Custom Search Widget

Indeks

Judul Kitab

Miftah al-Ma’iyyah

Miftah al-Ma’iyyah fi Dustur ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah. Kunci Memahami Hakikat dan Menggapai Makrifat. Penjelasan Risalah Ath-Thariqah An-Naqsyabandiyah Sayyidi Syaikh Tajuddin An-Naqsyabandi (qs.).

Penulis Kitab

Sayyidi Syaikh Abdul Ghani bin Ismail An-Nabulsi Ad-Dimasyqi (qs.)

Durasi Baca

100 Menit

Bagikan

Facebook
WhatsApp

Indeks

Pengantar Ahli

BERKHALWAT DALAM KERAMAIAN: Konsep Tanggung jawab Sosial Tarekat Naqsyabandiyah

Dr. Ahmad Munji
Doktor Tasawuf Universitas Marmara Turki

Mulai abad ke-18, Islam secara berangsur-angsur kehilangan kekuatan politiknya dan perlahan dunia Islam dikuasai oleh negara-negara Barat. Kekalahan ini memaksa umat Islam yang telah menjadi penguasa sebagian besar wilayah dunia selama berabad-abad melakukan muhasabah. Kelompok intelektual yang ada saat itu meneliti sebab kegagalan ini dan merenungkan masalah ini dalam waktu yang lama. Hasil dari perenungan itu setidaknya melahirkan dua kelompok yang saling berbeda pendapat.

Pertama, kelompok intelektual yang menyimpulkan bahwa masyarakat muslim sendirilah yang menjadi penghalang untuk bisa maju. Kedua, kelompok intelektual yang memandang kemunduran itu merupakan akibat dari kesalahan dalam memahami ajaran agama Islam dan hal itu membuat umat Islam tidak bisa bangkit. Salah satu kesalahannya terletak pada praktek tasawuf yang berkembang di hampir seluruh wilayah Islam. Tasawuf, karena sifat mistiknya, dituduh meninabobokan umat Islam dan menyebabkan mereka tertinggal. Beberapa di antara cendekiawan kelompok kedua ini mulai menyuarakan tesis bahwa tasawuf adalah ajaran asing yang disusupkan ke dalam Islam. Sehingga mereka membebankan kemunduran dunia Islam kepada tasawuf dan tarekat, sebagai turunan dari ajaran tasawuf.

Argumentasi tentang kemunduran dunia Islam yang dialamatkan kepada tasawuf barangkali disebabkan oleh beberapa ajaran seperti khalwat (menyendiri), uzlah (menghindari keramaian), wahdah (penyatuan), inziwa (bertapa). Memang konsep-konsep tersebut diajarkan dalam tasawuf yang mengarah pada pola hidup terpisah dari masyarakat. Dalam tasawuf, umumnya diyakini bahwa seseorang yang banyak bergaul dengan manusia akan jauh dari Allah Ta’ala.

Namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit sufi yang menyatakan khalwat yang sesungguhnya dapat dilakukan tanpa harus menjauh dari masyarakat. Dalam hal ini, hidup dalam masyarakat tidak menghalangi untuk wushul kepada Allah. Abdul Karim al-Qusyairi (w. 1074), salah satu ulama sufi klasik, menggambarkan sufi sebagai kāin dan bāin, yaitu seseorang yang terpisah dari masyarakat saat berada bersama mereka (al-Qusyairi, 1966: 608). Sementara Junaid al-Baghdadi (w. 909 M) mengatakan, sufi sejati adalah mereka yang raganya berwujud, tetapi jiwanya terpisah dari dunia (Sarraj, 1960: 432). Kalimat senada juga disampaikan oleh Rabi’ah al-Adawiyah (w. 801), ketika sufi perempuan ini berucap, “Tubuhku memang bersama orang-orang, tetapi tidak dengan jiwaku. Sebab jiwaku bersama kekasihnya, Allah.”

Dari beberapa pemahaman tentang sufi di atas, sebetulnya bisa kita ambil pelajaran bahwa menjadi sufi bukan berarti harus menjauh dari masyarakat. Sebab jika dimaknai demikian, seorang sufi sedang meninggalkan salah satu tanggung jawab sebagai ulama, yaitu membersamai masyarakat dan menjadi mursyid yang menunjukkan ke jalan yang benar.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah [9]: 122)

Ahlul malāmat¹ (¹ Pemahaman tasawuf yang muncul di kawasan Khurasan pada abad ke-9 dan kemudian menyebar luas ke seluruh dunia Islam. Malāmat merupakan doktrin yang paling ekstrem dalam tasawuf di mana pengikutnya merasa diri sebagai orang yang paling berdosa sehingga berhak mendapat siksa sejak di dunia.) kelompok sufi yang menghindari popularitas dan memilih hidup seperti orang biasa, juga bergantung pada pemahaman ini. Misalnya Hamdun al-Qashshar (w. 884 M), salah seorang pelopor kelompok malāmat, melarang muridnya Abdullah al-Hajjam, yang ingin berhenti bekerja dan mengabdikan dirinya untuk beribadah. Hamdun al-Qashshar menegur muridnya dengan ungkapannya yang terkenal, “Lebih baik dikenal sebagai Abdullah si tukang bekam daripada dikenal sebagai Abdullah yang zuhud dan ‘arif.”

Abu Yazid al-Busthami, salah satu sesepuh ahlul malāmat, menganggap orang yang ‘arif adalah mereka yang berada di alam kezuhudan tetapi tetap menjaga hubungan dengan masyarakat sebagai orang biasa (Sulami, 1985: 156). Bahkan, untuk menjembatani sufi yang tetap ingin beraktivitas seperti masyarakat pada umumnya, al-Ghazali membuat subbab yang sangat menarik dalam kitab Ihyā Ulūm ad-Dīn. Subbab itu diberi judul “Bayan fi Ikhtilāf al-Awrād bi Ikhtilāf al-Ahwāl” atau “dzikir berbasis profesi” (al-Ghazali, I, 1986: 348). Semua argumentasi ini sekali lagi menegaskan bahwa sebagai makhluk sosial, sufi tetap memiliki tanggung jawab sosial seperti bekerja dan bermasyarakat.

Pada periode ketika tarekat muncul dan tempat berkhalwat menyebar luas di kota-kota besar seperti Baghdad, Khurasan, dan Damaskus. Meski demikian, para mursyid tetap menekankan pentingnya berada bersama masyarakat secara lahiriah dan dengan berkhalwat di dalam batin. Ibnu Arabi mengatakan bahwa seorang salik yang telah lepas dari hubungan material dan telah mencapai tingkat kebersamaan dengan Allah tidak lagi membutuhkan kesendirian fisik. Karena keadaan bersama masyarakat telah berubah menjadi keterasingan. Seorang salik pada tingkat ini merasakan semua suara dan kata-kata yang datang dari makhluk sebagai alamat ilahi. Dalam hal itu, jalwat (berdzikir sambil bersosialisasi) lebih mulia daripada khalwat (menghindari keramaian) (Ibnu Arabi, II, 1980: 484).

Konsep berkhalwat di tengah masyarakat selanjutnya lebih populer setelah diperkenalkan oleh tarekat Naqsyabandiyah, sebuah tarekat yang berdiri di Asia Tengah. Abdul Khaliq al-Ghujdawani (w. 1220 M), pendiri garis keturunan Khwaja atau Hācegān (cikal bakal tarekat Naqsyabandiyah), menerapkan konsep shuhbah dan pengabdian kepada masyarakat sebagai dasar dari tarekat Naqsyabandiyah. Konsep ini sepertinya ingin menjadi antitesis dari tren berkhalwat pada saat itu yang berdampak pada pengabaian tanggung jawab sosial.

Ghujdawani menerapkan pentingnya kebersamaan dengan Allah Ta’ala tanpa memutuskan hubungan dengan masyarakat. Konsep berkhalwat seperti inilah yang kemudian dikenal dengan frasa “khalvat der-encümen” atau “berkhalwat dalam keramaian”. Menurut Hāji Evliyā al-Kebīr, khalifah dari Ghujdawani, seorang salik yang menerapkan dzikir sepenuhnya dengan cara ini tidak akan terhalang untuk mendapatkan momentum wushul kepada Allah Ta’ala. Karena dengan berdzikir (tentu dengan metode dan cara yang benar), seorang salik bisa tenggelam dalam dzikirnya sendiri bahkan saat berdagang di pasar. Syaikh Baha’uddin an-Naqsyabandi ketika ditanya, “‘Berdasarkan apa tarekat Anda (Naqsyabandiyah) dibentuk?” Dia menjawab pertanyaan itu dengan, “Khalvat der-encümen.” Sementara Abdurrahman Jami’, salah satu sufi besar dari Persia yang juga mengikuti tarekat Naqsyabandiyah mengatakan bahwa ayat berikut merupakan dasar dari konsep berkhalwat dalam keramaian (Jami’, tt. 419),

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ

“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS. an-Nûr [24]: 37)

Inilah yang kemudian menjadi landasan teologis untuk tetap menjadi sufi yang dekat dengan Allah Ta’ala tetapi tidak lepas dari masyarakat dan tanggung jawab sosialnya.

Hemat saya, intelektual yang menuduh tasawuf sebagai biang kerok kemunduran dunia Islam tidak melihat sejarah dengan jernih. Fakta bahwa tasawuf juga mengajarkan tanggung jawab sosial, eksis dalam pengabdian kepada masyarakat adalah jawaban dari tuduhan yang tidak berdasar itu. Bahkan, tasawuf eksis pada periode paling maju dan paling lama dari seluruh daulah Islam tentu mematahkan argumentasi mereka.

Banyak sumber menunjukkan kontribusi luar biasa yang diberikan oleh kelompok tasawuf, (khususnya tarekat Naqsyabandiyah sebagai tarekat terbesar di Turki) misalnya kepada Kekaisaran Ottoman, yang merupakan salah satu negara terkuat dan paling lama bertahan di dunia dalam sejarah umat manusia (Gunduz, 1989: 23). Bahkan, seorang sejarawan Jerman bernama Paul Wittek menjuluki Ottoman sebagai negara sufi, dan memaparkan bagaimana organisasi-organisasi tasawuf seperti Futuwah dan Ahilik memainkan peran besar dalam pendirian kerajaan itu (Wittek, 2017: 53-54). Peran-peran kelompok tasawuf dalam membangun masyarakat dan negara tentu juga bisa kita lacak dalam sejarah Nusantara. Semua fakta sejarah ini menunjukkan bahwa sufi tidak hanya tentang berkhalwat di goa atau gunung, tetapi juga tentang pengabdian kepada masyarakat.

Buku yang sedang berada di tangan Anda ini adalah salah satu buku wajib dalam tarekat Naqsyabandiyah yang mengajarkan konsep khalwat dalam keramaian itu. Buku ini ditulis oleh Abdul Ghani bin Ismail an-Nabulsi (w. 1731), seorang sufi yang sepanjang hidupnya memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan spiritual di Suriah abad 17-18 M. Sebagai seorang ulama yang sangat produktif, an-Nabulsi meninggalkan lebih dari 300 karya dalam berbagai disiplin ilmu dalam Islam seperti fiqih, tafsir, kalam dan tasawuf. Salah satu karya an-Nabulsi yang paling terkenal adalah buku yang diberi judul Miftāhul Ma’iyyah ini. Buku ini merupakan syarah dari kitab Risālah Tharīqah as-Sādah an-Naqsyabandiyyah yang ditulis oleh Tajuddin bin Zakariya an-Naqsyabandi (w. 1640).

Melalui buku ini Imam an-Nabulsi mencoba menjelaskan lebih detail sebelas prinsip dalam tarekat Naqsyabandiyah.

Sebelas prinsip yang juga sering disebut dengan Kalimāt al-Qudsiyyah pada mulanya delapan di antaranya diperkenalkan oleh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (w. 1220) dan tiga yang terakhir ditambahkan oleh Baha’uddin an-Naqsyabandi (w. 1389). Sebelas prinsip ini selanjutnya dianggap sebagai ajaran pokok tarekat Naqsyabandiyah.

Tujuan dasar dari prinsip-prinsip ini adalah untuk melatih pengembangan spiritual para salik, dan saya merasa masih sangat relevan untuk dipraktekkan hari ini. Yang pertama dari sebelas prinsip ini adalah yād kerd, mengingat Allah dengan lisan. Prinsip kedua bāz gesyt, kembali kepada Allah dengan penuh kerendahan hati. Prinsip ketiga nigāh dāsyt, membersihkan hati dari pikiran apa pun selain Allah. Prinsip keempat yād dasyt, menjaga hati untuk selalu mengingat Allah. Prinsip kelima hūsy der dem, mengingat Allah dalam setiap tarikan nafas. Prinsip keenam sefer der vatan, meninggalkan kerumunan untuk mendekat kepada Allah. Prinsip ketujuh nazar ber-kadem, berhati-hati dalam mengambil setiap langkah. Prinsip kedelapan khalvat der encumen, bersama Allah di tengah masyarakat. Prinsip kesembilan vukūf zamānī, menghabiskan semua waktu untuk beribadah. Prinsip kesepuluh vukūf adedī mematuhi jumlah dzikir sesuai yang ditentukan. Prinsip kesebelas vukūf kalbi, menjaga hati agar tetap dalam kendali. Semua istilah tersebut berasal dari bahasa Persia yang menjadi tanah kelahiran tarekat Naqsyabandiyah. Selamat membaca!

Istanbul, 18 Maret 2022

Pengantar Penerbit

MENGGERAKKAN SPIRITUALITAS SOSIAL

Selama ini tarekat sering kali dipandang sebagai kelompok yang menjauhi kehidupan sosial masyarakat. Tarekat identik dengan pengasingan diri dari keramaian dan kehidupan normal. Anggapan tersebut berlanjut dengan asumsi bahwa dengan bertarekat manusia telah menyalahi fitrahnya, yang dalam istilah Aristoteles (384-322 SM) disebut sebagai zoon politikon atau makhluk sosial. Sebab itu, di era digital yang penuh dengan distraksi ini, sebagian orang menyangka bahwa seseorang yang menjalankan tarekat tasawuf seakan-akan harus menepi ke pelosok desa, pegunungan, atau tempat asing lainnya. Apakah memang demikian adanya?

Pada awal kemunculannya, tarekat yang merupakan organisasi dari ajaran tasawuf memang dibentuk untuk wadah pengamalan perilaku asketis (meninggalkan keduniawian). Sikap asketis inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ulama masa silam sebagai model tarekat. Jika ditelusuri secara historis, awal mula kemunculan tarekat tidak tercatat dengan pasti. Namun ada sumber sejarah yang menyebutkan bahwa terekat Thaifuriyah di Persia yang muncul pada abad ke-9 M adalah tarekat yang pertama di deklarasikan sebagai suatu perguruan tasawuf. Tarekat ini di atribusikan kepada Abu Yazid al-Busthami (w. 874 M) karena ajaran-ajarannya bersumber dari sosok sufi klasik satu ini.

Meski demikian, tarekat yang pertama kali lahir tersebut tidak banyak dikenal hari ini. Beberapa tarekat awal yang kini banyak kita kenal baru muncul beberapa abad setelahnya, Tarekat Qadiriyah lahir pada abad ke-11 dan Syadziliyah pada abad ke-12. Naqsyabandiyah sendiri baru keluar belakangan, sekitar abad ke-14. Pada rentang abad tersebut banyak bermunculan berbagai tarekat, baik sebagai turunan dari tarekat-tarekat tersebut, maupun perkumpulan tarekat-tarekat baru lainnya di berbagai penjuru dunia.

Sejarah mencatat bahwa perkembangan tarekat di Indonesia baru bisa terlihat secara jelas pada abad ke-16 hingga 17. Dipelopori oleh seorang ulama kenamaan, Syaikh Hamzah Fansuri (w. ±1527 M) dan Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630 M). Meski demikian, dua ulama besar ini sama-sama tidak mewariskan suatu tarekat. Tarekat yang pertama kali lahir di wilayah Indonesia adalah yang dicetuskan oleh Syaikh Abdurrauf as-Singkili (w. 1693 M) dengan nama tarekat Syattariyah pada kisaran tahun 1679 M di Aceh. Tarekat satu ini bisa ditelusuri perkembangannya lewat sanad tarekat yang menghubungkan antara guru dan murid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia hingga sekarang.

Jika melihat sepak terjang beberapa tarekat di atas serta turunannya, ajaran asketisme yang dikenalkan dalam konsep khalwat atau uzlah lebih kental ditanamkan, meski dengan kadar dan ketentuan yang berbeda-beda. Perbedaan yang sangat mencolok tentu saja terlihat jika melihat sepak sejarah tarekat Naqsyabandiyah. Sejak mula didirikan, salah satu pelopor utamanya, Syaikh Baha’uddin an-Naqsyabandi (w. 1389 M) sudah menanamkan spirit spiritualitas sosial dalam ajaran tarekatnya. Hal ini tentu dapat menjawab berbagai kesan dan pertanyaan yang muncul di awal. Bahwa tidak semua tarekat identik dengan pengasingan diri dari khalayak ramai. Tarekat ini diperkirakan baru mulai masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-19.

Tidak sedikit tarekat yang melibatkan diri dalam kegiatan sosial dan masyarakat, bahkan menjadi bagian sentral dalam pergerakan politik, seperti tarekat Tijaniyah yang menentang penjajahan Prancis di Afrika Utara, tarekat Sanusiyah di Libya yang dengan tegas menentang penjajahan Italia, ada pula tarekat Safawiyah yang melahirkan kerajaan di Persia. Itu beberapa contoh ekstrem yang sama sekali berlainan dengan kesan yang dipahami oleh masyarakat hari ini tentang tarekat.

Dalam tarekat Naqsyabandiyah, seperti dijelaskan secara mendalam dalam kitab Miftahul Ma’iyyah (Kunci Kebersamaan) ini, sentral ajarannya dalam Bahasa Persia disebut dengan “khalwat dar anjuman (خلوت در انجمن)” atau dalam bahasa Arab “al-khalwah fi al-jalwah (الخلوة في الجلوة)” yang berarti “berkhalwat dalam keramaian”. Penulis kitab ini, Imam Abdul Ghani an-Nabulsi (w. 1731 M) menerangkan bahwa dalam prakteknya, seseorang yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyah secara lahir harus menampakkan diri seperti orang biasa pada umumnya, mulai dari cara berbicara, makan, perilaku keseharian, dan bahkan cara berpakaian. Dia tidak diperkenankan nyleneh atau keluar dari adat dan gaya hidup orang sekitarnya. Hanya saja, hatinya tidak boleh lepas dengan dzikir dan mengingat Allah Ta’ala.

Dapat disimpulkan bahwa prinsip “berkhalwat dalam keramaian” ini adalah sebuah konsep spiritualitas sosial yang harus terus digerakkan. Konsep besar yang menjadi penghubung antara nilai spiritualitas dan etika sosial. Lewat konsep ini, permenungan spiritual dalam tarekat bukan tujuan, melainkan sarana untuk di aktualisasikan dalam aksi dan amal perbuatan. Dalam konsep yang dibangun tarekat Naqsyabandiyah ini, tarekat tidak hanya berhenti pada aspek ruhani manusia saja, akan tetapi juga memiliki aspek sosial yang ditugasi untuk mewujudkan transformasi sosial masyarakat agar bisa mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup.

Konsep satu ini berkebalikan dengan ajaran utama tarekat tasawuf yang selama ini dikenal. Alih-alih menyepi di sebuah tempat asing dan terpencil yang jauh dari masyarakat, murid (pelaku tasawuf) malah didorong untuk aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Pengalaman-pengalaman spiritual sang murid akan didapat lewat berbagai kegiatan sosial tersebut. Jika masyarakat tempat para murid tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai kemaslahatan Islam, tugas para murid adalah untuk ikut merawatnya. Namun jika yang ada adalah sebaliknya, tugas mereka adalah untuk berdakwah dan berperan aktif dalam mendorong penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi umat tersebut.

Sosok sufi yang sebenarnya bagi tarekat Naqsyabandiyah bukanlah orang yang hidup menyendiri terpisah dari masyarakat. Sufi yang hakiki adalah orang yang bergaul di tengah-tengah umat, melakukan aktivitas sosial normal: Bekerja, berdagang, berkeluarga, bersosialisasi, dan melakukan berbagai aktivitas kemasyarakatan lainnya. Namun semua aktivitas itu senantiasa dibarengi dengan dzikrullah, mengingat Allah Ta’ala.

Di antara tiga tarekat arus utama dunia, Qadiriyah, Syadziliyah, dan Naqsyabandiyah, rasanya belum banyak buku yang diterjemahkan langsung dari literatur utama tarekat yang disebut terakhir ini ke dalam Bahasa Indonesia. Buku-buku terjemahan karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani maupun Imam Syadzili sudah sangat mudah didapatkan hari ini, tidak demikian dengan buku rujukan utama tarekat Naqsyabandiyah. Padahal pengikutnya sama banyaknya tersebar di seluruh daerah di Indonesia.

Bermula dari kondisi tersebut, Turos Pustaka melihat bahwa penerjemahan kitab-kitab rujukan utama dari tarekat satu ini juga perlu diperkenalkan kepada umat. Agar masyarakat bisa langsung mengakses karya-karya agung tersebut dengan lebih mudah. Apalagi kitab Miftahul Ma’iyyah karya Syaikh Abdul Ghani an-Nabulsi yang merupakan penjabaran kitab Risalah Syaikh Tajuddin an-Naqsyabandi ini sangat penting dihadirkan di era sekarang.

Era yang memberikan jarak curam antara spiritualitas dan kehidupan sosial, sehingga seolah keduanya tidak lagi beririsan sama sekali. Dengan membaca kitab ini, kita akan dibimbing untuk memahami hakikat hidup dalam menemukan kunci (miftah) untuk mengenal Allah Ta’ala dan mencapai kebersamaan dengan-Nya (ma’iyyah) dalam segala kondisi. Semoga niat baik ini selalu dilimpahi manfaat dan keberkahan. Selamat mengamalkan.

Setu Babakan, Maret 2022

Pengantar: Imam Abdul Ghani An-Nabulsi

Segala puji bagi Allah yang telah menyingkap manifestasi abadi sifat-sifat-Nya dengan jelas. Dengan gambaran yang kasat mata Dia menyibak topeng nama-nama-Nya dan melipat jarak antara Dia dan hamba-Nya (sehingga antara keduanya sangat dekat, sedekat urat nadi).

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada orang yang menajamkan matanya dengan bantuan mata batinnya dan menghilangkan kabut di dalam hatinya dengan sifat kemanusiaannya.

Semoga ridha Allah terlimpah kepada semua keluarga Beliau, baik dari jalur nasab maupun para pengikut yang enggan berselisih paham atas sosok Nabi Saw. Kepada siapa pun yang berjumpa dengan Beliau, baik yang bertemu pandang secara jasmani maupun secara ruhani, dia seperti orang yang menyepuh perak dengan emas yang dia miliki. Juga kepada para pengikutnya yang mengikuti agama (Islam) ini setiap saat. Amma ba’du.

Inilah penuturan seorang yang tertawan berbagai macam kesalahan, gudang segala kekurangan dan aib, bernama Abdul Ghani bin Ismail yang bernasab an-Nabulsi, bermazhab Hanafi, bertarekat Qadiri, berasal dari Damaskus, juga bertarekat Naqsyabandi secara lahir dan batin, dan berpihak terhadap kaum fakir.

Syaikh Abu Sa’id an-Naqsybandi al-Balkhi adalah seorang syaikh yang perkataannya membangkitkan semangat para salik. Apa yang Beliau kehendaki semata berasal dari kehendak Yang Maha Kuasa lagi Maha Raja, kehendak tersebut terus dirawat dengan pertolongan-Nya —baik di permulaan maupun di akhir— semoga Allah selalu memberi Beliau anugerah yang langgeng dan kekuatan di dunia dan akhirat. Syaikh Abu Sa’id telah memberikan perintah kepadaku untuk menulis syarah (penjelasan) atas risalah (kitab tipis) berbahasa Arab yang telah diterjemahkan dari Bahasa Persia ini.

Penulis risalah tersebut adalah al-‘Arif al-Kamil al-‘Alim al-‘Amil Syaikh Tajuddin an-Naqsyabandi, semoga Allah menyinari pusaranya serta menyucikan ruhnya di alam Barzakh. Dalam risalah itu, Syaikh Tajuddin menjelaskan tarekat Naqsyabandiyah yang berlandaskan pada kaidah-kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau juga menjelaskan berbagai kondisi spiritual (hal) yang mulia dan berbagai tingkatan (maqāmat) yang luhur sebagai pedoman bagi para salik, sekaligus sebagai penyelamat bagi orang-orang yang binasa. Saya pun merealisasikan permintaannya, mewujudkan keinginannya, dan menangkap maksud yang disampaikannya karena sangat menginginkan maqam ubudiyyah yang kekal.

Dalam syarah ini, saya perlihatkan rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati orang-orang yang di anugerahi ilmu serta cahaya yang terjaga. Saya berusaha mendekatkan makna yang saya tulis ini sesuai tarekat Sang Guru, karena menurut mayoritas ulama (yang utama) adalah kesesuaian perkataan dengan orang yang mengatakannya.

Saya memberi judul karya ini dengan Miftāh al-Ma’iyyah fī Bayān Tharīq an-Naqsyabandiyah. Hanya dari Allah saya memohon pertolongan dalam menuliskan ini semua, karena Dialah pemilik petunjuk menuju jalan yang lurus.

Prolog


بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang¹


(¹ Semua teks Arab dan terjemahan Indonesia yang berada di dalam garis merupakan naskah risalah yang ditulis oleh Syaikh Tajuddin an-Naqsyabandi (sebagai kitab Matan). Sedangkan di luar itu merupakan naskah kitab syarah (penjelasan) yang ditulis oleh Imam Abdul Ghani an-Nabulsi—Ed.)

Aku memulai segala (pekerjaan) dengan menyebut salah satu nama dari nama-nama Allah Ta’ala. Hal ini bermakna, segala hal yang aku inginkan perwujudannya semata hanya dalam bentuk kiasan dari nama-nama Allah saja dan hanya Allah sendiri yang mampu mengejawantahkan nama-nama-Nya secara hakiki. Dialah Pelaku yang sebenar-benarnya, sedangkan aku hanya sebagai pelaku majasi.

Hal yang tampak bagiku adalah kiasan, sedangkan bagi-Nya adalah hakikat. Sementara hal yang tersembunyi bagiku adalah hakikat, sedangkan bagi-Nya adalah kiasan. Itu terjadi karena wujud hamba dan Tuhan memang terjadi berdasarkan pada hukum akal dan syari’at. Hanya kepada-Nya segalanya kembali, yaitu kepada “wujud hakiki” yang mana tingkatan spiritual tidak berlaku lagi. Tidak ada lagi istilah hamba dan Tuhan karena hanya ada Allah, tidak ada Tuhan selain-Nya.


الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Sayyidina Muhammad.


“Al-Hamdu” adalah sifat wujud kauni (keberadaan yang kasat mata) atas wujud ‘aini Allah (keberadaan yang tidak dapat di indera) yang Maha Indah dan Maha Kaya. Dengan demikian, penghalang (hijab) adalah rahmat, seperti yang dinyatakan oleh penyair,

ولو أني ظهرت بلا حجاب 🌻
لتيمت الخلائق أجمعينا

ولكن في الحجاب لطيف معنى 🌻
به تحيا قلوب العاشقينا

Kalau aku tampak tanpa hijab
Pasti kuperbudak semua makhluk

Tetapi dalam hijab ada kelembutan
Dengannya hati pecinta jadi hidup

Keindahan ini adalah rahmat yang mencakup segala sesuatu. Oleh karena itu, Syaikh Tajuddin menyebut “lillāh”, dengan menyampaikan satu nama yang mencakup semua nama Allah. Dengannya segala sesuatu tampak sebagai rahmat ilahiah, sesuai dengan berbagai jenis tingkatan spiritual yang kasat mata (kauniyah).

Kemudian Beliau menyebut “rabb” yang artinya “pemilik,” lalu menyebut “al-‘ālamīn” karena sifat ketuhanan (rububiyah) terjadi setelah sifat wujud. Jadi, ar-rahmān yang mewujudkan, lalu ar-rabb yang memilah. Allāh adalah sisi batin dari ar-rahmān, sedangkan ar-rahmān adalah sisi lahir Allāh. Oleh karena itu, Allah berfirman,

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى

“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma’ul Husna (nama-nama yang terbaik).’” (QS. al-Isrā’ [17]: 110)

Allah juga menegaskannya dengan ayat di bawah ini,

الظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ

“Yang Zahir dan Yang Batin.” (QS. al-Hadid [57]: 3)

“Shalāh” atau shalawat adalah rahmat bagi adanya wujud, sedangkan yang dimaksud “salām” adalah keselamatan berupa limpahan anugerah.

“Sayyidinā” adalah sosok yang memimpin kita dengan hakikatnya yang memiliki cahaya tersembunyi, penerang bagi hakikat kita yang gelap.

Nabi disebut dengan nama “Muhammad” karena segala makhluk memujinya. Selain itu, wujudnya memiliki cahaya dan di anugerahi perlindungan yang abadi (inayah azaliyah). Nabi Muhammad Saw. adalah hakim atas segala sesuatu, sesuai dengan (hukum yang berlaku pada) tiap sesuatu itu sendiri. Segala sesuatu memujinya dengan kesiapsiagaannya yang sangat sempurna. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. selalu memuji (hāmid) Dzat Sang Pemberi yang menganugerahinya hak istimewa. Sebab demikian, Beliau dinamai “Muhammad” sebagai penamaan yang berdasarkan ilham atas penciptaan wujudnya, bukan dari jiwa dan akal.


وآله وصحبه اجمعين

Dan keluarga serta seluruh sahabatnya.


Keluarga Nabi adalah siapa pun yang memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad Saw., baik dari segi nasab (keturunan) maupun ittiba’ (mengikuti) Beliau sebagai bentuk nasab ruhani karena nasab itu sendiri ada yang bersifat jasmani dan ada yang bersifat ruhani. Adapun arti kata “āla” adalah “raja’a” (kembali atau merujuk). Orang-orang yang kembali tersebut terdiri dari berbagai macam kondisi. Di antara mereka ada yang merujuk kepadanya dalam maqām (tingkatan) tertentu sehingga sisi gelap dirinya (zhulmāniyyah) hilang, sedangkan cahaya dalam dirinya (nūrāniyyah) menetap. Sisi cahaya itu merupakan inti sari Nur Muhammad Saw. Sementara sebagian lainnya menyatu dengan seluruh tingkatannya (maqām). Kelompok ini terdiri dari orang-orang sempurna yang kehilangan cahaya (nūrāniyyah) dalam diri mereka sehingga mereka menjadi Nur Muhammad itu sendiri.

Saya telah menunjuk kedua maqām ini dalam bait berikut ini,

وما أنا إلا هيولى الورى 🌻 ولمحة نور من المصطفى

Aku tidak lain hanyalah hayula (materi)

Selintas sinar dari sang Musthafa

Kemudian Syaikh Tajuddin menyebut “wa shahbihi”, yaitu siapa pun yang pernah bertemu Nabi Saw., baik di alam jasmani maupun alam ruhani. Mereka adalah orang-orang baik yang didekatkan kepada Allah atau disebut muqarrabun. Kebersamaan dengan Allah bukanlah penyatuan dengan-Nya. Oleh karena itu, khamr surga dihidangkan untuk orang-orang baik, lalu diminum oleh muqarrabun.

