Custom Search Widget

Indeks

Judul Kitab

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah untuk Sahabatnya

Penulis Kitab

Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari (qs.)

Durasi Baca

18 Menit

Bagikan

Facebook
WhatsApp

Indeks

01. Perjalanan Hati ke Hadirat Tuhan

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 1:

“Perjalanan Hati ke Hadirat Tuhan”

فان البدايات مخلات النهايات وان من كانت بالله بدايته كانت اليه نهايته.

Sesungguhnya, bidayah (permulaan) itu bagaikan cermin yg memperlihatkan nihayah (akhir). Siapa yg bidayahnya selalu bersandar kepada Allah, pasti nihayah-nya akan sampai kepada-Nya.

Ungkapan diatas menjelaskan kondisi salik sejak awal hingga akhir perjalanan sampai ia menempati kedudukannya. Kemudian, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan etika suluk (meniti jalan Allah) dan cara wushul (sampai kepada Allah).

Maksud “permulaan” di sini adalah permulaan segala perkara. Yg dimaksud “cermin yg memperlihatkan akhir” adalah gambaran akhir segala perkara. Artinya, permulaan seorang murid adalah gambaran akhirnya. Jika di awalnya ia sudah memiliki tekad kuat untuk menghadap Allah Ta’ala dan berjuang dalam ibadah dan riyadhah, itu adalah bukti bahwa di akhirnya ia akan mendapatkan kemenangan besar. Ia akan sampai kepada tujuannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, jika di awalnya ia lemah, kemenangan dan wushul -nya pun akan lemah.

Siapa yg sejak awalnya telah bersandar kepada Allah Ta’ala, selalu meminta pertolongan-Nya dalam ibadah dan riyadhah -nya, maka di akhirnya, ia pasti akan sampai kepada Allah Ta’ala. Ia akan berhasil mengungkap betapa Allah Maha Qayyum (mengatur). Ia pun akan selalu mengesakan-Nya dan meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Lahir dan Batin. Dengan begitu, ia akan merasa dirinya sirna dan hilang di hadapan Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam

02. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 2:

المشتغل به هو الذي أحببته وسا رعت إليه والمشتغل عنه هو المؤ ثر عليه.

Yg harus dikerjakan ialah amal ibadah yg engkau sukai dan semangat dalam melakukannya, sedangkan yg harus diabaikan ialah hawa nafsu dan urusan dunia yg sering mempengaruhi.

Yg harus kau kerjakan, wahai murid yg tulus, adalah amal shaleh yg mendekatkanmu kepada Tuhanmu dan menyampaikanmu kepada makrifat tentang-Nya. Jangan kau abaikan amalan itu! Sukailah, karena tak ada yg pantas membuatmu sibuk selain amalan itu.

Adapun yg harus kau abaikan dan tak perlu kau pedulikan ialah keinginan nafsu dan maslahatmu yg akan sirna, namun sering kau utamakan daripada kedekatan-Mu dengan Tuhanmu dan kesibukanmu melayani-Nya. Oleh karena itu, kau harus melembutkan dan memperindah jiwamu dengan karunia-Nya. Jangan menyesal karena telah meninggalkan semua keinginanmu sebab tak ada yg harus dilakukan kecuali itu.

Ungkapan ini bertujuan untuk mendorong para salik serta menggugah tekad dan semangat mereka agar selalu memuji hal² yg membuat Allah Ta’ala dekat dan mencela hal² yg membuat-Nya berpaling. Wallaahu a’lam

03. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 3:

وإن من أيقن أن الله يطلبه صدق الطلب إليه، ومن علم أن الأمور بيدالله انجمع بالتو كل إليه.

Siapa yg yakin bahwa Allah menyuruhnya melakukan ibadah, pasti ia bersungguh-sungguh menghadap kepada-Nya. Siapa yg mengetahui bahwa segala urusan itu di tangan Allah, pasti bulatlah tawakkalnya kepada-Nya.

Siapa yg yakin bahwa Allah Ta’ala menuntutnya untuk melayani-Nya dan melaksanakan tugas² ‘ubudiyah, pasti ia akan menghadap Allah Ta’ala dengan tulus dan berusaha melakukan apa saja yg diridhai-Nya dengan sempurna. Hal itu dikarenakan, buah amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhannya. Jika ia berakal dan memiliki makrifat, layakkah jika ia tidak tulus dan sungguh² dalam beramal dan meninggalkan maslahat pribadinya?

Siapa yg mengetahui bahwa segala urusan di tangan Allah Ta’ala, termasuk upayanya dalam melayani Tuhannya, pasti hatinya akan tertuju kepada-Nya dengan tawakkal dan memohon-Nya agar mempermudah segala urusan dan hal² yg mendekatkan diri kepada-Nya. Tak ada yg bisa melakukan hal itu, kecuali Allah Ta’ala. Semua perkara berada di tangan-Nya dan seorang hamba tidak berperan apa². Wallaahu a’lam

04. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 4:

وأنه لابد لبناء هذا الوجود أن تنهدم دعا ئمه وأن تسلب كرا ئمه.

Bangunan alam ini pasti rusak binasa. Lenyap pula semua barang berharga yg ada di dalamnya.

Alam ini pasti akan hancur. Semua kenikmatannya akan dirampas kembali oleh Allah Ta’ala.

Tujuan hikmah ini adalah untuk menghibur para hamba yg kehilangan sesuatu yg berkaitan dengan kemaslahatan dan kepentingan syahwatnya saat ia menjalani suluk. Jika ia mengetahui bahwa dunia ini tidak abadi dan akhirat sudah dekat di depan mata, tentu ia tidak akan bahagia dengan sesuatu yg fana. Dengan meninggalkannya, justru jiwanya akan berubah menjadi baik. Wallaahu a’lam

05. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 5:

فالعاقل من كان بما هو أبقى أفرح منه بما هو يفنى، قد أشارق نوره وظهرت تباشيره.

Orang yg sempurna akalnya ialah yg lebih bahagia dengan yg kekal daripada yg rusak binasa karena cahaya hatinya telah terang dan tanda² cahaya itu tampak pada air mukanya.

Orang yg berakal ialah orang yg lebih bahagia dan gemar kepada akhirat daripada kepada dunia yg fana. Jika dunia ini fana dan akhirat kekal abadi, tentu tidak layak baginya untuk bahagia dengan dunia. Siapa yg berbahagia dengan yg fana, kebahagiaannya pun akan fana. Siapa yg berbahagia dengan yg kekal, kebahagiaannya pun akan kekal. Itulah kebahagiaan yg seharusnya dicari.

Kesimpulannya, orang yg berakal adalah orang yg zuhud dan meninggalkan dunia. Adapun orang yg menghendaki dunia, ia bodoh dan tidak berakal. Kalimat “lebih bahagia” bermakna, yg di inginkan orang yg berakal ialah kebahagiaan yg lebih. Hal ini tidak berarti bahwa kebahagiaan dengan perkara dunia hilang sama sekali darinya karena itu adalah hal yg lumrah dialami manusia.

“Cahaya hatinya telah terang” bermakna, cahaya kezuhudan seorang yg berakal telah terpancar di dalam hatinya. Buah cahaya itu akan tampak di keceriaan wajahnya. Cahaya, jika terpancar dari hati, akan tampak pula pada anggota tubuh lainnya. Baginya, itu adalah berita gembira bahwa amalnya telah diterima. Wallaahu a’lam

06. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 6:

فصرف عن هذه الدار مغضيا وأ عرض عنها موليا فلم يتخذها وطنا ولا جعلها سكنا.

Orang yg berakal memalingkan mukanya dari dunia ini, mengabaikannya dengan memejamkan mata, dan terus berlalu meninggalkannya. Ia tidak menganggapnya sebagai tanah air atau tempat tinggal.

Dengan cahaya yg terpancar di hatinya, ia bisa melihat jelas apa saja yg perlu dijauhinya di dunia ini. Ia terus berjalan menjauhinya tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Ia tidak menjadikan dunia ini sebagai negeri untuk berleha-leha dan bersenang-senang, tidak pula menjadikannya sebagai tempat tinggal yg dicintainya. Wallaahu a’lam

07. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 7:

بل أنهض الهمة فيها إلى الله تعالى وسار فيها مستعينا به في القدوم عليه.

Bahkan semangatnya terus bangkit untuk segera sampai kepada Allah dan terus berjalan menuju-Nya sambil berharap pertolongan-Nya agar segera sampai.

Ia bersegera dan membangkitkan semangatnya untuk mencapai Allah Ta’ala. Ia terus berjalan di dunia sambil meminta pertolongan dan bantuan Allah Ta’ala untuk sampai ke hadirat-Nya, bukan dengan mengandalkan amalnya yg masih tercemari sifat² riya’ dan sombong.

Seseorang berkata, “Siapa yg mengira bahwa amalnya dapat membawanya sampai kepada harapan tertinggi atau terendahnya, ia telah tersesat jalan.” Nabi Saw. bersabda, “Tidaklah amal seseorang dapat menyelamatkan dirinya.”

Sesuatu yg tidak dapat menyelamatkan kita dari hal yg ditakuti mana mungkin akan membawa kita kepada maksud. Siapa yg benar² bersandar kepada karunia Allah Ta’ala, itulah orang yg akan mendapatkan predikat wushul.

08. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 8:

فمازالت مطية عزمه لايقر قرارها دائما تسايرها إلى أن أناخت بحضرة القدس وبساط الأنس محل المفاتحة والمواجهت والمجالسة والمحادثة والمشاهدة والمطالعة فصارت الحضرة معشش قلوبهم إليها يأوون وفيها يسكنون.

Kendaraan semangatnya terus berjalan tiada henti sampai berlabuh di hadirat Ilahi, di atas hamparan kesenangan, tempat kelapangan, berhadapan dengan-Nya, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya, dan bersimpuh di tempat belajar ilmu-Nya sehingga hadirat Ilahi itu menjadi sarang hati mereka. Kesana mereka kembali dan di sana pula mereka tetap tinggal.

Kendaraan tekadnya terus berjalan dan tidak berhenti karena tak ada yg menghalanginya. Biasanya, yg menghalangi kendaraan tekad itu ialah sikap bergantung kepada selain Allah Ta’ala, misalnya terhadap dunia, atau berupa hal² yg menghambat perjalanan salik untuk sampai kepada Allah Ta’ala, seperti karamah, mukasyafahahwal, dan maqam. Semua itulah yg sering menghentikan kendaraan tekad seorang yg berakal untuk berbuat.

Perjalanan kendaraan itu terus berlanjut hingga tertambat di hadirat Allah Ta’ala dan hamparan kesenangan. Hadirat Allah Ta’ala digambarkan dengan pelataran raja besar, tempat para utusan datang beristirahat saat bertandang ke tempatnya.

Syaikh Ibnu Atha’illah menjelaskan sifat hadirat Allah Ta’ala itu dengan tempat kelapangan, berhadap-hadapan dengan Allah Ta’ala, bercengkerama dan bercakap-cakap tentang rahasia-Nya, menyaksikan Allah Ta’ala secara batin setelah orang itu kehilangan kesadarannya, serta tempat ia mendapatkan ilmu keghaiban.

Seseorang, jika masuk ke hadapan singgasana raja dunia yg agung, ia akan merasa lapang karena raja itu menyambutnya dengan baik. Raja itu juga akan menemuinya langsung, lalu duduk di hadapannya dan bercakap-cakap bersamanya. Semua itu adalah buah dari pertemuan. Rasa senang dan lapang ini dirasakan karena ia mendapatkan kehormatan untuk dapat melihat raja langsung. Padahal, sebagai seorang penguasa, raja itu enggan menghadapi orang biasa sepertinya.

Demikian pula seorang salik, jika ia telah sampai ke hadirat Allah Ta’ala, Dia akan menyambutnya dengan keterbukaan dan keramahan serta memberinya ilmu dan makrifat Rabbani yg tidak diketahui hakikatnya, kecuali oleh orang yg telah sampai kesana dan merasakan apa yg dirasa oleh orang² yg dekat dengan Tuhannya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua termasuk di antara mereka.

Hadirat Tuhan itu menjadi penenang hati mereka atau menjadi tempat bagi hati mereka merasakan ketenangan dan kedamaian, seperti halnya sarang burung yg menjadi tempat tinggal dan berteduh bagi mereka. Wallaahu a’lam

09. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 9:

فإذا نزلوا إلى سماء الحقوق أو أرض الحظوظ فبالإذن والتمكين والرسوخ في اليقين فلم ينزلوا إلى الحقوق بسوء الأدب والغفلة ولا إلى الحظوظ بالشهوات والمتعة بل دخلوا في ذلك بالله ولله ومن الله وإلى الله.

Apabila mereka tiba di langit kewajiban (menunaikan kewajiban) atau turun ke bumi kepentingan (hawa nafsu), hal itu terjadi dengan izin dan keyakinan yg mendalam. Mereka tidak menunaikan kewajiban dengan lalai dan menyalahi adab. Demikian pula bila menuruti hawa nafsu, bukan semata-mata dorongan syahwat yg meluap atau kesenangan duniawi, tetapi mereka masuk ke dalamnya dengan pertolongan Allah untuk meraih keridhaan-Nya, menuruti tuntunan-Nya, dan berharap kepada-Nya.

Kewajiban di umpamakan dengan langit karena keduanya sulit diraih dan digapai. Sementara itu, hawa nafsu di umpamakan dengan bumi karena keduanya mudah didapat dan gampang diraih. Mereka tiba di langit kewajiban atau turun ke bumi hawa nafsu atas izin dan keyakinan mendalam. Dengan demikian, saat melakukan kewajiban, mereka tidak melakukannya dengan lalai dan menyalahi adab/etika. Mereka tidak bergaul dengan makhluk, kecuali dengan adab dan etika yg sempurna karena mereka menyaksikan Allah Ta’ala ada pada makhluk itu. Mereka selalu sadar dan tidak lalai kepada Dzat yg membuat semua makhluk berwujud. Jika mereka disakiti seseorang, mereka akan menanggung deritanya karena Allah Ta’ala.

Mereka melihat bahwa yg membuat seseorang menyakitinya adalah Allah Ta’ala karena sebuah dosa yg dilakukannya. Sebaliknya, jika seseorang menghormati mereka, mereka akan bersyukur kepada-Nya, sambil meyakini bahwa yg menggerakkan hati orang itu untuk menghormatinya adalah Allah Ta’ala.

Saat mereka menuruti hawa nafsu, mereka tidak semata-mata menurutinya karena dorongan syahwat dan kesenangan duniawi. Hal itu mereka lakukan karena pertolongan Allah Ta’ala. Jika tidak, saat mereka diberi pilihan antara diam di hadirat Ilahi atau keluar dari sana dan bergaul dengan makhluk, niscaya mereka akan memilih diam di hadirat Ilahi dan tidak turun ke bumi. Wallaahu a’lam

10. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 10:

وقا رب أدخلني مدخل صدق وأخرجني مخرج صدق ليكون نظري إلى حولك وقوتك إذا أدخلتنى واستسلامي وانقيادي إليك إذا أخرجتني.

Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku melalui pintu kebenaran dan keluarkanlah aku melalui pintu kebenaran pula supaya pandanganku tetap bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Kau memasukkanku, demikian pula kepasrahan dan ketundukanku selalu kepada-Mu ketika Kau mengeluarkanku.”

Pintu masuk dan keluar dalam kalimat di atas di ungkapkan Syaikh Ibnu Atha‘illah dengan dua perjalanan yg disebut dalam hikmah sebelumnya. “Masuk” adalah perjalanan naik, bermakna menemui Allah Ta’ala dalam kondisi kefanaan diri dan jauh dari melihat diri sendiri. Adapun “keluar” bermakna perjalanan turun karena ia adalah keluarnya seseorang menuju makhluk untuk memberi hidayah dan dakwah pada saat ia merasa bersama Tuhannya.

“Pintu masuk kebenaran” bermakna, ia harus menyaksikan daya dan upaya Allah Ta’ala dalam perjalanan naiknya. Dengan begitu, ia tidak akan menisbatkan amal kepada dirinya sendiri. Adapun “pintu keluar kebenaran” adalah, ia harus tunduk dan berserah kepada Tuhannya dalam perjalanan turunnya sehingga ridha dengan ketetapan Allah Ta’ala untuknya dan tidak mengeluh atas keputusan itu.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha‘illah berkata, “Supaya pandanganku tetap bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Kau memasukkanku, demikian pula kepasrahan dan ketundukanku selalu kepada-Mu ketika Kau mengeluarkanku.”

Dengan kata lain, supaya pandanganku terhadap diriku sirna dan keinginanku untuk tetap mengikuti hawa nafsu hilang. Di pintu masuk, yg kulihat hanya daya dan upaya-Mu sehingga penglihatanku kepada diriku hilang. Di pintu keluar, aku berserah pada-Mu sehingga keuntungan diri dan hawa nafsuku hilang. Wallaahu a’lam

11. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 11:

واجعل لي من لدنك سلطانا نصيرا ينصرني وينصربي ولاينصر علي؟ ينصرني على شهود نفسي ويفنيني عن دائرة حسي.

Dan berikan untukku, langsung dari-Mu berupa kekuatan dan pertolongan yg membantuku untuk melawan nafsuku, membantu kawan²ku dan orang² yg kukasihi, serta membantuku untuk mengenali kelemahan diri dan melenyapkanku dari kurungan perasaanku, bukan kekuatan dan pertolongan yg membantu nafsu dan musuh²ku.

Berikan aku kekuatan dan hujjah yg nyata dari-Mu langsung tanpa perantara dan tanpa sebab dari diriku. Dengan hujjah Ilahi itu, segala sesuatu yg ditemuinya akan dibantah dan dipatahkan. Dengan hujjah Ilahi itu pula, aku dapat menaklukkan diriku dan mengalahkan musuh lahir dan batinku serta melenyapkanku dari kungkungan perasaanku. Maksudnya adalah segala hal yg terjadi pada perasaanku sehingga aku tidak bergantung padanya dan tidak melihatnya bisa mendatangkan manfaat dan madharat bagiku karena aku melihat bahwa yg memberi manfaat dan madharat hanyalah diri-Mu.

Orang² yg dibantu Allah Ta’ala kelak, jika muncul di satu masa, mereka akan membawa manfaat yg besar bagi para generasi masa itu. Dan Allah Ta’ala akan memberi mereka karunia tanpa mereka sadari. Wallaahu a’lam

12. Dalam Menyikapi Pemberian, Orang ‘Arif Tidak Membedakan antara Bersyukur kepada Allah dan Berterima Kasih kepada Makhluk

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 12:

“Dalam Menyikapi Pemberian, Orang ‘Arif Tidak Membedakan antara Bersyukur kepada Allah dan Berterima Kasih kepada Makhluk”

إن كانت عين القلب تنظر أن الله واحد في منته فالشر يعة تقتضي أنه لابد من شكر خليقته.

Mata hati memandang bahwa yg memberi segala karunia hanyalah Allah. Namun, syari’at menyuruh berterima kasih kepada sesama makhluk.

Dalam pandangan mata hati, yg memberi segala karunia dan nikmat adalah Allah Ta’ala semata. Namun demikian, syari’at menuntut untuk berterima kasih kepada sesama makhluk.

Jika Tuhan memberimu nikmat melalui tangan seorang manusia, baik berupa nikmat agama, seperti ilmu dan makrifat, maupun berupa nikmat duniawi, dalam hal ini, kau harus memperhatikan hakikatnya. Kau harus melihat bahwa nikmat tersebut semata-mata dari Allah Ta’ala. Orang yg memberimu dengan tangannya hanyalah manusia lemah dan dikendalikan Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kau harus memuji Allah Ta’ala atas nikmat tersebut.

Namun, syari’at menuntunmu agar kau juga berterima kasih kepada orang yg memberimu nikmat itu melalui tangannya. Kau harus mendoakan dan memujinya sebagai pelaksanaan terhadap perintah Allah Ta’ala dan pelaksanaan terhadap tuntutan syari’at. Selain itu, kau harus memuji Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala lah yg memberinya secara khusus, yaitu dengan menjadikannya pemilik nikmat tersebut.

Dalam hadits disebutkan, “Siapa yg tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak berterima kasih kepada Allah.” Wallaahu a’lam

13. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 13:

وأن الناس في ذلك على ثلاثت أقسام؟ غافل منهمك في غفلته قويت دائرة حسه وانطمست حضرة قدسه فنظر الإحسان من المخلوقين ولم يشهده من رب العا لمين إما اعتقادا فشركه جلي وإما استنادا فشركه خفي.

Dalam menyikapi nikmat Tuhan, manusia terbagi tiga. Pertama, orang yg sangat lalai terhadap Tuhan. Jiwa materialistis yg ada pada orang ini sangat kuat tertanam sehingga ruhaninya (kesucian jiwanya) padam. Oleh karena itu, ia memandang bantuan (kebaikan) yg diberikan makhluk sebagai bantuan yg semata-mata dari makhluk. Ia sama sekali tidak melihatnya dari Allah, Tuhan alam semesta. Jika ia meyakini bahwa yg memberi bantuan itu semata-mata adalah makhluk, ini adalah syirik yg nyata. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa makhluk itu hanyalah sebagai sebab —andaikan tidak ada sebab itu, tidak akan terjadi karunia— sikap ini pun tetap dianggap sebagai syirik, namun syirik yg samar.

Dalam menyikapi nikmat yg datang melalui perantara makhluk, manusia terbagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah orang yg lalai dan jauh dari Allah Ta’ala. Jiwa materialistisnya sangat kuat. Pandangannya terhadap kebendaan menyertai kelalaiannya kepada Tuhannya sehingga kesucian mata hatinya —yg mensucikan Allah Ta’ala dari segala hal yg tak layak disandang-Nya— padam. Orang seperti ini melihat kebaikan itu semata-mata datang dari makhluk, bukan dari Tuhan semesta alam. Jika sikapnya ini menjadi semacam keyakinan baginya, misalnya dengan meyakini bahwa yg mempengaruhi atau memberi hanya hamba, kemusyrikannya jelas. Kemusyrikan itu dapat mengeluarkannya dari area keimanan ke ranah kekafiran.

Akan tetapi, jika ia menganggap bahwa makhluk tersebut hanya sebagai sebab dan tetap meyakini bahwa pemberi sebenarnya adalah Allah Ta’ala, tetapi ia menisbatkan pemberian itu kepada makhluk dan menganggap makhluk itu sebagai sebab yg menentukan, syiriknya tersamar.

Orang seperti itu, jika ditanya, “Siapa yg memberimu? Ia akan menjawab, ‘Allah, tetapi tanpa si fulan yg datang sebelum ini maka tidak akan ada pemberian ini karena tanpa sebab takkan ada yg disebabkan.’”

Syiriknya tersamar karena ia dianggap menyertakan pihak lain selain Allah Ta’ala, yaitu makhluk. Orang² seperti ini masih tetap dianggap mukmin, namun di khawatirkan akan terjadi kekafiran padanya, na’udzu billaah. Wallaahu a’lam

14. Orang² Khashah (Istimewa)

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 14:

“Orang² Khashah (Istimewa)”

وصاحب حقيقة غاب عن الخلق بشهود الملك الحق وفنى عن الأسباب بشهود مسبب الأسباب فهو عبد مواجه بالحقيقة ظاهر عليه سناها سالك للطريقة قد استولى على مداها غير أنه غريق الأنوار مطموس الآثار قد غلب سكره على صحوه وجمعه على فرقه وفناؤه على بقائه وغيبته على حضوره.

(Kelompok Kedua) Ahli hakikat yg telah melupakan makhluk karena langsung melihat kepada Allah. Ia juga lupa sebab-musabab karena teringat kepada yg menentukan sebab. Dia adalah hamba yg menghadapi hakikat. Pada dirinya tampak nyata terang cahayanya. Ia sedang berjalan pada jalannya dan telah sampai pada puncaknya. Hanya saja, ia tenggelam di alam cahaya sehingga tidak kelihatan bekas² kemakhlukannya. Ia lebih banyak lupa pada alam daripada ingatnya, lebih sering bertemu dengan Allah daripada renggangnya, lebih banyak kefana’annya daripada keabadiannya, dan lebih sering lupa pada makhluk daripada ingatnya.

Ini adalah kelompok kedua, yakni ahli hakikat yg telah melupakan makhluk dengan menyaksikan Allah Ta’ala langsung (melihat kepada Allah Ta’ala). Ia tidak merasakan kehadiran makhluk dan tidak pernah menoleh ke arah mereka. Ia juga amat mengabaikan sebab² sehingga tidak menganggap apa pun amal perbuatan mereka. Ia hanya melihat sebab dari segala sebab, yaitu Allah Ta’ala. Orang seperti ini adalah hamba yg menghadapi hakikat yg nyata, yaitu Allah Ta’ala. karena ia hanya melihat kepada-Nya. Cahaya hakikat itu terpancar kepadanya. Ia hanya berjalan pada jalan ahli tarekat dengan menganggapnya sebagai pangkal. Ia telah sampai pada puncaknya.

Walaupun kelompok kedua ini (ahli hakikat) amat sempurna dibandingkan dengan kelompok pertama (orang lalai), ternyata ia masih kurang dibandingkan dengan orang yg lebih sempurna darinya, yaitu ahli makrifat.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Hanya saja, ia tenggelam di alam cahaya.” Alam cahaya juga dapat di artikan lautan tauhid. Ia tenggelam dalam lautan tauhid sehingga kebendaan telah redup dalam pandangan mata batinnya, demikian pula semua hamba dan segala perantara. Ia tidak pernah mau melihat dan merasakan semua itu. Lupanya terhadap alam lebih banyak daripada ingatnya. Perjumpaannya dengan Allah Ta’ala lebih sering daripada renggangnya. Kefana’an dirinya karena melihat Allah Ta’ala lebih besar dibandingkan keabadiannya karena melihat makhluk. Lupanya terhadap makhluk lebih besar daripada ingatnya kepada mereka. Wallaahu a’lam

15. Orang² Khashatul Khashah (Super Istimewa)

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 15:

“Orang² Khashatul Khashah (Super Istimewa)”

وأكمل منه عبد شرب فازداد صحوا وغاب فازداد حضورا فلا جمعه يحجبه عن فرقه ولافرقه يحجبه عن جمعه ولافناؤه يصده عن بقائه ولابقاؤه يصده عن فنائه يعطي كل ذي قسط قسطه ويوفي كل ذي حق حقه.

(Kelompok Ketiga) Yg paling sempurna tingkatannya, adalah hamba yg dalam ketidaksadarannya ia sadar; yg dalam ketidakhadirannya ia hadir. Kebersamaannya dengan-Nya tidak menghalangi keterpisahannya dengan-Nya. Keterpisahannya dengan-Nya tidak menghalangi kebersamaannya dengan-Nya. Kefana’annya tidak menghalangi keabadiannya dan keabadiannya tidak menghalangi kefana’annya. Ia memberikan bagian kepada yg pantas mendapatkannya. Ia menunaikan hak kepada yg pantas mendapatkannya.

“Kebersamaannya dengan-Nya tidak menghalangi keterpisahannya dengan-Nya. Keterpisahannya dengan-Nya tidak menghalangi kebersamaannya dengan-Nya.” Maksudnya, bila melihat Khaliq, ia juga melihat makhluk; bila melihat makhluk, ia juga melihat Khaliq.

“Kefana’annya tidak menghalangi keabadiannya dan keabadiannya tidak menghalangi kefana’annya.” Maksudnya, ia bersyukur kepada Khaliq juga bersyukur kepada makhluk. Ia tidak melupakan Khaliq sekalipun sedang berada di tengah² makhluk.

Orang yg sampai pada maqam ini adalah Rasulullah Saw. dan para pewarisnya yg sempurna, seperti Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. Wallaahu a’lam

16. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 16:

وقد قال أبوبكر الصديق رضي الله تعال عنه لعائشة رضي الله عنها لما نزلت برا ئتها من الإفك على لسان رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ ياعائشة أشكري رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقالت؟ والله لاأشكر الا الله. دلها أبو بكر رضي الله تعال عنه على المقام الأكمل مقام البقاء المقتضى لإثبات الآثار. وقدقال الله تعالى؟ أن اشكرلى ولوا لديك. وقال صلى الله عليه وسلم؟ لايشكرالله من لايشكر اناس. وكانت هي في ذلك الوقت مصطلمة عن شاهدهاغائبة عنالآثار فلم تشهد الا الواحد القهار.

Abu Bakar ash-Shiddiq ra. telah berkata kepada Aisyah ra. ketika Allah menurunkan ayat yg menerangkan kesucian Aisyah ra. dari tuduhan² orang munafik, “Hai Aisyah, bersyukurlah (berterima kasihlah) kepada Rasulullah Saw.” Jawab Aisyah ra., “Demi Allah, aku tidak akan bersyukur melainkan kepada Allah.” Di sini, Abu Bakar ra. menunjukkan kepada Aisyah ra. tingkat kedudukan yg lebih sempurna, yaitu maqam keabadian yg tetap mengakui adanya makhluk. Allah telah berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ayah-bundamu.” Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yg tidak berterima kasih terhadap sesama manusia.” Akan tetapi, ketika itu, perasaan Aisyah ra. sedang tenggelam dalam lautan cahaya Ilahi sehingga ia lupa terhadap semua makhluk dan tidak melihat sesuatu, kecuali Dzat Allah Yang Esa dan Maha Kuasa.

Sayyidah Aisyah ra. diminta oleh Sayyidina Abu Bakar ra. agar berterima kasih kepada Rasulullah Saw. Karena keterbebasan Sayyidah Aisyah ra. dari tuduhan dusta orang² munafik disebabkan oleh Rasulullah Saw. dan keberkahan Beliau.

Dengan demikian, Beliau layak disyukuri dan diberi ucapan terima kasih. Akan tetapi, Sayyidah Aisyah ra. justru menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan bersyukur melainkan kepada Allah.” Hal itu dikarenakan, Sayyidah Aisyah ra. tengah tak sadarkan diri dan tenggelam dalam cahaya Ilahi. Ia tidak memandang kecuali hanya kepada Allah Ta’ala.

Sayyidina Abu Bakar ra. menunjukkan kepada Sayyidah Aisyah ra. tingkat maqam yg lebih sempurna, yaitu baqa’ (keabadian) yg tetap mengakui dan memandang adanya atsar (kebendaan atau makhluk). Di antara orang yg menduduki maqam ini adalah Rasulullah Saw. Makna memandang makhluk adalah berterima kasih kepada makhluk.

Kemudian, Sayyidina Abu Bakar ra. mendasari perlunya berterima kasih kepada makhluk dengan firman Allah Ta’ala, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ayah-bundamu,” dan sabda Rasulullah Saw., “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah, orang yg tidak berterima kasih kepada sesama manusia.”

Syukur atau terima kasih kepada manusia sebaiknya tetap diungkapkan. Secara tidak langsung, ini juga merupakan syukur atau terima kasih kepada Allah Ta’ala karena hanya Dia yg menggerakkan hati manusia. Syukur (terima kasih) kepada manusia tetap diperlukan karena mereka adalah perantara. Yg berbahaya adalah jika kita tetap bergantung kepada hamba dan melupakan Tuhan.

Sementara itu, Sayyidah Aisyah ra. ketika itu sedang terlepas dari perasaannya, terlepas dari sifat kemanusiaannya. Ia mengalami satu kondisi yg di saat itu ia hanya merasakan penampakan Allah Ta’ala padanya dengan sifat-Nya Yang Maha Memaksa sehingga ia tidak sadarkan diri dan tidak menyadari keberadaan makhluk. Oleh karena itu, ia tidak melihat kecuali kepada Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.

Kalimat “ketika itu” menandakan bahwa Sayyidah Aisyah ra. mengalami kondisi tersebut tidak setiap waktu, bahkan setelah itu, ia langsung naik ke maqam farq (perpisahan), yaitu maqam yg menuntunnya untuk melihat Allah Ta’ala sekaligus melihat makhluk. Wallaahu a’lam

17. Apa yang Allah Berikan kepada Orang² ‘Arif dalam Shalat?

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 17:

“Apa yang Allah Berikan kepada Orang² ‘Arif dalam Shalat?”

إن قرت العيون بالشهود على قدر المشهود، فالرسول صلوات الله عليه وسلامه ليس معرفة غيره كمعرفته فليس قرة عين كقرته، وإنما قلنا إن قرة عينه في صلاته بشهوده جلال مشهوده، لأنه قدأشار إلى ذلك بقوله ((في الصلاة)) ولم يقل ((بالصلاة)) إذهو صلوات الله عليه وسلامه لاتقر عينه بغير ربه، وكيف وهو يدل على هذا المقام ويأمربه من سواه بقوله صلوات الله عليه وسلامه، :((أعبدالله كأنك تراه)). ومحال أن يراه ويشهد معه سواه.

Sesungguhnya, qurratul ‘ain (cahaya mata/kesenangan) didapat dengan melihat kebesaran Allah. Itu menurut kadar kekuatan makrifat seseorang terhadap sosok yg disaksikannya (Allah). Makrifat Rasulullah Saw. tentang Tuhannya tidak dapat disamakan dengan makrifat orang lain. Oleh karena itu, tidak ada cahaya mata dan kesenangan seperti cahaya mata dan kesenangan Beliau. Kami katakan bahwa cahaya mata (kesenangan) Rasulullah Saw. ada dalam shalat karena di saat itu Beliau melihat kebesaran Allah. Beliau sendiri yg menegaskan hal itu dalam sabdanya “di dalam shalat”. Beliau tidak bersabda “dengan shalat”. Beliau tidak puas (senang hatinya) dengan selain Tuhannya. Bagaimana tidak, Beliau sendiri yg menyatakan maqam itu dan menganjurkan kita untuk meraihnya, yaitu dalam sabdanya, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat kepada-Nya.” Namun, mustahil seseorang bisa melihat Allah jika masih disertai dengan melihat selain-Nya.

Ketika ditanya tentang sabda Rasulullah Saw., “Dan cahaya mataku ditetapkan dalam shalat,” Syaikh Ibnu Atha’illah menjawab, “Cahaya mata adalah metafor dari kebahagiaan yg sangat dan kenikmatan yg tak terhingga. Seakan Beliau bersabda, ‘Kebahagiaanku yg paling puncak dan kenikmatanku yg paling tinggi ada dalam shalat,’ karena saat shalat, Rasulullah Saw. hanya melihat Tuhan.”

Lantas, apakah hal itu berlaku khusus hanya pada diri Beliau ataukah bisa pula berlaku pada selain Beliau?

Syaikh Ibnu Atha’illah menjawab, “Sesungguhnya, cahaya mata (qurratul ‘ain) bisa diraih dengan syuhud atau dengan melihat Allah Ta’ala dan keindahan-Nya.”

Jika ada orang yg berkata, “Adakalanya kesenangan (cahaya mata) itu dikarenakan shalat (dengan shalat) sebab shalat adalah karunia Allah Ta’ala dan datang dari sumbernya langsung. Bagaimana mungkin Beliau tidak senang dengan shalat dan bagaimana mungkin shalat tidak menjadi puncak kesenangan Beliau, sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Katakanlah, hanya dengan (karena) karunia dan rahmat Allah itulah mereka harus bergembira?’” Jawaban yg tepat atas pernyataan tersebut adalah, “Ketahuilah bahwa ayat di atas justru menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Itu sangat jelas bagi orang yg memperhatikan rahasia kalimatnya. Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka dengan itulah, mereka harus bergembira.’ Seakan Dia berkata, ‘Katakan kepada mereka supaya mereka bergembira dengan pemberian dan karunia itu.’ Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain, ‘Katakanlah: Allah, kemudian biarkan mereka dalam kesibukan mereka berkecimpung.’”

Shalat merupakan karunia Allah Ta’ala yg terbesar untuk hamba-Nya, sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Saw. Tak ada pemberian yg lebih baik bagi seorang hamba di dunia daripada di izinkannya ia untuk shalat dua raka’at. Hal itu dikarenakan, shalat adalah media kontak langsung antara hamba dengan Allah Ta’ala dan tempat hamba untuk bertemu, bercakap-cakap, dan ber- khalwat dengan-Nya. Di dalam shalat itu, seseorang menyatakan kehambaannya, kerendahan, kehinaan, hajat, dan kebutuhannya kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam

18. Tiga Macam Manusia dalam Menyikapi Pemberian Tuhan

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 18:

“Tiga Macam Manusia dalam Menyikapi Pemberian Tuhan”

الناس في ورودالمنن على ثلاثت أقسام؟ فرح بالمنن لامن حيث مهديها ومنشئها ولكن بوجود متعته فيها، فهذا من الغافلين يصدق عليه قوله تعالى: حتى فرحوابما أوتوا أخذناهم بغتة. وفرح بالمنن من حيث أنه شهدها منة ممن أرسلها ونعمة ممن أوصلها يصدق عليه قوله تعالى: قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون. وفرح بالله ماشغله من المنن ظاهر متعتها ولاباطن منتها بل شغله النظر إلى الله عما سواه والجمع عليه فلا يشهد الا إياه يصدق عليه قوله تعالى: قل الله ثم ذرهم في خوضهم يلعبون.

Di dalam menghadapi nikmat Allah, manusia terbagi tiga. Pertama, orang yg gembira dengan nikmat, bukan karena melihat siapa yg memberikannya, tetapi semata-mata karena kelezatan nikmat itu yg memuaskan hawa nafsunya maka ia termasuk orang lalai (ghafil). Orang ini sesuai dengan firman Allah, “Sehingga bila mereka telah puas gembira dengan apa yg diberikan itu, Kami tangkap mereka dengan tiba² (Kami siksa mereka dengan tiba²).” Kedua, orang yg gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa nikmat itu adalah karunia yg diberikan Allah kepadanya. Orang ini sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah, karena merasa mendapat karunia dan rahmat Allah maka dengan itulah mereka harus gembira. Yg demikian itu lebih baik dari apa yg mereka kumpulkan.” Ketiga, orang yg hanya bergembira dengan Allah, bukan karena karunia-Nya. Ia tidak terpengaruh oleh kelezatan lahir dan batin nikmat itu karena ia hanya sibuk memperhatikan Allah sehingga ia tercukupi dari segala hal selain-Nya. Dengan demikian, tidak ada yg terlihat padanya, kecuali Allah. Orang ini sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Hanya Allah’, kemudian biarkan mereka dalam kesibukan mereka berkecimpung (main²).”

Golongan pertama penerima nikmat Allah Ta’ala itu seperti hewan yg makan dan minum tanpa mengingat Tuhannya. Setiap kali mereka diberi nikmat maka kelalaiannya terus bertambah dan mereka tidak pernah bersyukur kepada Allah Ta’ala. Akibatnya, Allah Ta’ala akan menyiksa mereka dengan tiba².

Golongan kedua, keadaan mereka pun masih kurang sempurna karena masih menoleh ke arah nikmat itu dan masih merasa bahagia dengannya. la masih merasa senang dengan nikmat kendati ia mengetahui bahwa nikmat itu bersumber dari Allah Ta’ala.

Golongan ketiga, mereka hanya bergembira dengan Allah Ta’ala, bukan dengan karunia-Nya. Mereka tidak terdorong untuk menikmati kelezatan lahir nikmat itu. Mereka juga tidak pernah menganggap bahwa wujud nikmat itu adalah bukti perhatian dan pertolongan Allah Ta’ala kepada mereka. Wallaahu a’lam

19. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 19:

وقد أوحى الله تعالى إلى داود عليه الصلاة والسلام؛ ياداود قل للصديقين بي فليفرحوا وبذكري فليتنعموا.

Allah telah mewahyukan kepada Nabi Daud as., “Hai Daud, katakanlah kepada orang² shiddiqin, dengan Aku menyertai mereka, hendaknya bersenang gembira, dan dengan berdzikir menyebut nama-Ku, hendaknya mereka merasakan nikmat.”

Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Daud as., “Hai Daud, katakanlah kepada orang² shiddiqin.” Shiddiqin ialah orang² yg jujur dalam ucapan, perbuatan, dan ahwal -nya.

“Dengan Aku menyertai mereka, hendaknya mereka bersenang gembira,” berarti, hendaknya mereka senang dan bahagia hanya dengan-Ku, bukan dengan selain-Ku, karena Aku adalah Tuhan dan mereka adalah hamba²Ku. Mereka dituntut untuk membebaskan diri dari sifat² kemanusiaannya.

Dikisahkan, suatu hari ‘Utbah kecil menemui Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengenakan pakaian baru dan berjalan dengan berlenggak-lenggok, tidak seperti biasanya. Kemudian, Rabi’ah berkata kepadanya, “Wahai ‘Utbah, apa yg kau lakukan? Mengapa kesombongan dan keangkuhan yg tak pernah kulihat sebelumnya tampak pada dirimu hari ini?”

‘Utbah menjawab, “Wahai Rabi’ah, siapa lagi yg lebih berhak dengan kesombongan ini dariku? Sekarang aku telah memiliki Tuhan dan aku telah menjadi hamba-Nya.”

“Dan dengan berdzikir menyebut nama-Ku, hendaknya mereka merasakan nikmat,” bermakna, hendaknya mereka tidak menikmati, kecuali dzikir mengingat-Ku, bukan mengingat kenikmatan dunia dan syahwatnya. Orang yg sibuk dengan dzikir mengingat Allah Ta’ala akan mengalami kenikmatan dan kedekatan dengan Allah Ta’ala yg tak tertandingi oleh kenikmatan dunia apa pun. Wallaahu a’lam

20. Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 20:

والله يجعل فرحنا وإياكم به وبالرضا منه وأن يجعلنا من أهل الفهم عنه وأن لايجعلنا من الغافلين مأن يسلك بنا مسالك المتقين بمنه مكرمه.

Semoga Allah menjadikan kesenangan kami dan kalian hanya dengan-Nya dan dengan rela terhadap segala yg datang dari-Nya. Semoga Allah menjadikan kita dari golongan orang² yg mengerti segala sesuatu tentang Allah dan tidak menjadikan kita dari golongan orang² yg lalai. Semoga Allah menjadikan kita berada di jalan orang² muttaqin dengan karunia dan kemurahan-Nya.

Wahai saudara² pembaca suratku ini, semoga Allah Ta’ala menjadikan kesenangan dan kegembiraan kita semua hanya dengan Allah Ta’ala dan rela terhadap segala hal yg bersumber dari Allah Ta’ala atau hanya dengan kenikmatan yg dihasilkan dari musyahadah yg berlangsung terus-menerus. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan orang² yg paham dan mengerti segala sesuatu tentang Allah Ta’ala. Mereka adalah orang² yg memahami maksud dan keinginan Allah Ta’ala dari mereka, yaitu agar mereka menuju kepada-Nya dan sibuk melayani-Nya. Mereka memahami bahwa Allah Ta’ala selalu hadir bersama mereka dan mengawasi segala gerak dan diam mereka. Mereka juga memahami bahwa Allah Ta’ala Maha Mengatur segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu itu awalnya tidak ada. Oleh karena itu, mereka tidak pernah menoleh kepada makhluk atau kebendaan dalam mencari manfaat dan menghindari mudharat.

Mereka juga memahami bahwa Allah Ta’ala selalu bersama mereka dengan Dzat-Nya, bukan dengan ilmu-Nya, sebagaimana yg dipahami oleh orang² yg terhalang tirai dan yg hanya pandai mencari dalil dan bukti tentang wujud Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala tidak menjadikan kita dari golongan orang² yg lalai karena sibuk dengan alam semesta dan kebendaan. Mereka tidak memahami maksud dan keinginan Allah Ta’ala dari mereka sehingga mereka tidak mau melakukan ketaatan kepada-Nya. Kalaupun mereka taat, itu hanya pada penampilan lahir mereka, tidak dari dalam hati.

Semoga Allah Ta’ala menuntun kami menapaki jalan orang² muttaqin dengan karunia dan kemurahan-Nya. Merekalah orang² yg menghindari segala sesuatu selain Allah Ta’ala sehingga mereka tidak menoleh kepadanya dalam mencari manfaat dan menghindari mudharat dan mereka tak pernah lalai kepada-Nya sekelipan mata sekalipun. Ini adalah maqam tertinggi ketakwaan. Mereka adalah orang yg berjalan di jalan muttaqin dengan kemurahan dan karunia Allah Ta’ala, bukan dengan sebab² tertentu yg mendorong mereka untuk itu. Wallaahu a’lam

Apakah Anda menemukan masalah teknis pada website atau aplikasi ini? Mohon hubungi kami melalui link berikut:

Platform Lain: