SWT, Engkaulah tujuanku dan Ridha-Mu Yang kuinginkan (Ilahi Anta maqshuudi wa ridhaaka mathluubi).” Jantung, yang berganti antara berhenti untuk memompa dan pulih kembali, terjadi dalam tingkatan inti dari Hadirat Ilahi. Karena Inti Ilahiah adalah sumber seluruh ciptaan, hati itu akan selalu ada di setiap ciptaan di jagad ini. Hati yang telah mencapai rahasia-rahasia ke sembilan titik ini akan mampu melihat segala hal, mendengar segala hal, mengetahui segala hal, merasakan apa pun,‘ sampai Tuhan menjadi telinga di mana dia mendengar, menjadi mata saat dia melihat, menjadi lidah ketika dia berbicara, menjadi tangan ketika dia meraih, dan kaki dengannya dia berjalan. Dia menjadi seperti Tuhan, dia hanya berkata “Jadi!” dan terjadilah.’
Surat Wasiat Syekh Syarafuddin QS
Pada hari-hari akhir beliau, Syekh Syarafuddin QS menulis surat wasiatnya dan memberikannya pada Syekh `Abdullah QS. Saat itu beliau meramalkan, “Sepeninggalku, sebuah kesempatan akan datang padamu untuk meninggalkan Turki. Ambillah kesempatan itu, karena tugasmu bukan di sini, tetapi di luar Turki.”
Syekh `Abdullah QS mempunyai dua orang putri dari istrinya yang bernama Halima. Yang tertua bernama Rabia dan adiknya bernama Madiha. Sembilan anak beliau yang lain tidak mampu bertahan hidup. Begitu Syekh Syarafuddin QS wafat, sebuah utusan Raja Faruq dari Mesir mendatangi beliau untuk berbela sungkawa karena Syekh Syarafuddin QS mempunyai banyak pengikut dari Mesir. Salah satu pangeran yang ikut dalam delegasi itu tertarik pada putri Syekh `Abdullah QS, Madiha, dan ingin mempersuntingnya.
Syekh `Abdullah QS sadar akan kesempatan untuk meninggalkan Turki yang pernah dikatakan Syekhnya. Beliau langsung menerima lamaran itu, dan tanpa ada keluhan dari putrinya, pernikahan pun terjadi dengan cepat. Tidak beberapa lama ketika Syekh `Abdullah QS menerima undangan menantunya untuk datang ke Mesir, beliau mengatakan,
Aku pergi ke Mesir dan tinggal bersama putriku. Hubungan antara putriku dengan suaminya tidak begitu baik. Tak beberapa lama pernikahan itu pun berakhir pada perceraian. Aku melaksanakan nasihat Syekhku untuk mengambil kesempatan itu. Aku naik kapal bersama putri-putriku dan istriku di Alexandria dan berlayar menuju Latakia. Aku pergi ke Aleppo, di mana kami mendarat hanya dengan uang 10 piastres (10 sen) dalam saku dan tidak ada perbekalan sama sekali. Kami menuju masjid untuk Salat Maghrib. Di sana ada seorang laki-laki mendekati kami dan mengatakan padaku, “Oh Syekhku, jadilah tamuku.” Dia membawa kami ke rumahnya. Aku menganggap bahwa ini adalah salah satu karamah Syekhku, di mana Tuhan membukakan sebuah pintu bagi kami, dari Turki menuju Mesir sampai ke Aleppo.
Syekh `Abdullah QS tinggal sementara waktu di Aleppo, di mana masyarakatnya sangat menghormatinya. Para ulama berdatangan dan mendengarkan beliau, mereka kagum akan ceramah dan pengetahuan beliau. Mereka menyebutnya sebagai penyegar agama. Beliau kemudian pindah ke Homs untuk waktu yang amat singkat, di mana beliau mengunjungi masjid dan makam sahabat Nabi SAW, Khalid bin Walid RA. Kemudian pindah lagi ke Damaskus, di daerah Maidan, dekat dengan makam Saad ad-Din Jibawi QS, seorang awliya dari keluarga Nabi SAW. Kemudian beliau mendirikan Zawiya pertamanya, sebagai cabang dari Tarekat Naqsybandi yang telah hilang dari Damaskus di bawah Syekh Khalid QS menuju Daghestan dengan Syekh Ismail QS sebagai khalifahnya, sekarang dikembalikan lagi ke Damaskus. Dua putri Syekh `Abdullah QS telah menikah. Rabi’a mempunyai empat anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Madiha menikah dengan Syekh Tawfiq al-Hibri, salah satu ulama besar di Lebanon.
Dalam waktu singkat banyak orang memenuhi Zawiya Syekh `Abdullah QS. Mereka datang dari berbagai kota: para sufi, orang-orang pemerintahan, pedagang dan masyarakat umum. Murid-murid berdatangan setiap hari untuk duduk di depan pintu khaniqah. Setiap hari, makanan disediakan bagi ratusan, bahkan banyak yang menginap di sana.
Kemudian datang perintah spiritual untuk pindah ke Jabal Qasiyun. Tempat tertinggi di Damaskus, di mana dari atas seluruh kota dapat terlihat. Dengan bantuan dua khalifah senior beliau yaitu Syekh Muhammad Nazim Adil QS dan Syekh Husein `Ali QS beliau membangun sebuah rumah. Rumah dan masjid itu masih berdiri di sana, dan masjid itu adalah juga tempat makam beliau. Beliau melihat sebuah penglihatan, di mana ketika membangun masjid itu, Nabi SAW berserta Abu Bakar ash-Shiddiq RA, `Ali RA, Syah Naqsyband QS dan Ahmad al-Faruqi QS datang dan meletakkan tanda akan bentuk dan lokasi dinding-dinding masjid. Begitu penglihatan itu berakhir, tanda-tanda itu terlihat dan banyak yang hadir bisa melihatnya. Bertahun-tahun kemudian, ratusan dari ribuan pengunjung diterima untuk pengobatan, salat, praktik-praktik ibadah dan untuk belajar segala macam pengetahuan syariat dan rohaniah.
Sering kali Syekh `Abdullah QS diperintahkan Nabi SAW untuk melaksanakan khalwat-khalwat. Waktunya bervariasi antara 40 hari sampai setahun. Dua puluh khalwat telah dilaksanakan sepanjang hidup beliau. Beberapa khalwat dilaksanakan di Damaskus, Jordan, Baghdad di makam Syekh `Abdul Qadir Jailani QS, dan sisanya di Madinah. Di setiap khalwat, kekuatan spiritual dan maqam beliau pun meningkat.
Suatu hari Syekh `Abdullah QS mengirim pesan lewat Syekh Nazim QS untuk Syarif `Abdullah, raja Yordania waktu itu. Raja itu adalah salah satu murid Syekh. Pesan beliau, “Jangan salat berjamaah khususnya pada hari Jumat, karena aku mendapat penglihatan, bahwa kamu akan terbunuh.” Namun Raja itu tidak menggubris peringatan itu, dan seminggu kemudian beliau tewas ketika berangkat menuju Salat Jumat.
Bertahun-tahun kemudian, seorang sepupu kami mendapat kecelakaan karena tembakan di Beirut. Dia dibawa untuk dioperasi. Kami pergi pada Grandsyekh `Abdullah QS karena khawatir akan keadaannya. Baru saja kami sampai untuk memberitahu, ternyata beliau sudah berteriak, “Kembalilah! Sudah tertulis bahwa dia akan meninggal, namun dengan doa-doaku dia akan hidup. Operasi yang dilakukan akan berhasil.” Ketika kami kembali, sepupu kami sudah dalam keadaan koma dan mereka membawanya menuju ruang operasi. Kami memberi tahu ibunya tentang apa yang Syekh `Abdullah QS katakan untuk memberi beliau harapan. Esoknya, sepupu kami telah siuman. Dia mengatakan, “Aku melihat Grandsyekh datang dan mengoperasiku. Itulah yang menyelamatkan aku.”
Syekh `Abdullah QS sering berbicara tentang kejadian yang akan datang. Beliau mengatakan,
Telah diketahui bahwa ada dua macam takdir. Yang pertama adalah takdir yang termasuk “tergantung” atau takdir yang bisa berubah. Hal itu sudah tertulis di Loh Mahfuz. Hal ini akan tergantung akan kemauan dan perbuatan, sebab dan akibat. Semua awliya bisa mengubah takdir semacam ini bagi murid-muridnya untuk melatih mereka dan mempengaruhi takdirnya dengan mengubah kelakuan dan kebiasaan mereka. Wewenang untuk mengubah takdir yang bisa berubah ini diberikan pada Syekh bagi murid-murid beliau karena ada hubungan keduanya dalam Kehendak Ilahi.
Takdir yang kedua telah tertulis dalam Kitab Induk, sebagaimana ayat: Allah SWT hapuskan apa yang Dia kehendaki dan di Sisi-Nya Ummul Kitab [13:39], dan ini disebut Takdir yang tetap. Para awliya tidak pernah mencampuri takdir yang tetap itu, di mana ada dalam Tangan Tuhan.
Tuhan memberi wewenang untuk mengubah takdir mutlak ini kepada 9 awliya yang mempunyai posisi tertinggi dalam Hadirat Ilahi, dengan izin Nabi SAW di mana beliau yang pertama mendapatkan kekuatan itu dari Tuhan. Mereka mengontrol 9 titik kesadaran manusia yang berhubungan dengan maqam-maqam berbeda dalam pendakian seseorang dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi. Tuhan menganugerahkan hal ini pada kesembilan awliya yang tidak pernah berubah dari zaman Nabi SAW sampai sekarang, kekuatan untuk menggunakan sultan adz-dzikir.
Setiap orang tahu bahwa zikir utama adalah pengulangan dari La ilaha ill-Allah SWT dan dipraktikkan oleh semua tarekat, termasuk Naqsybandi. Namun sultan adz-dzikir adalah sebuah zikir yang sangat berbeda.
Tuhan mengatakan, sesungguhnya Kami yang menurunkan zikir dan sesungguhnya Kami memeliharanya [15:9]. Zikir yang dimaksud di sini adalah kitab suci al-Quran. Zikir kesembilan wali ini di samping La ilaha ill-Allah SWT, adalah juga membaca rahasia dari al-Quran. Mereka membaca al-Quran, bukan seperti kita membacanya dari awal sampai akhir, namun mereka membacanya beserta seluruh rahasia-rahasia dan kebenaran di dalamnya karena Tuhan berfirman, tidak ada yang basah dan kering kecuali sudah tertulis dalam sebuah catatan yang jelas [6:59]. Tidak ada satu pun ciptaan Tuhan di jagad-jagad ini yang tidak tercantum dengan segala rahasia mereka dalam Kitab Yang Jelas, Quran.
Awliya membaca Quran dalam sultan adz-dzikir sambil membaca rahasia-rahasia setiap ciptaan, dari awal sampai akhir. Tuhan memberikan setiap huruf Quran, menurut sembilan wali tertinggi Tarekat Naqsybandi (inilah pertama kalinya Syekh membuka rahasia ini), dengan dua belas ribu pengetahuan. Quran berisi sekitar 600.000 huruf, jadi setiap huruf para awliya ini mampu mengambil 12.000 pengetahuan!
Setiap awliya berbeda menurut tingkatan masing-masing. Kita bisa melihat salah satunya, sebagai contah ada yang mampu membaca Quran dengan kekuatan sultan adz-dzikir yang menyerap 12.000 makna dalam setiap huruf, sekali dalam hidupnya. Yang lain mampu melakukannya tiga kali sepanjang hidupnya. Yang ketiga mampu melaksanakan sembilan kali seumur hidupnya. Dan yang lain mampu melakukannya 99 kali dalam hidupnya.
Rahasia ini berbeda dari satu awliya dengan awliya lain. Syah Naqsyband QS mampu melakukannya 999 kali sepanjang hidup beliau. Ahmad al-Faruqi mampu membacanya 9.999 kali. Dan Syekh Syarafuddin QS mampu membacanya dalam 19.999 kali sepanjang hidup beliau.
Di sini Syekh `Abdullah QS berhenti. Namun Syekh Nazim QS mengatakan, ”Dalam setiap napas, Grandsyekh `Abdullah Daghestani QS mengeluarkan napas dengan sultan adz-dzikir dan mengambil napas dengan sultan adz-dzikir. Beliau sering menamatkan Quran dua kali dalam setiap napas.“
Sebuah Perjumpaan dengan John Bennett
Di antara banyak pengunjung dan pencari di pintu Grandsyekh ada seorang warga Inggris bernama John G. Bennett. Dalam berbagai bukunya, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Grandsyekh `Abdullah QS. Di bawah ini adalah bagian dari perkataannya yang dikumpulkan dari buku Concerning Subud dan Witness.
Bennet menulis dalam buku itu, ”Syekh `Abdullah QS adalah seorang awliya sejati di mana seseorang bisa segera merasakan kepercayaan penuh bersamanya.“ Selanjutnya dalam Witness dia mengatakan:
Syekh menungguku di atas atap rumah beliau. Rumah itu terletak di atas kota dengan panorama yang luar biasa indah… Aku merasa tenang dari awal, kemudian dalam waktu singkat sebuah kebahagiaan mengisi tempat itu. Aku sadar bahwa aku sedang berada dalam hadirat seorang pria yang sangat baik.
Setelah mengucapkan salam seperti biasa dan pujian terhadap bahasa Turkiku, beliau dengan heran bertanya, “Mengapa engkau tidak membawa saudara perempuan yang bersamamu? Aku punya sebuah pesan untukmu dan juga untuknya.” Kelihatannya tidak seorang pun yang pernah mengatakan tentang saudariku, Elizabeth pada beliau. Kami langsung menuju rumah beliau, dan Dadji pemanduku telah pergi meninggalkanku di pintu tanpa berbicara pada siapa pun. Aku pun menjawabnya, karena mengira beliau adalah seorang muslim maka tidak berkenan bertemu dengan seorang wanita. Beliau berkata dengan sederhana, “Mengapa tidak? Aturan dan adat adalah untuk perlindungan bagi orang-orang tolol; aku tidak berkaitan dengannya. Lain kali, kalau Anda lewat Damaskus bisakah Anda membawanya ke sini?” Aku berjanji bila ada kesempatan.
Kami duduk terdiam untuk beberapa saat, mengamati kota kuno di bawahnya. Ketika beliau mulai berbicara, aku merasa susah untuk terbangun dari lamunanku. Beliau mengatakan, “Aku sedang menanti seseorang datang hari ini, namun aku tidak tahu kalau itu Anda. Beberapa malam yang lalu satu malaikat datang ke kamarku, memberitahukan kalau Anda akan datang berkunjung dan menitipkan 3 pesan. Anda telah memohon petunjuk Tuhan berkaitan dengan istri Anda. Istri Anda dalam penjagaan Tuhan. Anda telah mencoba menolongnya, namun itu hal yang salah. Anda mengganggu pekerjaan yang sedang Tuhan lakukan dalam rohnya. Tidak ada gunanya khawatir akan dia, dan tidak ada gunanya untuk mencoba mengerti. Pesan kedua adalah tentang rumah Anda. Anda memohon pada Tuhan untuk mengikuti kata hati atau mengikuti orang lain. Anda harus percaya pada diri sendiri. Anda akan dianiaya oleh orang Armenia, tetapi janganlah takut. Anda telah menarik banyak orang untuk mengikuti Anda, Anda jangan ragu-ragu bila yang lain marah.”
Beliau kembali diam. Aku kagum dengan 2 pertanyaan, yang memang benar aku telah berdoa agar diberikan petunjuk hanya atas dua pertanyaan itu. Pesan yang terpenting adalah yang terakhir. “Anda harus tahu bahwa ada kejahatan besar dalam dunia ini. Manusia akan menyerahkan diri pada pemujaan materi. Mereka telah kehilangan kemauan dan kekuatan untuk memuja Tuhan. Tuhan telah mengirimkan utusan-utusan untuk menunjukkan jalan keluar dari situasi semacam itu, dan kembali Dia telah melakukannya lagi pada zaman sekarang. Seorang utusan telah ada di bumi, identitasnya telah banyak diketahui. Sebelumnya dia akan datang menuju barat. Para pria telah dipilih untuk mempersiapkan jalan beliau… dan telah ditunjukkan padaku bahwa Anda adalah salah satunya… Utusan itu akan datang ke negaramu dan bahkan ke rumahmu…”
“Jangan pernah Anda berhenti beribadah pada Tuhan, tetapi jangan perlihatkan. Di luar bersikaplah seperti yang lain. Tuhan telah menunjuk 2 malaikat untuk menjagamu. Yang satu akan membimbing dan mengarahkanmu sehingga Anda tidak membuat kesalahan seperti dulu lagi. Dan satunya lagi akan melakukan kewajiban ibadah yang tidak dapat Anda lakukan. Aku sarankan agar sering-sering mengucapkan La ilaha ill-Allah, yang artinya tunduk hanya pada Allah SWT semata.”
Ketika aku mengatakan bahwa ini adalah pengakuan keimanan bagi muslim, beliau menjawab bahwa Kristen dan Islam sama, dasar dari semua agama adalah bahwa manusia tidak seharusnya mengikuti kehendak diri sendiri, namun Kehendak Tuhan.
Ketika Beliau Meninggalkan Kehidupan ini
Kami mengamati berbagai peristiwa luar biasa dengan Grandsyekh kami. Kehidupan beliau penuh dengan kegiatan yang bermanfaat. Beliau selalu tersenyum dan tak pernah marah. Beliau tidak mempunyai penghasilan, namun makanan berlimpah di dalam rumahnya. Bagaimana beliau menunjang hidupnya, pertanyaan itulah yang ada di setiap pikiran orang. Masyarakat yang berdatangan tanpa diundang mencapai 200 orang, namun selalu saja mereka mendapatkan makanan telah tersedia bagi mereka. Kami selalu heran, “Darimana asal nasi, roti dan daging ini?”
Aku jarang melihat Syekh `Abdullah QS tidur di malam hari. Sepanjang siang, beliau selalu menerima tamu-tamu dan malamnya duduk di ruang pribadinya membaca Quran, Dalail al-Khayrat, mengamalkan zikir pribadinya dan berselawat Nabi SAW. Beliau beribadah setelah tengah malam sampai pagi hari. Beliau membantu kaum yang membutuhkan semampu beliau dan memberi perlindungan bagi mereka yang tidak punya rumah dalam masjidnya. Beliau penuh rasa kemanusiaan. Lidah ini rasanya tidak mampu menjelaskan perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat baik beliau.
Suatu hari pada tahun 1973 beliau mengatakan, “Nabi SAW memanggilku. Aku harus pergi dan menjumpai beliau. Beliau mengatakan, ‘Engkau akan datang padaku setelah menjalani operasi mata,’” dan memang mata kiri beliau tidak begitu baik. Beliau sudah memberi tanda pada kami bahwa beliau akan meninggalkan kami, namun kami tidak mampu menangkapnya. Beliau hidup di dalam kami dan hidup dalam setiap orang yang pernah mengenalnya, bahkan kucing-kucing yang selalu berada di sekitar beliau.
Setelah beliau pergi untuk operasi mata, beliau tidak mau makan. Kami memohon beliau untuk makan, namun beliau menolaknya dengan mengatakan, “Aku sedang berada dalam khalwat penuh, karena Nabi SAW sedang memanggilku.” Beliau hanya berkenan menerima roti kering yang dilembutkan dalam air, sekali sehari. Beliau berkata, “Aku tak mau hidup lebih lama lagi. Aku ingin bergabung dengan Nabiku SAW dan bersama beliau. Beliau sedang memanggilku, Tuhan sedang memanggilku.” Hal ini seperti hantaman kilat bagi kami, namun kami tidak mempercayainya. Beliau kemudian menulis sebuah wasiat yang menyatakan, “Hari Minggu yang akan datang aku akan wafat.“ Berarti tanggal 30 September 1973 atau tanggal 4 Ramadan 1393 H. Semua orang terpukul dan takut menghadapi hari itu apakah ramalan beliau akan terjadi.
Saat itu pukul sepuluh, hari Minggu, tepat di saat yang beliau ramalkan, kami semua duduk di kamar beliau. Syekh `Abdullah QS berkata padaku, ”Rasakan detak jantungku.” Aku pun memeriksanya dan hasilnya lebih dari 150. Lalu beliau mengatakan, “Oh anakku, ini adalah detik-detik terakhir hidupku. Aku ingin sendirian. Semua harus pergi ke ruang rapat.” Hanya tersisa 10 orang dalam kamarnya. Dua orang dokter datang, satu adalah kakakku dan satunya teman kami. Mereka berdua adalah ahli bedah. Grandsyekh tidak ingin yang lain kecuali saudara beliau yang ada dalam kamarnya.
Kami mendengar putri Grandsyekh menjerit, “Ayahku telah wafat, ayahku telah wafat.” Kami berlarian menuju kamar beliau dan melihat Grandsyekh sudah tidak bergerak lagi. Dengan cepat kakakku memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya, namun tidak lagi terdeteksi. Dia berlari dengan histeris menuju mobil untuk mengambil sebuah alat penyemprot dan obat, lalu kembali lagi. Dia masuk lagi dengan sikap yang sama, ingin menyuntik Syekh di dadanya dan kembali memompanya. Dokter yang lain mengatakan, “Apa yang kamu lakukan? Syekh sudah meninggal 7 menit yang lalu. Hentikan ketololanmu.” Namun kakakku tetap bersikeras melakukannya.
Dan kemudian Grandsyekh membuka mata beliau, mengangkat tangan dan berkata dalam bahasa Turki, “Burak!” yang berati “Hentikan!”
Setiap orang terkejut. Tidak pernah sebelumnya mereka mendengar mayat bisa berbicara. Aku tidak akan melupakan hal ini sepanjang hidupku. Semua yang hadir, para profesor dan dokter pun tak pernah melupakannya. Setelah itu baru kakakku meletakkan peralatannya kembali. Kami hanya berdiri dalam keadaan takjub. Beliau sudah meninggal atau belum? Apakah beliau hanya menyembunyikan diri sementara untuk kemudian kembali lagi? Itulah rahasia yang Tuhan anugerahkan pada kekasih-kekasihnya dan para awliya yang bepergian dalam Kerajaan-Nya, dalam Cinta-Nya, di dalam Rahasia-Rahasia-Nya. Suatu hari yang tak terlupakan.
Berita duka cita itu tersebar laksana tornado yang dahsyat, berputar melalui Damaskus, Aleppo, Jordan, Beirut. Pelayat datang dari berbagai penjuru untuk melihat beliau terakhir kalinya. Kami memandikannya, dan dari jasad sucinya tercium wangi. Kami menyiapkan beliau dalam salat janazah dan pemakaman keesokan harinya. Seluruh ulama Damaskus hadir dalam pemakaman itu. 400 ribu orang turut dalam salat jenazah untuk beliau. Penduduk berbaris di sepanjang rumah sampai masjid Ibnu Arabi, di mana beliau dibaringkan.
Ketika kami kembali ke rumah beliau setelah salat jenazah, kami melihat peti mati meluncur di antara kepala-kepala para pelayat tanpa ada bantuan siapa pun, bergerak dari masjid beliau menuju pemakaman. Butuh waktu 3 jam untuk kembali dari masjid Muhyiddin Ibnu Arabi QS menuju masjid Grandsyekh, padahal biasanya hanya ditempuh dalam waktu 20 menit disebabkan besarnya kerumunan para pelayat di jalanan.
Semua orang menangis, mereka tidak menginginkan Grandsyekh dikubur. Tidak seorang pun yang mempercayainya dan mau menerimanya. Hal itu cukup membuat kami mengingat keadaan para Sahabat ketika ditinggalkan oleh Nabi SAW. Kami memahami mengapa Umar RA, Utsman RA, dan `Ali KW tidak mampu menerima ketika Nabi SAW telah meninggal dunia. Kami mengalami keadaan itu, dan kami membayangkan bagaimana bisa Abu Bakar RA menanggung perasaan itu.
Semua pejabat pemerintahan dan para ulama datang ke masjid menunggu pemakaman beliau. Tiba-tiba tidak tahu asalnya sebuah pesan disampaikan pada imam yang mengatakan bahwa, “Jangan mengubur Grandsyekh sampai Syekh Nazim QS tiba.” Tak seorang pun percaya akan pesan itu, karena tidak ada cara untuk mengontak Syekh Nazim QS yang sedang berada di Siprus. Tidak ada telepon, mesin faks, ataupun telegram yang memakan waktu 2 hari. Tidak ada yang percaya bahwa pesan itu adalah nyata. Namun karena cinta kami pada Syekh, kami bahagia untuk menunda pemakaman itu dan menunggu sampai Syekh Nazim QS datang.
Saat itu adalah Ramadan, semua orang berpuasa. Para ulama dan kerumunan tidaklah surut. Ada yang ingin pulang, kami mengatakan bahwa mereka bebas untuk kembali, namun kami tetap akan menunggu. Setelah beberapa waktu menunggu, dan hanya pengikut beliau yang paling setia yang masih tersisa. Sebelum matahari terbenam, Syekh Nazim QS menaiki tangga. Bagaimana beliau tiba dengan tiba-tiba tidak seorang pun tahu. Masih menjadi misteri sampai saat ini.
Syekh Nazim QS membawa jasad Grandsyekh ke masjid dan kembali melakukan salat untuk beliau. Syekh Nazim QS menguburkan jasad Syekh `Abdullah QS dengan tangan beliau sendiri. Ketika beliau mengusap debu di wajahnya, kami mencium wangi cendana, amber, musk yang tidak biasa kami cium sebelumnya. Syekh Nazim QS meminta kami semua untuk naik dan berbuka puasa. Hanya aku dan kakakku yang tetap tinggal, melihat dari jendela untuk melihat apa yang terjadi.
Syekh Nazim QS berdiri di pusara makam, seperti sedang salat. Dan hanya dengan kedipan mata, Syekh Nazim QS menghilang. Peristiwa ini semakin memberi kami kejutan setelah berbagai kejutan yang terjadi. Tak ada kata yang mampu kami ucapkan. Lima belas menit lewat dan tiba-tiba kami melihat Syekh Nazim QS muncul kembali di tempat beliau menghilang. Kami berlari ke pintu begitu Syekh Nazim QS keluar. Beliau berkata, “Apa! Kalian masih di sini? Belum berbuka puasa? Baiklah, lebih baik temani aku!” Kami pun turun dan berbuka puasa bersama beliau. Syekh Nazim QS kembali ke Beirut malam itu juga, dan naik pesawat menuju Siprus.
Ramalan Syekh `Abdullah QS
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani QS, naqib al-ummah, semoga Tuhan memberkahi rohnya, meramalkan berbagai peristiwa, yang mana ada yang telah terjadi dan beberapa masih kita tunggu.
Pada tahun 1966, beliau mengatakan, ”Tahun depan ada suatu perang antara Israel dan Arab. Arab akan kalah.“ Dan beliau berkata bahwa akan ada perang lagi antara keduanya. Sebelum beliau meninggal beliau mengatakan, “Akan ada sebuah perang besar dalam satu bulan ini antara Arab dan Israel.” Pada tanggal 3 Oktober, 3 hari sepeninggal beliau, Arab dan Israel memasuki peperangan lagi.
Suatu saat Madiha, putri Grandsyekh berpikir untuk membeli rumah dengan suaminya di Beirut dan Grandsyekh mengatakan, ”Jangan!” Dia memaksa dan ayahnya tetap mengatakan, ”Jangan!” Madiha tetap menginginkannya dan ayahnya tetap bersikukuh sambil mengatakan, “Beirut akan penuh pertumpahan darah. Setiap rumah akan terkena imbas pertumpahan darah itu dan tidak akan ada yang bisa melarikan diri.“ Beliau mengatakan hal ini pada tahun 1972 dan peristiwa itu terjadi pada 1975. Sebelum wafat, beliau mengatakan pada kami, ”Aku melihat kalian di Tripoli, di utara Lebanon.” Inilah cara untuk menyarankan kami agar pindah dari Beirut.
Beliau mengatakan, “Aku melihat Inggris memasuki Islam.” Beliau meramalkan bahwa keluarga kerajaan di Eropa akan mendukung Islam, karena mereka masih mempunyai darah keturunan Arab.“ Hal ini akan menarik mereka menuju spiritualitas dan menimbulkan berbagai jenis aliran spiritual, dan menarik mereka menuju Hadirat Tuhan.”
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani QS dalam usia lebih dari 85 tahun.
Pada masalah yang berhubungan dengan hal itu, beliau mengatakan, “Ketika John Benett mengunjungiku dan bersaksi bahwa Tuhan adalah satu dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya, dia menanyakan apa yang harus dia lakukan. Aku katakan padanya untuk merahasiakan kesaksian itu. Karena itu dia mampu membawa banyak orang dari tanah asalnya, Inggris untuk membawa kesaksian itu dan membuat mereka tertarik akan spiritualitas.“
Cina di bawah wewenang seorang awliya besar, yang akan menjadi salah satu awliya-awliya di zaman Imam Mahdi AS dan Yesus AS. Nama beliau adalah Abdur Rauf al-Yamani QS. Melalui pengaruh beliau, Cina akan menandatangani kesepakatan dengan Barat untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya. Cina akan terpecah menjadi berbagai negara kecil. Akan ada berbagai masalah di Timur Jauh, di Kepulauan Korea, dan sebuah kekuatan besar akan campur tangan untuk meredakannya.
Sebuah negara non Arab di Timur Tengah akan menyerang wilayah teluk Persi, di mana hal itu akan menyebabkan seluruh dunia dalam ketakutan dan sumber minyak akan di tutup.
Beliau katakan, ”Kairo akan tenggelam di bawah laut.” Beberapa waktu kemudian Rusia membangun bendungan Aswan, yang berisi air yang berjumlah besar dan baru-baru ini ditemukan tiang fondasinya yang longsor. Beliau menerangkan,
Siprus akan tenggelam di bawah air, dan gunung Olympus dekat Bursa akan meletus. Di bawahnya ada dua elemen, gas dan api yang sampai sekarang masih terpisah, dan para awliya selalu berdoa agar kedua elemen ini tidak tercampur. Dari letusannya, ratusan dari ribuan orang yang ada akan terluka dan menjadi tuna wisma.
Akan ada perang di wilayah Teluk, di mana sebuah kebakaran/ledakan besar akan muncul dan mengikutsertakan seluruh dunia.
Jerman dan Inggris akan memimpin seluruh Eropa. Di Jerman ada seorang awliya, ditunjuk oleh Mahdi AS dan Yesus AS, yang tugasnya mengangkat dan melatih masyarakat dalam spiritualitas. Awliya ini tersembunyi namun dia ada di antara mereka.
Akan ada sebuah perubahan besar dalam pendekatan Arab di bidang politik, dan satu rezim yang kuat akan merubah Arab menjadi pemerintahan yang lebih baik.
Sebelum beliau meninggal, dalam sebuah pertemuan dengan murid-murid terdekat beliau, Syekh `Abdullah QS mengatakan,
Akan ada perdamaian, dan Amerika akan menjadi pemimpin pembicaraan mengenai perdamaian, hal itu akan menghentikan peperangan antara Arab dan Israel. Tandanya adalah runtuhnya Komunis dan perpecahan kerajaan Rusia menjadi berbagai bagian. Tidak ada kekuatan di dunia, kecuali Amerika. Sebagian besar pemerintahan Arab akan berpihak ke Amerika. Konflik akan terhenti dan Arab-Israel akan hidup damai. Lambat laun seluruh konflik di bumi akan berakhir dan kedamaian di mana-mana. Semua orang bahagia dan tidak pernah mengharap perang akan terjadi lagi.
Tiba-tiba, di tengah-tengah kedamaian, sebuah serangan terjadi di Turki oleh negara tetangganya dan sebuah perang akan mulai lagi, diikuti oleh sebuah invasi ke Turki oleh negara tetangganya itu. Ini membuat ancaman bagi Amerika yang berbasis di Turki dan mengakibatkan sebuah perang besar terjadi. Berakibat adanya kerusakan besar di muka bumi dan sebuah perang mengerikan. Selama perang itu, Mahdi AS akan maju dan Yesus AS akan kembali. Tujuan beliau adalah membawa spiritualitas, kedamaian dan keadilan untuk melawan tirani, ketakutan dan ancaman. Cinta dan kebahagiaan serta perdamaian akan mengisi bumi ini, dengan kekuatan Mahdi AS dan Yesus AS atas Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Rahasia Rantai Emas telah diberikan pada matahari dari berbagai matahari, pemimpin yang membawanya mendekat, penemu rahasia-rahasia, yaitu Syekh Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi ar-Rabbani an-Naqsybandi al-Haqqani QS. (Diterjemahkan dari http://www.naqshbandi.org/shaykh-abdullah-al-faiz-ad-daghestani/)
40. Sulthanul Awliya Maulana Syeikh Nazim Adil Al Qubrusi Al Haqqani (QS)
Kata Mutiara Maulana Syaikh Muhamad Nazim Adil al-Haqqani
“Sebagaimana kamu mempercayai mursyid, dia juga harus mempercayai kamu supaya kamu dapat menjaga apa yang telah diamanahkan”
“Yang lebih penting daripada ilmu ialah pemindahan ilmu tersebut dari hati ke hati “
“KedaulatanNya adalah Melalui KekekalanNya”
“Kita tidak minta untuk dikenali dan menjadi sesuatu, karena selagi kita inginkannya, maka kita masih belum lagi sempurna”
“Perjumpaan dengan para awliya meringankan beban kita dan kita akan merasa ringan dan gembira” , “Adalah mustahil untuk kita memahami diri kita. Sekurang-kurangnya kita perlu melihat cermin. Tiada siapapun yang dapat mengenali kepincangan di dalam dirinya “
“Saya tidak berkata, “Ikut saya,” kerana saya tahu siapa yang akan ikut “
“Keikhlasan dan politik tidak serasi sebagaimana iman dan penipuan “
“Perbedaan kamu dengan mursyidmu ialah kamu bermegah-megahan”
“Urusan tariqat adalah serius, kami ingin membuat kamu bertanggungjawab”
Sekilas tentang Kehidupan dan Ajaran Sulthanul Awliya Maulana Syaikh Nazim Adil al Qubrusi al Haqqani an Naqshbandi, Oleh Dr. G.F. Haddad
Damascus, 12 Rabi’ul Awwal 1425 H – 1 Mei 2004
A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim, Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wasahbihi wasallam
Segala puji dan syukur bagi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah membimbing kami pada samudera Rahmah dari Kebenaran-Mu dan Cahaya-Mu. Allahumma! Kirimkan barakah dan salam kedamaian bagi junjungan kami Muhammad, Penutup para Nabi dan Utusan-Mu, yang membawa Perjanjian Terakhir – Quran al-Karim, juga bagi keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabat beliau, dan pewaris-pewaris beliau, baik yang hidup di masa lalu, maupun masa kini, terutama pewaris dan wakil utama beliau di zaman ini.
Hamba yang lemah ini, Gibril ibn Fouad diminta untuk “menulis biografi dan artikel tentang kekasih kita Mawlana Syaikh Nazim dalam beberapa kata-kata Anda sendiri tentang kehidupan dan ajaran-ajaran beliau dan pengalaman Anda bersama beliau.” Bulan ini adalah bulan Rabi’ul Awwal 1425H (Mei 2004) adalah saat paling tepat untuk melakukan hal ini. Semoga Allah mengilhami baik penulis maupun pembaca tentang Mawlana Syaikh Nazim agar memiliki gambaran yang adil dan tepat terhadap Seseorang yang Mulia ini. Tak ada daya maupun kekuatan melainkan dengan-Nya. Sebagaimana Ia melingkupi kebodohan kita dengan Ilmu-Nya, semoga pula Ia melingkupinya dengan Rahmah-Nya, Amin! (Al-Hamdulillah, izin telah diperoleh dari Mawlana untuk merilis tulisan ini hari ini.).
Nama lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim ‘Adil ibn al-Sayyid Ahmad ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi, semoga Allah mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunya (nama panggilan) beliau adalah Abu Muhammad – dari nama anak laki-laki tertua beliau – selain itu beliau adalah pula ayah dari Baha’uddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau dilahirkan di tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaca, Cyprus (Qubrus) dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Beliau mengatakan pada saya bahwa ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani. Diceritakan pula pada saya bahwa ibu beliau adalah keturunan dari Mawlana Jalaluddin ar-Ruumi. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari Nabi suci Muhammad Sall-Allahu ‘alaihi wasallam, dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq, radhiy-Allahu ‘anhu, dari sisi ibundanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Cyprus, Mawlana melanjutkan ke perguruan tinggi di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana, beliau juga belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-Din al-Alsuni (wafat 1375H/ 1955M) dan menerima ijazah dari beliau. Mawlana juga belajar tasawwuf dan Tariqah Naqshbandi dari Syaikh Sulayman Arzarumi (wafat 1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams (Syria).
Mawlana melanjutkan studi Syari’ah-nya ke Halab (Aleppo), Hama, dan terutama di Homs. Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat besar Khalid ibn Al-Walid (radhiy-Allahu ‘anhu) di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besar-nya dan memperoleh ijazah dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad ‘Ali ‘Uyun al-Sud dan Syaikh ‘Abd al-Jalil Murad, dan ijazah dalam ilmu Hadits dari Muhaddits Syaikh ‘Abd al-‘Aziz ibn Muhammad ‘Ali ‘Uyun al-Sud al-Hanafi.
Perlu dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits dari Rifa’i Hafiz di Aleppo, Syaikhul Islam ‘Abd allah Siraj al-Din (1924-2002 M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh ‘Abdullah Faiz Daghestani ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di tahun 1959 dan yang memberikan bay’at dalam Tariqah Naqshbandi pada Mawlana Syaikh Nazim, ketika Mawlana Syaikh Nazim mengunjunginya terakhir kali di Aleppo di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan pada saya oleh Ustadz Muhammad ‘Ali ibn Mawlana al-Syaikh Husayn ‘Ali dari Syaikh Muhammad Faruq ‘Itqi al-Halabi yang juga hadir pada peristiwa terakhir itu.
Mawlana Syaikh Nazim juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Sa’id al-Siba’i yang kemudian mengirim beliau ke Damascus setelah menerima suatu pertanda berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh ‘Abdullah Faiz Ad-Daghestani ke Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari Daghestan di akhir tahun 30-an, Mawlana Syaikh ‘Abdullah tinggal di Damascus, tapi sering pula mengunjungi Aleppo dan Homs. Di kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa’id al-Siba’i yang adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa’id menulis pada beliau (Mawlana Syaikh Abdullah), “Kami mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah belajar pada kami.” Mawlana Syaikh ‘Abdullah menjawab padanya, “Murid itu milik kami; kirimkan dia ke kami!” Sang murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim, yang kemudian datang ke Damascus dan memberikan bay’ah beliau pada Grandsyaikh kita di tahun antara 1941 dan 1943.
Pada tahun berikutnya, Mawlana al-Shaykh ‘Abdullah pindah ke rumah baru beliau yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih hidup saat ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn ‘Ali ibn Muhammad ‘Ifrini al-Kurkani ar-Rabbani al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni (lahir 1336H/1917M) – semoga Allah mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya – di Qasyoun, suatu gunung yang menghadap Damascus, yang Allah Ta’ala berfirman tentangnya; “Demi Tin dan buah Zaitun! Demi Bukit Sina!” (QS. 95:1-2). Qatadah dan al-Hasan Al-Basri berkata, “At-Tiin adalah Gunung di mana Damascus terletak [Jabal Qasyun] dan Zaitun adalah Gunung di mana Jerusalem terletak.” Diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-Bayzawi, Ibn al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam Tafsir-tafsir mereka.
Mawlana Shaykh Nazim juga membeli sebuah rumah dekat rumah Grandsyaikh dan bersama Mawlana Syaikh Husayn, membantu membangun Masjid al-Mahdi, Masjid Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini diperbesar menjadi sebuah Jami’, di mana di belakangnya terletak maqam dan zawiyyah Grandsyakh, di tempat mana, hingga saat ini, makanan dan sup ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang besar dan dibagi-bagikan bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Mawlana Syaikh Nazim tinggal di Damascus sejak pertengahan tahun 1940-an hingga awal 1980-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk belajar atau sebagai wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun 1973. Setelah tahun itu, Mawlana tinggal di Damascus beberapa tahun sebelum kemudian pindah ke Cyprus.
Jadi, Mawlana, yang asli Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani, keduanya telah menjadi penduduk Damascus “Syamiyyun” dan tinggal di distrik orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi, bahwa pentingnya Damascus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena Syam adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan Awliya’.
Imam Ahmad dan murid beliau, Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad (rantai) yang sahih bahwa Nabi suci sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian harus pergi ke Syam. Tempat itu telah terpilih secara Ilahiah oleh Allah di antara seluruh tempat di bumi-Nya ini. Di dalamnya Ia melindungi hamba-hamba pilihan-Nya; dan Allah Ta’ala telah memberikan jaminan padaku berkenaan dengan Syam dan penduduknya!” Imam al-Nawawi berkata dalam kitab beliau Irsyad Tullab al-Haqa’iq ila Ma’rifati Sunan Khayr al-Khala’iq (s): “Hadits ini berkenaan dengan fadillah (keistimewaan) yang besar dari Syams dan merupakan suatu fakta yang dapat teramati!”
Direktur pimpinan Dar al-Ifta’ (secara literal bermakna “Rumah Fatwa”, maksudnya Majelis Fatwa seperti MUI di Indonesia, penerjemah) di Beirut, Lebanon, Syaikh Salahud Diin Fakhri mengatakan pada saya di rumah beliau di Beirut dan menulis dengan tangan beliau kepada diriku: “Pada suatu pagi di hari Ahad, 20 Rabi’ul Akhir 1386 H, bertepatan dengan hari Minggu 7 Agustus 1966 M, kami mendapat kehormatan untuk mengunjungi Syaikh ‘Abd Allah al-Daghistani – rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) – di Jabal Qasyun di Damascus atas inisiatif serta disertai pula oleh Mawlana al-Syaikh Mukhtar al-‘Alayli – rahimahullah – Mufti Republik Lebanon saat itu; [yang adalah pula paman dari Syaikh Hisham Kabbani, penulis], Syaikh Husayn Khalid, imam dari Masjid Nawqara; Hajj Khalid Basyir – rahimahumallah (semoga Allah merahmati keduanya); Syaikh Husayn Sa’biyya [saat ini direktur dari Dar al-Hadits al-Asyrafiyya di Damascus]; Syaikh Mahmud Sa’d; Syaikh Zakariyya Sya’r; dan Hajj Mahmud Sya’r.
Syaikh Abdullah menerima kami dengan amat baik dan penyambutan yang ramah serta penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Syaikh Nazim al-Qubrusi – semoga Allah merahmati dan menjaga beliau – juga berada di situ saat itu! Kami duduk dari pukul sembilan di pagi hari hingga tiba panggilan adzan Dzuhur, sementara Syaikh (Grandsyaikh Abdullah Faiz ad-Daghestani, penerj.) – rahimahullah – menjelaskan tentang Syams (Syria), keutamaannya, kelebihan-kelebihannya yang luar biasa, dan bahwa tempat itu (Syams, penerj.) adalah tempat Kebangkitan dan bahwa Allah S.W.T. akan mengumpulkan seluruh manusia di dalamnya untuk penghakiman dan hisab. Beliau menyebutkan pula hal-hal yang membuat hati dan pikiran kami tersentuh dan tergerak, dikuatkan pula oleh pengaruh suasana distrik Salihiyya yang suci, dan beliau berbicara pula tentang hubungan yang tak terpisahkan – dalam praktik maupun dalam teori – antara tasawwuf dengan Syari’ah… Semoga Allah membimbing dan menunjukkan pada kita petunjuk-Nya dalam perkumpulan dan suhbat dengan Awliya’-Nya yang siddiq. Aamiin, yaa Rabbal ‘Aalamiin!”
Masih ada banyak lagi nama-nama Ulama dan Awliya’ Syams yang prestisius yang mencintai dan bersahabat dengan Syuyukh kita dalam periode keemasan tersebut, seperti Syaikh Muhammad Bahjat al-Baytar (1311-1396), Syaikh Sulayman Ghawji al-Albani (wafat 1378H), ayah dari guru kami, Syaikh Wahbi, Syaikh Tawfiq al-Hibri, Syaikh Muhammad al-‘Arabi al-‘Azzuzi (1308-1382H) Mufti dari Lebanon, dan Syaikh utama dari guru kami Syaikh Husayn ‘Usayran, al-‘Arif Syaikh Syahid al-Halabi, al-‘Arif Syaikh Rajab at-Ta’i, Syaikh al-Qurra’ (ahli qiro’at Quran, penerj.) Syaikh Najib Khayyata al-Farazi al-Halabi, al-‘Arif Syaikh Muhammad an-Nabhan, Syaikh Ahmad ‘Izz ad-Din al-Bayanuni, al-‘Arif Syaikh Ahmad al-Harun (1315-1382H), Syaikh Muhammad Zayn al-‘Abidin al-Jadzba, dan lain-lain – semoga Allah merahmati mereka semuanya!
Dari tiga puluh tahun suhbah (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan Grandsyaikh tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti Samudera Kasih Sayang, merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani q.s., penerj.) yang tak tertandingi, yang hingga kini masih tersebar pada setiap salik/pencari dengan judul-judulnya: Endless Horizons (“Cakrawala Tanpa Batas”), Pink Pearls (“Mutiara Merah Muda”), Rising Suns (“Matahari Terbit”). Tak ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah tonggak-tonggak utama dari seruan da’wah Islam seorang diri Mawlana Syaikh Nazim di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah SWT!
Semoga Allah S.W.T. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana Syaikh Nazim dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi yang pernah Ia S.W.T. karuniakan bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan junjungan kita, Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, yang bersabda: “Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah akan membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu! Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan adalah bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-gemintang! Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan; dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak!”
Tempat pertama yang kudatangi untuk mencari pengetahuan Nabawi (pengetahuan kenabian) ini adalah London di bulan Ramadan 1411 H, setelah aku bersyahadat an laa ilaaha illa Allah (bahwa tiada tuhan selain Allah), Muhammadun Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah). Di sanalah, aku meraih tangan suci Mawlana untuk pertama kali dan melakukan bay’ah (sumpah setia) setelah diperkenalkan pada Tariqah ini oleh menantu beliau, dan khalifah beliau di Amerika Serikat, Syaikh Hisham Kabbani, semoga Allah membimbingnya dan membimbing seluruh sahabat-sahabat Mawlana!
Aku mengunjungi Mawlana beberapa kali di rumah beliau di Cyprus dan melihat pula beliau di Damascus. Di antara hadiah Suhba yang diberikan Mawlana adalah pada dua minggu terakhir di bulan Rajab di tahun 1422H – Oktober 2001 – di rumah dan zawiyah beliau di kota Cypriot Turki, Lefke. Catatan akan pengalaman ini telah ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta diterbitkan dengan judul Qubrus al-Tarab fi Suhbati Rajab atau Kebahagiaan Cyprus dalam Suhbat.
Pada saat itulah, dan juga saat-saat kemudian, selama dua kunjungan terakhirnya ke Amerika Serikat, ke Inggris, di Cyprus, dan Damascus, aku mendapatkan dari Mawlana, petunjuk agung yang sama bagi setiap pencari kebenaran: “Tujuan kita adalah untuk melindungi serta melukiskan Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dan sifat-sifat beliau yang luhur dan agung, baginya sholawat dan salam serta bagi ahli-bait dan sahabat-sahabat beliau; yang untuk ini Allah mendukung kita!”
Dari sini, aku mengerti bahwa Murid yang sesungguhnya dalam Tariqah Naqshbandi-Haqqani adalah sahabat, penolong dan pendukung dari setiap pembela Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, dan adalah tugasnya untuk bersahabat dan berasosiasi dengan para pembela seperti itu karena mereka berada pada jalan Mawlana, tak peduli apakah mereka adalah Naqshbandi atau bukan.
Ketika seorang Waliyyu-llah yang telah berumur delapan puluh tahun-an di Johor, Malaysia, al-Habib ‘Ali ibn Ja’far ibn ‘Abd Allah al-‘Aydarus menerima kami di rumahnya di bulan Mei 2003, mengenakan pakaian yang tak pernah berubah sejak tahun 1940-an, beliau terlihat seperti Mawlana dalam segenap aspeknya, dan bahkan terlihat menyerupainya ketika beliau meminta maaf atas bahasa Arab-nya yang tak fasih. Ketika kami memohon du’a beliau bagi negeri-negeri kita yang terluka dan bagi penduduk-penduduknya, beliau menjawab, “Ummah ini terlindungi dan berada pada tangan-tangan yang baik, dan pada Syaikh Nazim telah kau dapati kebercukupan!”
Dus, dengan setiap perjumpaan dari murid yang sederhana dan rendah hati dari Mawlana dengan Awliya’ dari Ummat ini; Mereka (para Awliya’ tersebut) semuanya menunjukkan rasa hormat tertinggi serta kerendahhatian yang amat dalam bagi Mawlana dan silsilah beliau, sekalipun mereka secara harfiah (penampakan luar) berada pada jalan (tariqah) yang berbeda, seperti al-Habib ‘Ali al-‘Aydarus di Malaysia, Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki di Makkah, al-Habib ‘Umar ibn Hafiz di Tarim, Sayyid Yusuf ar-Rifa’i di Kuwait, Syaikh ‘Isa al-Himyari di Dubai, Sayyid ‘Afif ad-Din al-Jailani dan Syaikh Bakr as-Samarra’i di Baghdad, as-Syarif Mustafa ibn as-Sayyid Ibrahim al-Basir di Maroko tengah, Grandmufti Syria (alm.) Syaikh Ahmad Kuftaro ibn Mawlana al-Syaikh Amin dan sahabat-sahabatnya Syaikh Bashir al-Bani, Syaikh Rajab Dib, dan Syaikh Ramazan Dib; Syuyukh Kattani dari Damascus; Syaikh (alm.) ‘Abd Allah Siraj ud-Din dan keponakan beliau Dr. Nur ud-Din ‘Itr; Mawlana as-Syaikh ‘Abd ur-Rahman as-Shaghuri; Dr. Samer al-Nass; dan guru-guru serta saudara-saudara kita lainnya di Damascus – semoga Allah selalu melindungi Damascus dan melimpahkan rahmat-Nya bagi mereka dan diri kita! Aku telah bertemu dengan setiap nama yang kusebut di atas kecuali Syaikh Siraj ud-Din dan mereka semua mengungkapkan tarazzi atas Mawlana as-Syaikh Nazim, mengungkapkan keyakinan atas ketinggian wilayah-nya (derajat kewaliannya) dan memohon do’a beliau atau do’a pengikut-pengikut beliau; “…Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah…” (QS. 48:28-29)
Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah ( Para Kekasih Allah) bahwa keragaman jalan ini adalah tema dandana, (maksudnya kira-kira “diperuntukkan bagi”) mereka yang belum terhubungkan (mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, mereka yang belum mendapatkan ‘amanat’-nya), sementara mereka yang telah mawsul (“sampai”) semua berada pada satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain. Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan. Karena itu, kita, para Murid dari jalan-jalan (Turuq, jamak dari Tariqah) itu mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan Allah dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari suhba (persahabatan) dan jama’ah, jauh dari furqa (perpecahan) dan keangkuhan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfriman: “Yaa Ayyuha l-ladziina aamanu t-taqu ul-laaha wa kuunuu ma’as sadiqiin” “Waha orang-orang beriman takutlah kalian akan Allah dan tetaplah berada [dalam persahabatan dan kesetiaan] dengan orang-orang yang Benar (Siddiqiin)!”; dan Nabi Suci kita sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Aku memerintahkan pada kalian untuk memgikuti sahabat-sahabatku dan mereka yang mengikutinya (tabi’in, penerj.), kemudian mereka yang mengikutinya (tabi’it tabi’in, penerj.); setelah itu, kebohongan akan merajalela…Tapi kalian mestilah tetap berada pada Jama’ah dan berhati-hatilah dari perpecahan!”
Jama’ah inilah yang dilukiskan dalam suatu hadits mutawatir (diriwayatkan banyak orang, penerj.): Ia yang dikehendaki Allah untuk beroleh kebajikan besar, akan Ia S.W.T karuniakan padanya pemahaman yang benar (haqq) dalam Agama. Aku (mengacu pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, penerj.) hanyalah membagikan dan adalah Allah yang mengkaruniakan! Kelompok itu akan tetap menjaga Perintah dan Aturan Allah, tak akan terlukai oleh kelompok yang menentang mereka, hingga datangnya Ketetapan Allah.”
Ya Allah, jadikanlah kami selalu bersyukur atas apa yang telah Kau karuniakan dan yang telah Rasul-Mu dan Habib-Mu bagikan!
Aku mendengar Mawlana Syaikh Nazim berkata beberapa kali atas nama guru beliau, Sultan al-Awliya’ Mawlana as-Syaikh ‘Abd Allah ibn Muhammad ‘Ali ibn Husayn al-Fa’iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi (ca. 1294-1393 H) [1] :
Dari Syaikh Sharaf ud-Din Zayn al-‘Abidin ad-Daghestani ar-Rashadi (wafat 1354 H) dari paman maternal (dari sisi ibu) beliau, Syaikh Abu Muhammad al-Madani ad Daghistani al-Rashadi [2], dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad Hajj ‘Abd ar-Rahman Effendi Ad-Daghistani ats-Tsughuri (wafat 1299 H) [3], dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi al-Ghumuqi al-Husayni (wafat 1292 H) [4], juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun al-Ghumuqi) dari Muhammad Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali (wafat 1260 H) [5], dari Khass Muhammad Effendi as-Shirwani ad-Daghestani (wafat 1254 H) [6], dari Syaikh Diya’uddin Isma’il Effendi Dzabih Allah al-Qafqazi as-Shirwani al-Kurdamiri ad-Daghestani (wafat ), dari Syaikh Isma’il al-Anarani (wafat 1242 H), dari Mawlana Diya’uddin Khalid Dzul-Janahayn ibn Ahmad ibn Husayn as-Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi al-Dimashqi an-Naqshbandi al-‘Utsmani ibn ‘Utsman ibn ‘Affan Dzun-Nurayn (1190-1242 H) dengan rantai isnadnya yang masyhur hingga Shah Naqshband Muhammad ibn Muhammad al-Uwaysi al-Bukhari yang berkata:
“Tariqah kami adalah SUHBAH (persahabatan) dan kebaikannya adalah dalam JAMA’AH (kelompok)”
Semoga Allah meridhoi diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan mengaruniakan pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita lewat mereka melalui telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri kita, Amin!
Beberapa kritik dari “Calon Sufi” atas Tariqah Haqqani mengatakan atas tariqah kita dengan apa yang mereka sebut sebagai “kurang dalam sisi ilmu”. Seorang Sufi yang teliti akan menjadi orang terakhir yang mengatakan kritik yang menyesatkan seperti itu! Semestinya mereka menjadi orang-orang pertama yang mengetahui bahwa ilmu, sebagai ilmu saja, tidak hanya tanpa manfaat, tapi juga dapat menjadi perangkap mematikan yang mengarah kepada kebanggaan syaithaniyyah. Tak ada maaf baik bagi ia yang sombong dengan ilmunya, maupun ia yang bodoh; hanya Sufi yang penuh cinta, ketulusan, serta bertaubat-lah, walau memiliki kekurangan dalam ilmu dan adabnya, yang lebih dekat pada Allah Ta’ala dan pada Mak’rifatullah (pengenalan akan Allah) daripada seorang Sufi berilmu yang menyimpan dalam kalbunya kebanggaan sekalipun hanya setitik debu. Semoga Allah melindungi diri kalian dan diri kami!
Ibrahim al-Khawwass berkata bahwa ilmu (pengetahuan) bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi untuk menaati Sunnah dan mengamalkan apa yang diketahui sekalipun itu hanya sedikit. Imam Malik berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi ia adalah cahaya Allah yang Ia timpakan pada hati. Imam as-Syafi’I berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui bukti dan dalil, melainkan untuk mengetahui apa yang bermanfaat.
Dan ketika seseorang berkata tentang Ma’ruf al-Karkhi (murid dari Dawud at-Ta’i, yang murid dari Habib ‘Ajami, murid dari Hasan al-Bashri; guru dari Sari as-Saqati, guru dari Sayyid Taifa Junayd al-Baghdadi), “Dia bukanlah seseorang yang amat alim (berilmu),” Imam Ahmad pun berkata, “Mah! Semoga Allah mengampunimu! Adakah hal lain yang dimaksudkan oleh Ilmu selain dari apa yang telah dicapai oleh Ma’ruf?!”
Kritik lain berisi keberatan atas Rabitah atau “Ikatan”, suatu karakteristik khusus dari Tariqah Naqshbandi. Lebih jelasnya, mereka yang mengkritik rabitah ini berkeberatan atas unsur tasawwur atau “Penggambaran” dalam Rabita yang meminta Murid untuk menggambarkan citra sang Syaikh dalam hatinya di permulaan maupun selama dzikir. Tapi Allah Ta’ala telah berfirman, “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [33:21] dan Ia S.W.T. berfirman pula, “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; “[2:189] dan karena itulah kita datang kepada Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasalla melalui as-Siddiq radiy-Allahu ‘anhu, dan datang kepada yang terakhir ini melalui Salman radiy-Allahu ‘anhu, dan masuk kepada yang terakhir ini melalui Qasim radiy-Allahu ‘anhu, dan kepada yang terakhir ini melalui Sayyid Ja’far ‘alaihissalam, dan seterusnya. Karena “Ulama adalah pewaris para Nabi”, dapat dipahami bahwa sang Mursyid adalah teladan kita akan teladan dari Nabi tersebut (di ayat 33:21 di atas, penerj.) dan ia (sang Mursyid) mestilah seseorang di antara mereka yang atas mereka, Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah!” Hadits ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas , Asma’ bint Zayd, dan Anas (semoga Allah ridha atas diri mereka semua), juga dari Tabi’in Sa’id ibn Jubayr, ‘Abd al-Rahman ibn Ghanam, dan Muslim ibn Subayh.
Beberapa orang memprotes terhadap konsep fana’ sang Murid dalam diri Syaikh, atau fana’ fis-Syaikh. Mereka berkata, “Syaikhmu hanyalah seorang manusia; jadikanlah fana’mu pada diri Rasulullah!” Tapi, adalah salah untuk menyamakan sang Syaikh pembimbing sama seperti yang lain. Syaikh Ahmad Sirhindi berkata – qaddas-Allahu sirrahu: “Ketahuilah bahwa melakukan perjalanan (suluk) pada Tariqah yang paling Mulia ini adalah dengan ikatan (rabitah) dan cinta pada Syaikh yang kita ikuti. Syaikh seperti itulah yang berjalan di Jalan ini dengan keteguhan (istiqamah), dan ia tercelupi (insabagha) dengan segenap macam kesempurnaan melalui kekuatan daya tarik Ilahiah (jadzbah). Pandangannya menyembuhkan penyakit-penyakit hati dan konsentrasinya atau pemusatan pikirannya (tawajjuh) mengangkat habis cacat-cacat ruhani.
Pemilik dari kesempurnaan-kesempurnaan ini adalah Imam dari zaman ini dan Khalifah pada waktu itu sehingga ikatan kita (padanya) adalah (melalui) cinta, dan hubungan (nisba) kita dengannya adalah pencerminan dan pencelupan diri, tak peduli apakah diri kita dekat atau jauh (secara fisik darinya). Hingga kemudian sang murid akan tercelupkan dalam Jalan ini melalui ikatan cintanya pada sang Syaikh, jam demi jam, dan tercerahkan oleh pantulan cahaya-cahayanya. Dalam pola seperti ini, pengetahuan akan proses bukanlah suatu prasyarat untuk memberi atau menerima manfaat. Buah semangka matang oleh panas Sang Surya jam demi jam dan menghangat dengan berlalunya hari… Sang Semangka semakin matang, namun pengetahuan macam apakah yang dimiliki sang semangka akan proses ini? Apakah sang Surya bahkan mengetahui bahwa dirinya tengah mematangkan dan menghangatkan sang Semangka? Sebagaimana disebutkan di atas, berkeberatan atas konsep fana’ fis-Syaikh adalah berarti pula berkeberatan akan cinta pada sang Syaikh. Kita semua memiliki keinginan dan tujuan untuk mencintai Syaikh kita dan mengetahui bahwa ia-lah objek yang paling patut menerima cinta dan hormat kita di dunia ini.
Sebagaimana sang penyair berpuisi:
Atas kesetiaan padamu yang suci dan tuluslah, aku mengatakan:
Cinta atasmu terpahat dalam kalbu dari kalbu-kalbuku,
Sebagai suatu ukiran yang dalam [NAQSH], suatu prasasti kuno.
Tak kumiliki lagi kehendak [IRADA] apa pun, selain cintamu,
Tak pula dapat kuucapkan apa pun padamu, selain “aku cinta padamu”.
Tentang hal ini, Mawlana berkata pada suatu kesempatan baru-baru ini: “Kita telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka, Awliya’. Kita telah diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri kita Cinta. Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. ITTIBA’ bermakna untuk mencintai dan mengikuti, sementara ITA’AT bermakna [hanya] untuk mengikuti. Seseorang yang taat mungkin taat karena paksaan atau karena cinta, tapi tidaklah selalu karena cinta.”
“Nah, Allah Ta’ala menginginkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Dan para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan mereka. Karena itulah, Allah Ta’ala mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. Dan setiap orang yang mencintai Awliya’ dan Anbiya’, melalui Awliya’ akan menggapai cinta para Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah Ta’ala.”
“Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana Allah Ta’ala akan mencintai kalian?” “Namun manusia kini sudah seperti kayu, yang kering, kayu kering, mereka menyangkal cinta. Mereka adalah orang-orang yang kering – tak ada kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, terbuka, bersemi dan berbunga di kala musim semi. Tapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya tujuh puluh kali musim semi mendatanginya, tak akan pernah terbuka. Cinta membuat alam ini terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya bagi manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga, tak akan pernah memberikan buahnya.”
“Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari iman. Tanpa cinta, tak akan ada iman. Saya dapat berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera!” (akhir suhbat Mawlana).
Dengan dan melalui Mawlana, Allah telah membuat segala macam hal yang sulit menjadi mudah. Kita amat bersyukur mengetahui beliau karena beliaulah jalan pintas bagi kita menuju nur/cahaya dalam Agama ini. Nur ini adalah tujuan dan sasaran dari setiap orang yang waras. Nur dan cahaya inilah yang dilukiskan dalam ayat yang Agung, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” [2:269] Semoga Allah SWT mengaruniakan bagi diri kita hikmah ini dan menjaga diri kita pada Jalan yang telah Ia perintahkan dan Ia sukai bagi diri kita! Semoga Allah mengaruniakan pada Mawlana umur panjang dalam kesehatan dan mengaruniakan pada diri kita tingkatan (maqam) Murid yang Sejati demi kehormatan dari Ia yang paling terhormat, Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam!
Catatan:
[1] Ada beberapa variasi pendapat tentang tahun lahir Mawlana as-Syaikh ‘Abd Allah, berkisar dari 1284 H (dalam kitab at-Tariqah an-Naqshbandiyya, karangan Muhammad Darniqa) hingga 1294 H menurut murid tertua Syaikh ‘Abdullah, Mawlana as-Syaikh Husayn (dalam kitab at-Tariqat an-Naqshbandiyya al-Khalidiyya ad-Daghistaniyya, karangan Ustadz Muhammad ‘Ali ibn as-Syaikh Husayn) hinga 1303 H dalam kitab al-Futuhat al-Haqqaniyya, karangan Syaikh ‘Adnan Kabbani hingga 1309 H dalam buku The Naqshbandi Sufi Way, karangan Syaikh Hisham Kabbani.
[2] Beliau menerima pula Tariqah Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri (demikian pula Syaikh Jamaluddin) yang dengan bimbingannya, beliau memulai suluknya hingga Syaikh Ibrahim menyuruhnya ke Syaikh ats-Tsughuri, lihat ‘Ali, Tariqah Naqshbandiyya (halaman 229).
[3] lihat Hadaya al-Zaman fi Tabaqat al-Khawajagan an-Naqshbandiyya (halaman 375) karangan Shu’ayb ibn Idris al-Bakini. Beliau mengambil pula dari al-Yaraghi, lihat Sullam al-Wusul karangan Ilyas al-Zadqari, sebagaimana dikuti di Hadaya (halaman 378).
[4] Lihat Hadaya, al-Bakini (halaman 396). Beliau menerima Tariqa Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri dan memperkenalkan dzikir jahr dalam cabang Daghistani dari Naqshbandiyya melalui ijazah tersebut, lihat al-Bakini, Hadaya (halaman 396); ‘Ali, Tariqa Naqshbandiyya (halaman 229).
[5] Dan bukannya 1254 H, sebagaimana secara salah disebutkan di beberapa sumber. Koreksi ini dari ‘Ali, Tariqa Naqshbandiyya (halaman 214). Muhammad al-Yaraghi juga mengambil secara langsung dari Syaikh Isma’il as-Shirwani, lihat al-Bakini, Hadaya (hal. 350-351).
[6] Dari Shirwan di masa sekarang di Azerbaijan. Beliau wafat di Damascus dan dimakamkan di Jabal Qasyoun, di samping Mawlana Khalid dan Mawlana Isma’il al-Anarani yang merupakan penerus pertama Mawlana Khalid, yang wafat tujuhbelas hari setelah wafatnya Mawlana Khalid, keduanya karena wabah – semoga Allah merahmati mereka semua dan seluruh Syuhada’-Nya.