وَمِزَاجُهٗ مِنْ تَسْنِيْمٍ (٢٧) عَيْنًا يَّشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ (٢٨)

“Campuran khamr murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (QS. al-Muthaffifīn [83]: 27-28)

Kata “ajma’īn” disebutkan sebagai penegasan untuk kata “āl” dan “shahb” agar tidak satu pun dari mereka yang luput. Dengan demikian, kehadiran dan anugerah bagi Nabi Saw. menjadi sempurna pada semua tingkatannya, baik yang bersifat Mulkiyyah maupun Malakutiyyah sehingga segala wujud tetap lestari pada diri dan figurnya.


اعلم وفقنا الله تعالى وإياك أن معتقد السادة النقشبندية قدس الله تعالى أسرارهم، هو معتقد أهل السنة والجماعة

Ketahuilah semoga Allah memberi taufik kepada kami dan engkau bahwa keyakinan para tokoh Naqsyabandiyah qaddasallah asrarahum adalah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.


Ketahuilah, wahai orang-orang yang ingin mengenal Allah (makrifatullah). “I’lam” yang berarti “ketahuilah” merupakan kata yang menjadi pembuka berbagai pembahasan penting. Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ

“Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Pernyataan “waffaqanallahu ta’ālā” maksudnya adalah semoga Allah memberikan kita semua taufik dari-Nya, yaitu dengan menciptakan untuk kita keinginan melakukan berbagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Wahai pencari makrifat, ketahuilah bahwa “Anna mu’taqad” adalah orang yang diyakini dalam persetujuan dan ikatan. Hal ini sebagai petunjuk bahwa keyakinan yang tidak diikat oleh hati dengan tanpa keraguan, tidak dapat dianggap sebagai keyakinan dan itu adalah bentuk kekufuran. Allah berfirman,

وَمَا يُؤْمِنُ اَكْثَرُهُمْ بِاللّٰهِ اِلَّا وَهُمْ مُّشْرِكُوْنَ

“Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)

Allah juga berfirman,

وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلَّا ظَنًّاۗ اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔا

“Kebanyakan mereka hanya mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus [10]: 36)

Kata “sādah” di sini merupakan bentuk plural dari kata “sayyid” yang berasal dari kata “siyādah” yang berarti “kedudukan tinggi.”

Kata “Naqsyabandiyah” adalah kata yang disandarkan kepada “Naqsyaband” berasal dalam bahasa Persia yang disandarkan pada Syaikh Baha’uddin ra., sebagaimana yang akan dijelaskan pada pokok pembahasan yang akan datang, Insya Allah.

Kalimat “qaddasallahu asrārahum” maksudnya semoga Allah menyucikan ruh yang qudus dan hati mereka yang memiliki berbagai jenis noda yang menjauhkan dari Allah.

Maksud kalimat “huwa mu’taqadu ahlissunnah wa al-jamā’ah” adalah bahwa semua yang disebutkan tadi merupakan keyakinan ahlussunnah, yaitu orang-orang yang berpegang kepada sunnah Nabi Muhammad Saw. Adapun wa al-jamā’ah adalah orang-orang yang mengikuti kebenaran yang jelas dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in tanpa penyimpangan, bid’ah, perubahan, dan tanpa hal-hal baru. Sebagaimana yang dilakukan oleh semua tokoh Naqsyabandiyah dan Ahlussunnah wal Jama’ah.


وطريقتهم دوام العبودية التي لا تتصور بغير أداء العبادة، وهي عبارة عن دوام الحضور مع الحق سبحانه وتعالى

Tarekat mereka adalah melanggengkan ubudiyah yang tidak dapat digambarkan tanpa pelaksanaan ibadah, yaitu berupa pernyataan tentang kesinambungan hudhur (kehadiran hati) bersama Allah Ta’ala.


Maksud “dawām” atau “berkesinambungan” di sini adalah terus menerus pada malam, siang, di perjalanan, mukim, keadaan sehat, sakit, sedih, gembira, berkumpul, sendirian, batin, dan lahir. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَ

“Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS. al-Ma’arij [70]: 23)

Ubūdiyyah atau penghambaan yang disebutkan di sini dilakukan tanpa terputus. Apabila ibadah seorang hamba terputus pada waktu tertentu atau ketika terlena karena suatu penyebab yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi maka pada saat itu dia telah keluar dari tarekat dan dianggap bergabung dengan kalangan mukmin awam yang terlena, sampai dia kembali masuk ke dalam tarekat para ahli ibadah.

Penghambaan dapat terjadi hanya melalui pelaksanaan ibadah berupa ketaatan kepada Allah baik dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Itu terjadi karena seorang hamba memiliki tiga hāl atau kondisi spiritual dalam hidupnya, yaitu dalam keadaan ibadah, dalam keadaan maksiat, dan dalam keadaan netral (tidak dalam keadaan ibadah atau maksiat).

Apabila dia berada dalam ibadah, dia mungkin berada dalam penghambaan atau ubūdiyyah dan mungkin pula tidak. Apabila dia berada dalam keadaan maksiat, dia tidak mungkin berada dalam penghambaan sampai kapan pun juga sehingga dia akan meninggalkan maksiat itu dengan taubat.

Sebab, taubat merupakan sebuah bentuk ibadah yang membuatnya dapat berada kembali dalam penghambaan setelah melakukannya. Adapun yang kami maksud bahwa seorang hamba berada dalam dosa adalah ketika dia sibuk melakukan kemaksiatan sehingga dia tidak memperhatikan imannya, sedangkan maksiat adalah sesuatu yang Allah Ta’ala larang. Namun, apabila dia tidak meyakini bahwa maksiat itu larangan Allah Ta’ala, dia sudah kufur.

Apabila seorang hamba ketika dalam keadaan maksiat tetap meyakini bahwa perbuatan maksiat adalah larangan Allah Ta’ala, tidak terlena dengan kemaksiatan itu, dan tidak membantahnya maka keyakinannya terhadap kemaksiatan sebagai larangan Allah tetap menjadi bagian dari ibadah baginya dalam bentuk keimanan. Begitu juga, apabila dia melakukan maksiat jasmani, penghambaannya dapat terjadi pada kondisi seperti itu. Sebagaimana yang dikutip dari Imam Junaid ketika dia menjawab seseorang yang bertanya, “Apakah seorang wali mungkin berzina?” Imam Junaid menjawab, “Itu adalah urusan Allah sebagai takdir yang ditetapkan kepadanya.”

Apabila seorang hamba berada dalam kondisi netral atau mubah, dia berniat menyediakan itu sebagai upaya mencari motivasi beribadah sehingga dia berada dalam ruang lingkup ibadah. Akan tetapi, jika dia tidak berniat seperti itu, dia tidak berada dalam ruang lingkup ibadah karena tidak adanya ibadah. Dengan demikian, dia tidak mungkin berada dalam ruang lingkup penghambaan (ubūdiyyah), kecuali jika disertai dengan ibadah. Sementara itu, ibadah mungkin terjadi tanpa penghambaan, seperti ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang lalai terhadap Allah Ta’ala.

“Ubūdiyyah” atau penghambaan itu sendiri, dalam nomenklatur para tokoh Naqsyabandiyah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan terjadinya kehadiran secara spiritual atau merasa yaqin keberadaan di dalam hati (hudhur), yaitu sadar dan ingat terhadap penyaksian (syuhūd) dan pengawasan (murāqabah) Allah Ta’ala. Dengan kondisi seperti itu, seorang hamba benar-benar bersama dengan Allah, bergerak dengan-Nya, diam dengan-Nya, berbicara dengan-Nya, duduk dengan-Nya, berjalan dengan-Nya, berdiri dengan-Nya, memahami dengan-Nya, membuat persepsi dengan-Nya, mengindera dengan-Nya, melihat dengan-Nya, mendengar dengan-Nya, tidur dengan-Nya, makan dengan-Nya, minum dengan-Nya, dan demikian adanya dia pada semua hal yang ia persepsi menggunakan akal dan indera sehingga ia menilai seluruh alam semesta berjalan bersama dengan-Nya.


بلا مزاحمة الشعور بالغير، بل مع الذهول عن صفة الحضور بوجود الحق عز وجل

Tanpa disibukkan oleh perasaan dengan yang selain (Allah), melainkan disertai perasaan kagum terhadap sifat kehadiran hati dengan wujud Allah Ta’ala.


Semua yang disebutkan di atas dilakukan seorang hamba tanpa pergulatan dalam hati dengan selain Allah, termasuk dengan dirinya sendiri. Dia pun melihat semesta berjalan bersama dengan-Nya. Hanya Allah yang menggerakkan semua itu, sebagaimana Allah pula yang mendiamkan mereka karena semuanya adalah perbuatan-Nya. Semua gerak milik-Nya, sebagaimana semua diam juga milik-Nya. Bukan milik jiwa, akal, ruh, dan bukan pula milik tubuh mereka. Allah Maha Berbicara dengan lisan-lisan mereka. Hanya Dia yang menerima dengan tangan-tangan mereka. Hanya Dia yang berpengetahuan dengan akal-akal mereka. Hanya Dia yang membuat persepsi dengan jiwa-jiwa mereka. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan pada diri mereka, kecuali dengan-Nya. Dengan begitu, hanya Dia yang mempengaruhi mereka, tapi mereka bukanlah gambaran atau gubahan-Nya.

Semua alam semesta adalah objek yang dipersepsi oleh seorang hamba dengan indera atau akal. Sementara pelaku, pencipta, dan pemberi pengaruh yang sejati (atas alam semesta) adalah Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَّاللّٰهُ مِنْ وَّرَاۤىِٕهِمْ مُّحِيْطٌ

“Padahal Allah mengepung mereka dari belakang.” (QS. al-Burūj [85]: 20)

Hakikatnya, semua perbuatan di alam semesta merupakan rangkaian tindakan dan laku Allah Ta’ala. Akan tetapi, Allah menetapkan hukum sesuai dengan perbuatan tersebut dan menampakkannya kepada siapa saja secara majasi. Dia juga menetapkan adanya pahala dan dosa atas perbuatan itu, serta menetapkan hukum terhadap setiap perbuatan berdasarkan konsekuensi tersebut. Jadi, orang yang sempurna dalam dua kondisi ini pasti melihat dengan dua mata serta bergerak berdasarkan tuntunan kendali dan pengawasan-Nya.

Perbuatan itu dilakukan dengan perasaan kagum yang muncul dari rasa hudhur, yang telah kami sebutkan sebelumnya sehingga hamba “hadir” bersama Allah Ta’ala tanpa kesadaran bahwa dia “hadir” sekaligus tanpa perasaan sadar bahwa dia “tidak hadir.” Lebih dari itu, hamba tersebut menjadi “ghaib” atau hilang dari kondisi hadir itu, dengan wujud Allah Ta’ala. Jadi, yang ada baginya dan “hadir” adalah Allah Ta’ala semata, sedangkan dirinya tidak ada sebagaimana begitu pula semua yang selain-Nya sampai-sampai kondisi hadir itu pun tidak nyata baginya. Inilah bentuk penghambaan sejati yang tulus lillahi ta’āla.

Seperti yang telah kami nyatakan bahwa yang nyata (maujūd) bagi seorang hamba adalah Allah semata, sedangkan selain Allah adalah tidak ada (ma’dūm) termasuk diri hamba itu sendiri serta penyaksiannya. Akan tetapi, yang dimaksud bukanlah bahwa hamba tersebut tidak melihat dan tidak menerima kesan apa pun atas apa yang dapat dilihat dan dapat direspon oleh hamba lain yang lalai, berupa tanda yang nyata. Terlebih lagi, yang dimaksud adalah bahwa Allah Ta’ala ada sekaligus hadir secara mandiri tanpa ada sesuatu apa pun yang ada bersama-Nya di sisi si hamba tersebut.

Allah memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan lahir dan tingkatan batin. Perbedaan di antara dua tingkatan adalah semua yang ada pada yang tampak. Apabila segenap yang tampak ini ada di sisi hamba, yang tampak itu fana karena pada hakikatnya seluruhnya adalah sisi lahir Allah Ta’ala di seluruh tingkatan sifat dan asma-Nya. Apabila segenap yang tampak ini tersembunyi dari hamba, itu adalah sisi batin Allah Ta’ala dalam tingkatan ketampakannya bukan penglihatan atas sesuatu yang bersangkutan karena yang tampak adalah Allah bukan hakikat sesuatu itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88)

Padahal sesuatu yang binasa tidak mungkin dapat dilihat karena tidak memiliki kuasa.

Terkait masalah penghambaan (ubūdiyyah), para imam sufi memiliki sangat banyak penjelasan. Dzun Nun al-Misri berkata, “Penghambaan adalah ketika engkau adalah hamba-Nya di setiap keadaan, sebagaimana Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”

Abu Hafsh² (² Abu Hafsh Umar bin Maslamah al-Haddad seorang tokoh terkemuka asal Nisabur yang wafat sekitar tahun 260 H, seperti yang dinyatakan oleh al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah—Penj.) berkata, “Penghambaan adalah perhiasan hamba. Siapa yang meninggalkannya, pasti perhiasan tersebut lepas darinya.”

Ibnu Atha’illah as-Sakandari berkata, “Penghambaan ada pada empat perkara, yaitu menepati janji, menjaga batas kewajaran, ridha pada yang ada, dan sabar terhadap apa yang hilang.”

Imam Junaid al-Baghdadi berkata, “Penghambaan adalah meninggalkan segala kesibukan dan menggantinya dengan kesenggangan.”

Berbagai pernyataan tersebut mengandung pemahaman yang saling berdekatan antara satu dengan yang lain dan saling berkelindan dalam makna yang sama sehingga semuanya terasa cukup menjelaskan segala keadaan.


ولا تحصل هذه السعادة العظيمة بغير تصرف الجذبة الإلهية

Kebahagiaan agung ini tidak dapat diraih tanpa jadzab³


(³ Syaikh Mahmud Abdur Rauf al-Qasim dalam al-Kasyf an Haqiqah as-Shufiyyah berkata jadzab adalah tampaknya sifat-sifat ilahi. Ketika dalam kondisi jadzab, sifat-sifat Allah akan betul-betul tampak secara nyata dan (seseorang) mampu merasakannya—Penj.)

Wahai pencari makrifat, tidaklah kebahagiaan agung yang berupa penghambaan kepada Allah ini dapat diraih, baik dalam bentuk kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Dapatkah kebahagiaan agung yang mengandung ridha, kemuliaan, dan penerimaan Allah terhadap hamba terjadi tanpa adanya gerak tarikan Ilahiah terhadap dirimu? Kondisi itu akan membuatmu tidak lagi memiliki kehendak batin untuk mengolah berbagai urusan secara mutlak karena jadzab Allah terhadap dirimu, tanpa ada kesadaran dalam diri terhadap keadaanmu sendiri.

Sejatinya, posisi hamba adalah sebagai makhluk yang Allah ciptakan sehingga kemudian Allah bermanifestasi (tajalli) dengannya dalam segala gerak dan diam, dalam batin dan lahir. Posisi hamba bukanlah makhluk ciptaan dirinya sendiri sehingga dia dapat bebas bertindak atau meyakini bahwa dirinya memiliki wujud bersama Allah Ta’ala. Bukan pula hamba yang bebas bergerak dan diam dengannya. Siapa yang Allah kehendaki untuk jadzab kepada-Nya serta diperlihatkan kepada Allah bukan kepada dirinya, hal itu akan menjadikannya berpaling dari segala urusan demi bersandar kepada bimbingan Allah dalam manifestasi-Nya.

Allah Ta’ala tidak memiliki tempat, tidak memiliki arah, tidak memiliki rupa, tidak dapat dibayangkan kondisi-Nya. Berlaku sebaliknya bagi mereka yang mengaturnya serta menjadikannya berada di suatu tempat dan arah. Allah membuat semua perbuatan, perkataan, keyakinan, dan keadaan hamba. Jadi, hamba adalah yang bersifat lahir atas Allah Ta’ala yang bersifat batin, seperti pakaian yang dikenakan oleh seseorang. Itulah sebabnya, pakaian yang jumlahnya banyak ada yang berbentuk kemeja, jubah, dan selendang dan sebagiannya yang dikenakan sebagai pakaian dalam. Begitu pula hamba terdiri dari beberapa bagian berupa ruh, jiwa, dan badan yang sebagiannya berada di dalam sebagian yang lain. Di balik semua itu, Allah adalah Maha Berbuat dan Maha Melakukan.

Inilah hakikat jadzab yang menjadikan objeknya dapat merasakan hanya dengan meniti suluk (jalan) amalan-amalan syari’at.

Jika Allah tidak ingin menyucikan hati seseorang, Dia akan memperlihatkan kepada orang itu bahwa dirinya terlepas dari Allah sehingga dapat bergerak dan diam sendiri. Apalagi jika Allah ingin menjerumuskan seseorang ke dalam pengingkaran maqam jadzab ini terhadap salah seorang yang menjadi kekasih Allah, dia pasti akan remuk di antara orang-orang yang binasa.


ولا سبب في طريق الجذبة أقوى من صحبة الشيخ الذي سلوكه بطريق الجذبة

Tidak ada sebab (perantara) di jalan jadzab yang lebih kuat dibandingkan menjalin kebersamaan dengan syaikh yang suluknya di jalan jadzab.


Tidak ada perantara bagi engkau di jalan jadzab yang akan membuat engkau sampai kepada-Nya, yang lebih kuat daripada menjalin kebersamaan dengan syaikh. Maksud “tidak ada jalan yang lebih dekat” menunjukkan bahwa jadzab tersebut memiliki beberapa jalan lain, hanya saja berbagai jalan itu lebih jauh jalurnya.

Tidak ada jalan yang lebih dekat daripada menjalin kedekatan dengan syaikh yang mengenal Allah, mengetahui manifestasi-Nya, memahami hakikat kemanusiaan, dan semua perkembangan manusia yang sempurna atau yang berkekurangan. Jalinan kedekatan dengan syaikh yang suluknya kepada Allah Ta’ala dan merasakannya di jalan jadzab, baik jadzab yang mendahului suluknya kemudian dia menempuh suluk setelah itu maupun dia menempuh suluk dulu dalam keadaan lalai kemudian ia mendapatkan jadzab tersebut.

Jadzab yang tidak didahului oleh suluk disebut dengan istilah Majdzūb Sālik, sedangkan jadzab yang didahului oleh suluk disebut dengan istilah Sālik Majdzūb. Kedua hamba ini merupakan hamba sempurna. Para murid⁴ (⁴ Dalam tarekat, murid adalah orang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf di bawah bimbingan seorang syaikh mursyid dengan ketaatan penuh—Penj.) mendapatkan bimbingan dengan cara mengikuti kedua hamba tersebut dan ada di bawah bimbingan keduanya.

Bagi hamba yang hanya jadzab, tapi tidak salik atau dia salik, tapi tidak jadzab maka dengan mengikutinya atau ada di bawah bimbingannya para murid tidak akan mendapatkan apa pun. Sebagaimana dengan keduanya tidak ada seorang pun yang akan dapat sampai kepada Allah Ta’ala. Puncak tertinggi yang dapat dicapai dalam kondisi ini adalah sampainya majdzūb kepada jadzab, dan sampainya sālik kepada suluk dengan tetap terbentangnya hijab seperti semula.

Maksud dari suluk adalah menegakkan perintah-perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya secara batin dan lahir. Adapun suluk yang menjadi jalan jadzab adalah seorang hamba harus berkomitmen terhadap suluk dan beraktivitas atas dasar Allah, bukan atas dasar dirinya dengan keadaan yang sangat asyik menyaksikan Allah Ta’ala melalui berbagai hal yang muncul dari dirinya sendiri.


قال الشيخ أبو علي الدقاق قدس سره: الشجرة التي تنبت بنفسها لا ثمر لها وإن كان لها ثمرة تكون بغير لذة

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq –semoga Allah menyucikan hatinya– berkata, “Pohon yang tumbuh sendiri tidak akan memiliki buah. Kalau pun ia memiliki buah, rasanya tidak enak.”


“Qaddasa sirrahu” bermakna semoga Allah menyucikan hati dari segala hal selain Allah. Pohon yang tumbuh sendiri di tanah, tanpa ada peran seseorang yang menyiraminya, mengolah tanah di tempat tumbuhnya, membersihkan duri darinya, membersihkan daun-daun keringnya, serta menyingkirkan dahan rantingnya yang ranggas, pasti tidak akan memiliki buah. Perkembangan yang dapat dicapai pohon seperti itu hanyalah ukurannya yang kian membesar, kian banyak cabang-cabangnya, serta kian banyak dedaunan hijaunya. Walaupun pohon itu ternyata berbuah, buah itu pasti tidak akan enak rasanya.

Demikianlah keadaan seorang salik menuju Allah Ta’ala yang mempelajari Kitabullah dan Sunnah tanpa bimbingan syaikh. Suluk yang dijalaninya tidak akan memberikan hasil apa pun. Walaupun suluk yang ditempuhnya ternyata memberikan hasil, pasti hanya sedikit dan hanya bagian kecil saja. Itu terjadi karena dia mempercayakan dirinya untuk melakukan bimbingan terhadap dirinya. Ini serupa dengan orang sakit yang membebani dirinya untuk mengobati dirinya sendiri. Meskipun ternyata dia berhasil sembuh berkat pertolongan Ilahi, tetap saja dia tidak akan sama dengan orang yang mempercayakan pengobatannya yang sakit kepada dokter untuk mengobatinya dengan izin Allah. Demikian pula, jika memang seorang salik berhasil selamat dari berperilaku bid’ah dalam suluknya secara lahir dan batin. Jika dia tidak berhasil selamat dari bid’ah, dia pasti menjadi hālik (orang yang binasa), bukan sālik (penempuh suluk) karena sangat sulit suluk yang ditempuhnya itu dapat selamat dari nafsu amarah yang buruk.

Imam al-Ghazali berkata, “Apabila ditanyakan, ‘Apakah ilmu yang engkau pelajari hukumnya wajib dalam pandangan manusia meskipun tanpa adanya guru?’, aku pun tahu bahwa guru dapat membuka jalan dan mempermudah pelajaran dengannya (ilmu) menjadi lebih gampang dan lebih lapang (ashal wa arwah). Allah melimpahkan anugerah kepada hamba-hamba-Nya sehingga menjadi guru bagi mereka.”

Pernyataan “lebih gampang dan lebih lapang” (arwah wa ashal), seperti yang dinyatakan oleh Imam al-Ghazali berarti “lebih kuat”, seperti disebut sebelumnya. Apabila pernyataan Imam al-Ghazali perihal pencarian ilmu tanpa guru diterapkan dalam jadzab ilahi, sebetulnya jadzab tersebut adalah sumber ilmu laduni ketika bersambung dengan suluk yang shahih.

Terkadang jadzab terjadi tanpa terlebih dahulu mengikuti syaikh mana pun dan tanpa memerlukan kebersamaan dengan orang yang arif satu pun. Akan tetapi, ia bisa jadi dibarengi dengan amaliah suluk sehingga membuatnya menjadi jelas dan terperinci. Apabila tanpa disertai suluk akan membuatnya menjadi rapuh dan roboh penopangnya karena segala kondisi spiritual merupakan hasil dari amal perbuatan jasmani. Atas dasar inilah, Imam a-Ghazali menyatakan bahwa jalinan kebersamaan dengan syaikh mursyid yang mumpuni harus dilakukan karena merupakan ikhtiar.


وسنة الله تعالى جارية على أنه لا بد من تقدم السبب

Terjadinya Sunnatullah harus didahului dengan adanya sebab (ikhtiar).


“Sunnatullah” adalah cara atau perbuatan Allah yang berlaku pada makhluk-Nya yang berlangsung secara terus menerus tanpa terputus. Dikabulkannya keinginan seseorang oleh Allah Ta’ala harus didahului sebab —tanpa adanya pengaruh yang dimiliki sebab tersebut dalam mencapai sesuatu yang diinginkan itu. Yang terjadi justru hanya Allah yang menciptakan apa yang diinginkannya tersebut. Sebab (perantara) ada tiga macam:

Sebab-sebab Syar’i (Asbāb Syar’iyyah)

Misalnya, segala bentuk ketaatan dengan seluruh rinciannya menjadi sebab yang mendatangkan keselamatan dari Allah Ta’ala dan mendapatkan pahala di akhirat. Dengan pengertian bahwa Allah menciptakan keselamatan yang berasal dari-Nya dan pahala di akhirat, bukan disebabkan olehnya, bukan pula di dalamnya, dan tentu bukan untuknya. Demikian pula, semua bentuk kemaksiatan dengan segala pembagiannya merupakan sebab-sebab terjadinya kebinasaan di akhirat dengan hukuman seperti yang telah disebutkan tadi.

Sebab-sebab Rasional (Asbāb ‘Aqliyyah)

Misalnya, pikiran dan analisa terhadap berbagai dalil (bukti), serta penginderaan terhadap objek yang tampak. Semua itu merupakan sebab-sebab bagi persepsi rasional yang Allah ciptakan pada manusia, bukan dengannya, di dalamnya, atau karenanya.

Sebab-sebab Umum (Asbāb ‘Ādiyyah)

Misalnya, api yang membakar, air yang menenggelamkan serta membasahi, pisau yang memotong, pakaian yang menutupi, matahari yang terbit, dan sebagainya.

Seluruh sebab itu berasal dari Allah sebagai Pemberi Pengaruh satu-satunya. Namun, hal ini terus berlangsung pada penciptaan-Nya dengan menciptakan segala sesuatu disertai adanya sesuatu yang lain sebagai sebab terjadinya sesuatu tersebut. Sesuatu ini disebut sebagai “sebab”, sedangkan sesuatu yang lain disebut sebagai “akibat” (musabbab). Semua itu adalah ciptaan Allah.


فكما أن التوالد والتناسل الصوري لا يحصل بغير الوالد والوالدة

Sebagaimana halnya kelahiran dan reproduksi yang alami dapat terjadi dengan adanya bapak dan ibu.


“Sebagaimana halnya kelahiran” berupa kelahiran seorang anak dan “reproduksi” sebagai proses terjadinya keturunan yang terjadi “secara alami” di alam nyata. Misalnya, proses beranak pinak manusia antar satu sama lain, atau proses beranak pinak yang terjadi pada binatang. Semuanya tidak dapat terjadi tanpa adanya “bapak” atau pejantan, dan tanpa adanya “ibu” atau induk. Hal itu berlaku pada semua jenis hewan dan manusia.

Ketika “sebab” tidak memiliki pengaruh apa-apa, selain adanya hubungan biasa, Allah mengingatkan hal itu sebagai peristiwa di luar kebiasaan (khāriq al-‘ādah) yang terjadi pada makhluk-Nya. Oleh sebab itu, api tidak dapat membakar Ibrahim as., air tidak dapat menenggelamkan Musa as. serta kaumnya, dan pisau gagal memotong leher Ismail as. Selain itu, Allah juga telah menciptakan Adam as. tanpa ayah dan ibu. Ketika kita semua tercipta dengan adanya ayah dan ibu, ternyata Allah menciptakan Isa as. hanya dengan adanya ibu tanpa ayah. Tujuan dari peristiwa-peristiwa yang tidak memiliki sebab (perantara) tersebut adalah memuliakan makhluk yang Allah pilih dan petunjuk menuju kepada-Nya karena peristiwa tanpa sebab dan samar, sebagaimana Allah nyatakan,

اَفَعَيِيْنَا بِالْخَلْقِ الْاَوَّلِۗ بَلْ هُمْ فِيْ لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ جَدِيْدٍ

“Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” (QS. Qâf [50]: 15)

Perkara yang di luar kebiasaan menjadikan hal itu tidak logis dan diragukan.


وكذ لك التوالد المعنوي

Demikian pula dengan perkembangbiakan yang immateri.


Seperti yang disebutkan di atas, demikianlah pula halnya perkembangbiakan immateri yang terjadi antara arwah dan akal, antara akal dan jiwa, antara jiwa dan jasad, serta antara jasad dan amal perbuatan. Arwah adalah “pejantan”, sedangkan akal adalah “betina”, dan “anaknya” adalah penyaksian pada Allah. Akal adalah “pejantan”, sedangkan jiwa adalah “betina,” dan “anaknya” adalah iman, Islam, ketenangan, dan keyakinan. Jiwa adalah “pejantan”, sedangkan jasad adalah “betina”, dan “anaknya” adalah segala bentuk ibadah dan ketaatan. Jasad adalah “pejantan”, sedangkan amal perbuatan adalah “betina”, dan “anaknya” adalah pahala atau dosa.

Sebagaimana halnya Hawa berasal dari Adam as., begitu pun akal berasal dari ruh, jiwa berasal dari akal, jasad berasal dari jiwa, amal perbuatan berasal dari jasad, dan betina berasal dari jantan. Ini adalah sunnatullah yang terjadi pada makhluk-Nya.

Segala yang tinggi adalah jantan, sedangkan setiap yang rendah adalah betina. Seperti inilah pula halnya seorang syaikh mursyid pembimbing bagi murid yang mencari bimbingan melalui perkembangbiakan immateri (tawālud ma’nawi) dan penyatuan ruhani (nikāh rūhāni).

Apabila seorang murid berada di maqam akal, sedangkan syaikhnya berada di maqam ruh, lahirlah darinya penyaksian Allah Ta’ala. Apabila murid berada di maqam jiwa, lalu syaikhnya berada di maqam akal, lahirlah iman, Islam, ketenangan, dan keyakinan. Apabila seorang murid berada di maqam jasad, lalu syaikhnya berada di maqam jiwa, lahirlah ketaatan dan ibadah. Apabila murid berada di maqam amal perbuatan, lalu syaikhnya berada di maqam jasad, lahirlah balasan di akhirat.

Walhasil, setiap kali murid berada pada suatu maqam, syaikhnya selalu berada di maqam yang lebih tinggi darinya sehingga terjadi pembimbingan serta muncullah berbagai hasil darinya, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,

يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ

“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka.” (QS. al-Fath [48]: 10)

Dengan firman inilah jabat tangan atau mushāfahah ditetapkan pada awal jalan bagi para kekasih Allah demi terjadinya kelahiran ruhaniah. Tangan syaikh berada di atas tangan-tangan semua muridnya. Kalau tidak seperti itu, tidak akan ada hasil yang mereka raih. Dalam kondisi itu, mereka seperti seorang perempuan yang melakukan nusyuz⁵ (⁵ Nusyuz seorang perempuan ialah sikap durhaka yang ditampakkannya di hadapan suami dengan cara tidak melaksanakan apa yang Allah wajibkan padanya, yakni taat terhadap suami. Nusyuz perempuan ini hukumnya haram dan satu dari beberapa dosa besar—Penj.) terhadap suaminya, ia terlaknat sampai ia kembali kepada suaminya atau si suami menjatuhkan talak terhadapnya.


حصوله بغير المرشد متعذر قال في الرسالة المكية: من لا شيخ له فالشيطان شيخه

Pencapaian seorang murid tanpa kehadiran seorang pembimbing (guru) amatlah sulit. Dalam ar-Risalah al-Makkiyyah disebutkan, “Siapa yang tidak memiliki guru, setanlah gurunya.”


Pencapaian seorang murid ketika terjadi perkembangbiakan immateri (tawālud ma’nawi) antara syaikh (guru) dan muridnya tanpa adanya bimbingan secara bertahap amatlah sulit, bahkan hampir dipastikan tidak dapat terjadi. Dalam ar-Risalah al-Makkiyyah dinyatakan kepada imam sufi bahwa siapa yang tidak memiliki guru, seperti apa pun jenis guru tersebut dan dari jenis alam yang mana pun juga, setanlah yang menjadi gurunya.

Hal ini diketahui secara aksiomatik, karena Allah telah berfirman,

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ (٣٦) وَاِنَّهُمْ لَيَصُدُّوْنَهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ (٣٧)

“Siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. az-Zukhruf [43]: 36-37)

Jadi, siapa yang telah memilih seorang guru sebagai jalan yang ditempuh dalam perjalanan menuju Allah, dia harus menganggap gurunya sebagai salah satu pintu di antara pintu-pintu Allah. Hal ini merupakan tingkatan yang paling rendah. Demikian yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad al-Bakri ra., dalam beberapa bait gubahannya dari al-Hadhrah al-Muhammadiyyah;

Engkau adalah pintu Allah, siapa pun orang mendatangi-Nya bukan lewat pintumu, ia takkan bisa masuk

Setelah itu, murid hendaknya meyakini bahwa semua yang tampak pada gurunya adalah penampakan Allah Ta’ala, baik berupa kabar maupun rahasia. Kabar muncul sebagai petunjuk baginya, sedangkan rahasia muncul sebagai ujian pada maqam iradah (kehendak) dan suluk. Murid melihat gurunya sebagai tempat manifestasi bagi sifat-sifat Allah Ta’ala dan berbagai asma-Nya sehingga murid akan beradab bersama-Nya seperti lazimnya seorang mukallaf yang beradab dengan hukum-hukum Tuhannya dalam segala perintah dan larangan. Ini adalah tingkatan menengah.

Murid tidak melihat gurunya sama sekali, melainkan hanya melihat Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya yang memberi petunjuk hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki.

Ini adalah tingkatan tertinggi. Pada tingkatan inilah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. bersama Nabi Saw. ketika mengambil pelajaran darinya. Kemudian hal itu tampak jelas setelah wafatnya Nabi Saw. ketika dia berkata, “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad sudah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan mati.”

Berkenaan dengan kondisi ini, Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata mengenai gurunya, Syams Tabriz Qaddasallahu Sirrahumal Aziz,

Syams (Tabriz), junjunganku, sandaran hidupku
Mulai saat ini, berikanlah aku hak untuk berikhtiar

Maksudnya, bukanlah syaikh yang tampak di hadapan murid dengan rupa, jiwa, ruh, dan akalnya itu melainkan hanya Allah Ta’ala. Maksudnya adalah bahwa yang tampak di hadapan murid dari balik citra guru dengan jiwa, ruh, dan akalnya itu adalah Allah Ta’ala, tidak ada Tuhan selain-Nya. Hal ini disebabkan, sang guru secara keseluruhan adalah bagian dari jejak Allah karena guru tidak memiliki pengaruh, tidak bergerak, dan tidak berdiam, kecuali hanya dengan Allah yang Maha Tinggi dari segala keserupaan dengan makhluk, lagi Maha Agung untuk dapat dijangkau persepsi hamba.

Apabila murid tidak bersama guru pada salah satu di antara beberapa tingkatan ini, dia tidak memiliki guru sehingga dia keluar dari maqam iradatullah (kehendak Allah) karena dia jadi menginginkan citra gurunya, bukan Allah Ta’ala. Di titik itu, gurunya adalah setan yang melalaikannya dari penyaksian terhadap Allah dalam usahanya menyaksikan Allah, juga melalaikannya dari perbuatan Allah dalam usahanya berbuat karena Allah.

Murid yang berguru pada setan, dia menyaksikan Allah bukan melalui pintu Allah, bukan melalui sifat-sifat-Nya, dan bukan melalui asma Allah Azza wa Jalla. Murid yang demikian telah lupa kepada Allah di dalam diri gurunya sehingga Allah menghadirkan setan baginya, yaitu setan dalam rupa guru dalam penglihatannya, bukan guru itu sendiri secara hakiki dalam dirinya.

Kemudian setan itu menjadi qarin (pendamping) yang terus menyertainya kemudian membuatnya sesat dengan meletakkan sesuatu dalam penglihatannya sebentuk keyakinan yang menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan, sedangkan murid mengira bahwa dia sedang mendapat petunjuk hidayah.

Ketahuilah bahwa para guru yang akan menghantarkan kepada Allah sebagai penuntun suluk bagi para murid banyak jumlahnya. Sebaliknya, jumlah para murid justru sedikit karena sesungguhnya segala sesuatu yang merupakan salah satu perbuatan di antara berbagai perbuatan Allah (af’ālullāh) merupakan sosok guru mumpuni yang menjadi pembimbing menuju Allah. Namun, di manakah gerangan murid yang jujur niatnya? Sesungguhnya guru yang membimbing murid kepada Allah adalah perbuatan Allah Ta’ala itu sendiri, bukan yang lain. Padahal segala sesuatu adalah perbuatan-Nya, dan manusia dengan makhluk lainnya adalah sama dalam hal ini.

Oleh karena itu, Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi⁶ (⁶ Dalam sebagian naskah tertulis “Ibnul ‘Arabi”, tetapi yang dimaksud di sini adalah “Ibnu Arabi” tanpa alif lam, seorang sufi terkemuka asal Andalusia. Adapun “Ibnul Arabi” adalah nama seorang ulama fiqih terkemuka murid Imam Malik. Kesalahan tulis ini tampaknya terjadi di tangan penyalin naskah Zubdatul Asrar—Penj.) Qaddasallahu Sirrahu menyatakan dalam kitab Rūhul Qudus, “Di antara guru-guru⁷ (⁷ Di sini jelas bahwa yang dimaksud “syaikh” atau guru spiritual adalah segala sesuatu yang manusia dapat memetik hikmah darinya karena hikmah Allah memang terkandung dalam segenap ciptaan-Nya—Penj.) yang memberikan ilmu bermanfaat bagi kami dalam perjalanan menuju akhirat dari kalangan umat ini adalah sebuah talang pancuran (mizab) yang ditemukan di Kota Fes, pada sebuah dinding yang dialiri air dari loteng, seperti talang pancuran yang ada di Ka’bah. Aku pun terpaku pada ibadah talang itu, lalu aku berusaha memaksa diriku agar dapat mengimbangi ibadahnya. Di antara para guru kami juga adalah bayangan diriku sendiri. Darinya kuambil dua ibadah.” Serta berbagai pernyataan lain yang seperti itu.

Beliau melanjutkan, “Kami pun banyak menemukan syaikh (guru) dari kalangan binatang. Di antara sekumpulan guru yang menjadi prinsip bagiku adalah kuda. Sungguh ibadah kuda begitu menakjubkan. Sebagaimana pula halnya elang, kucing, anjing, singa, kurma, dan sebagainya. Aku benar-benar tidak pernah sekalipun sanggup untuk membuat ibadahku mencapai batas seperti yang mereka lakukan. Aku hanya mampu melakukan itu pada suatu waktu, tapi tidak pada waktu lainnya.

Sementara mereka dengan keyakinan bahwa aku adalah pemimpin mereka, terus mempermalukanku. Sungguh aku menghadapi kesusahan ketika mereka melihatku dengan segala kekurangan dibandingkan dengan ibadah mereka. Mungkin saja sebagian dari mereka ada yang marah kepadaku sehingga ia terhijab oleh ghairah -nya pada agama Allah gara-gara kecerobohanku terhadap mereka dengan gangguan yang aku lakukan. Kemudian hilanglah keunggulanku atasnya karena dosaku serta jeleknya perlakuanku terhadap Allah sehingga hilanglah ketaatanku kepada-Nya yang menguasai mereka, dan aku memohon maaf kepada mereka atas itu, sebagaimana aku menyerah kepada keikhlasan mereka, sungguh dulu Abu Bakar ash-Shiddiq ra. telah berkata ketika memangku jabatan Khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku bermaksiat, tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman…” dan seterusnya hingga akhir pernyataan Ibnu Arabi.

Perhatikanlah betapa Ibnu Arabi tidak membatasi dirinya hanya berguru kepada para syaikh dari kalangan manusia karena sesungguhnya orang yang benar dalam mencari Allah Ta’ala selalu mendapati segala sesuatu sebagai syaikhnya dan menjadi mursyid (pembimbing) sempurna yang menghantarkannya kepada Allah Ta’ala.

Siapa pun yang tidak selaras dengan kehendak Allah, pasti tidak akan sampai kepada-Nya, walaupun dia berguru kepada seribu mursyid. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi Saw. yang merupakan sosok mursyid paling sempurna dalam membimbing jalan kepada-Nya, ternyata ada sekelompok orang yang mempercayainya sehingga mereka semua sampai kepada-Nya. Sementara ada sekelompok orang lainnya yang mendustakannya dan menjadi golongan orang munafik, bahkan ada kelompok lain yang menentangnya dan mereka pun celaka. Padahal Nabi Saw. membimbing mereka semua kepada Allah dengan segenap ucapan dan perbuatannya.

Allah Ta’ala memberi hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.

Bab 1: Sanad Tarekat Naqsyabandiyah dari Jalur Syaikh Tajuddin


وهذه الطريقة العلية النقشبندية أخذها الفقير الحقير الكامل في النقصان

Tarekat luhur an-Naqsyabandiyah ini didapatkan oleh seorang yang fakir lagi hina dan banyak memiliki kekurangan.


Tarekat Naqsyabandiyah yang menghantarkan kepada Allah, terhindar dari unsur selain-Nya dan disandarkan kepada Naqsyaband ini didapatkan melalui perkataan, perbuatan, dan penerimaan oleh sosok yang senantiasa membutuhkan segala hal karena segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah. Dia yang tidak membutuhkan segala sesuatu, sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya untuk membuat dan melengkapi, seperti yang Allah nyatakan,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah.” (QS. Fathir [35]: 15)

Secara nyata, alam semesta saling membutuhkan satu sama lain, seperti halnya hewan yang membutuhkan makanan dan minuman. Begitu juga dengan tanaman yang membutuhkan air, dan sebagainya. Alam semesta tampak secara langsung, sedangkan Dzat yang mempengaruhi alam semesta adalah Allah Ta’ala tanpa hulul⁸ (⁸ Dalam al-Luma, Abu Nasr al-Tusi menjelaskan hulūl atau inkarnasi adalah Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan—Penj.) dan ittihad⁹ (⁹ Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah, Imam al-Qusyairi menjelaskan ittihād atau penyatuan adalah identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu—Penj.). Allah adalah pelindung semua hamba-Nya.

Maksud “al-kāmil fin nuqshān” adalah sosok yang penuh dengan kekurangan karena hanya Allah sosok yang sangat sempurna. Rasa kekurangan merupakan salah satu dari tingkatan seorang hamba dan tidak ada yang lebih rendah baginya daripada sirna dan fana. Maksudnya, dia lenyap (fana) dalam kekekalan. Itulah hati orang mukmin yang mampu meliputi Allah Ta’ala. Sesungguhnya sosok yang hilang dan lebur ketika menghilang dari penglihatan hamba, ia berubah sehingga akan tampaklah yang ada dan kekal. Akan tetapi, apabila ia lenyap dari penglihatan seorang hamba yang sirna dan fana itu, yang ada dan kekal tidak akan tampak baginya.

Seperti sehelai kain yang memiliki dua sisi. Apabila kain itu tidak dibalik, sisi lainnya tidak akan dapat dilihat.


العاجز عن معرفة الرحمن تاج الدين عن مهدي الزمان الخواجة محمد عبد الباقي، وهو أخذها عن مولانا خواجكي الأمكنكي، وهو أخذها عن مولانا درويش محمد، وهو أخذها عن مولانا محمد الزاهد، وهو أخذها عن الغوث الأعظم خواجة عبيد الله الأحرار

Sosok yang tidak berdaya untuk mengenal Tuhan Sang Maha Pemurah, Tajuddin dari Mahdi az-Zaman Khwaja Muhammad Abdul Baqi. Dia berguru kepada Maulana Khwaja al-Amkanki dari Maulana Darwisy Muhammad dari Maulana Muhammad Zahid dari Pemberi Pertolongan yang Agung, Khwaja Ubaidullah al-Ahrar.


Jika seseorang benar-benar mengenal Allah, hakikatnya Allah mengenalkan Dzat-Nya sendiri, bukan hamba sendiri yang mengenal Allah karena bagaimana mungkin yang fana dapat dibandingkan dengan yang Maha Kekal?!

Sosok yang tidak berdaya untuk mengenal Sang Maha Pemurah, bernama Tajuddin ar-Rumi rahimahullah, yang menghimpun risalah ini dari Khwaja Muhammad Abdul Baqi.

Kata “khwaja” dalam aksara Arab ditulis dengan huruf kha’ berharakat fathah, lalu alif dilafalkan sesudahnya walaupun ditulis dengan huruf waw. Ini adalah kata dalam bahasa Persia yang artinya adalah “syaikh” atau “guru”.

Muhammad Abdul Baqi mendapatkan sanad tarekat Naqsyabandiyah ini dari Maulana Khojaki al-Amkanki. Khojaki merupakan gelar yang artinya berupa sandaran kepada “khwaja” atau guru. Kata al-Amkanki diambil dari “Amkanah” dengan huruf kaf yang berasal dari bahasa Persia sebagai nama sebuah desa di kawasan Bukhara.

Maulana Khojaki al-Amkanki mendapatkan sanad tarekat ini dari Maulana Darwisy Muhammad yang mendapatkan tarekat ini dari Maulana Muhammad Zahid rahimahullah.

Muhammad Zahid mendapatkannya dari Ghauts A’zham Dhargham Afkham Khwaja Ubaidullah al-Ahrar. Kata terakhir ini adalah gelarnya.

Ali bin Husein al-Wa’izh yang terkenal dengan sebutan ash-Shafiy rahimahullah telah menulis sebuah kitab yang berjudul Rasyahāt ‘Ain al-Hayāh, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Ubaidullah Ahrar dengan menyebutkan para syaikhnya lengkap dengan riwayat hidup (manaqib) mereka. Dia juga menjelaskan tingkatan-tingkatan para tokoh Naqsyabandiyah. Sebagian dari penjelasan yang ada dalam risalah ini diambil dari kitab tersebut.


وهو أخذها عن شيخ الشيوخ مولانا يعقوب الجرخي، وهو أخذها عن حضرة الخواجة الكبير بهاء الدين المعروف بنقشبند

Dia mendapatkanya dari gurunya para guru, yaitu Maulana Ya’qub al-Jarkhi, dan dia mendapatkannya dari Khwaja al-Kabir Baha’uddin yang terkenal dengan sebutan Naqsyabandi.


Khwaja Ubaidullah Ahrar mengambil tarekat ini dari gurunya para guru, Maulana Ya’qub al-Jarkhi, yang dalam bahasa Parsia namanya merujuk kepada “Jarkh” yang merupakan sabuah desa di kawasan Ghazna, Hindustan.

Maulana Ya’qub al-Jarkhi mendapatkan sanad tarekat ini dari Khwaja al-Kabir Baha’uddin Muhammad yang terkenal dengan nama Naqsyabandi. Kata “naqsyaband” sendiri artinya adalah “ukiran yang terpatri” yang merupakan simbol kesempurnaan hakiki di dalam qalbu.

Dzikir para pengikut tarekat ini sejak awal hingga masa Syaikh Baha’uddin adalah dzikir khafi (lirih) ketika sendiri, tetapi jika sedang berkumpul bersama jama’ah dzikir mereka adalah dzikir jahr (keras). Syaikh Baha’uddin memerintahkan mereka agar melakukan dzikir khafi dengan perintah yang diterimanya dari Khwaja Abdul Khaliq al-Ghajdawani yang merupakan guru dari para gurunya di Alam Sair (alam perjalanan menuju Allah). Dia melirihkan dzikir ketika sendirian atau berjama’ah. Dari dzikir itu ada pengaruh bagi hati para murid. Pengaruh dari dzikir itulah yang disebut “naqsy” (ukiran), sedangkan dzikir itu sendiri adalah “band” atau “ukiran yang terpatri” berbentuk stempel yang dicetak di atas cairan lilin atau bahan lainnya. Ukiran itu awet dan tidak mudah hilang.

Sifat-sifat Allah Ta’ala itulah yang terpancar kepada penciptaan Adam as. dan keturunannya melalui pancaran (tertentu) Dzat Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kekal tanpa cara dan tempat. Setelah terciptanya Adam, lahirlah seluruh keturunannya dalam berbagai bentuk secara spesifik dengan penyebutan nama yang merupakan pancaran dari Dzat Allah Ta’ala dan karakteristik yang terpancar dengan baik dari sifat-sifat yang Allah miliki.

Ia pun berlaku sebagaimana halnya Allah berbuat. Ia juga memiliki berbagai ketetapan darinya atas yang lainnya sebagaimana halnya Allah memiliki berbagai ketetapan. Demikian pula halnya keterikatan dzat, sifat, asma, perbuatan, dan ketetapan yang seluruhnya ada dengan kehadiran Adam. Namun, sebagian anak keturunan Adam menghapuskan sebagian ikatan tersebut karena dikuasai sifat hewani pada dirinya seiring melemahnya sifat insani yang paripurna.

Di antara mereka ada pula orang-orang yang sempurna ukirannya sehingga dia dapat disebut “naqsyabandi” yang artinya adalah “terpatri ukirannya”. Kalimat ini juga boleh dipakai dalam bidang lain.


وهو أخذها عن السيد مير كلال، وهو أخذها عن الخواجة محمد بابا سماسي، وهو أخذها عن حضرة العزيز الراميتني، وهو أخذها عن الخواجة محمود الإنجير فغنوي

Dia mengambilnya dari Sayyid Mir Kilal, dan dia mengambilnya dari Khwaja Muhammad Baba Simmasi, dia mengambilnya dari Aziz Ramitani, dan dia mengambilnya dari Khwaja Mahmud al-Injir Faghnawi.


Khwaja Baha’uddin mengambil sanad tarekat ini dari Sayyid Mir Kilal. Lafal “Kilal” dalam namanya dalam bahasa Parsi ditulis menggunakan huruf “kaf”, sedangkan dalam bahasa Arab ditulis menggunakan huruf qaf sehingga menjadi berbunyi “qilāl” dari bentuk plural kulah, yang berarti tembikar semacam wadah yang terbuat dari bahan tanah yang dibakar. Sepertinya dia disebut dengan nama ini karena dia adalah seorang pembuat tembikar.

Mir Kilal mengambil sanad tarekat ini dari Khwaja Muhammad Baba Simmasi. Kata “baba” di sini artinya adalah “syaikh”, sedangkan “simmasi” dibaca dengan huruf sin berharakat kasrah dan huruf mim bertasydid yang diasosiasikan kepada sebuah desa di kawasan Bukhara.

Sementara Simmasi mengambil sanad tarekat ini dari Aziz Khwaja Ali Ramitani. Kata “ramitani” diasosiasikan kepada Ramitan, sebuah kota besar di Bukhara. Adapun Ramitani mengambil sanad tarekat ini dari Khwaja Mahmud al-Injir Faghnawi. Kata “al-injir” ditulis dengan huruf nun, jim, dan ya’. Kata “faghnawi” ditulis dengan huruf ghain dan nun yang diasosiasikan kepada Najirfaghni, nama sebuah desa di kawasan Bukhara.


وحيث كان عند المحققين أن الشيوخ ثلاثة: شيخ الخرقة وشيخ الذكر وشيخ الصحبة

Menurut para pencari hakikat, syaikh ada tiga macam: Syaikh Khirqah, Syaikh Dzikir, dan Syaikh Shuhbah.


Menurut para pencari hakikat (muhaqqiqun), yaitu para sufi yang termasuk kalangan penempuh jalan Allah dan berteguh hati di atas pusat syari’at Muhammad; para syaikh yang menjadi mursyid pembimbing menuju hadirat Allah, ada tiga macam:

1. Syaikh Khirqah

Yang dimaksud dengan “khirqah” adalah kain yang dikenakan hamba untuk menutupi sebagian atau seluruh tubuhnya, atau kain jenis lainnya. Khirqah ada dua macam:

Khirqah Zhahir, yaitu berupa selendang dan kain lainnya yang dikenakan di badan para syaikh. Ketika sang syaikh hendak membimbing seorang murid menuju Allah, dia tanggalkan kain khirqah itu dari tubuhnya, lalu ia pakaikan ke tubuh murid sehingga kondisi spiritual tersebut akan memapar murid secara langsung.

Khirqah Bathin, yaitu berupa “pakaian” ilmu dan makrifat.

Ketika seorang syaikh yang telah sempurna spiritualitasnya hendak “memakaikan” khirqah batin ini kepada seorang murid, dia akan memerintahkan si murid untuk memperdengarkan baginya serta memahaminya, setelah itu barulah dia memakaikan khirqah itu kepadanya.

2. Syaikh Dzikir

Jenis syaikh yang kedua adalah Syaikh Dzikir, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu dzikir artinya adalah “hadir tanpa lupa”. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam al-Qur’an,

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 191)

Dzikir dengan nama-nama Ilahiah ada tiga bagian, yaitu:

(1) Dzikir dengan nama-nama zahir seperti nama “Allah”, “ar-Rahmān”, “al-Lathīf”, dan sebagainya.

(2) Dzikir dengan nama-nama sebagai kata ganti (mudhmarah) seperti “ana” (aku), “anta’’ (engkau), dan “huwa’’ (dia).

(3) Dzikir dengan nama-nama yang disamarkan (mubhamah) seperti “hādzā” (ini), “hādzihī’’ (ini), “alladzī” (yang), dan “allatī’’ (yang).

Demikian ketiga pembagian dzikir, dan itu mungkin dilakukan menggunakan lisan, menggunakan hati, atau dilakukan dengan keduanya.

Sebenarnya masih ada jenis dzikir lain yang pernah saya saksikan sendiri hanya ada di tarekat Maulawiyyah¹⁰ (¹⁰ Tarekat Maulawiyyah dinisbatkan kepada Maulana Jalaluddin ar-Rumi Qaddasallahu Sirrah penulis kitab al-Matsnawi (w. 672 H).), yaitu dzikir bil ghair dan dzikir bil fi’li. Dzikir ini mereka lakukan menggunakan alat musik, dengan gerakan meniru putaran alam semesta. Berkenaan dengan hal ini saya telah menulis sebuah risalah yang saya beri judul al-’Uqūd al-Lu‘lu‘iyyah fi Bayān Tharīqah al-Maulawiyyah.


وشيخ الصحبة أتم وأكمل في ارتباط، وهو الشيخ الحقيقي

Syaikh Shuhbah adalah yang paling paripurna dan sempurna dalam keterkaitan (dengan Allah). Dialah syaikh yang sejati.


3. Syaikh Shuhbah

Jenis syaikh yang ketiga adalah Syaikh Shuhbah, yang terbagi menjadi dua bagian:

(1) Shuhbah Khusus, yaitu interaksi terus menerus murid dengan syaikh tanpa berpisah darinya baik malam maupun siang, kecuali hanya pada waktu-waktu darurat atau adanya izin dari sang syaikh untuk berpisah.

(2) Shuhbah Umum, yaitu perjumpaan atau pertemuan walaupun hanya satu kali¹¹ (¹¹ Maksudnya, perjumpaan yang terjadi antara seorang murid dengan syaikhnya—Penj.).

Seorang murid tidak akan mendapatkan hasil apa-apa dalam shuhbah (kebersamaan) dengan syaikhnya kecuali hanya dengan terpenuhinya tiga syarat berikut ini:

Pertama, hendaklah murid membersamai syaikh untuk berkhidmat kepadanya, bangga padanya, dan siap menerima darinya.

Kedua, janganlah murid menentang syaikhnya dan jangan pula dia mengingkari sang syaikh, pada yang mana pun tindakannya di antara semua yang ia lakukan, secara mutlak, baik lahir maupun batin. Selain itu hendaklah murid menganggap bahwa semua bersitan hati dan keinginan buruknya sebagai dosa yang dia harus memohon ampunan kepada Allah atas semua itu. Itu terjadi karena syaikhnya ada di Tangan Allah, sedangkan Allah tidak pernah memerintahkan perbuatan keji dan mungkar. Hanya saja Allah selalu menguji siapa pun yang Dia kehendaki di antara segenap makhluk-Nya, termasuk ujian melalui syaikh dan lainnya. Berkenaan dengan hal ini ada cerita yang telah kami sampaikan di dalam kitab kami yang berjudul al-Faidh ar-Rabbāniy wa al-Fath ar-Rahmāniy.

Ketiga, hendaklah murid berada di tangan syaikhnya seperti layaknya mayat di tangan orang yang memandikannya. Dia tidak boleh menyelisihi sang syaikh pada hal apa pun juga secara mutlak, sebagaimana dia juga tidak boleh lebih membela dirinya ketika berhadapan dengan syaikhnya, untuk selamanya.

Selain itu, murid juga memiliki beberapa adab lain yang lebih banyak dari yang telah disebutkan di atas dalam persahabatan dengan seorang syaikh. Akan tetapi apa yang sudah kami sebutkan tadi kami anggap telah mencakup adab yang lain. Karena semua bentuk akhlak baik memang saling berkelindan antar satu sama lain. Seperti misalnya sifat mulia yang mencakup sifat pemberani dan sebagainya.

Syaikh Shuhbah yang dipergauli secara terus-menerus lebih sempurna bagi seorang murid daripada Syaikh Khirqah dan Syaikh Dzikir; sebagaimana ia juga lebih paripurna dibandingkan keduanya dalam hubungan antara hatinya dan hati murid untuk hubungan yang langgeng. Keadaan spiritual (hāl) selalu lebih cepat menular pada teman duduk dibandingkan kata-kata.

Syaikh Shuhbah adalah syaikh yang sejati, yang akan menghantarkan kepada Allah dengan keadaan spiritualnya (hāl), bukan dengan medium lain seperti khirqah atau dzikir. Syaikh Khirqah mengalirkan hāl dirinya lewat kain khirqah, untuk kemudian ia sampai kepada murid seperti sampainya air dari tanah ke buah setelah air itu mengalir di batang pohon. Secara lahiriah, pohon memberi pasokan ke buah, sebagaimana kain khirqah memberi pasokan ke murid. Begitu pula dengan Syaikh Dzikir yang memberi pasokan kepada murid adalah dzikirnya, bukan sang syaikh itu sendiri. Jadi, sebenarnya kedua jenis syaikh ini (Syaikh Khirqah dan Syaikh Dzikir) adalah dua syaikh yang bersifat majasi, sedangkan jenis syaikh yang satu lagi (Syaikh Shuhbah) adalah syaikh hakiki, karena tidak ada perantara apa pun antara hatinya dan hati murid.


لا جرم أنا أوردنا نسبة الشيخ أبي علي الذي انتهى به السلوك للشيخ أبي القاسم. وبين الشيخ أبي القاسم إلى الإمام علي الرضا بن موسى ستة وسائط: الأول الشيخ أبو عثمان المغربي وأبو علي الكاتب وأبو علي الروزباري

Tidak diragukan lagi bahwa kami menghubungkan sanad berakhirnya suluk Syaikh Abu Ali pada Syaikh Abul Qasim. Sementara antara Syaikh Abul Qasim kepada Imam Ali Ridha bin Musa ada enam perantara: Yang pertama adalah Syaikh Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Katib, dan Abu Ali ar-Rauzabari.


Tidak diragukan lagi, bahwa Syaikh Shuhbah adalah syaikh yang paling paripurna dan sempurna dalam keterhubungan sanad. Kami menyampaikan di bagian nisbat hubungan shuhbah dan khidmah milik Syaikh Abu Ali al-Farmadi. Sanad ini membuat Syaikh Abu Ali al-Farmadi mencapai suluk sehingga dia sampai ke maqam kalangan muqarrabun yang baik. Di bagian sebelumnya, kami menghubungkan nisbat milik Syaikh Abu Ali tadi pada Syaikh Abul Qasim al-Kirkani, sebagai keterangan tambahan bagi jalan atau tarekat pertama yang diambil dari Syaikh Abul Hasan al-Kharqani rahimahullāh wa qaddasa asrārahum wa dhā’afa anwārahum (semoga Allah menyucikan hati mereka dan melipatgandakan cahaya mereka).

Sementara itu, antara Syaikh Abul Qasim al-Karkani sampai kepada Imam Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Ahmad Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib Ridhwanullah Ta’ala ‘Alaihim Ajma’in ada enam syaikh perantara: Yang pertama adalah Syaikh Abu Utsman Sa’id bin Salam al-Maghribi, yang wafat di Nisabur tahun 373 H. Yang kedua Abu Ali al-Katib, yang nama aslinya adalah Husein bin Ahmad. la wafat tahun 340-an H. Di antara pernyataannya yang terkenal adalah, “Muktazilah mengkuduskan Allah dari sisi akal, dan mereka pun salah. Para sufi mengkuduskan Allah dari sisi ilmu, dan mereka pun benar.”

Yang ketiga adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad ar-Rauzabari al-Baghdadi. Dia tinggal di Mesir dan wafat di negeri itu pada tahun 322 H.


وسيد الطائفة الجنيد البغدادي، والخامس السري السقطي، والسادس معروف الكرخي قدس الله سرهم العزيز

Keempat sang pemimpin golongan (sufi) Junaid al-Baghdadi. Kelima, Sari as-Saqathi, Keenam, Ma’ruf al-Karkhi, semoga Allah menyucikan sirr mereka yang mulia.


Keempat adalah pemimpin golongan sufi secara umum di seluruh semesta, Abul Qasim Junaid Muhammad al-Baghdadi. Asalnya dari Nahawand, ia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Ayahnya adalah penjual kaca. Junaid rahimahullah wafat tahun 277 H.

Kelima, Abul Hasan Sari bin Mughlis as-Saqathi, yang merupakan paman Junaid dari pihak ibu sekaligus gurunya.

Keenam, Abu Mahfuzh Ma’ruf Ibnu Fairuz al-Karkhi, yang merupakan salah satu budak Ali bin Musa Ridha. Dia wafat tahun 200 H, tetapi ada yang menyatakan dia wafat tahun 201 H Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Semoga Allah menyucikan hati mereka.

Kalimat “quddisa sirruhum” jika ditulis tanpa kata “Allah”, maka cara bacanya adalah menggunakan fi’il majhul “quddisa” yang maksudnya adalah “qaddasallah”. Arti kalimat ini adalah “semoga Allah menyucikan mereka dari segala kotoran dan sifat-sifat buruk.”

Adapun yang dimaksud dengan “sirruhum” adalah hakikat luhur diri mereka karena dari sirr itulah muncul hakikat kauniyah mereka, seperti cabang yang berasal dari pokoknya.

Kata “al-‘aziz” yang disebutkan di sini maksudnya adalah seseorang yang tidak pernah tunduk kepada selain Allah tanpa adanya alasan atau sesuatu yang lain dan seseorang yang mengakui tidak ada tandingan baginya.


والمعروف قدس سره نسبة أخرى متصلة بداود الطائي عن حبيب العجمي عن الحسن البصري قدس الله تعالى أسرارهم

Ma’ruf Quddisa Sirruh memiliki nisbat lain yang tersambung dengan Daud ath-Tha‘i, dari Habib al-‘Ajami, dari Hasan al-Bashri Qaddasallah Asrarahum.


Ma’ruf al-Karkhi Quddisa Sirruh dalam jalannya menuju Allah, yang berbeda dari apa yang telah disebutkan tadi, memiliki sanad selain sanadnya yang tersambung kepada Ali bin Musa Ridha. Sanad ini tersambung dengan Daud ath-Tha‘i. Ath-Tha‘i merupakan nisbat kepada Thayyi’, nama sebuah kabilah Arab. Jalur ini dari Habib al-‘Ajami, dari Hasan al-Bashri Qaddasallah Asrarahum.


وتمام نسبة معروف إلى باب مديبة العلم كرم الله وجهه معروفة مشهورة

Sanad Ma’ruf berakhir kepada Pintu Kota Ilmu Ali ra. yang terkenal dengan Karramallahu Wajhah.


Sanad Ma’ruf al-Karkhi berakhir kepada Sang pintu kota ilmu. Istilah bab madīnatul ‘ilmi (Pintu Kota Ilmu) merujuk pada sabda Nabi Muhammad Saw., “Aku adalah Kota Ilmu dan Ali adalah pintunya.” Jadi yang dimaksud pintu kota ilmu adalah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, yang sudah terkenal di kalangan ahli tarekat, sekaligus masyhur bagi semua orang bahwa sanad Ma’ruf al-Karkhi memang terhubung kepada Ali ra., tanpa perantara. Karena Hasan Bashri pernah bertemu Ali ra. dan mengambil sanad tarekat darinya. Sanad Ma’ruf al-Karkhi ini tersambung dengan Hasan Bashri seperti yang telah disebutkan.


وها أنا الآن أرجع إلى رأس الكلام فاعلم أن الشيخ أبا الحسن أخذ عن روحانية أبي يزيد البسطامي

Sekarang saya kembali ke pembahasan utama. Ketahuilah bahwa Syaikh Abul Hasan mengambil sanad tarekat ini dari Ruhaniah Abu Yazid al-Busthami.


Wahai para salik, setelah saya menjelaskan cabang tarekat dari Syaikh Ali Farmadi dan Ma’ruf al-Karkhi melalui dua riwayat yang berujung ke Ali ra., saatnya kembali pada pembahasan utama, yaitu penjelasan silsilah tarekat Naqsyabandiyah.

Bab 2: Wushul Menuju Allah Menurut Tokoh Naqsyabandiyah


(فصل) طريق الوصول إلى الله تعالى عند السادة النقشبندية إما بمحض الصحبة أو بالذكر مع المراقبة

Pasal: Jalan wushul kepada Allah Ta’ala menurut para tokoh Naqsyabandiyah, baik dengan kebersamaan maupun dengan dzikir yang disertai muraqabah.


Pasal adalah hal yang bertujuan untuk memisahkan antara dua pembahasan. Pembahasan pertama berisi penjelasan tentang sanad Naqsyabandiyah atau silsilah emas, sebagaimana penduduk Ghazna di Hindustan menyebutnya.

Ini adalah pembahasan kedua mengenai penjelasan tata cara dan adab-adab bertarekat.

Jalan wushul kepada Allah Ta’ala yang sesuai pendapat ulama adalah dengan pemutusan ikatan jiwa.

Ibnu Arabi menyatakan bahwa wushul kepada Allah tidak mungkin terjadi karena sesungguhnya semua manusia dalam perjalanan menuju Allah Ta’ala, baik di dunia maupun akhirat, walaupun kondisi mereka berbeda-beda dalam perjalanan itu.

Menurut para tokoh Naqsyabandiyah, jalan wushul bisa dicapai melalui ikatan yang erat dengan syaikh (guru tarekat). Melalui intensifitas hubungan inilah keadaan spiritual syaikh dapat memancar kepada sang murid sehingga ditarik kepada Allah dengan tarikan syaikhnya, lalu dia pun sampai kepada apa yang dicapai oleh syaikhnya.

Wushul bisa tercapai dengan menyebut asma Allah (dzikir), baik sendirian, bersama syaikh, maupun bersama teman; baik dilafalkan dalam hati maupun diucapkan dengan lisan seperti yang telah disebutkan di bagian lalu. Dzikir ini disertai muraqabah, yaitu upaya mendekatkan diri hanya kepada objek dzikir, Allah Ta’ala. Muraqabah dilakukan di tengah dzikir dengan tidak lalai terhadap-Nya dan memusatkan hati kepada-Nya.


وطريق ذكر السلسلة أن تذكر الكلمة الطيبة أعني ((لا إله إلا الله محمد رسول الله)) بحبس النفس وتراعي العدد والوتر، واذا جاوز العدد إحدى وعشرين ولم يظهر للذكر أثر فهذا دليل على عدم قبوله. فليشرع في ابتداء الذكر من أصله

Tata cara Dzikir Silsilah adalah dengan engkau mendzikirkan kalimat thayyibah, maksudnya “Lā ilāha illallāh Muhammadur Rasūlullāh” dengan menahan nafas seraya memperhatikan hitungan dan keganjilan. Apabila bilangan dzikir sudah melebihi dua puluh satu tetapi tidak tampak pengaruh apa pun dari dzikir tersebut, itu adalah bukti yang menunjukkan tidak diterimanya (dzikir itu). Hendaklah dia mengulangi permulaan dzikir dari awal.


Tata cara Dzikir Silsilah adalah engkau berdzikir dengan kalimat thayyibah menggunakan lisan secukupnya sampai terdengar oleh dirimu sendiri. Kalimat thayyibah adalah kalimat “Lā ilāha illallāh” yang penjelasan tentang makna kalimat ini akan disampaikan nanti. Kalimat “Muhammadur Rasūlullāh”, yang diucapkan dengan menahan nafas, yaitu udara yang keluar masuk dari dan ke dalam tubuh.

Hikmah tata cara dzikir seperti ini adalah untuk mempercepat manifestasi Al-Haqq sebelum kematian. Karena kalau dia bernafas maka mungkin saja dia akan mati atau dia tidak akan mampu untuk menyempurnakan kalimat thayyibah itu, sehingga dia berhenti pada lafal nafi¹³ (¹³ Maksudnya, apabila seseorang tidak dibiasakan merapalkan kalimat thayyibah dengan menahan nafas, dikhawatirkan nanti pada saat sakaratul maut, dia akan sulit untuk mengucapkan kalimat tersebut, bahkan dia akan terputus dalam pengucapannya sampai lafal nafi, yaitu terputus hanya mengucapkan “lā ilāha” tanpa lanjutannya. Padahal lafal “lā ilāha” artinya “tidak ada Tuhan” dan merupakan pernyataan kufur—Penj.) yang akan membuatnya mengucapkan kekufuran atas penafian Allah.¹⁴ (¹⁴ Pernyataan ini mungkin saja menjadi musykil ketika dihadapkan dengan hadits, “Seluruh amal bermula dari niat dan setiap orang tergantung pada apa yang dia niatkan.” Meskipun yang terucap adalah kalimat kufur, tapi jika niat pengucapannya bukan kekufuran, ucapan itu tidak serta merta membuat pengucapnya menjadi kafir—Penj.) Meski sebenarnya dia menghendaki pengucapan tauhid dan penetapan secara sempurna. Juga karena seorang manusia terus membaru dengan apa yang terjadi. Bahkan seluruh alam semesta seperti itu, sebagaimana Allah firmankan,

وَمَآ اَمْرُنَآ اِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ ۢبِالْبَصَرِ

“Perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. al-Qamar [54]: 50)

Seluruh alam semesta ada dengan perintah Allah Ta’ala, dan itu terjadi seperti kejapan mata sehingga ia begitu cepat merapalkan dzikir dalam sekali napas sesuai kemampuannya, sehingga ucapan yang menyatakan tauhid darinya menjadi banyak di saat menghadap kepada Allah Ta’ala.

Wahai orang yang berdzikir, hendaklah dalam berdzikir engkau terus memperhatikan hitungan dan angka ganjil di dalam dzikir yang engkau rapalkan. Seperti bilangan tujuh, sebelas, dan sebagainya. Dalam hal itu terkandung mahabbatullah atau cinta Allah Ta’ala. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Allah itu Dzat yang ganjil dan menyukai yang ganjil.”

Apabila jumlah dzikir sudah melebihi dua puluh satu kali pengulangan, tetapi tidak tampak pengaruh apa pun dari dzikir tersebut, baik yang tersembunyi di dalam hati maupun yang tampak, sebagaimana yang nanti akan dijelaskan. Hal itu adalah bukti yang sangat jelas untuk menunjukkan bahwa Allah tidak menerima dzikirnya. Jadi hendaklah dia mengulanginya dengan sungguh-sungguh karena dzikir yang dia lakukan sebelumnya, bukanlah dzikir karena Allah tidak menerima dzikirnya.


وأثر الذكر هو أنك في حال النفي ينتفي عنك وجود البشر ية، وفي حال الإثبات يظعر فيك أثر من آثار تصرفات الجذبات الإلهية، والأثر متفاوتة بحسب الاستداد، فبعضهم أول ما يحصل له الغيبة عما سوى الحق تعالى

Pengaruh dzikir adalah ketika engkau dalam kondisi nafi, menjadi hilang dari engkau segala wujud kemanusiaan; sementara dalam kondisi itsbat, tampaklah pada engkau satu di antara berbagai pengaruh tarikan Ilahiyah. Pengaruh ini bermacam-macam sesuai dengan kesiapan seseorang. Sebagian dari mereka, awal pencapaiannya adalah kondisi “hilang” dari semua hal selain Allah Ta’ala.


Pengaruh dzikir yang engkau tunggu kemunculannya padamu, adalah ketika engkau dalam kondisi nafi, yaitu ketika engkau mengucapkan kalimat “lā ilāha”, wahai pedzikir, menjadi hilanglah dari engkau segala wujud sifat-sifat kemanusiaan; yaitu semua sifat yang dinisbatkan kepada manusia dan memang ditetapkan sebagai tabiatnya, seperti gelisah, bosan, malas, jemu, tendensi duniawi, tendensi ukhrawi, gembira atas kesenangan, sedih atas kesusahan, mengharapkan sesuatu, menyayangkan sesuatu meski baik, dan sebagainya.

Sementara dalam kondisi itsbat, yaitu ketika engkau mengucapkan kalimat “illallāh”, maka akan tampaklah bagimu salah satu di antara berbagai pengaruh gerak tarikan Ilahiyah Rabbaniyah sehingga tidak tersisa lagi pada dirimu satu pun gerakan ataupun diam. Pada saat itu engkau berpindah kepada sifat-sifat Malakiyah berupa tawakkal, menyerah, berserah, sabar, dan sebagainya. Engkau adalah manusia yang berubah menjadi sesosok malaikat setelah engkau mungkin saja telah menjadi setan dengan sifat-sifat tercela.

Sebab manusia ada di antara malaikat dan setan. Jika yang mendominasi dirimu adalah akhlak mulia, engkau adalah malaikat. Jika yang mendominasi adalah akhlak buruk, engkau adalah setan. Jika tidak seperti itu, engkau adalah manusia, bukan malaikat dan bukan setan, melainkan di dalam dirimu ada bagian malaikat dan setan.

Pengaruh yang tampak padamu itu bermacam-macam dan tidak sama. Demikian, semua itu akan sesuai dengan kesiapan atau penerimaan yang Allah ciptakan untukmu. Sebagian dari mereka, para pelaku dzikir, ada yang awal pencapaiannya adalah kondisi “hilang” (ghaibah) atau kondisi “tenggelam” (istighrāq) secara total dari semua hal selain Allah Ta’ala, yaitu dari segenap alam semesta, sehingga dia tidak menyaksikan apa pun juga dan mencapai “ketiadaan murni” (‘adam mahdah), untuk kemudian dia hadir dari ghaibah -nya itu dan di dalam kehadiran (hudhur) setelah ghaibah itu dia mengetahui bagaimana Allah memulai penciptaan dan bagaimana Dia mengembalikannya. Mulai saat itu dia akan mencapai kondisi al-fath yang merupakan sebuah kesiapan sempurna (kāmil al-isti’dād).


وبعضهم أول ما يحصل له السكر والغيبة، وبعد ذلك يتحقق له وجود العدم، وبعده يتشرف بالفناء، كما قال الشيخ عبدالله أنصاري في تفسير قوله تعالى ((واذكر ربك إذا نسيت)) أي إذا نسيت غيره، ثم نسيت نفسك، ثم نسيت ذكرك ذلك في ذكرك، ثم نسيت في ذكر الحق إياك كل ذكر

Sementara sebagian mereka, awal pencapaian baginya adalah “kemabukan” dan “hilang”. Setelah itu tercapailah baginya “wujud ketiadaan”. Setelah itu dia menyentuh kefanaan. Seperti yang dikatakan Syaikh Abdullah al-Anshari dalam penafsiran firman Allah Ta’ala, “Berdzikirlah mengingat Tuhanmu jika engkau lupa”, maksudnya adalah: Jika engkau lupa yang selain Dia, kemudian engkau lupa dirimu, kemudian engkau melupakan dzikirmu di dalam dzikirmu, kemudian engkau lupa semua dzikir dalam dzikir Al-Haqq kepadamu.


Sementara itu bagi sebagian mereka, awal pencapaian spiritual adalah ghaibah atau “hilang” dari segala sesuatu. Hal itu tidak tercapai dengan “Ketiadaan Murni” disebabkan kesibukan mata hatimu (bashirah) dengan dzikir kepada-Nya karena dzikirmu adalah duniawi semata. Di dalamnya masih ada sisa dari dunia yang belum pergi darinya. Inilah bentuk kesiapan yang kurang jika dibandingkan dengan yang pertama, karena si hamba tidak mampu untuk berpisah (dari dunia) dan menerima (wushul) dengan segera.

Akan tetapi, setelah keghaiban sirna dengan kehadiran-Nya, tercapailah secara jelas di dalam diri si hamba dengan terjadinya ghaibah lain, Wujud Ketiadaan. Setelah itu dia menyentuh kefanaan segala sesuatu selain Allah, sehingga dia pun dapat menyaksikan Allah Ta’ala setelah itu.

Seperti yang dikatakan Syaikh Abdullah al-Anshari dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala,

وَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ

“Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa.” (QS. al-Kahfi [18]: 24)

Jika engkau lupa yang selain-Nya sehingga secara mutlak engkau tidak merasakan apa pun secara total, dan engkau mencapai ketiadaan segala sesuatu. Kemudian engkau lupa dirimu, yang berdzikir mengingat Tuhanmu sehingga engkau tidak merasakan dirimu dan engkau mencapai ketiadaannya. Kemudian engkau lupa dzikirmu yang sedang engkau lakukan, sehingga engkau tidak merasakannya dan engkau mencapai ketiadaannya ketika dzikir itu sedang “berlangsung”, di dalam dzikir engkau yang sedang kau lakukan itu karena engkau memang tidak memutusnya dan tidak meninggalkannya. Tetapi seiring dengan itu engkau mencapai ketiadaannya di tengah keberadaannya.

Kemudian engkau lupa dalam dzikir Allah Ta’ala padamu, wahai hamba; sebagaimana Allah firmankan,

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.” (QS. al-Baqarah [2]: 152)

Melupakan semua dzikir, baik bagimu maupun yang selainmu.

Sesungguhnya engkau mendapati dzikirmu adalah dzikir-Nya Al-Haqq Azza wa Jalla bagimu. Sehingga yang terjadi adalah engkau berdzikir menyebut nama-Nya menggunakan lidahmu, sedangkan Dia menyebutmu dengan lidahmu sendiri karena Dia Azza wa Jalla tidak memiliki lidah (seperti manusia). Sampai di situ, engkau akan merasa malu kepada-Nya, karena dzikir-Nya bagimu jauh lebih besar daripada dzikirmu bagi-Nya. Allah berfirman,

وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ

“(Ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).” (QS. al-Ankabūt [29]: 45)

Itu terjadi karena lidahmu adalah ciptaan-Nya, bukan milikmu, bahkan seluruh dirimu adalah ciptaan-Nya, bukan milikmu, seperti yang disebutkan dalam hadits, “Wahai anak Adam, Aku telah menciptakan segala sesuatu demi engkau, dan Aku ciptakan engkau demi Aku.”¹⁵ (Terdapat dalam al-Futuhat al-Makkiyyah—Penj.) Jadi, janganlah engkau menyibukkan diri demi sesuatu yang diciptakan untukmu sehingga mengalahkan kesibukanmu dengan Dzat yang engkau diciptakan untuk-Nya, untuk kemudian engkau diam tidak berdzikir menyebut nama-Nya, sedangkan yang menetap di lidahmu adalah dzikir-Nya bagimu. Ini adalah maksud pernyataan, “Kemudian engkau lupa semua dzikir dalam dzikir Al-Haqq padamu”, yang baru saja kami jelaskan.


وأعلى الدرجات وأتمها الفناء، أعني لا يبقى للسالك خبر عما سوى الله تعالى

Derajat tertinggi dan paling sempurna adalah fana’. Artinya tidak ada kabar apa pun yang tersisa lagi bagi salik tentang apa yang selain Allah Ta’ala.


Derajat tertinggi dan paling sempurna dalam wushul kepada Allah Ta’ala ketika disandarkan kepada orang-orang yang berusaha menggapai Dzat-Nya adalah tercapainya maqam fana’, yaitu ketika si hamba menafikan semua hal selain Allah. Artinya, tidak ada kabar apa pun yang tersisa lagi bagi orang tersebut selain Allah Ta’ala. Allah berfirman,

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. ar-Rahmān [55): 26)

Maksudnya, semua yang ada di alam ini. Sesungguhnya di dalam ilmu Allah, segala sesuatu mustahil tidak musnah dan berubah karena itulah sifat sejatinya dan ketetapan wujud hanya milik Allah semata. Dia-lah yang mewujudkan semua yang ada di alam, layaknya seorang alim yang mencoba menyampaikan berbagai pengetahuan yang ia ketahui.

Ketika berbagai pengetahuan itu muncul, dan tetap akan musnah dan berubah, seperti yang semestinya, salik akan melihat dirinya ada seraya meninggalkan wujud yang selainnya sehingga ia mengklaim keberadaan dirinya beserta keberadaan entitas selainnya, lalu ia mengagungkan kekekalan wujud dari entitas selainnya, dan ia meyakini bahwa semua itu menyertakan dirinya di dalamnya, padahal dia ada dengan gerak, tanpa ada perasaan sadar atas hal itu. Inilah makna firman Allah, “Segala sesuatu yang di atasnya” (kullu man ‘alaihā). Allah Ta’ala pun mengabarkan bahwa semua itu sesungguhnya fana (fānin). Seorang salik yang sedang menggapai kefanaannya akan menyaksikan kebenaran atas semua yang kami sebutkan tadi. Kemudian rasa sombong atas asalnya yang bersifat tiada akan hilang, dengan keyakinannya bahwa wujud entitas selainnya adalah miliknya, dan akan tersingkap pula darinya hijab keraguan ketika dia memahami pemahaman ini.



وكيفية الذكر أن يجعل اللسان ملتصقا بسقف الفم ويلصق الشفة بالشفة والأسنان بالأسنان ويحبس النفس ويشرع بكلمة ((لا)) مبتدئا بها من السرة ويصعد بها إلى جانب الدماغ، فإذا وصلت إلى الدماغ ملت ب ((إله)) إلى جانبك اليمين

Tata cara dzikir adalah dengan membuat lidah menempel di langit-langit mulut seraya melekatkan bibir dan gigi, dan menahan nafas lalu melafalkan kata “lā” yang dimulai dari pusar lalu dengannya naik ke samping otak. Ketika ia sampai ke otak, engkau condong dengan “ilāha” ke samping kanan Anda.


Tata cara dzikir khafi pengikut tarekat Naqsyabandiyah ini dilakukan dengan menempelkan lidah di langit-langit mulut hingga benar-benar menempel, seraya melekatkan bibir bagian atas dengan bibir bagian bawah, gigi bagian atas dengan gigi bagian bawah, dan menahan nafas sehingga keadaannya seperti orang mati yang tidak merasakan apa-apa.

Setelah itu hendaklah dia melafalkan kata “lā” yang dimulai dari pusar hingga kata itu benar-benar keluar dari hati¹⁶ (¹⁶ Kata qalb dalam bahasa Arab berarti jantung sebagai organ fisik yang biasanya terletak di sisi kiri dada manusia, dan hati sebagai organ non-fisik yang lazim disebut dengan “qalbu”. “Qalb” di sini meliputi dua pengertian ini, tapi terkadang salah satunya atau keduanya sekaligus—Penj.) dan dia tahu betapa semua perbuatan jasmani sama sekali tidak melibatkan perbuatan hati.

Selanjutnya dengan kata “lā” itu ia naik ke samping otak, sehingga dia tahu bagaimana sampainya perintah pertama ke otak kemudian disebarkan ke anggota-anggota tubuh lainnya. Karena setiap perintah yang muncul dari hati harus diterima oleh akal yang berada di dalam otak.

Ketika kata “lā” itu sampai ke otak, hendaklah engkau wahai pedzikir memiringkan tubuhmu dengan kata “ilāha” ke samping kanan. Karena hakikat jiwamu ada di sebelah kanan.

Semua yang dikabarkan oleh jiwamu tentang Tuhan adalah sebuah kebathilan dan dusta, karena ia membuat bentuk, padahal Allah tidak memiliki bentuk. Jiwamu pasti juga bertanya-tanya bagaimana keadaan Allah, padahal Dia tidak dapat dipertanyakan (wa tukayyifu wa Allahu la kaifiyata lahu). Engkau harus bisa menafikan “tuhan” yang engkau yakini sampai yang ada di hatimu adalah Tuhan Al-Haqq yang tidak dapat digambarkan dan tidak dapat dipertanyakan.


وب((إلا الله)) إلى جانب اليسار، ورميت بها على القلب الصنو بري بقوة، بحيث يظهر أثرها وحرارتها في سائر الجسد، وتميل ب((محمد رسول الله)) من جانب اليسار إلى جانب اليمين أي تأتي بها بينهما

Dengan “illallāh” ke sisi kiri, lalu engkau pindahkan ke atas hati sanubari dengan sungguh-sungguh, sehingga pengaruh dan panasnya terasa di sekujur badan. Lalu engkau miringkan tubuhmu dengan “Muhammad rasūlullāh” dari sisi kiri ke sisi kanan, atau engkau sebutkan lafal itu di antara keduanya.


Selanjutnya, hendaklah engkau dengan “illallāh” memiringkan tubuhmu ke sisi kiri, karena hati ada di sisi kiri. Lalu engkau lempar dengan lafal “illallāh” itu ke atas hati sanubari (qalb shanaubari). Qalb shanaubari adalah sepotong daging yang melekat di batinmu yang berada di sebelah kiri. Daya ruhani selalu muncul pertama kali di dalamnya, kemudian ia menjalar ke seluruh badan dengan mengarah ke sebelah atas lebih dulu sebelum kemudian ke bawah. Perpindahan itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga pengaruh dan panas dari lafal “illallāh” itu terasa di sekujur badan.

Setelah itu hendaklah engkau wahai para pembaca dzikir memiringkan tubuhmu dengan “Muhammad rasūlullāh” dari sisi kiri yang merupakan tempat hati ke sisi kananmu atau engkau sebutkan kalimat “Muhammad rasūlullāh” itu saat berada di antara keduanya. Maksudnya, di antara sisi kiri dan sisi kanan. Hati terletak di sebelah kiri seperti matahari, sedangkan jiwa terletak di sisi kanan seperti bulan. Sisi kiri menjadi tempat terbit bagi badan, sedangkan sisi kanan menjadi tempat terbenamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

“Sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)

Sinar bulan berasal dari cahaya matahari. Artinya, cahaya matahari memantul pada bulan, sehingga pada permukaan bulan tampak bayangan cahaya matahari, tanpa terpisah sedikitpun dari cahaya matahari sebagaimana cahaya matahari dengan bulan tidak terhubung secara langsung. Tapi, cahaya matahari tetap seperti apa adanya sebagai cahaya hakiki dan fisik bulan juga tetap seperti apa adanya yang tidak memiliki cahayanya sendiri, Tetapi efek cahaya matahari menghilangkan kegelapan di permukaan bulan bagi siapa pun yang melihatnya.

Seperti itu pula halnya Nabi Muhammad Saw. Allah menciptakan cahaya Beliau dari cahaya-Nya dengan pengertian seperti yang kami sebutkan tadi mengenai matahari dan bulan. Inilah hikmah di balik memiringkan badan sembari melafalkan kalimat “Muhammad rasūlullāh” dari sisi kiri ke sisi kanan, atau dilakukan di antara keduanya, karena Nabi Muhammad Saw. tidak memunculkan cahaya yang ada di diri Beliau sendiri. Oleh karena inilah Beliau tidak pernah mengklaim cahaya itu miliknya, tetapi ada di antara keduanya.


ويقول بعد ذلك أيضا: ((إلهي أنت مقصودي ورضاك مطلوبي))، يعني من هذا الذكر، مع توجه القلب على وجه يظهر أثره في القلب ويتأثر منه ويكون ذلك كله بحيث لا يظهر على ظاهره حركة ولا يشعر به من كان بقربه، وفي حبس نفسه يذكر مرة أو ثلاثا مراعيا للوتر

Setelah itu hendaklah dia mengucapkan “Tuhanku Engkau tujuanku dan ridha-Mu yang kucari”, maksudnya dari dzikir ini, diiringi menghadapnya hati pada sisi yang bisa mempengaruhi hati dan semua itu bisa terwujud tanpa adanya gerak di sisi zahirnya sebagaimana dia juga tidak merasakan siapa yang ada di dekatnya. Saat menahan nafasnya, hendaklah dia berdzikir satu atau tiga kali demi menjaga bilangan ganjil.


Setelah itu hendaklah pelaku dzikir juga mengucapkan “Tuhanku Engkau tujuanku dan ridha-Mu yang kucari”, maksudnya, dari dzikir yang aku menyebut nama-Mu di dalam hatiku tanpa ada satupun selain Engkau yang melihatnya. Dia mengucapkan lafal tadi seraya menghadapkan sepenuh hatinya kepada Allah dengan menolak segala sesuatu, dan menghadapkan hati pada sisi yang pengaruh dzikir bisa memberikan dampak ke dalamnya.

Semua yang disebutkan itu bisa terwujud tanpa tampak di sisi zahir si pelaku dzikir gerak apa pun di seluruh anggota tubuhnya dan dia juga tidak merasakan siapa yang ada di dekatnya, apalagi yang jauh darinya. Landasan tarekat ini adalah ketertutupan dan ketersembunyian, sementara perasaan akan keberadaan orang lain menafikannya. Selain itu juga karena landasan seperti ini lebih menjauhkan riya’ serta lebih menjaga hati dari perhatian orang lain dan lebih kuat menyokong terwujudnya keikhlasan dalam interaksi dengan Tuhan, serta lebih memudahkan untuk mencapai kebenaran.

Saat menahan nafasnya, hendaklah dia berdzikir satu atau tiga kali demi menjaga bilangan ganjil.


قال حضرة الخواجة النقشبند قدس سره في معنى هذه الكلمة الطيبة أن ((لا إله)) نفي الإ لهية الطبيعية و ((إلا الله)) إثبات للمعبود الحفق تعالى؛ و ((محمد رسول الله)) معناه أنك أدخلت نفسك في مقام ((فاتبعوني))

Hadirat Khwaja Naqsyaband Quddisa Sirruh menjelaskan makna kalimat thayyibah sebagai berikut, “lā ilāha” adalah penafian semua Tuhan alamiah, “illallāh” adalah penetapan bagi Dzat yang haq untuk disembah dan “Muhammad rasūlullāh” berarti engkau memasukkan diri engkau ke maqam “fattabi’ūnī”.


Hadirat Khwaja Naqsyaband Quddisa Sirruh menjelaskan makna kalimat thayyibah, yaitu “Lā ilāha illallāh”. Makna dari kalimat inilah yang menjadi tujuan salik, bukan lafal yang diucapkan. Frasa “lā ilāha” dalam kalimat “Lā ilāha illallāh” artinya penafian semua Tuhan ciptaan manusia yang dapat dibayangkan serta dipertanyakan bagaimana keadaannya (al-mutasawwarah wa al-mutakayyafah). Ilmu manusia terbagi menjadi pencitraan (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Pembenaran (tashdiq) adalah bentuk pencitraan yang diiringi ketetapan. Jadi, ilmu manusia secara keseluruhan adalah pencitraan (tashawwur). Wajib bagi setiap orang mukalaf untuk mengetahui tentang Allah Ta’ala. Apabila dia sudah mengetahui tentang Allah, dia tentu akan membayangkan rupa Allah Ta’ala, tetapi pasti pencitraan yang dibayangkannya itu tidak sesuai dengan Dia dan itu adalah bentuk ketidaktahuannya tentang Allah Ta’ala. Hanya sebatas inilah yang bisa dipikirkan oleh seorang manusia berpengetahuan, karena Tuhan yang di karakteristikkan bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Hal-hal seperti inilah yang harus dinafikan demi menjaga iman yang shahih.

Saya telah membicarakan pembahasan ini di dalam kitab yang berjudul ar-Radd al-Matīn ‘alā Muntaqish al-‘Ārif Muhyiddin dan al-Mathâlib al-Wafiyyah serta beberapa kitab saya yang lain.

Lafal “illallāh” adalah penetapan dari si hamba pelaku dzikir kepada Allah Ta’ala, yang tidak memiliki citra, karakter, keserupaan dan tidak dapat dipersepsikan.

Lafal “Muhammad rasūlullāh” berarti bahwa engkau masuk secara suka rela ke maqam frasa “fattabi’ūnī” dari firman Allah kepada Nabi-Nya dalam ayat,

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.’” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 31)

Siapa pun yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. pasti juga mematuhi seluruh sabda dan mencontoh semua perbuatannya.

Berbagai sabda Nabi Muhammad Saw. mengalami simpang siur pada penukilannya. Perbedaan mengenai sabda Nabi juga terjadi di antara keempat imam mujtahid dan ulama lainnya. Tapi hal ini tidak pernah kita lihat pada berbagai mazhab salaf.

Mereka juga berselisih seputar tata cara disebabkan perbedaan berbagai riwayat. Tata cara pelaksanaan shalat menurut sunnah muhammadiyyah yang dianut oleh mazhab imam Syafi’i rahimahullah berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat yang dianut oleh Imam Abu Hanifah rahimahullah,¹⁷ (¹⁷ Meskipun terdapat ikhtilaf, tapi semua mazhab hanya berikhtilaf pada masalah-masalah yang bersifat cabang (furu’iyyah), bukan pokok. Misalnya hukum qunut, pilihan bacaan tasbih pada gerakan shalat tertentu, hukum membaca doa istiftah, dsb. Tidak satu pun dari mazhab-mazhab itu berbeda pendapat mengenai jumlah raka’at shalat wajib, Ka’bah sebagai kiblat, gerakan inti dalam shalat, dsb.—Penj.) dan demikian pula yang terjadi pada berbagai amalan lainnya, meski pada sebagian amalan yang lain mereka bersepakat.

Ijtihad adalah dugaan kuat atau zhan, sehingga ittiba’ kepada Nabi Saw. pada hakikatnya dilakukan oleh orang yang ikhlas dalam penghambaannya kepada Allah Ta’ala serta benar-benar ridha atas posisi Allah sebagai Tuhan, sehingga dia tidak bergerak sama sekali di dalam lahir batinnya dengan keinginannya sendiri, melainkan semua itu terwujud dengan kehendak Tuhannya, sebab semua geraknya adalah dengan Tuhannya itu. Itulah sebabnya, ketika dia lalai terhadap penghambaan ini meski hanya sekejap, ia menganggap itu sebagai dosa besar atau bahkan bentuk kesyirikan yang busuk yang membuatnya harus segera bertaubat dari dosa itu.

Dia mengikat diri dalam penghambaan kepada Tuhannya sembari memperbaiki batinnya, sehingga Tuhannya menerimanya dengan otoritas ketuhanan-Nya, lalu Dia pun memperbaiki lahiriahnya, sehingga Tuhan hanya akan menghendaki untuknya (selama dia berada dalam kondisi itu) ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang selaras dengan sunnah muhammadiyyah dan tarekat yang diridhai.

Dengan semua “nukilan” dari Allah Ta’ala untuknya, dia tidak membutuhkan penukilan riwayat, karena semua perbuatan, ucapan, dan bersitan hatinya yang berada di kehendak Allah Azza wa Jalla menjadi sebuah kebenaran dan perwujudan pasti yang diriwayatkan baginya dalam penukilan Nabi dari Tuhannya.

Sampai di situ, si hamba pun mencapai maqam ittiba’ yang hakiki kepada Nabi Muhammad Saw. tanpa ada secuil pun bid’ah atau kesesatan. Ketika dia mengikuti Nabi Muhammad Saw. dengan benar, ittiba’ seperti itulah yang menjadi arti dari kalimat “Muhammad rasūlullāh”. Karena kalau tidak seperti itu, maka berarti apa yang dia ucapkan berasal dari keraguan bukan kepastian. Wabillāhit taufiq.


وبعض أكابر هذه السلسلة قالوا في معنى الكلمة الطيبة إن المبتدئ يتصور في قوله ((لا إله)) لا معبود، والمتوسط: المقصود، والمنتهى: لا موجود، إلا الله

Sebagian tokoh tarekat ini menjelaskan arti dari kalimat thayyibah, yang tergambar bagi tingkat pemula dalam ucapannya “Iā ilāha” adalah “tidak ada sesembahan”, bagi tingkat menengah adalah “tidak ada maksud”, dan bagi tingkat tinggi adalah “tidak ada yang maujud”, kecuali hanya Allah.


Sebagian tokoh tarekat ini, yaitu para syaikh muhaqqiq dalam tarekat Naqsyabandiyah, menjelaskan mengenai arti kalimat thayyibah “Lā ilāha illallāh”. Bagi salik pemula dalam perjalanan suluk menuju Allah Ta’ala, yaitu orang yang belum bisa melepaskan dirinya, yang dia pahami dalam hatinya dalam frasa “lā ilāha” adalah tidak ada sesembahan di dalam wujud kecuali hanya Allah. Itu terjadi karena dia berada di maqam “al-Islam” sehingga dia masih perlu untuk mengenyahkan syirik yang nyata (jali) dan keraguannya dari hatinya. Apa pun yang dia sembah, itu bukan Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala adalah Dzat yang tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya.

Tuhan-tuhan yang disembah selain Allah ada banyak. Di antaranya adalah tuhan-tuhan inderawi seperti berhala, dan ada pula tuhan-tuhan ilusi seperti berbagai macam bentuk bayangan yang ada di dalam khayalan semu. Tuhan yang sesungguhnya adalah yang tidak seperti semua itu karena Dia adalah Dzat yang tidak serupa dengan sesuatu apa pun dan tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan-Nya.

Bagi salik tingkat menengah di tarekat ini, yaitu orang yang belum bisa melepaskan hatinya, yang dia pahami pada frasa “lā ilāha” adalah tidak ada yang dimaksud dalam wujud kecuali Allah. Itu terjadi karena setiap orang yang melakukan sesuatu pasti karena manfaat, mudharatnya, atau karena terjadinya kesia-siaan dalam melakukannya. Sang Maha Memberi Manfaat dan Bahaya adalah Allah semata, tanpa ada bantuan dari apa pun selain Dia secara mutlak. Sebagaimana halnya kebutuhan seseorang yang sia-sia, tercapai kesia-siaan padanya itu sebenarnya juga ada dalam kekuasaan Allah Ta’ala. Jadi yang menjadi maksud atau tujuan adalah Allah Ta’ala dalam kondisi apa pun pada pemilik hati yang shahih dan akal yang benar.

Sementara itu, bagi salik tingkat tinggi di tarekat ini, yaitu orang yang bersama Tuhannya, yang dia pahami pada ucapan “illallāh” adalah yang maujud di dalam wujud hanya Allah semata. Itu terjadi karena semua yang maujud seperti kejapan mata karena semuanya ada berdasarkan perintah Allah berdasarkan firman-Nya,

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ تَقُوْمَ السَّمَاۤءُ وَالْاَرْضُ بِاَمْرِهٖ

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya.” (QS. ar-Rūm [30]: 25)

Sementara perintah Allah Ta’ala seperti kejapan mata, sebagaimana yang Dia nyatakan dalam firman-Nya,

وَمَآ اَمْرُنَآ اِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ ۢبِالْبَصَرِ

“Perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. al-Qamar [54]: 50)

Tentu saja, wujud sesuatu yang seperti kejapan mata tidaklah tetap. Itulah sebabnya ketika salik tingkat tinggi menyatakan bahwa “tidak ada Tuhan” maksudnya adalah tidak ada maujud di dalam wujud kecuali hanya Allah.


وقال أكابر: ما لم ينته السير إلى الله تعالى ويضع القدم في السير إلى الله تعالى، تكون ملا حظته في ((لا موجود)) كفرا، وقيل معناه: لا متصرف في الملك والملكوت إلا الله تعالى

Para tokoh sufi berkata: Selama perjalanan menuju Allah Ta’ala belum selesai dan belum melangkahkan kaki dalam perjalanan tersebut, pemahamannya pada “tidak ada maujud” menjadi kekufuran. Dikatakan bahwa maknanya adalah: Tidak ada penggerak dalam al-Mulk dan al-Malakut, kecuali Allah Ta’ala.


Sebagian di antara para tokoh sufi juga menyatakan bahwa selama perjalanan seorang mursyid yang benar menuju Allah Ta’ala, yang membuatnya mengakui Wujud-Nya, belum selesai, dan kaki sebagai bersitan ruhani belum memulai perjalanan. Keberhasilan mencapai Allah adalah ketika salik mampu menyaksikan wujud seperti kejapan mata, sebagaimana yang telah disebutkan di atas dan berhasil memahami bahwa hakikat tetap yang berada di sebalik semua maujud adalah hakikat Allah Ta’ala, yang dengan ini semua dia mengimani segala yang ghaib.

Sementara siapa pun yang penyaksiannya tidak seperti itu, pemahamannya pada “tidak ada maujud” kecuali Allah, menjadi sebuah kekufuran. Itu terjadi karena dia tidak bisa memahami hakikat tetap di balik semua maujud yang selalu berubah, padahal itu adalah hakikat Allah Ta’ala. Itu merupakan bentuk kekufuran terhadap Allah Ta’ala dan termasuk perbuatan ta’thil (menafikan Allah). Pemahaman seperti ini adalah milik mazhab al-Husbaniyyah.

Dikatakan bahwa makna “lā ilāha” adalah tidak ada penggerak dalam al-Mulk dan al-Malakut, kecuali Allah Ta’ala, yang dimaksud al-Mulk di sini adalah sisi zahir alam semesta, sementara yang dimaksud al-Malakut adalah sisi batin alam semesta.

Kalimat syahadat memiliki beberapa arti lain yang sebagian di antaranya saya sebutkan dalam kitab saya yang berjudul al-Anwār al-Ilāhiyyah syarh as-Sanūsiyyah saat penulis matan membahas kalimat syahadat. Ini juga saya sampaikan dalam syarah yang saya tulis atas kitab ‘Ainiyyah karya al-Jili rahimahullah.


و ينبغي الا جتهاد في مداومة الذكر فلا تتركه في حال ولا وقت ولا في قيامك وقعودك ولا في حديثك ولا في نومك. وإن حصل لك في الذكر أو في مجالسة الشيخ لفتة فافرضها كالخط المستقيم

Keseriusan dalam menyinambungkan dzikir harus dilakukan, sehingga jangan sampai engkau meninggalkannya di kondisi apa pun, di waktu kapan pun, tidak pula di saat engkau berdiri atau duduk, tidak pula di dalam ucapanmu dan tidak pula dalam tidurmu. Apabila sesuatu mengganggumu di dalam dzikir atau saat satu majelis dengan syaikh, bayangkan gangguan itu sebagai garis lurus.


Engkau wahai pelaku dzikir, harus bersungguh-sungguh dalam menyinambungkan dzikir jika engkau ingin mencapai wushul kepada Tuhanmu, sehingga jangan sampai engkau meninggalkan dzikir di kondisi apa pun dari segala kondisi yang ada, baik ketika engkau gembira ataupun sedih, sehat ataupun sakit, sedang sendirian ataupun bersama orang lain. Juga tidak meninggalkannya di waktu apa pun di antara semua waktumu, baik malam ataupun siang, dalam perjalanan ataupun di saat mukim. Tidak pula di saat engkau berdiri, berjalan, berdiam dan duduk, baik duduk tegak ataupun duduk bersandar. Ketika engkau sedang berbicara kepada seseorang, siapa pun dia, engkau harus tetap dapat berbicara sembari berdzikir dalam hati, bahkan dalam tidurmu engkau harus tidur seraya berdzikir.

Apabila sesuatu yang terbersit dalam hatimu mengarah ke sebuah hal, walaupun hal itu adalah sebentuk ketaatan, menganggumu dan membuatmu berpaling dari dzikir atau dari perhatianmu kepada syaikh saat satu majelis dengannya, bayangkan gangguan di hatimu itu sebagai garis lurus yang muncul dari dirimu dan menghalangi apa yang menjadi sasaran dzikirmu yang telah engkau renungkan saat memulai dzikir. Karena sesungguhnya dzikir dan hal yang memalingkan hatimu itu setara dari sisi bahwa keduanya mempengaruhi objek dzikirmu. Demikian pula yang terjadi dengan syaikhmu dan hal lainnya, keduanya sama-sama mempengaruhi terhadap apa yang engkau maksudkan sebagai dalil petunjuk kepada Allah Ta’ala.


فإن تخيل هذا المعنى وشغل الخيال بأمر واحد ممد للجمعية. وقال بعض الأكابر إذا تغيرت شعرة من بدنك بواسطة الحال وتأثرت ينبغي أن تتبع تلك الشعرة حتى يحصل لك التعطل، كما قال بعض أكابر: الشغل هو عدم التفاته إلى أنه شغل

Merenungkan hal ini (dzikir dan syaikh) dan sibuk memikirkan satu hal lainnya akan mengantarkanmu ke jam’iyah. Sebagian tokoh sufi menyatakan, apabila ada sehelai rambut di badanmu berubah karena suatu keadaan lalu engkau terganggu, engkau harus melacak rambut itu (kenapa bisa mempengaruhi) sampai engkau berhasil menyingkirkannya. Seperti dinyatakan oleh seorang tokoh, “tetap memikirkan kesibukan adalah kesibukan”.


Merenungkan apa yang telah kami sebutkan mengenai keberpalingan dari dzikir dan dari syaikh, dan sibuk memikirkan satu perkara dan engkau wujudkan perkara itu, sehingga objek tujuanmu berubah, menjadikan ujianmu beragam dan menyulitkanmu untuk tetap di satu jalan tunggal. Dzikir terkadang menjadi susah bagi pelakunya disebabkan adanya ujian dari Allah Ta’ala. Demikian pula halnya seorang syaikh terkadang memalingkan diri dari muridnya karena ketetapan Allah dalam wujud fitnah, kemudian apa yang dipikirkan seorang syaikh berwujud menjadi muridnya. Hal ini yang membuat seorang syaikh sadar terhadap keutamaan muridnya dalam memahami hakikat dzikir.

Dalam kondisi itu, seorang syaikh pada semua tingkatan akan menyatu di dalam hati murid dan tidak bisa dipisahkan.

Sebagian tokoh sufi menyatakan, apabila ada sehelai rambut di badanmu berubah akibat sebuah keadaan dan engkau terpengaruh, engkau harus meneliti kenapa engkau bisa terpengaruh, sampai berhasil menyingkirkannya.

Seperti yang dinyatakan oleh seorang tokoh sufi, sibuk dengan dzikir adalah tidak memikirkan bahwa kita sibuk berdzikir. Karena berpikir sedang sibuk berdzikir merupakan bentuk kesibukan yang memalingkan dari dzikir.


قال المولى سعد الدين الكاشغري ((سألني الشيخ عبد الكبير اليمني، فقال لي ((ما الذكر؟)) فقلت ((لا إله إلا الله))، فقال ((ما هذا ذكر، هذا عبارة)) فقلت له ((أفد أنت))، فقال ((الذكر أن تعلم أنك لا تقدر على وجدانه))

Al-Maula Sa’duddin al-Kasyghari berkata, “Syaikh Abdul Kabir al-Yamani bertanya kepadaku, “Apakah dzikir itu?” Aku menjawab, “Lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan selain Allah).” Dia pun berkata, “Itu bukan dzikir. Itu adalah ungkapan.” Akupun berkata, “Jelaskan padaku (tentang dzikir)!” Dia pun menjelaskan, “Dzikir adalah engkau tahu bahwa engkau tidak kuasa untuk mewujudkannya.”


Al-Maula Sa’duddin al-Kasyghari —kata “al-Kasyghari” di asosiasikan ke kota Kasyghar, Hindustan— berkata, “Syaikh Abdul Kabir al-Yamani bertanya kepadaku, “Apakah dzikir itu?” Aku menjawab, “Lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan selain Allah).” Syaikh al-Yamani berkata, “Sebatas ucapan Lā ilāha illallāh menggunakan lisan itu bukan dzikir hakiki menurut kalangan sufi melainkan hanyalah ungkapan dzikir.” Contohnya seperti ketika engkau mengucapkan kata “rumah”, lafal itu bukanlah rumah, melainkan sekedar ungkapan yang artinya adalah rumah.

Aku pun —al-Kasyghari— berkata kepada al-Yamani, “Jelaskan padaku!” Maksudnya, al-Kasyghari meminta petunjuk tentang dzikir yang hakiki. Al-Yamani lalu menjawab, “Dzikir adalah menyadari bahwa engkau tidak kuasa untuk mewujudkannya.” Maksudnya, pelaku dzikir tidak kuasa untuk mewujudkan dzikir pada dirinya karena hanya Allah yang kuasa untuk mewujudkan dzikir pada dirinya, jika Dia menghendakinya.


وقال السيد ¹⁸ الطائفة الجنيد التصوف هو أن لا تجلس ساعة متعطلا من ملا حظة شيء

Pemimpin golongan sufi (sayyid at-thaifah) Junaid berkata, tasawuf adalah setiap detik yang terlewat harus dihabiskan dengan merenungkan sesuatu.


(¹⁸ Tampaknya terdapat kekeliruan dalam penulisan kata “sayyid” dengan alif lam pada beberapa naskah. “Sayyidut thā’ifah” lebih tepat ditulis dengan kata “sayyid” tanpa alif lam. Seperti tertulis di bagian syarah “sayyidut thā’ifah”, bukan “as-sayyid at-thā’ifah”—Penj.)

Junaid al-Baghdadi rahimahullah selaku pemimpin golongan sufi (sayyid at-thaifah) berkata, dzikir adalah membiarkan dirimu di setiap waktu merenungkan objek apa pun karena merenungkan segala sesuatu dengan berbagai macam perbedaannya adalah dzikir, sebab dengan merenungkan makhluk (manifestasi Allah) kita bisa mengingat Allah dan ini diperuntukkan hanya kepada-Nya. Apabila engkau merenungkan suatu objek, berarti engkau sedang berdzikir kepada Allah. Ini tercapai setelah memahami terhadap segala sesuatu dengan pemahaman yang sempurna. Apabila tidak seperti itu, merenungkan sesuatu merupakan sebuah kelalaian dan bukan sebuah dzikir.


وقال شيخ الإسلام: في ملا حظة ذلك يحصل الوجدان بغير تفتيش والرؤية بلا نظر، ومقصود هذه الطائفة العلية الصوفية أن يحصل لهم مشهد ((أن تعبد الله كأنك تراه))

Syaikhul Islam menyatakan, merenungkan segala sesuatu membuat keterkaitan emosional tercapai tanpa susah payah dan bisa memahami tanpa melihat. Maksud golongan tinggi sufi ini adalah mereka berhasil memahami konsep “An ta’budallāh ka’annaka tarāhu” (Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya).


Syaikhul Islam Khwaja Abdullah Muhammad al-Anshari al-Harawi menyatakan, “Menempatkan objek dzikir pada segala sesuatu memudahkan pelaku dzikir untuk menjalin ikatan spiritual dirinya dengan Al-Haqq dan membuatnya bisa melihat Allah (ru’yah) tanpa perlu benar-benar berusaha untuk melihat-Nya.” Ini adalah maqam Abu Bakar ash-Shiddiq al-Akbar ra., Beliau pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu apa pun, kecuali kulihat Allah di dalamnya.” Maksud pernyataan ini adalah bahwa segala sesuatu merupakan tempat manifestasi (mazhhar) bagi Allah, dari sisi bahwa segala sesuatu hasil dari kehendak Allah. Inilah dzikir hakiki, sedangkan yang selainnya adalah ibadah bukan dzikir.

Maksud golongan tinggi sufi ini —semoga Allah menyucikan ruh-ruh mereka yang luhur dalam mujahadah dan suluk mereka— adalah para salik berhasil mencapai konsep (masyhad) maqam ihsan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sabda Beliau, ihsan adalah “An ta’budallāh ka’annaka tarāhu” (Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya). Ihsan bisa dicapai dengan keimanan dan keislaman yang tercerminkan dalam lisan dan hati, serta dicapai dengan berbagai jenis ketaatan yang ditunaikan oleh anggota tubuh, seraya engkau merenungkan Allah Ta’ala berada dalam dirimu saat melaksanakan setiap ibadah dan di segala sesuatu yang engkau lihat. Dia bermanifestasi kepadamu di dalam segala sesuatu, sebab segala sesuatu adalah objek manifestasi Allah bagimu, sebagaimana dirimu sendiri termasuk dalam objek manifestasi-Nya.

Pada kalimat “Ka‘annaka tarāhu” (Seakan-akan engkau melihat-Nya), huruf kaf masuk ke dalam kalimat ini dengan fungsi penyerupaan (tasybih) atau bermakna “seakan-akan”.

Artinya, menyerupakan keadaan ketika engkau tidak dapat melihat-Nya dengan keadaan ketika engkau dapat melihat-Nya. Konsepnya adalah adanya manusia sempurna dengan citra Ilahiah merupakan manifestasi zat, sifat, dan perbuatan Tuhan.

Dalam kata lain Allah melihat Dzat Ilahiah-Nya ada di dalam Diri-Nya, sementara engkau juga melihat dirimu di dalam dirimu sendiri. Karena segala sesuatu adalah bagian dari hakikat dirimu, ketika engkau melihat segala sesuatu, engkau melihat dirimu juga. Ketika engkau melihat dirimu, engkau telah melihat Tuhanmu. Sebab dirimu adalah manifestasi atau objek kehendak-Nya, Allah Ta’ala berfirman,

اَلَمْ تَرَ اِلٰى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ

“Tidakkah engkau memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang.” (QS. al-Furqān [25]: 45)

Disebutkan dalam sebuah hadits,¹⁹ (¹⁹ Disebutkan dalam kitab Kasyful Khafā’ wa Muzīlul Ilbās. Imam Nawawi menyatakan bahwa pernyataan ini bukan hadits. Namun, Ibnu Arabi menyatakan bahwa kalaupun pernyataan ini tidak shahih sebagai hadits dari jalur periwayatan, akan tetapi pernyataan ini shahih dari jalur kasyf. Imam al-Ghazali juga meyakininya sebagai hadits. Imam as-Suyuthi telah menulis sebuah buku khusus yang membahas hadits ini, yang berjudul al-Qaul al-Asybah fī Hadīts Man ‘Arafa Nafsah Faqad ‘Arafa Rabbah—Penj.)

من عرف نفسه فقد عرف ربه

“Siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya.”

Anda tentu tidak dapat melihat Tuhanmu karena engkau bersifat baru sedangkan Dia bersifat qadim, padahal sesuatu yang bersifat baru tidak mungkin dapat melihat sesuatu yang bersifat qadim. Yang dapat dilihatnya hanyalah mazhhar (tempat manifestasi) karena semua mazhhar bersifat baru, sehingga sesuatu yang bersifat baru dapat melihat sesuatu yang juga bersifat baru. Dengan begitu, sebenarnya ini adalah penglihatan yang bukan penglihatan.

Dari sini dinyatakan “seakan-akan engkau melihat-Nya”, karena yang zahir dengan segala sesuatu adalah Allah Ta’ala, dari sisi bahwa Dia adalah Dzat yang Maha Awal lagi Maha Zahir yang segala sesuatu selain Dia adalah alam semesta. Dia juga adalah Maha Akhir setelah musnahnya segala yang selain Dia di setiap saat seperti yang telah kami jelaskan di bagian lalu. Dia adalah Allah yang Maha Awal dengan esensi-Nya dan Dia Maha Akhir yang segala sesuatu sesudah Dia adalah selain Dia dan itu adalah alam semesta. Jadi, alam semesta adalah pembeda antara sifat Maha Awal dan Maha Akhir, karena tanpa adanya semesta, tidak ada perbedaan antara kedua sifat itu.²⁰ (²⁰ Sifat Allah Maha Awal dan Maha Akhir memang muncul sebab keberadaan alam semesta yang menjadikan Allah sebagai yang Maha Awal karena keberadaan mutlak ada sebelum segala sesuatu selain-Nya (alam semesta), sebagaimana Dia adalah Maha Akhir karena Dia tetap ada setelah semua yang selain-Nya (alam semesta) musnah, tanpa keberadaan alam semesta, sifat Maha Awal dan Maha Akhir itu menjadi tidak ada bedanya—Penj.)

Demikian pula Dia yang Maha Zahir sebelum segala sesuatu dan sesudah segala sesuatu adalah Allah Ta’ala. Segala sesuatu bersifat batin ada di dalam kezahiran-Nya. Dia adalah yang Maha Batin pada waktu kemunculan segala sesuatu, apalagi sebelum dan sesudahnya. Dia adalah Allah Ta’ala dan segala sesuatu muncul di dalam sifat Maha Batin-Nya. Dialah yang Maha Zahir lagi Maha Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.


وملكة الحضور يسمونها ((مشاهدة))، وتكون بالقلب. أما الرؤية فتكون بعين الرأس

Tokoh tarekat Naqsyabandiyah menyebut kemampuan hudhur dengan musyahadah (penyaksian) dan menggunakan hati. Sedangkan ru’yah (melihat) menggunakan mata kepala.


Kemampuan —disebut “malakah” yang berarti “daya intrinsik dalam jiwa”’— bagi terjadinya hudhur atau “kehadiran hati” bersama Allah Ta’ala bisa dicapai oleh salik melalui banyaknya latihan (riyadhah) sehingga kapan pun seorang hamba ingin melakukan musyahadah, dia dapat menggunakannya untuk kemudian hatinya hadir bersama Allah Ta’ala.

Para pemimpin kaum sufi menyebutnya musyahadah (penyaksian) terhadap Allah Ta’ala yang terjadi atau terwujud dengan hati semata, tanpa mata fisik. Sedangkan ru’yah (penglihatan) terjadi dengan mata kepala (‘ainu-r ra’s). Di sini penulis menyebut “kepala” untuk mencegah terjadinya salah paham “mata” sebagai “mata hati” (‘ainu-l qalb).

Mata kepala adalah organ yang tercipta pada bagian tertentu di kepala manusia dengan adanya pupil dan bulu mata. Ini adalah perbedaan antara penyaksian (musyahadah) dengan penglihatan (ru’yah) dari segi anggota tubuh yang terkait. Penyaksian (musyahadah) menggunakan hati, sementara penglihatan (ru’yah) menggunakan mata. Walaupun terkadang penyaksian menggunakan hati juga menggunakan kata ru’yah. Contohnya seperti dalam firman Allah,

مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. an-Najm [53]: 11)

Kata ganti tidak terlihat dari verba ra’ā dalam ayat ini kembali kepada subjek fu’ad yang artinya adalah hati. Terkecuali jika menggunakan pendapat bahwa subjek pelaku dari verba ra’ā dihapus, sehingga makna ayat ini menjadi “Hati kecilnya tidak mendustakan apa yang dilihat oleh matanya.”


والفرق بين الرؤية والمشاهدة أنك في الرؤية لا تقدر أن تبعدها عنك، وفي المشاهدة أنت بالخيار

Perbedaan antara penglihatan (ru’yah) dan penyaksian (musyahadah) adalah engkau dalam penglihatan (ru’yah) tidak mampu untuk menjauhkannya darimu, sedangkan dalam penyaksian (musyahadah) engkau dapat mengaturnya.


Perbedaan antara penglihatan (ru’yah) dan penyaksian (musyahadah) yang lain adalah dalam penglihatan (ru’yah) engkau tidak mampu untuk menjauhkannya darimu ketika engkau melakukannya, sedangkan dalam penyaksian (musyahadah) engkau dapat memilih. Artinya, kalau engkau mau engkau dapat menghilangkannya atau dapat membiarkannya tetap ada. Itu terjadi karena penglihatan (ru’yah) dicapai dari sisi objek penglihatan, sehingga engkau tidak dapat menutupnya. Sedangkan penyaksian (musyahadah) dicapai dari sisi salik yang bermusyahadah sehingga dia dapat menutupnya.

Penyaksian (musyahadah) di dunia dapat terjadi bagi orang-orang mukmin, tetapi tidak demikian dengan penglihatan (ru’yah).²¹ (²¹ Tampaknya yang dimaksud penulis di sini adalah menyangkut “ru’yatullah” atau “kemungkinan melihat Allah” —Penj.) Mereka hanya dapat mencapai penglihatan (ru’yah) nanti di akhirat. Walaupun hal itu mungkin saja terjadi di dunia, seperti yang telah kami jelaskan dalam kitab kami yang berjudul al-Mathālib al-Wafiyyah dan kitab-kitab lainnya.²² (²² Berkenaan dengan masalah penglihatan (ru’yah) dan penyaksian (musyahadah) ini, Imam Sya’rani rahimahullah membedakan antara keduanya dari sisi lain. Dalam kitab al-Mīzān adz-Dzurriyyah dia menuturkan, “Perbedaan antara penglihatan (ru’yah) dan penyaksian (syuhūd) adalah bahwa penglihatan (ru’yah) tidak didahului dengan pengetahuan tentang objek yang dilihat. Ini berbeda dengan penyaksian (syuhūd) yang didahului dengan pengetahuan tentang objek yang dilihat. Pengetahuan inilah yang disebut dengan istilah “Aqaid” karena sebab inilah berkenaan dengan penyaksian (syuhūd) ketika tajalli di akhirat terjadi, terjadi pengakuan dan pengingkaran. Akan tetapi, berkenaan dengan penglihatan (ru’yah) yang ada hanya pengakuan—Penj.)


الطريقة الثانية في سبب الوصول وحصول المعرفة وهي أسهل الطرق وأقربها، وهي التوجه والمراقبة، وهو أن يلاحظ ذلك المعنى المقدس الذي بغير كيف ولا مثال له، المفهوم من الاسم المبارك، نعني ((الله)) بغير عبارة عربية أو عبرانية أو فارسية أو غيرها، تلا حظه وتحفظه في خيالك وتتوجه بجميع قواك ومداركك إلى القلب الصنوبري وتداوم على هذا الأمر بتكلف منك في ملازمته حتى تذهب الكلفة من البين ويصير هذا الأمر لك ملكة

Tarekat atau cara kedua dalam sebab (jalan) wushul untuk mencapai makrifat, sekaligus merupakan jalan yang termudah dan terdekat, adalah tawajjuh dan muraqabah, yaitu dengan merenungkan Dzat Maha Kudus yang tidak bisa dipertanyakan keadaan-Nya dan tak ada satu pun yang serupa dengan-Nya, yang bisa dipahami dari sifat al-Mubarik —maksud kami “Allah”, dengan tanpa ungkapan dalam bahasa Arab, Ibrani, Persia, atau lainnya. Dia harus selalu engkau renungkan dan benamkan di dalam benakmu, lalu engkau bertawajjuh dengan segenap kekuatan dan seluruh inderamu kepada hati sanubari dan teruslah melakukan hal ini serta menanggung beban menyinambungkannya sampai akhirnya beban itu hilang dari segala perantaraan dan hal itu menjadi malakah bagimu.


Tarekat atau cara kedua untuk wushul kepada Allah dan untuk mencapai makrifat bagi murid penempuh suluk berbeda dengan cara atau tarekat pertama, sekaligus menjadi jalan termudah dan terdekat bagi si hamba untuk mencapai tujuan. Cara kedua ini adalah dengan tawajjuh secara lahir batin kepada Allah Ta’ala sembari meninggalkan segala kesibukan dan penghalang. Juga dengan muraqabah (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala) dalam kondisi apa pun, baik di saat sendirian maupun di tengah keramaian.

Cara atau tarekat kedua ini dilakukan dengan merenungkan Dzat yang Maha Kudus dan bersih dari segala keserupaan dengan berbagai hal yang fana, yang tidak bisa dipertanyakan sehingga membuat-Nya dapat di rasionalisasi, yang tak ada satupun yang serupa dengan-Nya di Alam Mulk, Alam Malakut dan Alam Jabarut dan yang termanifestasikan dari sifat-Nya al-Mubarik (Yang Maha Pemberi berkah) yang Maha Agung, Dialah Allah Ta’ala, dzat yang bisa dipahami dalam bahasa Arab atau dalam bahasa Ibrani, sebagai bahasa yang dipakai oleh Nabi Ibrahim as.

Saat itu Nabi Ibrahim as. menyeberangi ‘abara (sebuah sungai) demi menyelamatkan diri dari Namrud. Ketika Namrud mengetahuinya, dia berkata kepada pasukan yang ia perintahkan untuk mengejar Ibrahim, “Kalau kalian menemukan seorang pemuda yang berbicara dengan bahasa Suryani, bawalah dia!” Ketika pasukan itu berhasil menangkap Ibrahim, mereka memaksanya bicara, seketika itu juga Allah mengubah bahasa lisan Ibrahim menjadi bahasa Ibrani. Kejadian ini terjadi ketika Nabi Ibrahim as. menyeberangi ‘abara (sungai), karena inilah bahasa tersebut disebut dengan nama ‘ibrāniy. Sungai yang dimaksud di sini adalah Eufrat. Sedangkan penyebab bahasa Suryani disebut seperti itu adalah karena ketika Allah mengajari Adam as. nama-nama benda, Dia mengajari semua itu secara diam-diam (sirr) tanpa diketahui para malaikat. Pada saat itu Allah membuat Adam berbicara dengan bahasa tersebut.

Allah juga tidak perlu dipahami dengan menggunakan bahasa Persia atau berbagai bahasa lainnya.

Maksud dari penjelasan di atas adalah lafal “Allah” adalah nama yang berarti Dzat Ilahiah yang secara mutlak tidak bisa dibandingkan dengan sifat apa pun. Itulah sebabnya kata “Allah” bisa dipahami tanpa perantara suatu ungkapan.

Engkau harus merenungkan makna “Allah” yang tidak bisa dipertanyakan bagaimana, tidak memiliki tandingan dan juga keserupaan dengan renungan yang muncul dari bersitan hati pada-Nya, bukan renungan yang muncul dari jawaban atas pertanyaanmu tentang-Nya, penyerupaan atau penyamaan kepada-Nya.

Engkau juga harus menanamkan makna yang suci itu (Allah) di dalam imajinasimu tanpa membayangkan bentuk-Nya. Bahkan setiap kali bayangan bentuk-Nya muncul di dalam imanijasimu, engkau harus langsung mengenyahkan gambaran itu karena imajinasi adalah bagian dari penggambaran, padahal semua itu mustahil bagi Allah Ta’ala.

Selain itu, engkau harus bertawajjuh atau menghadap dengan segenap kekuatan lahir batin dan segenap panca inderamu kepada hatimu yang melekat di batinmu pada sisi kiri badanmu. Hati ini disebut dengan nama “sanubari” karena bentuknya serupa dengan buah shanaubar (buah pohon cemara) dan disebut sanubari untuk membedakannya dari hati ruhani. Tawajjuh yang engkau lakukan itu adalah tawajjuh dengan segenap jiwa.

Lalu engkau wahai pelaku dzikir, harus selalu melakukan tata cara dzikir yang telah kami sebutkan tadi dengan menanggung beban konsistensi sehingga engkau harus memaksa dirimu untuk terus melakukannya. Meskipun dalam keadaan bosan atau malas, sampai akhirnya beban itu hilang bersamaan dengan musnahnya rasa waswas, keraguan, dan sangkaan dari dalam dirimu sehingga hal yang disebutkan tadi menjadi malakah (keistimewaan) bagimu yang kapan saja dapat engkau gunakan tanpa susah payah.


قال بعض أكابر النقشبندية أن المعنى المقصود إن مر عليك فتخيله بصورة نور بسيط محيط بجميع الموجودات العلمية والعينية

Sebagian tokoh Naqsyabandiyah berkata jika bayangan makna tadi (Allah) terlintas pada pikiranmu, cukup bayangkan berupa cahaya sederhana yang meliputi semua Maujud Ilmiah²³.


(²³ Semua maujud yang hanya ada dalam ilmu Allah bukan Maujud ‘Ainiyyah yang maujud secara “nyata”—Penj.) dan ‘Ainiyyah.

Sebagian tokoh dari kalangan sufi Naqsyabandiyah —semoga Allah menyucikan hati dan ruh mereka yang luhur— berkata bahwa makna yang dimaksud dalam dzikir adalah Dzat yang suci dari keserupaan dengan segala sesuatu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jika gambaran Dzat itu terlintas di dalam benakmu seperti terlintasnya bayangan suatu benda, cukup engkau bayangkan berupa suatu cahaya, yang tidak memiliki sifat dan bentuk cahaya. Sebab subjek berwarna seperti cahaya putih atau cahaya merah dan sebagainya adalah cahaya Alam Makhluk (‘alam khalq), sedangkan cahaya yang kau bayangkan ada di Alam Perintah (‘alam amr). Bayangkan cahaya itu dengan sederhana (basīth), yaitu tidak tersusun dari dua entitas, sementara cahaya Alam Makhluk semuanya tersusun dan kompleks (ghair basīth), karena ia memiliki sifat seperti putih dan lainnya, sehingga entitasnya dan sifat putih itu adalah dua entitas yang berbeda. Konsep ini berbeda dengan cahaya Alam Perintah yang pasti bersifat sederhana (basīth). Bayangkan juga bahwa cahaya itu meliputi semua Maujud IImiah yang ada di hadirat ilmu Allah Ta’ala.

Berbagai Maujud Ilmiah berada di hadirat ilmu Allah Ta’ala yang tidak bisa digambarkan dan dipertanyakan (ghairu mushawwarah wa lā mukayyafah). Karena Allah mengetahui semua maujud ilmiah karena dengan sifat-Nya al-Mushawwir (Maha Membentuk) maujud tersebut dapat tergambarkan di dalam ilmu-Nya, juga dengan sifat-Nya al-Badi’ (Maha Pencipta hal baru) sesuatu yang tergambarkan dalam ilmu-Nya adalah sesuatu yang belum pernah ada.

Dia mengetahui maujud tersebut tanpa membayangkannya dalam ilmu-Nya, melainkan tergambar dalam entitas-entitasnya, maujud dalam waktu-waktunya dan hadir di dalam ilmu-Nya. Tidak ada sesuatu apa pun yang terlewatkan dari ilmu-Nya, pendengaran-Nya, dan penglihatan-Nya, secara azali dan abadi. Namun seiring dengan semua kondisi di atas, semua Maujud Ilmiah itu “tidak ada” secara nyata sebagai entitas konkrit ketika di atributkan kepada Allah Ta’ala. Demikianlah engkau harus mengetahui hakikat ilmu Allah Ta’ala yang sama sekali berbeda dari ilmu kita.

Maujudat ‘Ainiyyah yang konkret sebagai entitas tapi terus berubah sesuai berjalannya waktu sejatinya tiada secara azali dan abadi. Tetapi kemudian Allah Ta’ala bertajalli dengannya sekaligus menyemburatkan cahaya-Nya yang hakiki atas setiap butir partikel dari semua Maujudat ‘Ainiyyah itu.

Termasuk pula di dalamnya pengetahuan makhluk tentang dirinya dan makhluk lain. Karena seorang makhluk mengetahui sesuatu setelah mengaitkan seluruh pengetahuan mereka sebelumnya. Ketika makhluk telah mengaitkan wujud sesuatu dengan suatu ilmu lain, sesuatu itu pun menjadi konkret. Sementara “wujud” hanya milik yang Maha Hidup lagi Maha Mengayomi, bukan milik siapa pun selain Dia. Setelah itu baru terhubunglah ilmu seorang makhluk dengan berbagai maujud ‘ainiyyah sehingga kemudian makhluk tersebut mengetahui sesuatu. Ini adalah sebuah ilmu yang sebenarnya bukan ilmu, sebagaimana yang Allah firmankan,

وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)

Kalau saja ilmu seorang hamba berganti menjadi ilmu hakikat, si hamba pun akan mengetahui segala sesuatu dalam ketiadaan. Karena wujud hanya milik yang Maha Hidup lagi Maha Mengayomi yang tiada Tuhan selain Dia.


وتجعله في مقابلة البصيرة، ومع حفظ ذلك تتوجه إلى القلب الصنوبري المودع والمدارك، إلى أن تقوى البصيرة وتذهب الصورة ويترتب على ذلك ظهور الأمر المقصود

Lalu engkau hadapkan cahaya yang telah kau bayangkan tadi dengan mata hati (bashirah). Seiring dengan menjaga itu, engkau bertawajjuh kepada hati sanubari dan panca inderamu, hingga mata hatimu menjadi kuat dan bayangan yang menganggumu hilang, sampai apa yang menjadi tujuanmu menjadi jelas kembali.


Engkau jadikan cahaya itu, wahai pelaku dzikir, sebagai objek mata hatimu (bashirah), sehingga cahaya itu selalu dilihat oleh mata hatimu di setiap keadaan. Seiring dengan menjaga semua yang telah disebutkan itu serta merutinkannya, hendaklah engkau bertawajjuh kepada hati sanubari yang ada di sisi kiri badanmu dengan segenap kekuatan yang ada dalam dirimu, serta berbagai panca inderamu, yaitu berbagai organ tubuhmu yang engkau gunakan untuk mengetahui dan merasakan sesuatu.

Semua itu engkau lakukan sampai mata hatimu menjadi kuat untuk mengetahui berbagai hakikat Ilahiah dan makrifat ketuhanan dan menjadi cahaya yang engkau bayangkan di awal menjadi hilang akibat hebatnya cahaya Al-Haqq atas dirimu sehingga wujudmu menjadi sirna. Semua hal tersebut —berupa menguatkan mata hati dan hilangnya cahaya— terjadi diiringi dengan munculnya apa yang diinginkan olehmu, yaitu tajalli Allah Ta’ala yang Maha Qadim lagi Maha Azali.

Hakikat dan Tata Cara Muraqabah menurut Sayyidina Ubaidullah Ahrar


وقال حضرة الشيخ الجليل عبيد الله أحرار: ((أن المراقبة من المفاعلة، فلا بد من الفعل من الجانبين.)) فعلى هذا لا بد أن يكون مراقبا لإطلاع الحق على أحواله ويداوم على ذلك، أو يكون مراقبا لإطلاعه على موجده بدون يصور ولا تشتت خاطر

Hadirat Syaikh yang mulia Ubaidullah Ahrar berkata, “Kata murāqabah mengandung arti mufā’alah, sehingga harus ada tindakan dari kedua belah pihak.” Berdasarkan ini salik harus sadar bahwa Al-Haqq selalu mengawasi segala keadaannya dan menjaga terus kesadaran itu dalam hatinya, atau sadar bahwa dia menjadi objek pengawasan bagi penglihatan-Nya atas perwujudannya tanpa membayangkan dan berusaha mendeskripsikan Dzat-Nya.


Hadirat Syaikh yang mulia Ubaidullah Ahrar an-Naqsyabandi —semoga Allah menyucikan halnya dan menyinari pusaranya— berkata, kata murāqabah mengikuti bentuk kata mufā’alah, yaitu rāqaba yurāqibu murāqabah, sehingga harus ada tindakan dari kedua pihak, seorang hamba dan Allah Ta’ala. Berdasarkan hal ini hamba harus sadar (murāqib) bahwa Allah Ta’ala mengawasi atas segala keadaannya baik lahir maupun batin. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

“Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. al-Fajr (89): 14)

Selain itu dia juga harus menjaga kesadaran itu, baik secara diam-diam maupun terang-terangan tanpa pernah melalaikannya. Kalau pun dia melalaikannya, dia harus langsung mengingatnya kembali.

Atau si hamba sadar bahwa dia adalah objek pengawasan ( murāqab, dengan huruf qaf berharakat fathah ) bagi penglihatan-Nya atas wujudnya semata, walaupun dia tidak sadar bahwa penglihatan-Nya mengawasi segala keadaannya. Hanya saja kesadaran ini harus tanpa membayangkan wujud Allah Ta’ala dan tanpa mendeskripsikan-Nya, karena Allah Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. asy-Syûrâ [42]: 11)

Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menandingi-Nya.


والطريق الآخر أن يكون مراقبا لقلبه الصنوبري ولا يترك الخواطر تحل فيه حتى يتيسر له الربط بقلبه الحقيقي من غير ملا حظة معنى المفاعلة

Jalan lainnya adalah seorang hamba menjadi pengawas bagi hati sanubarinya dan tidak membiarkan berbagai sesuatu mengganggunya, sehingga akan mudah baginya untuk mengendalikan hati hakikinya tanpa perhatian pada makna mufā’alah.


Jalan lain untuk murāqabah adalah si hamba menjadi pengawas atau menjadi penjaga hati sanubarinya itu, tanpa melalaikan makna-makna yang ada di hati sanubarinya itu. Selain itu dia juga tidak boleh membiarkan berbagai hal mengganggu hatinya, termasuk hal-hal yang hanya terbersit selintas di dalam hatinya. Bahkan setiap kali terbersit sesuatu di hatinya, dia harus langsung mengusirnya.

Alasannya adalah karena hal itu akan membuatnya mudah untuk mengikat dirinya yang masih ragu dengan hati hakikinya yang mengalir bersama nafas dan merupakan bagian dari perintah Allah yang seperti kejapan mata. Ini semua terjadi tanpa perlu baginya untuk merenungkan makna mufā’alah yang menunjukkan terjadinya perbuatan dari kedua belah pihak seperti cara pertama.

Dengan begitu dia pun tidak fokus kepada penglihatan Allah yang mengawasi semua keadaannya, tapi dia sibuk dengan murāqabah terhadap dirinya sendiri dan bukan sibuk dengan murāqabah Allah Ta’ala terhadap dirinya. Cara kedua ini bersumber dari hadits Nabi Saw. mengenai maqam ihsan, “An ta’budallāh ka’annaka tarāh”, atau dengan kata lain memperhatikan Allah dengan cara murāqabah kepada hati yang merupakan gerbang hadirat-Nya.

Kemudian Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Fa in lam takun tarāhu” (Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya). Maksudnya, ketika engkau seharusnya bisa melihat Dia dan memperhatikan hadirat-Nya, “Sesungguhnya Dia melihatmu”, karena Dia memang selalu mengawasimu. Ini adalah tarekat atau cara pertama yang merupakan cara tertinggi. Karena di dalamnya terjadi perbuatan kedua belah pihak yang tercermin dalam kata “mufā’alah”.

Selain itu, hadits ini mengandung kunci peningkatan seorang hamba, karena pernyataan “Jika engkau tidak melihat-Nya”, yaitu jika engkau mengetahui bahwa ketika engkau berada di maqam pertama, engkau menduga bisa melihat Allah dan ternyata engkau tidak bisa. Saat engkau mengetahuinya, engkau pun naik tingkat dengan kemunculan keagungan-Nya kepadamu sehingga engkau dengan ketidakmampuanmu melihat-Nya itu akan mencapai sesuatu yang lebih baik daripada ketidakmampuan untuk melihat-Nya di maqam pertama.

Pada saat itu seakan-akan engkau melihat-Nya dengan kondisi engkau pada maqam pertama, sementara seiring dengan itu engkau tidak melihat-Nya, sehingga murāqabah terjadi darimu pada-Nya, dan murāqabah juga terjadi dari-Nya padamu dalam sabda Nabi Saw., “sesungguhnya Dia melihat engkau.” Tentu saja, berpadunya dua murāqabah pada diri si hamba dalam penyaksian lebih sempurna daripada satu murāqabah saja, disebabkan ada kemungkinan terjadinya kelalaian seiring dengan itu dari murāqabah Allah padanya. Kondisi pertama yang tidak disertai kelalaian adalah yang lebih sempurna.


وطريق المراقبة أعلى من طريق النفي والإثبات، وأقرب للجذبة الإلهية من غيرها

Jalan murāqabah lebih tinggi daripada jalan penafian dan penetapan (nafi wa itsbāt), sekaligus lebih dekat dengan jazab Ilahiah dibandingkan yang lainnya.


Kedua murāqabah ini lebih tinggi daripada jalan penafian dan penetapan (nafi wa itsbāt) yang dilakukan dengan ucapan “lā ilāha” sebagai nafi dan ucapan “illallāh” sebagai itsbāt, atau penafian (nafi) terhadap apa pun yang terbersit dalam pikiran ketika berdzikir mengingat Allah, lalu diiringi dengan penetapan (itsbāt) Allah setelah itu, atau penafian (nafi) terhadap semua yang terbersit di diri si hamba ketika melakukan penetapan (itsbāt). Penafian dan penetapan ini dilakukan terus-menerus sampai si hamba mencapai wushul kepada Allah Ta’ala dalam perjalanan ruhaninya dengan menapakinya perlahan-lahan.

Murāqabah lebih tinggi dari nafi wa itsbāt karena di dalam murāqabah kita memperpendek perjalanan dan mengabaikan lelahnya penafian dan penetapan (nafi wa itsbāt). Di samping itu, murāqabah juga mengandung pengabaian terhadap penantian atas sesuatu yang tidak dapat dicapai. Sebab keraguan dan tabiat akan tetap ada ketika penafian dan penetapan (nafi wa itsbāt), tetapi itu tidak terjadi ketika murāqabah yang dilakukan. Selain itu, murāqabah lebih tinggi karena ia lebih mendekatkan si hamba dengan jadzab Ilahiah yang pasti terjadi pada hatinya dibandingkan semua jalan-jalan yang ada, karena ia merupakan bentuk adab bersama Allah yang hal itu berbeda dengan penafian dan penetapan (nafi wa itsbāt).


ومن طريق المراقبة يمكن الوصول إلى الوزارة والتصرف في الملك والملكوت

Jalan murāqabah memungkinkan tercapainya wushul kepada wazārah dan gerak pada al-Mulk dan al-Malakut.


Dari berkah dua bagian murāqabah yang telah disebutkan, memungkinkan murāqib (salik yang melakukan murāqabah ) untuk mencapai wazārah yaitu posisi sebagai wakil Nabi Muhammad Saw. sebagai “khalifah” atas shahibul waqt dalam kemunculan.

Murāqib juga dapat mencapai at-tasharruf (menguasai) Alam al-Mulk dan Alam al-Malakut sebagai tambahan bagi at-tasharruf di Alam al-Mulk yang merupakan tingkatan wazārah tersebut. Sehingga si hamba menjadi shahibul waqt yang dengan bersitan hatinya bergeraklah semua raja di kerajaan-kerajaan mereka dan semua rakyat di tempat mereka, karena dengan murāqabah dia telah mengusai hati manusia, sehingga dia menguasai segala bersitan yang ada pada mereka dengan keinginan dan tekadnya yang bersumber dari Allah Ta’ala.

Jika setan saja dapat menguasai hati manusia dengan menggunakan waswas karena nama Allah adh-Dhār (Maha Menimpakan Bahaya) dan al-Mudhil (Maha Menyesatkan), lantas apalagi dengan malaikat yang bergantung kepada nama Allah an-Nāfi’ (Maha Memberi Manfaat) dan al-Hādī (Maha Memberi Petunjuk), sementara rahmat-Nya pasti mendahului murka-Nya?!


ويمكن بها الإشراف على الخواطر، والنظر منه إلى الغير بنظر الموهبة، وتنوير باطنه، ومن ملكة المراقبة تحصل الجمعية ودوام قبول القلوب، وهذا المعنى يسمى جمعا وقبولا

Dengan murāqabah pengarahan terhadap berbagai bisikan hati, melihat kepada yang lain dengan pandangan kasih sayang, serta menuntun batinnya menjadi mungkin. Dengan menguasai murāqabah, penyatuan dan kesinambungan penerimaan hati bisa dicapai. Makna ini disebut dengan istilah penyatuan dan penerimaan (jam’ wa qabūl).


Memungkinkan pula dengan murāqabah tersebut, dilakukannya pengarahan berupa pengawasan hamba terhadap berbagai bisikan hati yang muncul dan melihat orang lain yang tidak mampu mencapai tingkat kesempurnaan dengan pandangan kasih sayang. Selain itu, akan terjadi pula penuntunan batin orang lain dengan cahaya makrifat Ilahiah karena pandangan orang yang memiliki murāqabah akan menjadi ramuan ajaib bagi orang yang masih termasuk golongan orang-orang terhijab, lalai, dan tertipu (Ahlul Hijab wal Ghaflah wal Ghurūr). Pandangan kasih sayang tadi bisa diterima oleh orang lain, sehingga dia bisa berpindah ke kesempurnaan yang dicapai oleh si pencapai murāqabah sekaligus hilang pula kekurangan dari dirinya.

Dari malakah murāqabah ini, kemampuan murāqabah yang tertanam di dalam diri si hamba dengan banyaknya riyadhah (latihan), akan dicapai penyatuan sempurna yang berupa penyaksian ketunggalan wujud atau Wahdatul Wujud dengan bentuk yang sesuai syari’at. Selain itu, akan tercapai pula olehnya kesinambungan penerimaan hati baginya. Sehingga ketika ada orang kafir yang melihatnya, orang kafir itu akan menerimanya dengan sepenuh hati. Apalagi jika yang melihatnya itu adalah seorang mukmin. Itu terjadi disebabkan keindahan batiniah yang dimilikinya sehingga membuat semua hati dan ruh manusia akan merasa rindu kepadanya karena hati dan ruh manusia itu merasakan dan mengetahui apa yang telah ia capai.

Kalangan sufi menyebut malakah murāqabah yang dicapai oleh si hamba dengan istilah penyatuan dan penerimaan (jam’ wa qabūl). Disebut penyatuan (jam’) karena menghilangkan pemisahan yang terjadi akibat terbatasnya pandangan terhadap sisi lahiriah berbagai perkara tanpa mendalami sisi batiniah serta hakikatnya. Disebut penerimaan (qabūl) karena merupakan keindahan ruhani yang muncul di atas lembaran-lembaran hati untuk memusnahkan keburukan jiwa dan tabiat. Sehingga keindahan itu dapat dilihat oleh semua orang yang sedang mengembara. Pemaparan ini menjelaskan maksud dari hadits Nabi Saw., “Siapa yang merahasiakan sesuatu, niscaya Allah memakaikan selendang rahasia itu kepadanya.”


الطريقة الثالثة: الربط بالشيخ الذي وصل إلى مقام المشاهدة وتحقق بالصفات الذاتية، فإن رؤيته بمقتضى ((ه‍م الذين إذا رؤوا ذكر الله)) تفيد فائدة الذكر، وصهبته بموجب أنهم جلساء الله تتيح صحبة المذكور، وإذا تيسر لك صحبة مثل هذا العزيز ورأيت أثره في نفسك فينبغي لك أن تحفظ ذلك الأثر الذي تشاهده فيك بقدر الإمكان

Tarekat atau cara ketiga adalah keterikatan dengan syaikh yang telah mencapai maqam musyahadah serta mencapai sifat-sifat dzatiyyah. Melihat mereka yang dimaksud oleh pernyataan “Mereka adalah orang-orang yang apabila dilihat, maka nama Allah pun disebut”, setara dengan berdzikir, sebagaimana halnya mendampingi mereka yang merupakan “teman duduk” Allah akan membuka kesempatan terjadinya kebersamaan dengan-Nya. Jika memang mudah bagimu untuk selalu bersama dengan orang mulia seperti itu dan itu mempengaruhi dirimu, seyogyanya engkau menjaga pengaruh yang engkau saksikan di dirimu itu semampumu.


Tarekat atau cara ketiga dari tarekat Naqsyabandiyah adalah keterikatan hati murid dengan syaikh arif yang ruh dan hatinya telah mencapai ke maqam musyahadah yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, sekaligus di dalam dirinya juga telah mencapai sifat-sifat dzatiyyah yang di atributkan kepada Allah yang tak bisa dipertanyakan, sebab pengkudusan mutlak yang membuat seluruh sifat sang syaikh luluh di dalam sifat-sifat Allah, seperti luluhnya bayangan benda ketika terpapar oleh cahaya. Karena bayangan tidak akan muncul kecuali jika ada cahaya di belakang benda, sehingga ketika cahaya itu memapar bagian depannya, bayanganpun mengarah ke bagian belakangnya.

Dalam al-Quran disebutkan,

وَّاللّٰهُ مِنْ وَّرَاۤىِٕهِمْ مُّحِيْطٌ

“Padahal Allah mengepung dari belakang mereka (sehingga tidak dapat lolos).” (QS. al-Burūj [85]: 20)

Itulah sebabnya bayangan muncul. Ketika si hamba bertawajjuh menghadap Tuhan dengan wajahnya, seperti yang dikatakan oleh al-Khalil Ibrahim as.,

اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. al-An’ām [6]: 79)

Ketika itu terjadi, bayangan pun mengarah ke belakang si hamba sehingga keinginannya melebur di dalam keinginan Allah Ta’ala kemudian si hamba mendengar dengan pendengaran-Nya dan melihat dengan penglihatan-Nya seperti yang disebutkan dalam hadits qudsi tentang taqarrub melalui amalan-amalan sunnah.²⁴ (²⁴ Yaitu hadits, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekatkan kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dia mendengar dengannya; Aku menjadi matanya, yang dia melihat dengannya; Aku menjadi tangannya, yang dia bertindak dengannya dan Aku menjadi kakinya, yang dia berjalan dengannya. Jka dia minta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti memberi permintaannya. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.” (HR. Bukhari)—Penj.)

Melihat syaikh muhaqqiq sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pernyataan “Mereka adalah orang-orang yang apabila dilihat, maka nama Allah pun disebut”, yaitu orang-orang yang membuat orang lain berdzikir ketika melihat mereka disebabkan penampakan sinar keshalihan dan ketaatan pada diri mereka. Melihat mereka menjadi sebab terucapnya dzikir disebabkan terjadinya pencapaian maqam ghaibah dan fana’ dalam penyaksian Allah Ta’ala.

Selalu menjaga hubungan dengan sang syaikh yang dilakukan dengan sering duduk, berjalan, dan berbicara bersama sang syaikh sesering mungkin sembari menjaga adab lahir batin membuat murid bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Ini terjadi berdasarkan apa yang disampaikan dalam banyak khabar bahwa para syaikh adalah “teman duduk” Allah (julasā’ullah) dalam pengertian bahwa mereka tidak pernah meninggalkan penyaksian terhadap Al-Haqq serta selalu bermunajat kepada-Nya, baik ketika sendirian maupun saat di tengah orang banyak. Semua itu kemudian akan membuat kesempatan bagi murid yang benar untuk mendekatkan diri kepada objek dzikirnya, Allah Ta’ala.

Jika selalu menjalin hubungan dengan syaikh memang mudah bagimu wahai murid yang mencari makrifat karena Allah memberi kemudahan kepadamu sebagai anugerah dan nikmat-Nya. Dengan syarat syaikh itu tidak mungkin merendahkan dirinya demi sesuatu hal duniawi disebabkan penghormatannya kepada Allah.

Jika itu memang mudah bagimu dan engkau melihat pengaruhnya pada dirimu, seperti kondisi yang biasa engkau alami saat terhijab dan lalai yang muncul pada zaman jahiliyahmu, lalu engkau melihat berbagai bukti Al-Haqq dan lembaran penyatuan dalam dirimu, kemudian bersinar pula bagimu pancaran penerimaan serta berpendar bagimu permulaan cahaya berbagai keadaan spiritualmu, seyogyanya engkau dengan tegas menjaga pengaruh yang engkau saksikan pada dirimu itu sekuat kemampuanmu. Dengan cara menghadirkan hatimu baginya (sang syaikh), mengosongkan batinmu untuk memahaminya, menyadari tentang dia menggunakan akal serta pikiranmu, dan tidak membiarkan dia lewat di dekatmu sementara engkau lalai terhadapnya.


وإن يحصل لك في ذلك المعنى فتور فراجع مصاحبته، حتى يرجع لك ببركته ذلك الأثر، وهكذا تفعل مرة بعد أخرى حتى تصير تلك الكيفية ملكة لك

Apabila rasa bosan pada dirimu muncul saat sedang bersama syaikh, ulangi terus kebersamaanmu itu, sampai engkau mendapatkan kembali manfaat bersama syaikh karena keberkahan Beliau. Ulangilah berkali-kali sampai hal ini menjadi malakah bagimu.


Apabila setelah engkau merasakan pengaruh akibat selalu mendampingi syaikh, muncul bagimu rasa bosan, payah, atau malas dalam melakukannya, ulangilah kembali tekadmu untuk selalu mendampingi syaikh tersebut. Berusahalah untuk membetulkan niat hatimu, semoga dengan itu hatimu dapat merubah kecerobohanmu dalam menjaga ikatan spiritual dengan syaikh. Ulangilah sampai hasil yang engkau dapatkan dari kebersamaanmu dengan syaikh dapat kembali berkat berkah Beliau.

Itu harus dilakukan karena hati para syaikh ibarat pena Allah Ta’ala yang Dia gunakan untuk menulis di antara lembaran-lembaran jiwa para murid sesuai kehendak-Nya.

Ketika kejernihan dan kegelapan suatu lembaran jiwa hilang, tentu lembaran itu tidak dapat ditulisi lagi. Tetapi ketika lembaran itu kembali mengkilat dan bersih, pena akan dapat menulis di atasnya sesuai dengan kuasa al-Malik al-’Allam.

Demikian yang harus engkau lakukan berkali-kali setiap kali muncul rasa bosan untuk mengejar semburat cahaya itu, sampai cara yang dapat memberi pengaruh seperti ini menjadi malakah bagimu, dalam bentuk kekuatan yang engkau tidak lagi terbebani untuk melakukannya.


وإن لم يحصل لك من صحبة ذلك الوزير أثر، ولكن حصلت به محبة وجذبة فينبغي لك أن تحفظ صورته في الخيال وتتوجه بالقلب الصنوبري حتى تحصل الغيبة والفناء عن النفس

Apabila dari kebersamaanmu dengan wazir itu belum ada pengaruh apa pun dalam dirimu, tetapi dengan itu engkau justru berhasil mencapai cinta dan jadzbah, seyogyanya engkau menjaga perasaan itu dalam pikiranmu lalu engkau bertawajjuh dengan hati sanubari sampai engkau mencapai ghaibah dan fana’ dari diri.


Wahai murid, apabila dari kebersamaanmu secara terus menerus dengan wazir, yaitu syaikh arif yang menjadi perwakilan Sayyidina Muhammad Saw. itu belum ada pengaruh apa pun dalam bentuk hasil atau faedah tertentu dalam dirimu.

Tetapi dengan itu engkau justru berhasil mencapai cinta Ilahiah dan jadzab Rabbaniyyah, seyogyanya engkau menjaga rasa yang engkau berhasil capai itu dan memantapkannya di dalam pikiran atau imajinasimu tanpa sedikitpun melalaikannya.

Setelah itu hendaklah engkau bertawajjuh dengannya di dalam hati sanubari yang ada di dalam dadamu, sampai engkau berhasil mencapai ghaibah dari akal dan indera, sekaligus fana’ dari diri atau Alam Nafs, sehingga tidak lagi ada bagimu segala akal, indera, dan jiwa. Lalu pada saat itu akan tampaklah bagimu Allah Ta’ala dengan tajalli-Nya dalam pengkudusan yang mutlak.


وإن وقفت عن الترقي، فينبغي أن تجعل صورة الشيخ على كتفك الأيمن، وتفرض من كتفك إلى قلبك أمرا ممتدا، وتأتي بالشيخ على ذلك الأمر الممتد وتجعله في قلبك، فإنه يرجى لك حصول الغيبة والفناء

Apabila engkau tidak ada perkembangan, seyogyanya engkau menjadikan bayangan syaikhmu di atas bahu kananmu, lalu bayangkan mulai dari bahumu sampai hatimu ada sesuatu yang memanjang, kemudian engkau mendatangi syaikh dengan sesuatu yang memanjang dan telah engkau tempatkan di hatimu itu, karena yang diharapkan dari engkau adalah tercapainya ghaibah dan fana’.


Wahai murid, apabila engkau berhenti dalam berbagai tingkatan kesempurnaan disebabkan terjadinya kesalahan yang engkau lakukan menyangkut hak syaikh, baik secara lahiriah maupun batiniah sehingga hal itu membuat engkau terhijab dari peningkatan meskipun engkau tidak menyadari hal itu, seyogyanya engkau imajinasikan bayangan syaikh yang engkau memohon kepada Allah untuk dapat selalu menjaga hubungan dengannya di atas bahu kananmu karena itulah tempat dari jiwa, dan keberhentianmu terjadi disebabkan dari tempat tersebut.

Setelah itu bayangkan syaikh bergerak dari bahu kananmu ke hatimu di sisi kiri ibarat “sesuatu yang memanjang” (amr mumtad) yang maksudnya adalah kekuatan ruhani yang muncul dari jiwa dan menuju hatimu. Kemudian engkau mendatangi syaikh dari bahu sebelah kanan ke hatimu dengan cara berjalan, lalu menetapkan sang syaikh di hatimu, karena yang diharapkan dari perbuatanmu adalah tercapainya maqam ghaibah dan fana’ yang merupakan hasil dari tawajjuh yang engkau capai dengan kekuatan ruhani syaikh, penuntun jiwamu. Sampai kebersamaanmu dengannya itu bisa bersemayam di hatimu.

Pada saat itu terjadi, matahari hati akan melebur sehingga ia berpadu dengan rembulan jiwa dan bumi tabiatmu berganti dengan bumi baru, sebagaimana langit akalmu juga berganti, sehingga engkau akan mencapai maqam yang diinginkan, lalu engkau akan bisa minum dari telaga ruhanimu dan engkau akan terus berubah dalam berbagai tingkatan penyaksian.

Bab 3: Sebelas Ungkapan Suci Sebagai Fondasi Tarekat Naqsyabandiyah


فصل في الكلمات القدسية المأثورة عن حضرة الخواجة عبدالخالق الغجدواني وهي إحدى عشر كلمة، مبنى طريق السادة النقشبندية عليها وهي هذه: يادكرد، باز كشت، نگاه داشت، ياد داشت، هوش دردم، سفر در وطن، نظر بر قدم، خلوة در انجومن، وقوف قلبي، وقوف زماني، وقوف عددي

Pasal tentang kata-kata kudus yang diambil dari hadirat Khwaja Abdul Khaliq Ghujdawani. Kata-kata ini berjumlah sebelas, Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyt, Yad Dasyt, Hosy Dar Dam, Safar Dar Watan, Nazhar Bar Qadam, Khalwat Dar Anjuman, Wuquf Qalbi, Wuquf Zamani, Wuquf ‘Adadi.


Pasal penjelasan tentang kata-kata kudus dan suci karena kata-kata ini tidak mengandung unsur keraguan sehingga hanya menghasilkan pemahaman yang benar. Semua kata kudus ini dinukil (ma‘tsur) dari hadirat Khwaja Abdul Khaliq Ghujdawani yang telah disebutkan sebelumnya. Jumlahnya ada sebelas yang menghimpun semua rahasia hakikat Ilahiah dan cahaya makrifat Rabbaniyyah, yang menjadi pondasi bagi tarekat para tokoh Naqsyabandiyah —semoga Allah menyucikan sirr mereka yang luhur.

Tarekat ini didirikan di atas kata-kata kudus yang berjumlah sebelas buah. Delapan di antaranya bersumber dari Syaikh Abdul Khaliq dengan menggunakan bahasa Persia dan disengaja tetap seperti itu sebagai bentuk tabarruk (mengharap keberkahan) pada lafal Sang Syaikh. Insya Allah penjelasannya akan disampaikan di bagian selanjutnya.

Kesebelas kata kudus itu, Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyt, Yad Dasyt, Hosy Dar Dam, Safar Dar Watan, Nazhar Bar Qadam, Khalwat Dar Anjuman, Wuquf Qalbi, Wuquf Zamani, Wuquf ‘Adadi.

Berikut ini adalah kesebelas kata kudus itu:

  1. Yad Kard, yad artinya adalah berdzikir atau mengingat, sementara kata kard artinya adalah berulang-ulang atau perintah untuk melakukan sesuatu.
  2. Baz Gasyt, ditulis dengan huruf ba’, zay, dan kaf Persia.²⁵ (²⁵ Huruf kaf Persia maksudnya adalah huruf kaf bergaris atas (گ) yang pelafalannya berbunyi seperti bunyi aksara “G” —Penj.) Kata baz artinya yang berlalu, sementara kata gasyt artinya adalah menjadi.
  3. Nigah Dasyt, ditulis dengan huruf nun lalu kaf Parsi dan huruf dal berharakat fathah dilanjutkan huruf syin. Kata nigah berarti penglihatan, sementara kata dasyt berarti kata perintah untuk memegang atau menahan.
  4. Yad Dasyt, ditulis dengan huruf ya dan huruf dal berharakat sukun, lalu huruf dal berharakat fathah (pada kata dasyt) dan huruf syin. Kata yad berarti berdzikir atau mengingat, sementara kata dasyt berarti kata perintah untuk memegang atau menahan.
  5. Hosy Dar Dam, ditulis dengan huruf ha’ berharakat dhammah ²⁶ (²⁶ Meski ditulis dengan harakat dhammah, tetapi dalam bahasa Persia huruf ha dengan harakat dhammah ini dilafalkan dengan bunyi seperti bunyi aksara “O” — Penj.) lalu syin. Arti kata hosy adalah akal atau otak dan kata dar berarti di dalam, sementara kata dam berarti nafas, yaitu udara yang keluar masuk melalui mulut. Jadi, kalimat hosy dar dam artinya adalah “akal pada setiap embusan nafas”.
  6. Safar Dar Watan, kata dar artinya di dalam seperti yang sudah kami sebutkan di atas. Kalimat ini artinya “perjalanan di sebuah negeri”.
  7. Nazhar Bar Qadam, kata bar dengan huruf ba berharakat fathah dan huruf ra berharakat sukun, artinya adalah “di atas”. Kalimat ini artinya adalah “melihat ke atas kaki’’.
  8. Khalwat Dar Anjuman, kata dar berarti di dalam dan kata anjuman berarti jama’ah. Kalimat ini berarti “berkhalwat di tengah keramaian”.
  9. Wuquf Qalbi (memantapkan hati)
  10. Wuquf Zamani (menentukan waktu dzikir)
  11. Wuquf ‘Adadi (menentukan jumlah dzikir)

Ketiga kalimat terakhir ini bahasa Arab asli, sehingga kami tidak perlu menjelaskannya.


وحيث كان حضرة الخوجة عبد الخالق رأس حلقه هذه الطائفة لزم بيان ألفاظها المصطلح عليها، ولنشر حها مقتصدين بين الإجمال والتفصيل، وها أنا أشرع ذلك:

Sesuai posisi hadirat Khwaja Abdul Khaliq sebagai pemimpin halaqah kelompok ini, harus disampaikan penjelasan tentang berbagai lafal sesuai istilahnya. Kami akan menjelaskannya secara sederhana, tidak terlalu umum dan tidak terlalu rinci. Berikut ini penjelasannya.


Posisi hadirat Khwaja Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang telah disebutkan sebelumnya adalah pemimpin halaqah atau tokoh besar jama’ah tarekat Naqsyabandiyah, semoga Allah memanjangkan umur mereka dengan dzikir-Nya serta menyucikan hati mereka.

Dulu dzikir mereka adalah dzikir jahr yang berasal dari Syaikh Abdul Khaliq, kemudian Syaikh Abdul Khaliq bertemu dengan Nabi Khidir as. dan mentalqinnya dengan dzikir khafi. Sejak hari itu, dzikir mereka pun menjadi dzikir khafi. Jadi, Syaikh Abdul Khaliq adalah penyempurna adab tarekat ini sekaligus penolong para salik dengan kata-katanya sekaligus membuktikan bahwa dia adalah Kesatria Medan Hakikat.

Oleh karena itu, kami para pelayan orang-orang yang berhati suci serta sibuk dengan ibadah kepada ‘Allāmul Ghuyūb harus menyampaikan penjelasan tentang makna lafal-lafal ini sesuai istilahnya.

Di bagian ini, kata mushthalih dapat dibaca dengan huruf lam berharakat kasrah, atau dibaca mushthalah dengan huruf lam dibaca dengan harakat fathah. Jika dibaca mushthalih, maka maksudnya adalah seperti yang disebutkan di atas. Tetapi jika dibaca mushthalah, maka maksudnya adalah sesuai istilah yang ditetapkan oleh para Syaikh Naqsyabandiyah untuk mengikutinya (Syaikh Abdul Khaliq) karena dia adalah imam tarekat ini, sehingga hal itu harus dijelaskan.

Kami akan menjelaskannya dengan pertolongan Allah, secara sederhana, tidak terlalu umum ataupun rinci. Berikut ini saya jelaskan dengan teliti. Wallahu waliyyut taufiq.

1. Yād Kard: Dzikrullah dengan Lisan

((ياد كرد)) وهي عبارة عن ذكر الله باللسان أو القلب، يعني: كن دائما في تكرار الذكر الذي استفدته من الشيخ، إلى أن يحصل لك حضور على الدوام مع الحق

“Yād Kard” adalah ungkapan yang menyatakan dzikrullah menggunakan lisan atau hati. Artinya, teruslah mengulangi dzikir yang engkau dapatkan dari syaikh, sampai membuat engkau selalu berada dalam keadaan hudhur bersama Al-Haqq.


“Yād Kard” adalah kata pertama yang berarti berdzikir baik menggunakan lisan maupun hati sebagai alat, seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Arti kata ini adalah engkau wahai murid, selalulah mengulangi dzikir yang engkau dapatkan dari syaikh, baik dengan lisan maupun dengan hatimu tanpa pernah engkau melalaikannya, sampai pengulangan dzikir itu membuatmu selalu dalam keadaan hudhur bersama Al-Haqq.


وطريق تعليم الذكر للمريد أن الشيخ أولا يذكر بقلبه الكلمة الطيبة والمريد يحضر قلبه في مقابلة قلب الشيخ ويفتح عينيه ويطبق فاه كما مر بيانه؛ قال حضرة الخوجة بهاء الدين قدس سره: المقصود من الذكر أن يكون القلب دائما حاضرا مع الحق تعالى بوصف المحبة والتعظيم لأن الذكر طرد الغفلة

Cara pengajaran dzikir bagi murid dimulai dengan Sang Syaikh mendzikirkan kalimat thayyibah dengan hatinya sementara si murid menghadirkan hatinya dengan meniru hati Sang Syaikh sembari membuka kedua matanya serta merapatkan mulutnya seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Hadirat Khwaja Baha’uddin berkata, “Tujuan dari dzikir adalah menjadikan hati selalu hadir bersama Allah Ta’ala dengan sifat mahabbah dan takzim, karena dzikir adalah pengusir sifat lalai.”


Cara pengajaran dzikir bagi murid dimulai dengan Sang Syaikh mendzikirkan kalimat thayyibah berupa lafal Lā ilāha illallāh dengan hatinya, sementara si murid menghadirkan hatinya untuk meniru hati Sang Syaikh, yaitu hati murid memperhatikan hati Sang Syaikh dan dia dalam posisi duduk di hadapan Syaikh di atas dua lutut tanpa melakukan gerakan lain.

Dinukil dari Ibnu Arabi dalam kitabnya yang berjudul Rūhul Qudus, bahwa sebagian di antara para syaikhnya, yaitu Fathimah binti Mutsanna yang tinggal di kota Sevilla²⁵ (²⁵ Sebuah kota di kawasan Andalusia, Spanyol —Penj.) adalah salah satu di antara para ‘arifah billah semoga Allah menyucikan ruhnya.

Dia berkata, “Aku tidak pernah takjub kepada orang yang menemuiku selain Ibnu Arabi.” Wanita itupun ditanya, “Mengapa seperti itu?” Dia menjawab, “Kalian semua selalu menemuiku dengan membawa sebagian dan meninggalkan sebagian dari keinginan kalian, seperti rumah dan keluarga, tapi tidak dengan Muhammad bin Arabi, anakku dan belahan jiwaku.

Ketika dia menemuiku, dia masuk, berdiri dan duduk dengan sepenuh hatinya, tanpa meninggalkan sedikit pun keinginan di belakangnya.” Demikian pula halnya murid seharusnya berada di hadapan syaikhnya sembari membuka kedua matanya dan melihat Sang Syaikh yang berada di hadapan wajahnya. Siapa tahu dia menemukan hal khusus di tengah kondisi dzikir hatinya sehingga si murid mempelajari itu dari syaikhnya dalam dzikirnya.

Seiring dengan itu, hendaklah dia merapatkan mulutnya agar jangan sampai ada dzikir apa pun yang terucap disebabkan keteledorannya saat memperhatikan hati syaikhnya, sehingga dengan hal itu dia berselisih dengan syaikhnya dalam berdzikir. Hal ini telah disampaikan penjelasannya, yaitu berkenaan dengan cara dzikir khafi.

Hadirat Khwaja Baha’uddin berkata, “Tujuan dari dzikir adalah menjadikan hati selalu hadir bersama Allah Ta’ala, tanpa lalai sedikit pun terhadap-Nya, dengan sifat mahabbah (cinta) dan takzim kepada-Nya. Ketika makna tersebut telah berhasil dicapai oleh hati si murid, itu membuatnya tidak perlu berdzikir karena dzikir adalah mengusir kelalaian dari hati, jika dia telah berhasil mengusir kelalaian, memang itulah tujuannya.”

2. Baz Gasyt: Dzikir Kalimat Thayyibah


باز گشت يعني أن الذاكر كلما ذكر بقلبه الكلمة الطيبة قال عقبها بذكر اللسان: ((إلهي أنت مقصودي ورضاك مطلوبي))، يعني من هذا الذكر لأن هذه الكلمة تفيد نفي كل خاطر من مليح وقبيح

Baz Gasyt memiliki arti bahwa setiap kali murid mendzikirkan kalimat thayyibah dengan hatinya, dia mengucapkan setelahnya dengan lisan, “Ilāhi anta maqshūdi wa ridhāka mathlūbi” (Tuhanku Engkau adalah tujuanku dan ridha-Mu adalah permintaanku), maksudnya, dari dzikir ini, karena kalimat ini gunanya untuk menafikan segala bersitan baik ataupun jelek.


Baz Gasyt merupakan kata kedua yang maknanya ditunjukkan oleh pernyataan penulis, bahwa pedzikir yang menyebut nama Allah setiap kali hatinya mendzikirkan kalimat thayyibah, yaitu lafal “Lā ilāha illallāh”, dia mengucap setelahnya dengan dzikir lisan sebatas bisa sampai didengar oleh dirinya sendiri, “Ilāhi anta maqshūdi wa ridhāka mathlūbi” (Tuhanku Engkau adalah tujuanku dan ridha-Mu adalah permintaanku), maksudnya, “Wahai Tuhanku” atau “Wahai sesembahanku, tak ada tuhan yang selain Engkau di seluruh alam semesta, engkau adalah tujuanku dari dzikir ini dan segenap amal, ucapan, serta keadaanku, sebagaimana ridha-Mu kepadaku adalah permintaanku dalam segala keadaan.”

Karena meminta ridha Allah kepada seorang hamba adalah sesuatu sikap mendahulukan keinginan Allah daripada keinginan hamba. Sedangkan hal selain ridha-Nya, seperti berupa keselamatan dari azab-Nya, berbagai kelezatan surga, pahala besar, terpenuhinya kebutuhan dan sebagiannya adalah sikap mendahulukan keinginan hamba daripada keinginan Allah, padahal hal seperti itu tidak layak menjadi tujuan, sebagaimana yang dinyatakan dalam ucapan, “tujuanku dan permintaanku”.

Semua itulah yang dituju oleh si hamba dalam dzikirnya. Kegunaan kalimat tadi bagi si murid adalah untuk menafikan segala bisikan yang terlintas di dalam hatinya di saat berdzikir, baik bisikan baik maupun bersitan buruk. Kedua bersitan hati itu sama-sama tercela jika muncul di tengah dzikir, sebab itu merupakan bentuk kesibukan hati yang memalingkan dari dzikir sekaligus menolak Allah Ta’ala.


حتى يخلص الذكر ويتفرغ الذاكر عما سوى الحق عز وجل، وإن لم يجد الذاكر له إخلاصا في هذا الكلام قاله على سبيل التقليد من المرشد فإنه يحصل له ببركة ذلك الإخلاص إن شاء الله تعالى

Murid melakukan hal itu sampai dzikir itu bersih dan dia kosong dari semua selain Al-Haqq Azza wa Jalla. Jika si pedzikir belum mendapatkan keikhlasan dalam kata-kata yang ia ucapkan, hendaklah dia mengucapkannya dengan taklid kepada mursyid, karena ia akan berhasil mencapai ikhlas sebab keberkahan melakukan hal itu, Insya Allah.


Murid tetap melakukan hal tadi sampai dzikir itu bersih atau murni dari segala hal selain Allah, dan pedzikir pun kosong dari semua hal selain Al-Haqq Azza wa Jalla secara total, sehingga tidak akan ada satu pun aral lagi baginya untuk terbang ke angkasa azali, serta tidak akan ada satu pun penghalang baginya untuk berkelana di Alam Malakut dan menghadap kepada hadirat Dia yang Maha Wujud.

Jika si orang yang berdzikir itu belum mendapatkan keikhlasan dalam kata-kata tersebut karena dia tidak mampu memantapkan hatinya serta tidak sanggup melindunginya dari kelemahan ruhaniahnya serta dominasi jasmaniahnya, hendaklah dia mengucapkan kata-kata itu dengan lisannya bukan sebagai hamba yang utuh, melainkan dia bertaklid kepada sosok mursyid sempurna.

Dengan hal ini murid akan dapat mencapai keikhlasan tersebut dengan berkah melakukan hal tersebut, jika memang Allah menghendaki itu, sebab segala sesuatu hanya berdasarkan kehendak-Nya dan Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

3. Nigah Dasyt: Muraqabah dengan Kalimat Thayyibah


نگاه داشت وهو عبارة عن مراقبة الخواطر إذا كرر الكلمة الطيبة في نفسه مرارا، يراعي أن لا يخطر بباله خاطر ويجتهد أن لا يخطر له خاطر الغير في ساعة أو ساعتين، فإن ذلك أمر مهم عند أكابر وبعض كمل الأولياء حتى يتم لهم هذا المعنى

Nigah Dasyt merupakan ungkapan yang menyatakan muraqabah (pengawasan) berbagai bisikan hati. Jika murid mengulang-ulang kalimat thayyibah di dalam dirinya secara terus-menerus, dia akan menjaga hatinya dan berusaha agar jangan sampai terbersit di dalam benaknya sesuatu apa pun. Ini adalah perkara penting bagi para tokoh tarekat dan sebagian di antara para wali sempurna, sehingga makna ini menjadi paripurna bagi mereka.


Nigah Dasyt adalah kata ketiga, yang maknanya merupakan ungkapan yang menyatakan muraqabah atau pengawasan terhadap berbagai bentuk bersitan hati atau khāthir. Khāthir adalah segala sesuatu yang terlintas di dalam hati dalam bentuk bermacam-macam makna yang baik ataupun yang buruk.

Kalimat Nigah Dasyt berarti bahwa apabila kalimat thayyibah “Lā ilāha illallāh” diulang-ulang di dalam diri seorang hamba secara terus-menerus, dia harus selalu berusaha agar jangan sampai terbersit di dalam benaknya sesuatu apa pun selain Allah karena hati manusia hanya dapat menampung satu objek sehingga ketika seorang pelaku dzikir mengingat sesuatu, ia pasti melupakan sesuatu yang lain, sebagaimana jika ia sibuk dengan sesuatu, ia pasti melupakan terhadap sesuatu lainnya selama beberapa saat.

Sebab hal yang disebutkan tadi —yaitu pengawasan terhadap bisikan hati dalam kondisi apa pun— merupakan sebuah perkara penting bagi para tokoh dari kalangan syaikh di jalan Allah dan para wali sempurna.

Namun sebagian yang lainnya berpendapat bahwa yang terpenting adalah mengingat Allah dan bukan mengawasi hati, sebab bisikan hati —menurut mereka— akan hilang dengan sendirinya ketika dzikir dilakukan, sehingga hamba tidak perlu untuk fokus kepada hatinya, baik untuk menafikan bisikan itu maupun untuk menetapkannya, sehingga makna ini menjadi paripurna bagi para murid.

Kata “makna” di matan berarti apa yang telah disebutkan di atas, yaitu hilangnya sesuatu yang selain Allah dari dalam hati, sehingga para murid dapat memasuki alam jadzab Ilahi (‘ālam al-jadzbah al-ilāhiyyah).

4. Yad Dasyt: Hudhur bersama Allah


ياد دشت هو عبارة عن دوام الحضور مع الحق سبحانه وتعالى على سبيل الذوق

Yad Dasyt adalah ungkapan yang menyatakan tentang kesinambungan kehadiran (hudhur) bersama Allah Ta’ala melalui rasa (dzauq).


Yad Dasyt adalah kata keempat berupa ungkapan yang menyatakan tentang kesinambungan kehadiran (hudhur) hati bersama Allah Ta’ala melalui rasa (dzauq) yaitu dengan menggunakan hati dan pencapaian hakikat, bukan mengetahui Allah melalui penggambaran atau imajinasi.

Kehadiran atau hudhur bersama Allah Ta’ala serta kesaksian pada-Nya tidak akan pernah terjadi kecuali hanya pada berbagai hal yang ada, baik yang bersifat rasional maupun inderawi. Ketika berbagai hal itu terus disaksikan bersama berlangsungnya hudhur, seorang hamba telah berada di maqam penyaksian segala perbuatan Allah (syuhūd af’ālillāh).

Apabila berbagai hal bukan disaksikan bersama berlangsungnya hudhur, melainkan yang disaksikan hanya satu nur tunggal seperti kilat yang cemerlang, si hamba berada di maqam penyaksian semua sifat Allah (syuhūd shifātillāh). Apabila tidak ada sesuatu apa pun yang disaksikan ketika berlangsungnya hudhur, hamba berada di maqam penyaksian Dzat Allah (syuhūd dzātillāh).

Umat Muhammad yang sempurna mengalami ketiga keadaan tersebut tanpa pernah diam dengan ketiganya, melainkan dia terus berpindah dan berbolak-balik di dalamnya sesuai dengan perbedaan kehadiran dan tajalli mereka dan tanpa pernah memiliki satu maqam khusus tertentu. Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah isyarat dalam firman Allah yang menunjukkan kepadanya,

يٰٓاَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ

“Wahai penduduk Yatsrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu.” (QS. al-Ahzāb [33]: 13)

Yatsrib adalah salah satu di antara beberapa nama yang dimiliki kota Madinah. Semua ini terjadi pada kehadiran (hudhur) dan penyaksian (syuhud) dengan rasa (dzauq) dan hati (wijdān).

Adapun pemilik ilmu khayali serta kehadiran pikiran pada ketiga maqam ini serta penyaksian pikiran berada di tempat sangat jauh,

اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ

“Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat [41]: 44)


قال بعض أكابر قال في شرح هذه الكلمات الأربع: ((ياد كرد)) كن دائما في الذكر. ((باز گشت)) أرجع إلى الله سبحانه وتعالى وجه الانكسار. ((نگاه داشت)) حافظ ولا زم على هذا الرجوع. ((ياد داشت)) يعني ارسخ في هذه الحافظة.

Sebagian tokoh menyatakan penjelasan lain dari keempat kalimat pertama ini, Yad Kard, bermakna “Teruslah engkau berdzikir”. Baz Gasyt, memiliki makna “Kembalilah kepada Allah Ta’ala dengan rendah diri”. Nigah Dasyt, berarti “Jaga dan teruslah berusaha untuk kembali ke Allah.” Yad Dasyt, memiliki arti “Bersungguh-sungguhlah dalam menjaga ruju’.”


Sebagian kalangan syaikh muhaqqiq menyatakan mengenai penjelasan keempat kalimat pertama ini, Yad Kard, memiliki makna “Teruslah engkau berdzikir”, tanpa pernah jemu.

Baz Gasyt bermakna, kembalilah engkau wahai murid, kepada Allah Ta’ala dengan menyaksikan bahwa dirimu adalah salah satu dari perbuatan Allah Ta’ala yang engkau terus bergerak dengan kuasa-Nya dalam berbagai tingkatannya, tanpa sekalipun menganggap bahwa dirimu tidak termasuk dari perbuatan-Nya.

Tinggalkanlah pengakuan bahwa dirimu adalah sebuah entitas yang memiliki sifat, nama dan perbuatan. Dirimu hanyalah perbuatan di antara berbagai perbuatan Allah Ta’ala. Waspadalah terhadap kesombongan diri terhadap Al-Haqq yang dapat muncul dari penyaksiannya terhadap apa yang telah kami sebutkan tadi.

Selanjutnya, hendaklah pastikan bahwa kembalimu kepada Allah Ta’ala dalam kehinaan dan kefakiran. Sebab itulah sifat-sifat jiwa yang asli, sedangkan yang selainnya hanyalah sifat-sifat yang semu. Sebagaimana dikutip dari Abu Yazid bahwa dia pernah bermunajat kepada Allah Ta’ala dengan ucapan, “Wahai Tuhanku, bagaimana orang-orang yang dekat dengan-Mu dapat mendekat kepada-Mu?” Tuhan pun menjawab, “Dengan sesuatu yang tidak Aku miliki, yaitu kehinaan dan kefakiran.”

Nigah Dasyt berarti “Jaga dan teruslah berusaha untuk kembali ke Allah Ta’ala.” Sebab hamba memang harus kembali kepada-Nya, baik secara suka rela di dunia maupun secara terpaksa di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

“Dan kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. al-Baqarah [2]: 245)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّٰهِ غَيْبُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاِلَيْهِ يُرْجَعُ الْاَمْرُ كُلُّهٗ

“Milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan.” (QS. Hūd [11]: 123)

Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ (٢٧) ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ (٢٨)

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr [89]: 27-28)

Yad Dasyt memiliki arti “Wahai murid, bersungguh-sungguhlah dan menetaplah pada menjaga ruju’.” Maksudnya, menjaga keadaan kembalinya hamba kepada Allah Ta’ala karena hanya Dialah hakikat yang sesungguhnya, sedangkan semua yang selain Dia hanyalah kesemuan yang pasti akan musnah. Jadi hendaklah engkau selalu bersama orang-orang yang pakar di dalam ilmu bukan di dalam kesemuan. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang pada maqam ihsan, yaitu beribadah menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan berbagai syarat ihsan yang lain seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya.

5. Hosy Dar Dam: Bernafas tanpa Kelalaian


((هوش در دم)) يعني كل نفس يحرج يكون مع الحضور من غير غفلة

Hosy Dar Dam bermakna setiap nafas yang keluar selalu bersama kehadiran (hudhur) tanpa kelalaian.


Hosy Dar Dam adalah kata kelima, maknanya setiap embusan nafas —seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya— selalu keluar dari mulut si murid bersama kehadiran (hudhur) tanpa kelalaian.

Di bagian ini penulis tidak menyebut nafas yang masuk ke mulut, karena nafas yang masuk adalah udara yang belum merasuk ke diri si murid sehingga dia tidak memiliki hak atasnya dan si murid tidak harus melakukan hudhur bersama udara tersebut, berbeda dengan udara yang keluar.

Embusan nafas itu harus keluar bersama kehadiran (hudhur) dan penyaksian kepada Allah Ta’ala, tanpa kelalaian dari-Nya karena apabila si murid lalai, pasti dia akan ditanya tentang bagaimana mungkin ia membiarkannya terjadi, padahal dia diperintahkan oleh Allah Ta’ala melakukan hudhur. Allah akan memutuskan berdasarkan kesaksian si murid pada-Nya sehingga si murid akan dicatat bersama orang-orang yang lalai terhadap Allah Ta’ala atau dicatat bersama orang-orang yang hudhur dengan-Nya.


قال حظرة الخواجة بهاء الدين النقشبندي قدس سره إن بناء الأمر في هذا الطريق على النفس فينبغي أن يجتهد في حفظ ما بين النفسين حتى لا يد خل بغفلة ولا يخرج بغفلة

Hadirat Khwaja Baha’uddin an-Naqsyabandi menyatakan bahwa pondasi utama tarekat ini adalah nafas, sehingga murid harus berusaha untuk menjaga antara dua tarikan nafas agar nafas itu tidak masuk dengan kelalaian dan tidak keluar dengan kelalaian pula.


Hadirat Khwaja Baha’uddin an-Naqsyabandi menyatakan bahwa pondasi utama tarekat yang menuju wushul kepada Allah ini adalah kondisi hudhur bersama setiap nafas. Sehingga diharuskan bagi murid untuk berusaha menjaga antara dua nafas, agar jangan sampai nafas itu masuk dengan kelalaian dan jangan keluar dengan kelalaian pula. Tapi murid harus berusaha menjaga dengan sungguh-sungguh antara dua nafas itu, yaitu nafas yang masuk dan nafas yang keluar.

Hendaknya dia hadir bersama Allah Ta’ala di antara keduanya sehingga nafas yang keluar dan nafas yang masuk dari mulutnya selalu dibarengi hudhur bersama Allah seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya. Tujuannya adalah agar jangan sampai ada satupun nafas yang masuk dengan kelalaian dan jangan keluar dengan kelalaian pula tanpa terjadinya hudhur bersama Allah Ta’ala.

6. Safar Dar Watan: Perjalanan Salik Menuju Allah


((سفر در وطن)) يعني أن سفر السالك إنما يكون في الطبيعة البشرية يعني بتنقله من الصفات الذميمة إلى الصفات الحميدة

Safar Dar Watan berarti bahwa perjalanan salik terjadi dalam tabiat kemanusiaan, yaitu dengan perpindahannya dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji.


Safar Dar Watan adalah kata keenam. Penjelasan ringkasnya adalah perjalanan dari diri salik menuju Allah Ta’ala terjadi dalam tabiat kemanusiaan, bukan pada yang selain itu.

Itu terjadi dengan berubahnya seorang murid dari sifat-sifat asli manusia yang tercela dan buruk, seperti sifat pelit, tamak, kikir, hasad, makar, sesat, dan sebagainya, menuju sifat-sifat terpuji, seperti mendahulukan orang lain, toleran, pemurah, pemaaf, lapang dada, bersih hati, adil, tawakkal, zuhud, wara’, takwa, dan sebagainya.

Apabila jiwa hamba telah berpindah dari sifat-sifatnya yang tercela menuju sifat-sifatnya yang mulia, jiwa itu pun berubah menjadi sebuah hati (qalb). Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهٗ قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

“Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qāf [50]: 37)

Peringatan ayat ini hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki hati, bukan orang yang memiliki jiwa, karena jiwa tidak memiliki mata batin (bashirah), atau bagi orang yang meninggalkan pendengarannya karena ia mendengar dengan pendengaran-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits mengenai taqarrub menggunakan amalan-amalan sunnah.

Potongan ayat “sedang pada saat itu dia menyaksikannya”, memiliki arti hamba mencapai musyahadah kepada Allah Ta’ala ketika dia mendengar menggunakan pendengaran-Nya. Ini merupakan maqam bagi muqarrabūn (orang-orang yang didekatkan dengan Allah), sementara yang pertama adalah maqam bagi kalangan abrār (orang-orang bajik).


كما قال بعض الأكابر إن الشخص إذا تنقل إلى أي محل، لا تفارقه الصفات الخبيثة ما لم تنتقل عنه، وقيل رؤية الغيب في الشهادة

Seperti dikatakan oleh sebagian tokoh bahwa ketika seseorang berpindah ke maqam manapun, sifat-sifat buruknya tidak akan meninggalkannya selama ia tidak memindahkannya. Dikatakan pula (makna kata keenam ini) melihat yang ghaib dalam penyaksian.


Sebagian tokoh dari kalangan sufi muhaqqiq mengatakan, ketika seseorang berpindah dari berbagai tingkatan ilmunya tentang Allah Ta’ala ke tempat manapun, sifat-sifat buruknya sebagai tabiat manusia yang asli tidak akan meninggalkannya selama ia tidak mau memindahkannya dengan menjauhi sifat-sifat buruk itu.

Namun menghilangkan semua sifat buruk tersebut juga tidak mungkin, karena hal itu akan menghilangkan sisi kemanusiaan dirinya dan termasuk larangan bagi manusia. Jadi yang bisa dilakukan adalah mengalihkan sikap pelit terhadap kehidupan dunia menjadi sikap “pelit”²⁸ (²⁸ Maksudnya, tidak rela ketika ada ibadah yang terlewatkan, seperti halnya orang pelit yang enggan melewatkan ketika ada harta yang luput darinya—Penj.) terhadap ketaatan dan kedekatan, mengalihkan sikap tamak terhadap berbagai kenikmatan jasmani menjadi sikap “tamak” terhadap berbagai kenikmatan ruhani atau berpindah dari sikap bakhil terhadap dunia menjadi sikap “bakhil”²⁹ (²⁹ Maksudnya sama dengan sikap “pelit” yang sebelumnya—Penj.) terhadap agama.

Atau mengubah sikap dengki terhadap orang-orang mukmin menjadi sikap dengki terhadap orang-orang kafir harbi, mengubah sikap iri pada urusan harta dan kedudukan menjadi sikap iri pada urusan agama dan takwa. Atau mengganti sikap makar dan pembangkang yang ditujukan kepada umat Islam dengan makar serta muslihat yang digunakan di jalan Allah Ta’ala.

Sifat-sifat tercela lainnya juga harus segera dialihkan menjadi berbagai perkara terpuji sehingga sifat-sifat tercela tersebut berubah menjadi terpuji, sebagaimana Allah firmankan,

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr [59]: 9)

Dalam ayat ini Allah tidak memerintahkan untuk memusnahkan sifat kikir, karena sifat kikir memang tidak dapat dihilangkan. Namun yang bisa dilakukan adalah “memelihara diri” dari kekikiran sehingga si hamba dapat selamat darinya. Demikian pula dengan semua jenis akhlak lainnya.

Ada yang mengatakan bahwa “Safar Dar Watan” memiliki arti melihat yang ghaib dalam penyaksian. Al-ghaib di sini berarti yang Maha Ghaib yaitu Allah Ta’ala, seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli tafsir dalam firman Allah,

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ

“Orang-orang yang beriman kepada yang Ghaib.” (QS. al-Baqarah [2]: 3)

Al-ghaib berarti Allah Ta’ala.

Frasa melihat yang ghaib mungkin juga berarti melihat Alam Ghaib berupa Alam Akhirat di Alam Penyaksian, yaitu Alam Dunia yang terdiri dari berbagai hal rasional dan inderawi. Sehingga si hamba bisa “melihat” Allah Ta’ala pada segala sesuatu yang dapat ia saksikan, baik berupa objek rasional maupun objek inderawi. Hal ini berdasarkan pengertian pertama.

Jika berdasarkan pengertian kedua, si hamba dapat “melihat” semua yang dikabarkan oleh para Nabi Alaihimus Salam berupa berbagai perkara ukhrawi pada setiap objek rasional atau inderawi sehingga dengan begitu dunia pun menjadi manifestasi akhirat bagi orang-orang tertentu, sesuai dengan kadar penyaksian mereka.

Ketika mereka telah meninggal dunia dan berada dalam alam barzakh, mereka dapat menyaksikan berbagai hakikat yang mereka sebut “dunia”. Penyaksian seperti itu yang terjadi di alam ini adalah bentuk penglihatan terhadap yang ghaib di alam nyata (ru’yatul ghaib fisy syahādah).

7. Nazhar Bar Qadam: Konsentrasi pada Satu Objek


((نظر بر قدم)) يعني أن المراد ينبغي أن ينظر إلى قدمه مطأ طأ رأسه في مشيه في البلد والصحراء حتى لا يتفرق نظره ولا يبصر ما لا ينبغي فيتفرق عليه قلبه. ويمكن أن يكون المراد بالنظر إلى القدم أن يكون نظر السالك في أول وهلة إلى نهاية السلوك يعني إلى حضرة الذات الإلهية المقدسة فقط

Nazhar Bar Qadam artinya bahwa murid harus melihat kakinya dengan menundukkan kepalanya di saat berjalan di sebuah negeri atau sahara, agar penglihatannya tidak terbuai dengan apa yang seharusnya tidak dilihat sehingga hatinya menjadi kacau karenanya. Mungkin saja yang dimaksud dengan “melihat ke kaki” adalah di permulaan suluknya si salik harus sudah melihat akhir jalan suluknya, yaitu hadirat Dzat Ilahiyah yang Kudus semata.


Nazhar Bar Qadam adalah kata ketujuh yang artinya murid harus melihat kakinya dengan menundukkan kepalanya di saat berjalan di sebuah negeri atau sahara tanpa mengangkat kepalanya sama sekali. Tujuannya adalah agar penglihatannya tidak terburai dan tetap fokus, sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi pada satu objek tunggal, yang akan membuatnya tidak dapat melihat objek yang tersebut dengan jelas.

Hal itu akan membuat orang tersebut menjadi termasuk golongan orang yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,

يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ

“Mereka mengetahui yang Iahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS. ar-Rūm [30]: 7)

Selain itu, juga agar murid tidak melihat perbuatan umat manusia yang tidak seharusnya dilihat sehingga hatinya menjadi terburai karenanya. Ketika itu terjadi pasti akan sukar baginya untuk meluruskan hatinya kembali, lalu dia pun celaka bersama orang-orang yang celaka. Karena tindakan melihat orang-orang lalai dapat memicu munculnya kelalaian diri, sebagaimana kemauan melihat orang-orang yang mawas diri juga akan memunculkan sikap mawas diri.

Namun mungkin saja yang dimaksud dengan “melihat ke kaki” di sini adalah saat si salik berada di permulaan perjalanan suluknya, ia telah melihat akhir jalan suluknya, yaitu hadirat Dzat Ilahiyah yang Kudus.

Itu dapat dilakukan saat di awal perjalanan suluknya salik membersihkan tekadnya dari segala keinginan pada sesuatu apa pun (selain Allah), baik di dunia maupun di akhirat, sehingga dia tidak menginginkan selain hanya Allah yang tidak serupa dengan apa pun, yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Tekad ini bisa terbentuk ketika murid hanya melihat hadirat Dzat Ilahiyah yang Kudus dari segala keserupaan dengan semesta. Murid secara mutlak tidak melihat kepada selain Dzat tersebut sehingga dia tak sedikitpun menoleh kepada dunia dan juga akhirat. Dia tidak akan bergembira dengan mendapatkan keselamatan, sebagaimana dia tidak akan bersedih dengan terjadinya kecelakaan.

Murid tidak akan terperdaya oleh berbagai keadaan di tengah perjalanan yang berhasil dicapainya. Dia tidak menoleh sedikitpun kepada segala yang ada di jalan suluknya, baik itu berupa sifat takwa, wara’, tawakkal, i’tisham³⁰ (³⁰ Sikap berpegang hanya kepada “tali” atau ajaran Allah. Lihat QS. Āli ‘Imrān [3]: 103 —Penj), zuhud, dan sebagainya. Ada sebuah syair sangat hebat yang digubah oleh Syaikh Ali Wafa al-Mishri³¹ (³¹ Ali bin Muhammad Wafa asy-Syadzili (w. 807 H)—Penj.) :

Hatiku bahkan melepaskan diri dari maqam zuhud
Karena Engkau Al-Haqq semata ada dalam penyaksianku
Mungkinkah kuberzuhud pada selain-Mu
Padahal tak kulihat selain Kau hai Rahasia Wujud

Itulah sebabnya Syaikh Muhyil Millah wa ad-Din Ibnu Arabi dalam kitabnya yang berjudul al-Futūhāt al-Makkiyyah meletakkan bab Tark at-Taubah setelah bab Taubah. Dia mengatakan, sikap meninggalkan taubat lebih tinggi daripada taubat. Karena meninggalkan taubat adalah bentuk ketidakpedulian pada taubat disebabkan si hamba terlalu sibuk dengan Allah Ta’ala, sehingga kesibukan itu telah memusnahkan wujud taubat. Atas hal ini dia lalu menggubah syair,

Hai pemilik kecapi, bernyanyilah! Bergeraklah dari suara diamnya
Sungguh hitamnya gamis kegelapan Diwarnai oleh fajar dengan semaunya Sekelompok orang beruntung dengan taubat
Tapi yang bertaubat dari taubat hanya aku!

Ibnu Arabi juga menempatkan bab Tark at-Taqwā sesudah bab Taqwā, karena menurut Beliau, meninggalkan takwa lebih tinggi daripada takwa, dengan argumentasi seperti yang telah kami sampaikan di atas. Demikian pula halnya pada bab Wara’ dan bab Tark al-Wara’, bab Zuhd dan bab Tark az-Zuhd, dan beberapa bab lain yang terdapat dalam kitab tersebut.


قال فارس بن عيسى البغدادي: سألت الحلاج فقلت له ((من المريد؟)) فقال ((هو الرامي بأول قصده إلى الله تعالى فلا يعرج إلى شيء حتى يصل)). ويحتمل أن يكون هذا المعنى الذي قاله الشيخ رويم: ((أدب السالك في أن لا تجاوز همته قدمه))

Farid bin Isa al-Baghdadi berkata, “Aku pernah bertanya kepada al-Hallaj, “Siapakah murid itu?” Dia menjawab, “Murid adalah orang yang awal tujuannya hanya kepada Allah Ta’ala, sehingga dia tidak naik ke sesuatu apa pun sampai dia mencapai-Nya.” Tampaknya inilah makna yang dinyatakan oleh Syaikh Ruyam, “Adab salik adalah jangan sampai keinginannya mendahului kakinya.”


Farid bin Isa al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Manshur al-Hallaj al-Baghdadi ‘Afallahu ‘Anhu, “Siapakah murid yang menginginkan Allah itu?” Dia menjawab, “Murid adalah orang yang di awal perjalanan suluknya di jalan Ilahiah memfokuskan pandangan, tekad, dan keinginannya kepada Allah Ta’ala semata, sehingga tujuan yang dimilikinya hanya Allah Ta’ala.

Dengan tekad seperti ini, murid tidak akan naik (baik secara lahiriah maupun batiniah) ke sesuatu maqam (baik berupa urusan duniawi maupun urusan ukhrawi) sampai dia mencapai-Nya sehingga semua pintu makrifat pada-Nya dalam segala sesuatu terbuka dalam hatinya. Pada saat itu, tidak ada lagi sesuatu apa pun yang tersisa pada penglihatan fisik dan penglihatan batinnya selain hanya Allah Ta’ala.

Ketika murid memaksudkan berbagai hal, maksudnya itu adalah kesempurnaan-Nya sehingga semua hal yang membahayakan golongan orang-orang lalai dan hijab menjadi hal yang sama. Karena penyakit telah berubah menjadi obat, seperti ketika seorang ‘arif billah ditanya “Kapankah penyakit jiwa berubah menjadi obat jiwa?” Sang ‘arif menjawab, “Ketika jiwa telah meninggalkan semua keinginannya, penyakit itu berubah menjadi obat baginya.”

Tampaknya makna Nazhar Bar Qadam yang baru disampaikan ini adalah makna yang dinyatakan oleh Syaikh Abu Muhammad Ruyam bin Ahmad al-Baghdadi rahimahullah, “Adab salik penempuh jalan menuju Allah adalah jangan sampai keinginannya mendahului kakinya.” Kalimat ini merupakan bentuk kiasan yang mengisyaratkan hilangnya keinginan terhadap segala sesuatu dari dalam hati murid.

Sehingga murid tidak lagi menginginkan apa pun selain-Nya, tapi ia selalu sibuk dengan Tuhannya. Ketika Allah menggerakkan kakinya untuk berjalan menuju apa yang Allah kehendaki, keinginan di hati murid tersebut adalah menuju apa yang dikehendaki oleh Allah, bukan menuju apa yang menjadi tujuan gerak langkah kakinya itu.

Demikian seperti yang dinukil dari Abu Yazid, suatu waktu ia ditanya di dalam hatinya, “Wahai Abu Yazid, apakah gerangan yang engkau inginkan?” Dia pun menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin.”

8. Khalwat Dar Anjuman: Lahir bersama Makhluk, Batin bersama Allah


((خلوت در انجمن)) يعني ينبغي للسالك أن يكون ظاهرا مع الخلق باطنا مع الحق: اليد بالشغل والقلب بالحق

Khalwat Dar Anjuman berarti seyogyanya salik secara lahiriah bersama makhluk, sedangkan secara batiniah bersama Al-Haqq. Tangan dengan kesibukan, sedangkan hati dengan Al-Haqq.


Khalwat Dar Anjuman adalah kata kedelapan yang maknanya diisyaratkan oleh penulis dengan pernyataannya, seyogyanya bagi salik penempuh jalan menuju Allah untuk secara lahiriah dia bersama makhluk, mulai dari berbicara, makan, minum, duduk, serta segala perbuatan mubah, segala kata-kata yang tidak dilarang dan segala bentuk ketaatan, tanpa berusaha untuk “tampil beda” dari orang kebanyakan baik dalam urusan pakaian maupun yang lainnya.

Sementara itu, secara batiniah atau pada sisi hakikat dia bersama Al-Haqq. Dia tenggelam dalam penyaksian pada-Nya. Dia bergerak dalam batin dan lahirnya hanya dengan-Nya, dia juga diam hanya dengan-Nya, sebagaimana dia juga berbicara hanya kepada-Nya.

قُلِ اللّٰهُ ۙثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ

“Katakanlah, ‘Allah-lah (yang menurunkannya),’ kemudian (setelah itu), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. al-An’ām [6]: 91)

Tangan lahiriah sibuk dalam berkarya dan melayani, demi meraih rezeki halal dan sibuk bersedekah, sebagaimana halnya kaki dan semua anggota tubuh lainnya yang sibuk seperti lazimnya manusia, seperti yang Allah firmankan tentang makrifat Ilahiyah dalam bentuk isyarat menyangkut rangkaian manasik haji setelah wukuf di Arafah,

ثُمَّ اَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ اَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 199)

Istighfar dari kita disebabkan berbagai tahapan kelalaian yang kita lakukan dan juga bertujuan untuk memperhatikan Alam Manusiawi. Itulah “ghain” yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Saw., “Sesungguhnya ada kabut³² (³² Ghain berarti penutup atau awan mendung. Awan mendung disebut “ghain” karena ia menutupi pandanganmu sehingga tidak dapat melihat langit—Penj.) pada hatiku. Aku benar-benar beristighfar kepada Allah tujuh puluh kali dalam sehari.” Dalam riwayat lain disebutkan “seratus kali”. Semua itu terjadi karena Nabi Saw. adalah manusia yang sama dengan kita berdasarkan dalil firman Allah,

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ…

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…’.” (QS. al-Kahfi [18]: 110)

Karena Beliau adalah manusia, hati Beliau terkadang tertutup kabut demi menjaga kemanusiaan Beliau. Istighfar yang Nabi Saw. lakukan seperti istighfar yang kita lakukan sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat al-ifādhah (QS. al-Baqarah [2]: 199) yang telah kami sampaikan di atas.

Sementara itu, hati batiniah murid selalu bersama dengan Allah Ta’ala tanpa pernah berpisah dengan penyaksian kehadiran-Nya dan tidak pernah berpaling dari-Nya disebabkan kesibukan apa pun.


وما أحسن ما قيل:
فمن داخل كن صاحبا غير غافل 🌻
ومن خارج خالط كبعض اجانب

Betapa indahnya syair ini,
Dari dalam tetaplah terjaga nan tidak lalai
Dari luar berbaurlah seperti orang-orang umum
Dari dalam tetaplah terjaga nan tidak lalai


Maksudnya, dari dalam dirimu tepatnya hatimu wahai murid yang benar, tetaplah dalam keadaan musyahadah kepada Tuhanmu, awas pada-Nya tanpa pernah lalai dari-Nya pada segala keadaanmu.

Dari luar berbaurlah seperti orang-orang umum

Maksudnya, pada ranah anggota tubuh dan sisi lahiriah dirimu, berbaurlah dengan orang banyak dan ikutlah bersama mereka pada semua perkara mubah. Teruslah bersama mereka seperti lazimnya manusia pada umumnya. Frasa “manusia umum” berarti orang-orang yang lalai dari Allah Ta’ala karena mengenyampingkan penyaksian Tuhan.

Bait ini ingin menyampaikan, hendaknya murid selalu bersama Allah baik ketika sendirian ataupun saat bersama manusia, yaitu bergaul bersama mereka. Hal ini diungkapkan dalam sebuah pernyataan, “Sesungguhnya orang sampai pada maqam makrifat adalah orang yang ada tetapi terpisah (kā’in bā’in).” Maksudnya, ia ada bersama orang banyak, tetapi dia “terpisah” dari mereka.

Ada sebuah syair lain yang menyatakan,

Berbaurlah bersama orang-orang di mana pun jua
Ikutilah perkembangan masa dan beriringan dengannya
Sesungguhnya kita adalah makhluk Seperti sang Kisra dan sang Dara³³ (³³ Kisra dan Dara adalah gelar raja-raja Persia—Penj.)


قال أكابر الطريق إن في هذه الطريقة الجمعية في الملأ والتفر قة في الخلوة

Para tokoh tarekat ini berkata, di dalam tarekat ini keberhimpunan ada saat di tengah orang banyak dan pemisahan terjadi saat di kesendirian.


Para tokoh tarekat ini, yaitu orang-orang dari kalangan ahlullah berkata, bahwa di dalam tarekat Naqsyabandiyah tercapainya keberhimpunan dengan Al-Haqq ada saat berada di tengah orang banyak, atau di antara berbagai jama’ah, karena terjadinya pertemuan berbagai ruhaniah, ketidakmampuan mereka untuk memahami dan melepaskan sesuatu karena sesuatu itu berubah dengan cepat.

Tercapainya keterpisahan murid terhadap keterhimpunan bersama masyarakat ada saat dalam keadaan sendirian. Ini terjadi karena terbentuknya ruhaniahnya dengan ketenangan dalam mencapai tujuan. Jadi, khalwat dari hal ini terjadi pada Allah Ta’ala dalam pertemuan dengan orang banyak, sebagaimana khalwatnya dengan diri murid terjadi dalam kesendiriannya dari orang banyak. Berbaur lebih baik daripada mengucilkan diri (uzlah). Ini adalah maqam muhammadiyah yang tinggi.

9. Wuquf Zamani: Memanfaatkan Waktu dengan Ibadah


((وقوف زماني)) يعني تحاسب نفسك على الأوقات فتنظر هل مرت بأعمال الخير فتشكر أو بأعمال الشر فتستغفر وذلك على حسب مراتبهم، فإن حسنات الأبرار سيئات المقربين

Wuquf Zamani berarti, engkau selalu mengintrospeksi diri atas waktu yang telah berlalu dan selalu merenungkan apakah waktu berlalu dengan amal-amal baik lalu engkau bersyukur, ataukah dengan amal-amal buruk lalu engkau beristighfar. Itu sesuai dengan tingkatan-tingkatan mereka. Sebab, kebaikan-kebaikan orang-orang bajik adalah keburukan-keburukan orang-orang muqarrabun.


Wuquf Zamani adalah kata kesembilan yang memiliki arti engkau wahai murid mengintrospeksi dirimu atas semua waktu yang engkau lewati di sepanjang siang dan malam, kemudian renungkan apakah semua waktu itu berlalu dengan amal-amal baik seperti shalat, puasa, sedekah, tasbih, dan berbagai bentuk ketaatan lainnya, lalu engkau bersyukur kepada Allah atas taufik yang Dia berikan kepadamu serta kemudahan bagimu untuk melakukan semua itu.

Ataukah waktu itu malah engkau lewati dengan amal-amal buruk seperti berbagai jenis kemaksiatan dan pelanggaran, lalu engkau beristighfar memohon ampun kepada Allah atas semua itu serta bertaubat kepada-Nya.

Allah berfirman,

وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ

“Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Ayat ini merupakan dasar bagi tindakan introspeksi diri (muhasabatun nafs). “Introspeksi diri kalian sebelum kalian di- hisab.”

Hal seperti istighfar sebagai taubat dari perbuatan buruk itu sesuai dengan tingkatan kalangan ahlullah. Mungkin saja mereka melakukan perbuatan tertentu dan dianggap sebagai dosa oleh suatu tingkatan, tapi dianggap melakukan ketaatan oleh tingkatan lain di bawahnya, dan dianggap melakukan perkara mubah oleh tingkatan pertengahan.

Seperti ketika Dzun Nun al-Mishri rahimahullah ditanya tentang taubat, dia berkata, “Taubatnya orang-orang awam adalah dari dosa-dosa, sedangkan taubatnya orang-orang khusus adalah dari kelalaian.”

Abul Hasan an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hendaklah engkau bertaubat dari segala yang selain Allah.”

Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Sangatlah berbeda antara orang yang bertaubat karena kekeliruan, orang yang bertaubat karena kelalaian dan orang yang bertaubat karena melihat kebaikan (dirinya).”

Rawim rahimahullah pernah ditanya tentang taubat. Dia pun berkata, “Taubat adalah bertaubat dari taubat.”

Pernyataan yang masyhur di kalangan mayoritas ulama adalah kebaikan-kebaikan orang-orang bajik atau al-abrār —orang yang mematuhi segala perintah dan larangan Allah secara lahir dan batin— adalah keburukan-keburukan atau dosa bagi orang-orang muqarrabun. Mereka adalah orang-orang yang mematuhi perintah dan larangan Allah karena Allah bukan karena diri mereka sendiri.

Jadi, ketaatan kalangan abrār yang mereka lakukan untuk diri mereka adalah dosa bagi kalangan muqarrabun yang ketaatan mereka dilakukan untuk Allah, “Setiap orang telah mengetahui tempat minum mereka masing-masing”.

10. Wuquf ‘Adadi : Menghitung Jumlah Dzikir


((وقوف عددي)) وهو عبارة عن رعاية العدد في الذكر القلبي الجمع الخواطر المتفرقة

Wuquf ‘Adadi, adalah ungkapan yang menyatakan tentang perhatian terhadap bilangan dzikir hati untuk menghimpun berbagai bersitan yang terburai.


Wuquf ‘Adadi, adalah kata kesepuluh. Kata ini adalah ungkapan yang menyatakan tentang perhatian murid terhadap bilangan dzikir hati yang telah dijelaskan sebelumnya. Perhatian terhadap hal ini dilakukan untuk menghimpun berbagai bersitan yang terburai, sehingga semuanya berubah menjadi satu bersitan tunggal disebabkan kesinambungan bilangan dzikir.

Sehingga diri murid menjadi tenang dan tidak bingung pada hitungan yang tidak diketahui jumlah pastinya. Oleh karena itu, ketentuan jumlah khusus telah disampaikan dalam jumlah hitungan tasbih setelah shalat seperti yang disebutkan dalam hadits.

11. Wuquf Qalbi : Hati Terjaga bersama Allah


((وقوف قلبي)) هو عبارة عن اليقظة وحضور القلب مع جانب الحق سبحانه وتعالى على وجه لا يكون للقلب غرض غير الحق عز وجل.

Wuquf Qalbi adalah ungkapan yang menyatakan keterjagaan dan kehadiran hati bersama Allah Ta’ala dengan kondisi hati yang tidak memiliki tujuan selain Al-Haqq Azza wa Jalla.


Wuquf Qalbi merupakan kata kesebelas yang maknanya adalah ungkapan yang menyatakan keterjagaan pada semua urusan dengan menafikan kelalaian dan kelupaan, serta sempurnanya kehadiran hati bersama Allah Ta’ala tanpa terganggu kepada sesuatu apa pun selain-Nya.

Murid dapat menyaksikan Allah dalam penyaksiannya pada segala sesuatu karena segala sesuatu adalah perbuatan Allah, baik dia menyaksikan pada perbuatan-Nya seperti yang telah disebutkan, atau menyaksikannya dalam sifat-sifat-Nya dan Dzat-Nya.

Kehadiran ini wajib dilakukan dengan kondisi hati tidak memiliki tujuan apa pun secara mutlak selain Al-Haqq Azza wa Jalla, yaitu dia tidak mengharapkan dengan kehadiran itu pahala dari Allah, keselamatan dari hukuman-Nya atau kedudukan tinggi di sisi-Nya dan sebagainya. Namun yang tetap ada baginya adalah hudhur murni untuk Allah dan demi Allah, bukan demi dirinya sendiri.


وقيل أيضا في معناه: أن الذاكر ينبغي له أن يكون واقفا على قلبه، يعني في أثناء الذكر، ويتوجه إلى القلب الصنوبري الذي يقال له بالفارسية ((دل)) وهو في الجانب الأيسر محاذيا للثدي ويجعله مشغولا بالذكر ولا يتركه يغفل عن الذكر ولا عن مفهومه، وحضرة الخواجة نقشبند لم يجعل حبس النفس ولا رعاية العدد لازما في الذكر

Dalam kata lain, pelaku dzikir harus memperhatikan hatinya saat di tengah dzikir, serta bertawajjuh ke hati sanubari yang dalam bahasa Persia disebut “dil”. Hati itu ada di sisi kiri samping payudara. Pelaku dzikir harus fokus dengan dzikir dan tidak membiarkan dirinya lalai dari dzikir serta memahami hakikatnya. Hadirat Khwaja Naqsyaband tidak menjadikan tindakan menahan nafas dan menghitung jumlah dzikir sebagai sebuah keharusan di dalam dzikir.


Dalam kata lain, wuquf qalbi memiliki arti bahwa pelaku dzikir harus memperhatikan hatinya dengan mengawasinya agar jangan terbersit apa pun di dalamnya saat di tengah dzikir. Sehingga setiap kali dia berdzikir kepada Allah, hendaklah dia merenungkan apa yang mengganggu hatinya dalam bentuk makna yang terbersit lalu memantapkannya seraya memisahkan antara yang baik dan yang buruk.

Selain itu hendaklah dia juga bertawajjuh dengan tekad yang shahih ke hati sanubari yang dalam bahasa Persia disebut “dil”. Hati ini terletak di sisi kiri samping payudara dalam posisi sejajar di dalam tubuh.

Murid juga harus membuat hatinya sibuk dengan dzikir dalam kondisi apa pun dan tidak pernah membiarkannya lalai dari dzikir serta dari pemahaman tentang dzikir. Bahkan, hendaklah dia terus berusaha menghadirkan makna dzikir di setiap kesempatan tanpa lalai terhadapnya, agar dia dapat meraih penyaksian yang sempurna atas objek dzikirnya dan riyadhahnya.

Hadirat Khwaja Baha’uddin Naqsyabandi rahimahullah —seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya— tidak menjadikan tindakan menahan nafas di dalam dzikir dan menghitung jumlah dzikir sebagai sebuah keharusan di dalam dzikir.

Jadi, pelaku dzikir boleh menahan nafasnya dan boleh juga tidak, sebagaimana dia juga boleh menetapkan jumlah khusus pada dzikirnya dan boleh juga tidak melakukan itu. Namun tentu saja menahan nafas dan menetapkan jumlah dzikir lebih utama menurut Sang Khwaja, meskipun hal itu bukan sebuah keharusan.


وأما الوقوف القلبي فهو لا زم عنده في أثناء الذكر والمراقبة وغيرهما، فالمقصود من الذكر الوقوف القلبي. وما أحسن ما قيل في ذلك المعنى: بيض قلبك كن كأنك طائر 🌻 فمن ذلك الأحوال فيك تولد

Namun menurut dia (Khwaja Baha’uddin) wuquf qalbi adalah sebuah keharusan di tengah dzikir, muraqabah, dan lainnya. Tujuan dari dzikir adalah Wuquf Qalbi. Betapa indahnya syair yang semakna dengan ini,


Jernihkanlah hatimu, jadilah seperti burung
Dari hal itu berbagai keadaan spiritual akan Iahir dari dirimu.


Wuquf Qalbi yang disebutkan di atas adalah sebuah keharusan di tengah dzikir menurut Khwaja an-Naqsyabandi rahimahullah, sesuai dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya.

Muraqabah hati terhadap dzikir, artinya menjaga kesinambungan dzikir juga merupakan sebuah keharusan menurut Khwaja an-Naqsyabandi. Begitu pula adab-adab dzikir selain dua yang telah disebutkan tadi seperti Wuquf Zamani dan kata-kata lainnya.

Tujuan dzikir adalah berdiam (wuquf) atau fokusnya hati yang merupakan penyaksian bagi segala hakikat wujud. Betapa indahnya apa yang dinyatakan tentang makna itu pada sebuah syair:

Jernihkanlah hatimu, jadilah seperti burung
Dari hal itu keadaan spiritual akan Iahir dari dirimu

Artinya, wahai murid, jadilah engkau seperti seekor burung dalam menjaga, merawat, dan selalu berkeliling. Karena burung selalu menjaga telurnya dengan sangat baik, agar ia dapat memiliki anak yang kelak ia sayangi. Begitu pula halnya engkau wahai murid, jagalah hatimu dengan sebaik-baiknya agar tidak dimasuki apa pun selain Allah, agar apa yang menyusup itu tidak merusak dirimu sehingga engkau dapat meraih maqam makrifat yang kelak membuatmu tenang dan damai.

Di antara berbagai keadaan spiritual yang dapat diraih adalah berbagai hal keilahian dan makrifat ketuhanan yang lahir dalam dirimu wahai murid. Wallāhu a’lam.

Bab 4: Tatacara Bertarekat Secara Lahir dan Batin


إذا وقع لك في أثناء الذكر والاشتغال تفرقة أو وسوسة أو قبض فينبغي لك أن تغتسل بالماء البارد، وإن لم تقدر لعدم مساعدة المزاج فبا لحار، وبعد ذلك تدخل الخلوة وتصلي ركعتين مع التضرع والاستكانة، وتستغفر من ذنوبك

Apabila sebuah gangguan, waswas, atau kebuntuan terjadi pada dirimu di tengah kesibukan dzikir, hendaklah mandi menggunakan air dingin. Apabila tidak mampu karena tubuhmu tidak kuat menahan dingin, gunakanlah air panas. Setelah itu berkhalwatlah dan laksanakan shalat dua raka’at dengan khusyuk dan tenang. Mintalah ampunan atas dosa-dosamu.


Apabila terjadi pada dirimu wahai murid, di tengah aktivitas dzikir sehingga engkau lalai darinya dan fokus terhadap dzikir akan muncul keterpisahan (tafriqah), keterpisahan berupa kembalinya hamba dari penyingkapan penyaksian (kasyf as-syuhud) ke pakaian wujud (lubs al-wujud) atau muncul waswas berupa melintasnya keraguan dalam dirinya atas sesuatu hal, atau muncul kebuntuan yang mengikat hati sehingga menghalangi hamba dari sikap legawa dalam berbagai urusan serta melakukan apa yang ia sanggup.

Jika hal itu terjadi, hendaklah segera melakukan penyucian lahiriah agar batinmu dapat suci kembali dengan cara mandi atau membasuh seluruh tubuhmu serta berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan telinga, mengalirkan air ke bawah ketiak, membasuh bagian dalam lutut, membasuh bagian dalam pusar, lipatan perut, bagian dalam jenggot, kumis, dan alis mata, serta beristinja pada daerah kemaluan dan dubur, tetapi setelah melakukan wudhu yang sempurna.

Hendaklah itu semua dilakukan menggunakan air dingin karena air dingin merupakan keadaan asli air, tanpa memanaskannya.

Namun apabila engkau tidak sanggup mandi dengan air dingin seperti itu, karena tubuhmu tidak sanggup menahan dinginnya air atau cuaca tidak terbiasa mandi menggunakan air dingin atau karena engkau khawatir akan jatuh sakit akibat mandi menggunakan air dingin, hendaklah menggunakan air panas atau air yang dihangatkan, baik dengan api maupun dijemur matahari.

Pilihan kedua ini tidak dianjurkan karena hukumnya makruh menurut mazhab sebagian ulama, kecuali jika itu dilakukan dalam kondisi darurat.

Setelah selesai mandi, masuklah engkau wahai murid, ke dalam khalwat yang suci, halal, dan sepi dari siapa pun untuk kemudian lakukanlah shalat dua raka’at di awal khalwatmu dengan tunduk kepada Allah, diiringi tawassul dan doa dalam keadaan tenang, merasa hina dan rendah kepada Allah.

Kemudian hendaklah engkau beristighfar dari dosa-dosa yang engkau ketahui dan dosa-dosa yang tidak diketahui dengan penuh penyesalan atas semua pelanggaran yang engkau lakukan tanpa engkau menyadarinya, sembari engkau bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.


وتتوجه لحالك ووقتك، وإن لم يجد وقتك واستمرت التفرقة معك، فأحضر في خيالك صورة الشيخ المربي لك، فإنه يرجي لك ببركته تبدل التفرقة بالجمعية

Hendaklah engkau merenungkan keadaan dan waktumu. Apabila engkau belum menemukan waktu yang tepat lalu engkau masih saja dalam keterpisahan (tafriqah), hadirkanlah syaikh murabbimu dalam imajinasimu karena semoga dengan berkahnya engkau dapat berpindah dari keterpisahan (tafriqah )menjadi keberhimpunan (jam’iyah).


Hendaklah engkau merenungkan keadaan spiritualmu dengan sepenuh hati untuk menghilangkan waswas atau kebuntuan, dan merenungkan kembalinya waktumu dalam keberhimpunanmu bersama Tuhan. Apabila engkau belum menemukan waktumu setelah melakukan semua itu, sedangkan keterpisahanmu masih ada karena engkau terus menyaksikan segala sesuatu selain Allah seiring berubahnya berbagai keadaan yang tidak bisa dihilangkan dari dalam hatimu.

Apabila engkau masih seperti itu hadirkanlah syaikh murabbimu dalam imajinasi, karena engkau akan menyaksikan sang syaikh sebagai gerbang anugerah Ilahiah seperti yang telah kami jelaskan di bagian sebelumnya. Jadikanlah syaikh itu sebagai apa yang selalu ada di depanmu agar engkau dapat terus menghadap ke arah pintu Al-Haqq.

Semoga saja Dia berkenan membukakan pintu-Nya untukmu sehingga engkau dapat masuk ke hadirat-Nya sesuai keinginanmu. Dengan demikian, semoga dengan berkah sang syaikh tersebut engkau dapat berpindah dari keterpisahan yang terjadi di dirimu menjadi keberhimpunan bersama Allah Ta’ala.

Apakah Anda menemukan masalah teknis pada website atau aplikasi ini? Mohon hubungi kami melalui link berikut:

Platform Lain: