201. Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain (3)
Hikmah 201 dlm Al-Hikam:
لَا يَنْبَغِي لِلسَّا لِكِ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْ وَارِ دَاتِهِ, فَإِ نَّ ذَلِكَ يُقِلُّ عَمَلَهَا فِي قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْقِ مَعَ رَبِّهِ.
Tidak semestinya seorang salik mengungkapkan karunia (warid) yg diperolehnya. Hal itu bisa mengurangi pengaruh warid dalam qalbu dan menghalangi ketulusannya kepada Tuhan.
Seperti keterangan² terdahulu tentang warid, yaitu: perkara yg diberikan Allah kepada hamba-Nya yg berupa ilmu yg langsung dari Allah yg berhubungan dengan Tauhid.
Sebaiknya salik (orang yg berjalan menuju Allah) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada Guru Mursyid-nya, karena bisa mengurangi atsar-nya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid di dalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Allah, karena menerangkan warid itu tidak lepas dari syahwat/kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yg bisa menjadikan kuat sifat²nya nafsu. Yg demikian itu pandangannya belum bulat kepada Allah, tetapi masih selalu mengharap apa² dari makhluk. Dan lagi kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yg diberikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia² yg lebih besar selanjutnya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seorang salik tak layak untuk mengungkapkan anugerah dan karunia yg di alaminya, berupa ilmu laduni maupun rahasia² tauhid. Ia tidak boleh mengungkapkannya dengan keinginan sendiri. Justru semestinya ia menyembunyikan dan menjaganya agar tak seorang pun tahu, kecuali Guru Mursyid-nya.
Mengungkapkan hal itu bisa mengurangi kesan karunia itu di dalam qalbu sehingga ia tidak bisa memanfaatkannya secara utuh. Hal itu juga dapat menghalangi ketulusannya kepada Tuhan karena biasanya, pengungkapan tentang karunia itu tidak akan lepas dari nafsu syahwat. Saat mengungkapnya, nafsu menemukan kenikmatan dan kelapangan. Tentu hal itu akan menguatkan sifat² syahwatnya dan kekuatan sifat itulah yg menghalanginya untuk tulus kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam
202. Syarat Menerima Pemberian yg Harus Dipenuhi Ahli Tajrid (yg tidak diberi kemudahan hidup) dan Ahli Asbab (yg diberi kemudahan hidup)
Hikmah 202 dlm Al-Hikam:
“Syarat Menerima Pemberian yg Harus Dipenuhi Ahli Tajrid (yg tidak diberi kemudahan hidup) dan Ahli Asbab (yg diberi kemudahan hidup)”
لَا تَمُدَّ نَّ يَدَكَ إِلَى الْأَخْذِ مِنَ الْخَلَا ئِقِ إِلَّا أَنْ تَرَ ى أَنَّ الْمُعْطِيَ فِيْهِمْ مَوْ لَاكَ, فَإِذَا كُنْتَ كَذَ لِكَ فَخُذْ مَا وَافَقَكَ الْعِلْمُ.
Jangan kau mengulurkan tangan untuk menerima sesuatu dari makhluk, kecuali kau melihat bahwa yg memberi adalah Allah. Jika kau telah demikian, ambillah apa yg sesuai dengan pengetahuanmu (syari’at/halal).
Sebab bila engkau masih merasa yg memberi itu makhluk (berarti ada yg dapat membantumu selain Allah), maka Tauhidmu belum benar (murni) dalam menerima pengertian ke-Esaan Allah dalam kalimah: Laa ilaaha illallah dan Laa haula walaa quwwata illaa billah. Sebab hakikatnya semua pemberian itu hanya dari Allah, semua hak dan kekuasaan Allah semata, sehingga bila ada pemberian dari tangan siapa saja (makhluk), haruslah meyakini bahwa itu langsung dari Allah yg menyuruh seorang hamba untuk menyampaikan kepadamu. Kamu juga jangan menerima pemberian makhluk kecuali yg sesuai dengan ilmumu, yakni: ilmu lahir (syari’at) dan ilmu batin (hakikat).
Khalid Al-Juhani ra. berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Siapa yg kedatangan hadiah/sedekah dari temannya tanpa ia meminta dan berharap dalam hatinya, maka hendaknya diterima, sebab yg demikian itu sebagai rizqi yg dihantar oleh Allah kepadanya.’ Dalam riwayat lain ada tambahan: ‘dan bila ia tidak membutuhkan karena sudah cukup, maka hendaknya diberikan kepada yg lebih berhajat daripadanya.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Siapa yg menolak rizqi yg diberi oleh makhluk tanpa minta², maka sesungguhnya ia telah menolak pemberian Allah.’”
Sayyidina Umar bin Khattab ra. berkata: “Rasulullah selalu memberi kepada saya, maka saya berkata, ‘Berikan kepada orang yg lebih membutuhkan daripada saya.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Terimalah dan pergunakan atau sedekahkan, dan tiap harta yg datang kepadamu dengan tidak engkau harapkan atau engaku minta, maka terimalah, dan yg tidak jangan engkau harap²kan.’”
Syaikh Ibrahim al-Khawwas ra., berkata: “Seorang sufi itu tidak harus memilih jalan tidak berusaha (tajrid), kecuali jika memang sudah cukup keadaannya.”
Syaikh Abu Abdullah Al-Qurasyi ra. berkata: “Selama keinginan berusaha itu kuat dalam perasaan nafsu, maka berkasab itu lebih utama.”
Syaikh Al-A’masyi (Sulaiman) ra. berkata: “Ada seorang pemuda yg datang kepada Syaikh Ibrahim At-Taimi, untuk memberi hadiah uang sebanyak 2000 dirham, sambil berkata: ‘Terimalah uang ini, ini bukan dari raja, juga bukan uang syubhat dan lain²nya.’ Jawab Syaikh Ibrahim: ‘Semoga Allah memberkahi hartamu, dan membalas engkau dengan kebaikan dan terima kasih.’ Lalu ditolaknya uang itu. Setelah pemuda itu pergi saya bertanya: ‘Ya Aba Imran, mengapa engkau tidak menerima pemberian itu? Demi Allah, istrimu tidak memiliki gamis.’ Jawab Syaikh Ibrahim: ‘Benar, tetapi anak itu masih muda, belum banyak pengalaman, saya khawatir kalau ia kembali ke kampungnya lalu memberi tahu kepada teman² nya: ‘Saya telah memberi Ibrahim 2000 dirham, maka hilang pahalanya dan hilang pula uangnya.’”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Wahai murid yg ingin menyucikan diri, jangan kau ulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, berupa rezeki yg didasari belas kasihan, kecuali dengan dua syarat berikut.
Pertama, jika kau lihat bahwa yg memberinya adalah Tuhanmu melalui mereka. Artinya, mereka hanyalah perantara, sedangkan yg memberi sesungguhnya adalah Allah Ta’ala. Pandangan semacam itu tidak sekadar menjadi ilmu dan keimanan, melainkan harus menjadi ahwal dan dzauq (perasaan). Sikap itulah yg layak dilakukan oleh seorang murid yg ingin menyucikan diri.
Kedua, jika kau telah menyadari bahwa yg memberi sebenarnya adalah Tuhanmu, ambillah apa yg sesuai dengan pengetahuanmu. Maksudnya, jangan kau ambil, kecuali yg sesuai dengan ilmu untuk mengambilnya. Ilmu untuk mengambil ini ada dua macam: ilmu lahir dan ilmu batin. Contoh ilmu lahir, kau tidak boleh mengambil, kecuali dari tangan seorang mukallaf yg matang dan bersih. Contoh ilmu batinnya, kau tidak mengambil, kecuali yg diberi atas dasar bantuan semata atau jangan kau ambil, kecuali yg kau butuhkan saja untuk kau gunakan dalam kebutuhanmu, tanpa berlebihan dan kekurangan. Sikap itulah yg dilakukan Rasulullah Saw. dalam menerima pemberian yg berupa sandang, pangan, dan papan.
Jangan kau ambil apa pun yg datang kepadamu sebelum waktunya dan yg melebihi kebutuhanmu. Jangan pula mengambil apa pun yg diberikan kepadamu untuk mengujimu, misalnya jika kau diberi sesuatu yg sebenarnya ingin kau tinggalkan karena Allah. Hal itu dapat menghalangimu untuk menunaikan hak² Tuhanmu. Jangan pula mengambil dari orang yg suka memberi namun dengan rasa bangga, yg ingin menampakkan kedermawanannya, atau dari orang yg terasa berat bagi hatimu untuk menerima pemberiannya. Jangan pula kau makan, kecuali dari orang yg melihat pada dirimu ada keutamaan dalam memakannya. Wallaahu a’lam
203. Malu Meminta Karena Merasa Cukup
Hikmah 203 dlm Al-Hikam:
“Malu Meminta Karena Merasa Cukup”
رُبَّمَا اسْتَحْيَا الْعَا رِ فُ أَ نْ يَرْ فَعَ حَا جَتَهُ إِلَى مَوْ لَا هُ اكْيِفَ ءً بِمَشِيْئَتِهِ , فَكَيْفَ لَا يَسْتَحْتِي أَ نْ يَرْ فَعَهَا إِلَى خَلِيْقَتِهِ؟
Terkadang seorang ‘Arif malu mengungkapkan kebutuhannya kepada Allah karena merasa cukup dengan kehendak-Nya, apalagi mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk.
Pada hikmah yg lalu telah banyak dibahas tentang lebih utama mana antara meminta/berdoa atau tidak, dan merasa puas dengan pembagian dan pilihan Allah Ta’ala, dan pada hikmah ini Syaikh Ibnu Atha’illah qs. menerangkan tentang sikap para ‘Arif yg malu meminta hajatnya kepada Allah Ta’ala, karena sudah merasa puas dengan kehendak Allah Ta’ala, apalagi meminta kepada makhluk.
Syaikh Sahl bin Abdullah ra. berkata: “Tiada suatu nafas atau hati melainkan diperhatikan oleh Allah pada tiap detik, baik siang maupun malam, maka apabila Allah melihat dalam hati itu ada hajat kepada sesuatu selain Allah, niscaya Allah mendatangkan iblis untuk hati itu.”
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq qs. berkata: “Suatu tanda dari makrifat itu, tidak meminta hajat/kebutuhan kecuali kepada Allah, baik besar maupun kecil. Contohnya Nabi Musa as. yg rindu ingin melihat Allah, lalu ia berkata: ‘Rabbi arini andhur ilaika.’ Dan ketika ia membutuhkan roti ia berdoa: ‘Rabbi innii lamaa anzalta ilayya min khairin faqiir.’ (Ya Tuhan, sungguh aku terhadap apa yg engkau berikan kepadaku dari makanan itu sangat membutuhkan).
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seorang ‘arif dan muhaqqiq terkadang merasa malu untuk mengadukan kebutuhannya kepada Allah Ta’ala. Ia tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya karena ia merasa cukup dengan kehendak dan ketentuan-Nya, baik berupa pemberian, penolakan, manfaat, maupun bahaya.
Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili qs. berkata, “Keluarkan semua makhluk dari hatimu dan kuatkan asamu terhadap Tuhanmu agar Dia memberimu selain apa yg telah ditentukan-Nya untukmu.”
Allah Ta’ala berfirman: “Sabarlah terhadap hukum Tuhanmu karena engkau selalu dibawah pengawasan Kami.”
Meminta kepada Allah Ta’ala saja seorang ‘arif malu, apalagi meminta dan mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk. Ia tidak akan meminta kepada makhluk dan tidak mengadukan kebutuhannya kepada mereka karena para makhluk miskin dan membutuhkan, sedangkan Tuhan mereka adalah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Oleh sebab itu, seorang ‘arif akan menjauhkan tekadnya dari makhluk dan tidak pernah meminta kepada mereka apa pun yg ia butuhkan.
Maka dari itu, jangan kau kotori imanmu dengan ketamakanmu terhadap makhluk dan jangan bersandar, kecuali kepada Tuhan semesta alam. Ikutilah jalan Ibrahim dalam menjauhkan tekad dari para makhluk.
Ketika Nabi Ibrahim as. akan dilemparkan ke dalam kobaran api, Jibril as. bertanya kepadanya, “Apa kau butuh sesuatu?” Nabi Ibrahim as. menjawab, “Aku tidak butuh apa² darimu. Aku hanya butuh pertolongan Allah.” Jibril as. lantas berkata, “Kalau begitu, mintalah kepada Allah!” Nabi Ibrahim as. lalu berkata, “Cukuplah bagiku, Dia mengetahui keadaanku.”
Orang² yg membutuhkan terbagi ke dalam tiga golongan. Pertama, mereka yg tidak bersabar. Jika membutuhkan sesuatu, mereka akan meminta kepada manusia. Mereka juga menerima pemberian dari manusia tanpa menyadari bahwa yg sebenarnya memberi adalah Tuhan.
Kedua, mereka yg tidak meminta kepada manusia. Namun jika diberi, mereka menerimanya tanpa menyadari bahwa yg sebenarnya memberi adalah Tuhan.
Ketiga, mereka yg tidak meminta kepada manusia. Jika diberi, mereka tidak mau menerimanya.
Sementara itu, para peniti jalan Allah Ta’ala hanya meminta kepada Allah Ta’ala. Apabila Allah Ta’ala menetapkan sesuatu atas mereka, mereka akan menganggap baik ketetapan Allah Ta’ala itu. Wallaahu a’lam
204. Pilihlah Sesuatu Yang Berat Menurut Nafsu (1)
Hikmah 204 dlm Al-Hikam:
“Pilihlah Sesuatu Yang Berat Menurut Nafsu”
إِذَا الْتَبَسَ عَلَيْكَ أَمْرَانِ فَا نْظُرْ أَ ثْقَلَهُمَا عَلَى النَّفْسِ فَا تَّبِعُهُ ,فَإِ نَّهُ لَا يَثْقُلُ عَلَيْهَا إِلَّا مَا كَا نَ حَقًّا
Jika ada dua hal yg tidak jelas bagimu, lihatlah mana di antara keduanya yg paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia karena tidaklah terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yg benar.
Seorang salik/murid seharusnya selalu curiga dengan nafsunya, sehingga apabila akan mengerjakan dua amalan yg keduanya sama wajibnya atau sama sunnahnya, maka seharusnya ia memilih dan mengerjakan yg berat menurut nafsunya, karena apabila nafsu itu merasa berat itu tanda kalau amalan itu yg haq atau yg lebih utama, karena pada hakikatnya yg namanya ibadah itu sesuatu yg bertentangan/bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Tetapi apabila seorang murid memilih yg lebih ringan dan menyenangkan nafsunya, menurut para ulama’ ‘arifin termasuk golongan hati yg ada sifat nifaqnya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Wahai murid, jika ada dua perkara yg tidak jelas bagimu, seperti dua kewajiban atau dua hal yg sunnah, dan kau tidak mengetahui mana yg paling utama dilakukan, lihatlah mana di antara dua kewajiban itu yg paling berat bagi nafsu dan dirimu, lalu ikutilah ia dan laksanakan. Contohnya, mencari ilmu yg wajib atau mencari rezeki untuk keluarga, mencari ilmu yg melebihi kewajiban atau melakukan ibadah² sunnah. Lihat mana di antara dua perkara itu yg lebih berat bagi nafsumu karena tak ada yg berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yg benar.
Nafsu selalu terdorong untuk berbuat kebodohan. Keinginannya selalu mencari keuntungan dan lari dari kewajiban. Jika seorang murid merasa ringan dalam sebuah amal dan merasa berat dalam amal lainnya, lalu ia mengerjakan yg lebih ringan, namun hatinya tidak tenang, itu termasuk ke dalam kemunafikan hati. Akan tetapi, jika hatinya tenang, ia boleh mengerjakan yg ringan bagi nafsunya dan yg disukainya. Namun, ketika itu, ia harus melihat, mana yg lebih besar faedahnya dan yg Iebih banyak memperbaiki ahwal -nya. Itulah yg harus diutamakannya dari yg lainnya.
Ada lagi patokan lain untuk memilah, mana perkara yg lebih utama dari yg lainnya jika keduanya tidak jelas bagimu, yaitu kau harus memperkirakan kapan datangnya maut kepadamu. Amal yg membuatmu bahagia saat kau kerjakan, berarti ia benar dan selainnya bathil karena menjelang ajal, seorang hamba biasanya tidak akan mengerjakan kecuali amal shaleh yg bebas dari sifat² riya’ dan dorongan hawa nafsu.
Apabila kau bingung antara harus menuntut ilmu atau mengikuti jalan ahli tarekat, lihatlah mana di antara keduanya yg kau sukai saat ruhmu keluar dari jasadmu, kemudian lakukan hal itu. Jika kau ingin saat ruhmu dicabut malaikat dan di tanganmu ada buku tulis karena kau ikhlas dalam menuntut ilmu dan hanya mengharap ridha Allah, tuntutlah ilmu. Akan tetapi, seandainya kau tidak menyukai hal itu dan hanya ingin sibuk berdzikir kepada Allah, jangan menuntut ilmu, tetapi sibukkan dirimu dengan berdzikir atau ibadah lainnya. Jika kau terpaksa melakukan hal yg tidak kau sukai, tentu kau tidak akan ikhlas di dalamnya. Wallaahu a’lam
205. Pilihlah Sesuatu Yang Berat Menurut Nafsu (2)
Hikmah 205 dlm Al-Hikam:
مِنْ عَلَا مَا تِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَا رَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَ اتِ , وَالتَّكَا سُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِا لْوَاجِبَاتِ.
Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah sigap melakukan amalan sunnah, namun malas menunaikan amalan wajib.
Pada kenyataan yg banyak terjadi di masyarakat, yaitu semangat mengerjakan perkara² sunnah, tapi malas bahkan meninggalkan perkara yg diwajibkan, sperti contoh: ringan dan senang bersedekah, tapi berat bahkan tidak mau mengeluarkan zakat, padahal sedekah itu sunnah, sedangkan zakat itu hukumnya wajib. dan masih banyak contoh lainnya.
Syaikh Muhammad bin Abil-Ward berkata: “Kebinasaan manusia itu terjadi karena dua hal: Mengerjakan yg sunnah dan mengabaikan yg wajib (fardhu). Dan amal perbuatannya hanya mementingkan bagian lahir/luarnya, dan mengabaikan bagian batin/hatinya (yakni niat dan keikhlasannya amal).”
al-Khawwas berkata: “Terputusnya makhluk dari Allah itu karena dua hal: mengejar amal² sunnah dan meninggalkan yg wajib. Dan memperbaiki lahirnya amal, tetapi tidak memperlihatkan keikhlasan amal, sedangkan Allah tidak menerima amal kecuali jika ikhlas dan benar menurut tuntunan syari’at.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Di antara tanda kau mengikuti hawa nafsu adalah ketika kau lebih semangat melakukan ibadah sunnah, tetapi malas melaksanakan ibadah wajib. Demikianlah, kebathilan memang selalu terasa ringan dilakukan, sedangkan kebenaran akan terasa berat. Wajar saja bila sebagian besar manusia menganggap ibadah wajib sebagai hal yg biasa² saja. Toh, setiap orang pasti sama² melakukannya. Jadi, melakukan ibadah wajib bukan hal yg istimewa. Berbeda halnya dengan ibadah sunnah. Ibadah sunnah dapat membuat seseorang terlihat istimewa, terhormat, dan memiliki kedudukan tersendiri di hati manusia.
Orang yg beranggapan seperti di atas terlihat begitu semangat melaksanakan ibadah² sunnah, seperti puasa sunnah, shalat malam, dan pergi haji setiap tahun. Ia tidak menyadari dan berusaha melaksanakan ibadah² wajib yg kurang sempurna atau belum ia lakukan. Hal itu tak lain karena ia tidak suka melatih jiwa yg telah menipunya dan enggan berjuang melawan hawa nafsu yg telah menguasai dan mengungkungnya. Wallaahu a’lam
206. Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya (1)
Hikmah 206 dlm Al-Hikam:
“Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya”
قَيَّدَ الطَّا عَا تِ بِأَ عْيَا نِ الْأَوْقَا تِ، كَيْ لَا يَمْنَعَكَ عَنْهَا وُجُوْدُ التَّسْوِ يْفِ وَوَ سَّعَ عَلَيْكَ الْوَقْتَ، كَيْ تَبْقَى لَكَ حِصَّةُ الْإِخْتِيَارِ.
Allah membatasi ketaatan dengan ketentuan waktu agar sikap suka menangguhkan tidak merintangimu untuk mengerjakannya. Namun, Allah memperluas waktunya agar tetap ada peluang bagimu untuk memilih waktu yg lebih tepat, dan lebih baik.
Sudah menjadi kebiasaan manusia senang menunda-nunda pekerjaan dan amal ibadah, sehingga Allah Ta’ala menetapkan waktu amal taat, seperti shalat lima waktu. Karena apabila waktunya tidak ditentukan pastilah manusia menunda-nunda yg akhirnya tidak sampai berbuat. Dan sebab belas kasih Allah Ta’ala, manusia diberi keluasan waktu, sehingga banyak kesempatan untuk bisa berbuat taat.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala membatasi ketaatan yg wajib atasmu dengan waktu² tertentu, shalat lima waktu misalnya. Allah tidak membebaskan waktu²nya agar sikap “suka menangguhkan” tidak menghalangimu untuk mengerjakannya. Jika Allah Ta’ala membebaskan waktunya dan tidak menentukannya, sikap “suka menunda” itu akan mendorongmu untuk meninggalkannya. Kau akan malas dan berkata, “Kalau aku sudah selesai dari keperluanku, aku akan shalat karena waktunya amat luas.” Bahkan mungkin, sehari semalam terlewatkan begitu saja tanpa kau melakukan shalat itu.
Lain halnya jika waktunya dibatasi, hal itu akan mendorongmu untuk segera mengerjakannya dan selalu membuatmu waspada sehingga tidak melewatkannya.
Namun demikian, Allah Ta’ala tetap memperluas waktunya agar kau mempunyai peluang untuk memilih. Kau bisa memilih mengerjakannya di awal waktu, di pertengahan, atau di akhirnya dan kau tidak lagi menjadi orang yg menyia-nyiakan waktu shalat meski melaksanakannya di akhir waktu. Selain itu, kau bisa melaksanakan shalat secara sempurna, yaitu saat hatimu sejalan dengan anggota tubuh lainnya. Jika waktu shalat itu luas, kau bisa meninggalkan kesibukan dan halanganmu sehingga ketika itu kau bisa mengkonsentrasikan pikiran untuk khusyuk dalam beribadah dan menjaga adab di hadapan Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam
207. Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya (2)
Hikmah 207 dlm Al-Hikam:
عَلَمِ قِلَّةَ نُهُوْ ضِ الْعِبَا دِ إِلَى مُعَا مَلَتِهِ، فَأَ وْجَبَ عَلَيْهِمْ وُجُوْ دُ طَا عَتِهِ، فَسَا قَهُمْ إِلَيْهَا بِسَلَا سِلِ الْإِيْجَابِ، عَجِبَ رَبُّكَ مِنْ قَوْ مٍ يُسَا قُوْ نَ إِلَى الْجَنَّةِ بِا لسَّلَا سِلِ.
Allah mengetahui kurangnya semangat hamba dalam beribadah.Oleh karena itu, Dia menggiring mereka untuk menunaikan sejumlah ketaatan dengan rantai kewajiban. Dan, Tuhan kagum melihat kaum yg digiring ke surga dengan rantai tersebut.
Sesungguhnya Allah Ta’ala itu memerintahkan kepada hamba-Nya untuk beribadah dan taat, dengan cara memaksa yakni dengan kewajiban. Dan Allah Ta’ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan neraka apabila tidak melakukan taat.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala mengetahui kurangnya semangat para hamba untuk beribadah, bermu’amalah dengan-Nya, mendatangi-Nya dengan ketaatan, dan melaksanakan hak² rububiyah-Nya dengan penuh sukarela. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala mewajibkan mereka untuk melaksanakan sejumlah ketaatan dengan paksa dan mengancam mereka dengan neraka jika tidak melaksanakannya. Allah menyeret mereka agar melakukan ketaatan kepada-Nya dengan rantai kewajiban.
Kewajiban di umpamakan dengan rantai yg dilingkarkan di leher para tawanan untuk menyeret mereka dengan paksa. Dengan rantai kewajiban itu, Allah Ta’ala memaksa para hamba untuk melaksanakan ketaatan yg akan membuahkan kebahagiaan bagi mereka di masa depan walaupun di masa sekarang terasa berat. Allah Ta’ala melakukan hal ini terhadap hamba²Nya, sebagaimana seorang bapak melakukannya terhadap anaknya. Tidakkah kau lihat bagaimana seorang bapak mendidik dan memaksa anaknya untuk mengikuti sifat² dan tabiatnya walaupun terasa berat bagi sang anak. Meski terpaksa, anak itu pun akan melakukannya. Hal itu tak lain agar sang anak mendapatkan manfaat di masa depan yg tidak diketahuinya di masa sekarang. Kelak saat ia beranjak dewasa dan akalnya telah matang, ia akan merasakan manfaat itu dan menyadari kebenaran perlakuan sang bapak.
Tuhan kagum kepada satu kaum yg digiring ke surga dengan rantai kewajiban, sebagaimana yg dilakukan kaum muslim terhadap para tawanan kafir saat mereka diharapkan masuk Islam. Kaum itu digiring ke surga dengan rantai di leher mereka. Ini adalah makna hadits Rasulullah Saw. tentang tawanan Perang Badar yg lafalnya, “Allah kagum dengan kaum² yg digiring ke surga dengan rantai.”
Kagum bermakna menganggap besar perkara yg kecil. Kagum adalah sifat yg mustahil bagi Allah Ta’ala. Tentang lafal ini, ada dua pendapat. Salah satunya berpendapat bahwa Allah Ta’ala memiliki kekaguman yg tidak kita ketahui hakikatnya dan Dia terbebas dari maksud lafal “kagum” yg kita kenal.
Mazhab ulama khalaf menakwilkan hal itu dengan berkata, “Makna ‘kagum’ atau ‘takjub’ yg di nisbatkan kepada Allah Ta’ala adalah, Allah Ta’ala menampakkan keajaiban sebuah perkara kepada makhluk-Nya karena Allah Maha Mencipta segala sesuatu.” Allah Ta’ala kagum kepada satu kaum yg diseret ke surga tak lain karena saat semua orang ingin segera menyongsong surga dan keindahannya, mereka malah menolak untuk masuk kesana sampai harus diseret, seakan mereka diseret ke dalam sesuatu yg tidak mereka sukai.
Ada pendapat yg mengatakan bahwa yg dimaksud “kagum” disini adalah konsekuensi kagum, yaitu berbuat baik kepada yg dikagumi. Misalnya, jika kau katakan, “Betapa Zaid seorang yg alim,” konsekuensinya kau tentu ingin berbuat baik kepada Zaid dan menghormatinya.
Jadi, maknanya, Allah Ta’ala ingin berbuat baik kepada kaum itu dengan mengundang mereka masuk surga dan menyeret mereka dengan paksa. Ini berlaku bagi orang² awam. Orang awam harus diseret dengan rantai kewajiban agar mereka melakukan ketaatan.
Bagi orang² khusus, mereka tidak membutuhkan paksaan, ancaman, atau peringatan karena Allah Ta’ala telah melapangkan dada mereka, menerangi mata hati mereka, dan mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka sehingga mereka lebih mencintai ketaatan dan membenci maksiat. Maka dari itu, mereka tidak membutuhkan sedikit pun paksaan karena mereka terbebas total dari kebendaan dan kemakhlukan yg menguasai hati. Mereka selalu taat dengan penuh sukarela, bahkan jika mereka dipaksa untuk meninggalkan ketaatan itu, mereka tidak akan tahan dan tidak akan bersabar. Andai ada taklif (pembebanan hukum) bagi mereka, fungsinya saat itu tak lain untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada yg memberi beban hukum. Sebagaimana para raja yg memerintah menteri²nya agar melayaninya, tak lain untuk menambah kedekatan dan penghormatan mereka kepada rajanya. Wallaahu a’lam
208. Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya (3)
Hikmah 208 dlm Al-Hikam:
أَوْ جَبَ عَلَيْكَ وُجُوْدَ خِدْ مَتِهِ، وَمَا أَوْ جَبَ عَلَيْكَ إِلَّا دُخُوْ لَ جَنَّتِهِ.
Ketika Dia mewajibkanmu untuk berkhidmah kepada-Nya, sebenarnya Dia mewajibkanmu masuk ke dalam surga-Nya.
Pada kenyataan lahirnya hamba diwajibkan untuk taat beribadah kepada Allah Ta’ala, padahal sebenarnya ibadah yg diwajibkan atas hamba itu sedikitpun tidak bermanfaat untuk-Nya, sebagaimana maksiat yg sama sekali tidak berpengaruh/mendatangkan mudharat kepada Allah Ta’ala. Adapun sesungguhnya taat ibadah yg diwajibkan atas hamba itu untuk kepentingan dan kebaikan hamba itu sendiri, yakni supaya hamba masuk surga.
Sebagaimana diterangkan pada hikmah sebelumnya: Allah Ta’ala kagum dengan kaum yg harus ditarik dengan rantai (kewajiban), supaya mereka mau masuk surga (yg seharusnya orang itu berebut untuk masuk surga, karena surga itu perkara yg agung, sangat indah dan penuh dengan kenikmatan dan kesenangan, tapi anehnya mereka tidak mau masuk surga, bahkan harus ditarik dengan rantai).
Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Hendaknya engkau mempunyai satu wirid (amalan) yg tidak engkau lupakan selamanya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dan cinta kepada Allah Ta’ala.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala mewajibkanmu untuk berkhidmat kepada-Nya secara lahir. Sebenarnya, Dia tidak mewajibkanmu, kecuali untuk masuk ke dalam surga-Nya.
Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk. Ketaatan mereka kepada-Nya tidak berguna bagi-Nya dan maksiat mereka tidak pula merugikan-Nya.
Allah Ta’ala mewajibkan amal atas hamba, karena manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri yaitu agar mereka masuk surga bukan agar mereka mendapatkan kemuliaan dengan amal itu.
Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Allah Ta’ala mewajibkan para hamba untuk taat kepada-Nya karena kurangnya semangat mereka untuk beribadah. Untuk itu, Allah Ta’ala harus menyeret mereka dengan rantai kewajiban. Allah Ta’ala melakukan ini tak lain untuk manfaat yg akan kembali kepada mereka sendiri, yaitu masuk surga-Nya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw.: “Allah kagum dengan kaum² yg digiring ke surga dengan rantai.”
Hadits ini dipahami bahwa mereka yg dipaksa dan diwajibkan untuk taat tak lain agar mereka masuk surga. Allah Ta’ala tidak mewajibkan mereka, kecuali agar mereka memasuki surga. Wallaahu a’lam
209. Tidak Layak Bagi Seorang Hamba untuk Merasa Aneh Ketika Allah Menyelamatkannya dari Jerat Syahwatnya
Hikmah 209 dlm Al-Hikam:
“Tidak Layak Bagi Seorang Hamba untuk Merasa Aneh Ketika Allah Menyelamatkannya dari Jerat Syahwatnya”
مَنِ اسْتَغْرَبَ أَنْ يُنْقِذَ هُ اللهُ مِنْ شَهْوَتِهِ , وَأَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ وُجُوْدِ غَفْلَتِهِ , فَقَدِ اسْتَعْجَزَ الْقُدْرَةَ الْإِلَهِيَّةَ. “وَكاَنَ اللهُ علٰى كُلِّ شىءٍ مُقْتَدِرًا”
Siapa yg merasa tidak mungkin diselamatkan Allah dari syahwatnya dan dikeluarkan-Nya dari kelalaiannya, berarti menganggap lemah kuasa Ilahi, padahal, “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi [18]: 45)
Kita harus yakin terhadap Qudrat (kekuasaan) Allah Ta’ala secara mutlak tanpa kecuali, termasuk menyelamatkan hamba dari nafsu syahwat, dan menghindarkan dari kelalaian. Dan qudrat Allah Ta’ala itu bersamaan dengan Iradah-Nya, sehingga tidak ada sesuatu yg terjadi tanpa Iradah dan Qudrat-Nya, apabila Allah Ta’ala berkehendak, maka berjalanlah qudrat-Nya dengan perintah-Nya. Sesungguhnya perintah Allah Ta’ala jika menghendaki sesuatu, hanya berkata “Kun” maka terjadilah apa yg dikehendaki-Nya, pada saat yg ditentukan-Nya, dan menurut apa yg dikehendaki-Nya.
Maka dari itu jangan ada orang yg putus harapan dari rahmat Allah Ta’ala, walau bagaimanapun keadaannya. Tetapi juga jangan sampai mempermainkan dan meremehkan kekuasaan Allah Ta’ala itu. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah, hai hamba-Ku yg telah keterlaluan menjerumuskan diri (berbuat dosa), jangan kamu putus harapan dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah sanggup mengampunkan semua dosa, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang yg merasa bahwa Allah Ta’ala mustahil akan menyelamatkannya dari syahwat dan kelalaian yg telah menguasainya berarti ia menganggap lemah kuasa Ilahi, padahal Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala mampu melakukan segala sesuatu, termasuk menyelamatkan manusia dari keburukan syahwat dan kelalaian. Oleh karena itu, seorang hamba harus menuju pintu Tuhannya dengan penuh kerendahan dan kehinaan. Semoga saja Dia akan memudahkan yg dirasa sulit baginya dan menampakkan yg dianggapnya mustahil.
Makna ini didukung oleh berbagai kisah yg di riwayatkan dari beberapa orang shaleh yg awalnya berkubang dalam kelalaian dan kesalahan. Allah Ta’ala mendekati mereka dengan kelembutan-Nya, memperbaiki amal mereka, dan menjernihkan ahwal mereka, seperti yg dialami Fudhail ibn Iyyadh, Abdullah ibn Mubarak, dan Abi ‘Iqqal ibn ‘Ulwan. Wallaahu a’lam
210. Ingatlah Anugerah Nikmat Itu Dari Allah Ta’ala
Hikmah 210 dlm Al-Hikam:
“Ingatlah Anugerah Nikmat Itu Dari Allah Ta’ala”
رُبَّمَا وَرَدَتِ الظُّلَمُ عَلَيْكَ لِيُعَرِّ فَكَ قَدْ رَمَا مَنَّ اللهُ بِهِ عَلَيْكَ.
Terkadang kegelapan (macam²nya syahwat, maksiyat dan dosa) itu terjadi padamu, untuk mengingatkan kamu atas kebesaran anugerah nikmat yg diberikan Allah kepadamu.
Sebelum mendapat taufiq hidayah, seorang hamba dalam berbagai kegelapan, sehingga berbuat segala macam perbuatan kejahatan, tetapi setelah mendapat taufiq hidayah, ia hidup dalam alam cahaya, sehingga dengan demikian ia dapat merasakan bagaimana nikmat/rahmat-Nya iman hidayah, padahal ia telah lama berkecimpung dalam lumpur/jurang kegelapan syahwat dosa dan kejahatan itu.
Sebab adakalanya nilai sesuatu itu tidak dapat dirasakan kecuali bila telah merasai lawan-Nya, dalam peribahasa: ‘Kesehatan itu bagaikan mahkota di atas kepala tiap orang yg sehat, tidak ada yg melihatnya kecuali orang² yg sakit.’
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bisa jadi, kegelapan atau dosa dan maksiat serta kelalaian datang kepadamu untuk mengenalkan anugerah Allah Ta’ala kepadamu atau mengingatkanmu tentang pemberian Allah Ta’ala kepadamu berupa cahaya dan kedekatan-Nya. Dengan demikian, kau akan memuji-Nya atas karunia dan nikmat itu dan kau kembali ke kondisimu sediakala. Kau mengetahui bahwa itu adalah nikmat yg besar sehingga puji dan syukurmu pun akan semakin besar.
Terkadang, petaka bisa menjadi nikmat. Bisa jadi, penyebab turunnya petaka itu adalah rasa banggamu akan ketaatanmu sehingga Allah Ta’ala mengingatkan agar kau mengetahui siapa dirimu dan tidak melampaui batas kadarmu. Petaka itu juga mengingatkanmu agar kau tak sombong dan tidak berbangga diri di hadapan semua manusia. Inilah yg dimaksud dengan petaka bisa menjadi nikmat.
Terkadang, petaka datang sebagai siksa dan ujian bagimu. Tandanya adalah bahwa setiap kali kau keluar dari satu maksiat, kau akan terjerumus ke dalam maksiat lainnya. Demikian seterusnya dan kau tidak dibimbing Allah Ta’ala untuk bertobat dan menyadari kekurangan diri sendiri. Wallaahu a’lam
211. Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Berlalu (1)
Hikmah 211 dlm Al-Hikam:
“Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Berlalu “
مَنْ لَمْ يَعْرِفْ قَدْ رَ النِّعَمِ بِوُ جْدَانِهَاعَرَ فَهَا بِوُجُوْ دِ فُقْدَا نِهَا.
Orang yg tidak mengetahui nilai nikmat tatkala mendatanginya akan sadar tatkala sudah lepas dari dirinya.
Kebanyakan manusia itu tidak tahu agung dan besarnya nikmat² yg dirasakan, kecuali ketika kehilangan nikmat tersebut. Sehingga banyak yg bilang: orang yg tahu besarnya harga air, yaitu hanya orang yg dicoba kehausan di hutan. Kalau dia berada di tepi sungai yg mengalir, dia tidak akan tahu besarnya harga air.
Begitu juga dengan nikmat Rahmat, Hidayah, diberi kekuatan bisa beribadah dan taat, yg itu sebagai nikmat yg sangat besar, yg terkadang kita lupa kalau semua itu pemberian dari Allah Ta’ala yg sangat besar dan agung. Sehingga terkadang kita akui kalau itu semua milik kita, kemampuan kita, hasil usaha kita dan lain². Sehingga terkadang Allah Ta’ala memberi cobaan kepada kita berbuat dosa/maksiat (kegelapan), supaya kita sadar dan ingat bahwa semua nikmat itu atas pemberian Allah Ta’ala yg wajib kita syukuri.
Rasulullah Saw. bersabda: “Jika seseorang melihat orang yg lebih dari padanya kekayaan dan kesehatannya, maka hendaklah ia juga melihat kepada orang yg lebih menderita dari padanya.”
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw. bersabda: “Lihatlah orang² yg dibawahmu, dan jangan melihat orang yg di atasmu, karena yg demikian itu akan menyebabkan meremehkan nikmat yg diberikan Allah kepadamu.”
Syaikh Sariy as-Saqathi ra. berkata: “Siapa yg tidak menghargai nikmat, maka akan dicabut nikmat itu dalam keadaan ia tidak mengetahui.”
Syaikh Fudhail bin Iyadh ra. berkata: “Tetaplah mensyukuri nikmat, sebab jarang sekali nikmat yg telah hilang akan datang kembali. Sesungguhnya orang yg sangat mengetahui nikmatnya air itu, hanya orang yg benar² haus.”
Orang yg beruntung yaitu: orang yg pengertian dengan pengalaman (dengan kejadian) yg terjadi pada dirinya atau orang lain. Dan siapa yg tidak mensyukuri nikmat berarti membiarkannya hilang, dan siapa yg mensyukuri nikmat berarti telah mengikat nikmat itu dengan tali ikatannya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Turunnya kegelapan adalah sebagai pertanda dan pengenal besarnya kenikmatan karena segala sesuatu akan semakin jelas dengan adanya kebalikannya.”
Saat ada lawan atau tandingannya akan tampaklah keutamaan sebuah benda. Nikmat pandangan akan diketahui manakala seseorang di uji dengan kebutaan. Kadar air dan nilainya akan diketahui seseorang manakala ia diuji dengan rasa haus yg berat di tengah padang pasir tandus. Nilai air tidak akan diketahui oleh orang yg ada di pinggir danau atau sungai yg mengalir. Nikmat itu baru terasa oleh seseorang tatkala nikmat itu sudah hilang darinya. Wallaahu a’lam
212. Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Berlalu (2)
Hikmah 212 dlm Al-Hikam:
لَا تُدْ هِشْكَ وَارِدَاتُ النِّعَمَ عَنِ الْقِيَا مِ بِحُقُوْ قِ شُكْرِ كَ، فَإِنَّ ذَ لِكَ مِمَّا يَحُطُّ مِنْ وُجُوْدِ قَدْ رِكَ .
Jangan sampai nikmat yg berlimpah membuatmu lalai dalam menunaikan kewajiban bersyukur karena hal itu dapat merendahkan derajatmu dihadapan Allah.
Kita diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mensyukuri semua nikmat pemberian-Nya menurut kadar kemampuan yg diberikan Allah Ta’ala kepada kita, bukan sebanyak nikmat yg diberikan Allah Ta’ala. Sebab itu tidak mungkin kita laksanakan, karena Allah Ta’ala memberi nikmat yg besar kepada kita sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala, sedangkan kita harus mensyukuri nikmat menurut kadar kemampuan kita dari Allah Ta’ala.
Nabi Dawud as. berkata: “Tuhanku, anak Adam ini telah Engkau beri pada tiap helai rambut ada nikmat diatas dan dibawahnya, maka bagaimana akan dapat menunaikan syukur kepada-Mu?”
Jawab Allah Ta’ala: “Hai Dawud, Aku memberi sebanyak-banyaknya, dan rela menerima yg sedikit, dan untuk mensyukuri nikmat itu bila engkau mengetahui bahwa nikmat yg ada padamu itu dari Aku (Allah).”
Umar bin Abdul Aziz ra. berkata: “Tiadalah Allah memberi nikmat kepada hamba, kemudian hamba mengucap “Alhamdulillaah” , melainkan nilai pujian itu jauh lebih besar dari nikmat yg diberikan itu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan sampai limpahan nikmat membuatmu terpesona dan lalai dalam menunaikan kewajiban² syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Misalnya, dengan melihat kelemahan dirimu dalam menunaikan hak² itu sehingga kau lupa bersyukur. Sikap lalai itulah yg dapat merendahkan derajatmu. Allah Ta’ala telah mengangkat derajatmu dan membuat yg sedikit padamu menjadi banyak. Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa membawa amal yg baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am [6]: 160)
Jangan sampai banyaknya nikmat yg diberikan Allah Ta’ala kepadamu membuat dirimu lupa bersyukur kepada-Nya. Jangan sampai pula kau berpandangan bahwa nikmat yg kau rasakan itu datang dengan sendirinya sehingga kau tidak mau bersyukur kepada yg memberinya. Kedua sikap ini adalah sikap yg bodoh dan tercela.
Di antara bentuk syukur dengan lisan adalah berdzikir mengingat Allah Ta’ala, atau membaca wirid setelah shalat lima waktu. Wallaahu a’lam
213. Cara Mengobati Hawa Nafsu
Hikmah 213 dlm Al-Hikam:
“Cara Mengobati Hawa Nafsu”
تَمَكُّنُ حَلاوَتِ الهَوٰى منَ القلْبِ هُوَالدَّاءُ العِضاَلُ.
Kelezatan hawa nafsu yg sudah bersarang di qalbu merupakan penyakit kronis.
Hati itu tempatnya Iman, Yaqin dan makrifat, ketiganya itu sebagai obat penyakit hati yg timbul dari hawa nafsu, apabila penyakit itu sudah menetap dan menguasai/memenuhi hati, maka tidak ada tempat untuk obat. Disitulah letak repot dan sulitnya mengobatinya, sehingga sulit disembuhkan.
واصل كل معصية وغفلة وشهوة وشرك هو الرضا عن النفس
“Asal usul/pokok dari pada kemaksiatan, ghaflah (lupa pada Allah), syahwat (kesenangan), dan kemusyrikan itu sebab ridho dengan hawa nafsu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kecenderungan syahwat dan sumber kecintaan terhadap dunia yg bersarang di qalbu merupakan penyakit yg kronis dan sulit diobati. Penyakit ini tak bisa dihilangkan dengan berbagai cara dan obat, termasuk dengan iman, makrifat, dan keyakinan karena sebuah penyakit, jika sudah bersarang di qalbu, tak ada lagi obat yg mampu menawarnya. Akibatnya ia menjadi kronis dan sulit disembuhkan. Tak lagi ada yg mampu mengobatinya, kecuali wirid atau karunia Ilahi. Wallaahu a’lam
214. Keutamaan Menghadiri Majelis Dzikir
Hikmah 214 dlm Al-Hikam:
“Keutamaan Menghadiri Majelis Dzikir”
لَا يُخْرِجُ الشَّهْوَة َمِنَ الْقَلْبِ إِلَّا خَوْ فٌ مُزْ عِجٌ أَوْ شَوْ قٌ مُقْلِقٌ.
Tiada yg bisa mengusir syahwat dari hati, kecuali rasa takut yg menggetarkan atau rasa rindu yg menggelisahkan.
Keinginan hawa nafsu yg sudah memenuhi hati itu sangat luar biasa pengaruhnya, maka untuk mengobatinya sangatlah sulit, hanyalah dengan rasa takut yg besar (menggetarkan) yaitu dengan berfikir tentang ayat² Allah, tentang balasan dan ancaman Allah, siksa bagi orang yg maksiat, ingat akan datangnya mati, dimasukkan dalam kubur, ditanya oleh malaikat Munkar Nakir, datangnya hari kiamat dan neraka.
Dan rasa rindu yg sangat, yaitu dengan berfikir tentang ayat² Allah tentang kemuliaan dan kenikmatan yg diberikan kepada orang² yg ahli taat kepada Allah, dan para kekasih-Nya, berupa surga dan kenikmatan yg lebih lagi di dalamnya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tiada yg bisa mengusir syahwat dari hati, kecuali rasa takut yg mengganggu dan menguasai relung hati sebagai buah dari penyaksian terhadap sifat² Tuhan Yang Maha Mulia. Caranya adalah dengan melihat tanda² kebesaran-Nya, mencermati ayat²Nya yg berisi ancaman, dan mengingat maut, alam kubur, pertanyaan para malaikat, dan hari kiamat.
Bisa juga yg mengusir syahwat dari hati adalah rasa rindu yg menggelisahkan yg masuk ke dalam hati dan berpangkal dari penyaksian sifat² keindahan-Nya. Sumber rasa rindu itu ialah kebiasaan melihat dan mengingat ayat²Nya yg mengandung janji Allah bagi ahli ketaatan dan para wali-Nya, berupa surga yg tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik sedikit pun di hati manusia, serta kebiasaan menghadiri majelis² dzikir. Dzikir merupakan terapi dan cara yg efektif untuk meraih semua itu. Hal itu dikarenakan, dzikir sedikit demi sedikit dapat menenangkan hati dan menumbuhkan rasa takut dan rindu. Wallaahu a’lam
215. Allah Tidak Menerima Amal Dari Orang Musyrik Dan Hati Yang Musyrik
Hikmah 215 dlm Al-Hikam:
“Allah Tidak Menerima Amal Dari Orang Musyrik Dan Hati Yang Musyrik”
كَمَا لَا يُحِبُّ الْعَمَلَ الْمُشْتَرَكَ، لَا يُحِبُّ الْقَلْبَ الْمُشْتَرَكَ، الْعَمَلُ الْمُشْتَرَكُ لَا يَقْبَلُهُ، وَالْقَلْبُ الْمُشْتَرَ كُ لَا يُقْبِلُ عَلَيْهِ.
Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yg tak sepenuhnya untuk-Nya, Dia juga tidak menyukai hati yg tidak sepenuhnya untuk-Nya. Amal yg tidak sepenuhnya untuk-Nya tidak Dia terima dan hati yg tak sepenuhnya untuk-Nya tidak Dia pedulikan.
Amal yg dipersekutukan yaitu: amal/ibadah yg kemasukan salah satu dari tiga hal:
Riya’ (amal yg karena makhluk),
Tashannu’ (membaik-baikkan amal di hadapan manusia),
‘Ujub (merasa besar dan baik amalnya sendiri).
Sedangkan hati yg bersekutu yaitu: hati yg masih cinta kepada selain Allah Ta’ala, dan masih mengharap dan takut atau masih bersandar kepada selain Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala hanya menerima amal yg ikhlas karena Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala hanya mau menghadapi orang yg dihatinya hanya ada Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Amal yg tidak sepenuhnya adalah amal yg disertai riya’ dan kepura-puraan. Hati yg tidak sepenuhnya adalah hati yg di dalamnya ada kecintaan dan ketergantungan kepada selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidak menyukai amal dan hati seperti ini. Jika amal dan hati seperti itu, cinta, yg bermakna kecenderungan hati, mustahil diberikan untuk Allah Ta’ala.
“Allah tidak menyukai amal yg tak sepenuhnya untuk-Nya” bermakna bahwa Allah Ta’ala tidak akan menerima atau memberi pahala terhadap amal yg tidak sepenuhnya karena di dalamnya tidak ada keikhlasan. Ketidaksukaan Allah Ta’ala terhadap hati yg seperti itu bermakna bahwa Allah Ta’ala tidak meridhai pemiliknya dan tidak memberinya pahala karena di dalamnya tidak ada ketulusan.
Siapa yg memperbaiki amalnya dengan ikhlas dan menghiasi ahwal hatinya dengan ketulusan, ia akan dicintai Allah Ta’ala, diberi pahala, dan diridhai-Nya. Jika tidak, Allah Ta’ala pun tidak akan meridhai dan memberinya pahala. Wallaahu a’lam
216. Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati (1)
Hikmah 216 dlm Al-Hikam:
“Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati”
نْوَارٌ أُذِنَ لَهَا فِي الْوُصُوْ لِ، وَأَ نْوَارٌ أُذِنَ لَهَا فِي الدُّ خُوْلِ.
Ada cahaya yg hanya diperkenankan sampai ke lahiriah qalbu dan ada cahaya yg diperkenankan untuk masuk ke dalamnya.
Ada kalanya Nur itu hanya sampai di hati (luar hati), tidak masuk ke dalam hati, mereka bisa melihat Allah Ta’ala dan melihat dirinya, melihat dunia dan akhiratnya, masih cinta dunia dan cinta Akhiratnya, masih bersama dirinya dan bersama Allah Ta’ala. Apabila Nur itu sudah masuk ke dalam hatinya, dalam pandangannya hanya ada Allah Ta’ala, sehingga tidak ada yg dicinta, diharap, dan disembah melainkan Allah Ta’ala semata-mata.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Cahaya makrifat yg diperbolehkan masuk ke dalam hati terbagi ke dalam dua kategori. Ada cahaya yg diperkenankan sampai ke lahir qalbu saja dan ada cahaya yg diperkenankan masuk sampai ke lubuknya. Cahaya yg hanya sampai ke lahir qalbu mendorong qalbu untuk melihat Tuhannya, dunia, dan akhiratnya. Oleh sebab itu, terkadang ia bersama Tuhannya, terkadang mencintai akhiratnya, dan sesekali mencintai dunianya. Akan tetapi, cahaya yg masuk ke dalam lubuk hati akan membuat hati itu tertutup dari segala sesuatu, kecuali wujud Allah Ta’ala. Dengan cahaya itu, hati tidak akan mencintai selain-Nya dan tidak akan menyembah kecuali kepada-Nya.
Seorang ‘arif berkata, “Jika iman hanya ada di bagian luar qalbu, hamba akan mencintai dunia dan akhiratnya. Ia akan sesekali bersama Tuhannya dan sesekali bersama dirinya sendiri. Akan tetapi, jika iman masuk ke dalam batin qalbunya, hamba akan membenci dunianya dan meninggalkan hawa nafsunya.” Wallaahu a’lam
217. Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati (2)
Hikmah 217 dlm Al-Hikam:
رُبَّمَا وَرَدَتْ عَلَيْكَ الْأَنْوَارُ فَوَ جَدْ تَ الْقَلْبَ مَحْشُوًّا بِصُوْرِ الْآ ثَا رِ، فَا رْ تَحَلَتْ مِنْ حَيْثُ نَزَ لَتْ. فَرِّغْ قَلْبَكَ مِنَ الْأَغْيَا رِ يَمْلَأْ هُ بِا لْمَعَا رِ فِ وَ الْأَسْرَارِ.
Adakalanya cahaya mendatangimu, namun qalbumu dipenuhi gambaran makhluk sehingga cahaya² itu kembali ke tempat semula. Kosongkan qalbumu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Dia akan mengisinya dengan sejumlah makrifat dan rahasia/asror.
Sebagaimana keterangan hikmah sebelumnya yaitu, nur yg di izinkan hanya sampai ke hati, dan tidak bisa masuk ke dalam hati, dilanjutkan dengan keterangan hikmah ini bahwa nur Ilahi (makrifat) itu datang ke hati hamba, tapi berhubung dalam hati itu penuh dengan gambaran makhluk dan kotor sebab dosa dan maksiat, maka nur tersebut tidak bisa masuk ke hati karena sudah tidak ada tempat lagi. Keterangan hikmah ini sudah diterangkan pada hikmah terdahulu, yaitu: Bagaimana hati bisa terang, sedang gambar² dunia/makhluk masih melekat dalam cermin hati.
Maka supaya Nur Ilahi bisa di izinkan masuk dan menetap ke dalam hati dan ilmu makrifat dan asror bisa bercahaya dalam hati, haruslah mengkosongkan hati dari keduniaan dan segala sesuatu selain Allah Ta’ala (makhluk).
Bila cermin hati itu bersih dari kotoran dan gambar² dunia, maka Nur/cahaya Ilahi itu bisa ditangkap oleh cermin itu.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Adakalanya cahaya atau ilmu dan makrifat Ilahi datang kepadamu, tetapi karena qalbumu penuh dengan gambaran kemakhlukan dan kebendaan, berupa harta, jabatan, anak, dan sebagainya, akhirnya cahaya itu pun pergi lagi dari qalbu. Cahaya itu suci dan jernih. Ia tidak akan menempati qalbu yg kotor dengan kebendaan.
Kosongkan hatimu dari kemakhlukan atau dari sikap bergantung kepada selain Tuhanmu. Hapuslah bayang² kebendaan dari hatimu, misalnya dengan tidak menuju kepada selain Tuhanmu sehingga kau tidak lagi merindukan apa pun, kecuali Dia dan tidak bergantung kecuali kepada-Nya. Jika demikian, niscaya Allah Ta’ala akan mengisi hatimu dengan makrifat dan rahasia Ilahi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang² yg berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar² akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan² Kami. Dan sesungguhnya Allah benar² beserta orang² yg berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hati tidak akan bersinar selama bayangan makhluk dan alam semesta masih terpampang di cerminnya. Oleh karena itu, kosongkan hatimu dari bayang² makhluk dan kebendaan agar ia tetap bersih sehingga cahaya yg berupa makrifat dan rahasia Ilahi akan hinggap dengan mudah di sana. Wallaahu a’lam
218. Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati (3)
Hikmah 218 dlm Al-Hikam:
لَا تَسْتَبْطِئْ مِنْهُ النَّوَالَ وَلَكِنِ اسْتَبْطِئْ مِنْ نَفْسِكَ وُجُوْدِ الْإِقْبَالِ.
Jangan salahkan lambatnya kedatangan karunia Allah. Namun, salahkanlah dirimu yg lambat menghadap kepada-Nya.
Janganlah menganggap Allah Ta’ala memperlambat pemberian-Nya kepadamu, tidak segera mengabulkan doa dan hajat²mu, tapi rasakan lambatnya dirimu dalam menghadap kepada Allah Ta’ala.
Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi ra. berkata: “Mencari/berharap masuk surga tanpa amal (kebaikan), itu dosa dari beberapa dosa, mengharap syafa’at (pertolongan) tanpa melalui sebab, itu bagian dari ghurur (mengada-ada), dan mengharap rahmat tanpa ketaatan itu perbuatan bodoh dan sia².”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan salahkan lambatnya kedatangan karunia Allah berupa makrifat dan rahasia Ilahi kepadamu. Akan tetapi, salahkanlah dirimu yg lambat dalam mendatangi dan menghadap kepada-Nya dengan menghapus semua bayangan kebendaan dari cermin hatimu melalui perjuangan dan olah batin (riyadhah). Wallaahu a’lam
219. Ada Dua Macam Hak: Yang Bisa Dipenuhi Dan Yang Tidak Bisa Dipenuhi (1)
Hikmah 219 dlm Al-Hikam:
“Ada Dua Macam Hak: Yang Bisa Dipenuhi Dan Yang Tidak Bisa Dipenuhi”
حُقُوْقٌ فِي الْأَوْقَا تِ يُمْكِنُ قَضَا ؤُهَا، وَحُقُوْ قُ الْأَوْقَا تِ لَا يُمْكِنُ قَضَا ؤُهَا، إِذْ مَا مِنْ وَقْتٍ يَرِ دُ إِلَّا وَ لِهََِا عَلَيْكَ فِيْهِ حَقٌّ جَدِ يْدٌ وَأَمْرٌ أَ كِيْدٌ، فَكَيْفَ تَقْضِي فِيْهِ حَقَّ غَيْرِهِ وَأَنْتَ لَمْ تَقْضِ حَقَّ اللهِ فِيْهِ؟
Berbagai kewajiban yg dikerjakan pada sejumlah waktu dapat diganti. Namun, kewajiban terhadap sejumlah waktu (keadaan) tidak dapat diganti. Pasalnya, tidaklah satu waktu tiba, kecuali membawa kewajiban baru dan perintah penting dari Allah yg harus kau tunaikan. Bagaimana mungkin kau menunaikan hak yg lain, sedangkan di dalamnya hak Allah tidak kau tunaikan?
Hak² (kewajiban yg ada dalam waktu) yaitu: ibadah² seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya, bila tidak bisa dikerjakan pada waktunya, bisa di qodho’ pada waktu lainnya. Tetapi hak² waktu itu sendiri yakni apa yg disediakan diberikan Allah Ta’ala untuk hamba waktu itu, jika tidak dilaksanakan hak²nya tidaklah mungkin bisa di qodho’nya.
Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata: Waktu² yang diberikan kepada hamba itu ada empat:
- Nikmat,
- Bala’,
- Taat,
- Maksiat.
Dan Allah Ta’ala mewajibkan kepadamu pada tiap² waktu itu ada bagian ibadah yg harus kamu penuhi dengan hukum²nya Tuhan. Barang siapa di dalam waktu taat, maka hak/kewajiban yg harus dipenuhi yaitu memandang anugerah dari Allah Ta’ala, apabila dalam waktu mendapat kenikmatan, maka dengan bersyukur, yaitu: senangnya hati karena Allah Ta’ala, apabila dalam waktu maksiat, maka yg harus dipenuhi yaitu taubat dan minta ampun, apabila waktu mengalami bala’ ujian, maka harus bersabar dan ridha.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Siapa yg diberi lalu bersyukur, dan di uji lalu bersabar, dan di aniaya lalu memaafkan dan berdosa lalu minta ampun.” Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak. Sahabat bertanya: “Kemudian apakah ya Rasulullah untuknya?”
Rasulullah Saw. menjawab: “Mereka orang yg pasti mendapat kesejahteraan (di akhirat), dan merekalah orang yg mendapat petunjuk/hidayah (di dunia).”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kewajiban² pada waktu² tertentu, berupa shalat, puasa, dan sebagainya, bisa diganti di lain waktu apabila waktu yg telah ditetapkan untuknya terlewatkan. Akan tetapi, kewajiban terhadap waktu ialah ahwal yang didapat seorang hamba dari Tuhannya. Waktu seorang hamba adalah ahwal (keadaan) yg dialaminya. Ada empat waktu yg biasa dialami seorang hamba, yaitu nikmat, ujian (petaka), ketaatan, dan maksiat. Semuanya disebut “waktu” karena ia datang pada waktu² tertentu; hak² waktu yg wajib kau tunaikan adalah sikap² batin yg dibutuhkan oleh ahwal tersebut.
Bila waktu itu berupa kenikmatan, haknya atau kewajiban yg harus kau tunaikan untuknya adalah, kau harus memuji Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu. Bila berupa ujian, kau harus bersabar dan ridha. Jika berupa ketaatan, kau harus tetap melihat karunia-Nya. Namun, bila berbentuk maksiat, kau harus beristighfar dan bertaubat.
Oleh sebab itu, orang² berkata, “Seorang yg miskin selalu menjadi anak waktunya.” Dengan kata lain, ia selalu berlaku sopan terhadap waktunya dan selalu menunaikan haknya, sebagaimana seorang anak yg berlaku sopan terhadap bapaknya.
Hak² waktu itu tidak bisa diganti jika terlewatkan karena tak ada waktu atau keadaan lain yg datang, kecuali di dalamnya Allah Ta’ala memiliki kewajiban dan perintah baru atasmu yg harus kau kerjakan. Oleh karena itu, tak ada hal lain bagimu, kecuali kau harus menunaikan hak² waktumu agar tak ada kewajiban yg kau lewatkan.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau menunaikan hak lain yg telah kau lewatkan, sedangkan kau belum menunaikan hak Allah di dalamnya.” Maksudnya adalah hak yg berhubungan dengan waktu itu. Sekiranya Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Sedangkan kau belum menunaikan hak waktu itu?” mungkin akan lebih tepat dan jelas lagi. Saat itu, kau wajib mengawasi hatimu agar ia menjaga hak² itu yg tak mungkin digantikan jika terlewatkan. Jangan kau sibukkan waktumu dengan syahwat² dirimu dan kekerasan jiwa kemanusiaanmu sehingga kau menyia-nyiakan hak² Allah Ta’ala yg wajib kau tunaikan dan tak ada gantinya jika terlewatkan. Wallaahu a’lam
220. Ada Dua Macam Hak: Yang Bisa Dipenuhi Dan Yang Tidak Bisa Dipenuhi (2)
Hikmah 220 dlm Al-Hikam:
مَا فَا تَ مِنْ عُمْرِ كَ لَا عِوَضَ لَهُ، وَ مَا حَصَلَ لَكَ مِنْهُ لَا قِيْمَةَ لَهُ.
Usiamu yg berlalu tidak dapat digantikan dan apa yg kau raih darinya tidak ternilai harganya.
Umur seorang mukmin itu sebagai pokok hartanya, dengan harta itu bisa beruntung bisa juga rugi, barang siapa bersungguh-sungguh maka dia akan beruntung, dan siapa yg menyia-nyiakan pasti akan merugi. Apabila waktu umurnya terlewatkan selain untuk taat kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada gantinya, dan apabila telah pergi maka tidak akan kembali selamanya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap waktu yg telah lewat dari (umur) hamba, yg tidak untuk berdzikir kepada Allah pada waktu itu, besok di hari kiamat pasti menyesal dan merugi.”
Sayyidina Ali kw. berkata kepada Sayyidah Fatimah ra.: “Ketika membuat makanan, buatlah yg halus dan lunak (tidak keras), karena makanan yg lunak dan yg keras itu lima puluh kali tasbih bandingannya.”
Maka dari itu para Ulama’ Salafusshaleh sangat memperhatikan dan menjaga nafasnya, dan cepat² mencari keuntungan pada setiap masa dan waktu. Mereka tidak menyia-nyiakan waktunya sedikitpun.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Usiamu yg berlalu tidak akan pernah kembali lagi. Jika kau tidak melakukan amal shaleh di sepanjang usiamu, kau akan kehilangan kebahagiaan sebesar usiamu itu dan kau tidak akan mendapatkannya lagi.
Apa yg kau raih selama usiamu tak ternilai harganya dan tak bisa diukur dengan apa pun. Jika kau sibuk dengan hak² Allah Ta’ala selama usiamu, kau akan meraih kerajaan besar di akhirat, kemuliaan agung yg tidak akan fana. Oleh karena itu, para salafusshaleh amat memperhatikan setiap desah napas dan setiap detik waktu mereka dengan segera menggunakan kesempatan dan waktunya. Mereka senantiasa tidak puas dengan apa yg telah mereka lakukan untuk Tuhannya.
Dalam hadits disebutkan, “Waktu yg tidak dimanfaatkan seorang hamba untuk mengingat Allah akan menjadi waktu penyesalan baginya.”
Ada yg berkata, “Di hari kiamat, akan diperlihatkan kepada setiap hamba hari² yg telah dilaluinya dalam bentuk simpanan yg diletakkan berbaris-baris di dalam dua puluh lemari. Di setiap lemari, terdapat satu kenikmatan atas amal shaleh yg telah dilakukannya di dunia. Jika suatu ketika ia tidak melakukan amal shaleh, lemari itu terlihat kosong. la pun akan menyesalinya. Namun, saat itu penyesalan sudah tidak lagi berguna.” Wallaahu a’lam
221. Mencintai Sesuatu Berarti Menjadi Hambanya, dan Allah Tidak Suka Engkau Menjadi Hamba Selain-Nya
Hikmah 221 dlm Al-Hikam:
“Mencintai Sesuatu Berarti Menjadi Hambanya, dan Allah Tidak Suka Engkau Menjadi Hamba Selain-Nya”
مَا أَحْبَبْتَ شَيْأً إِلَّا كُنْتَ لَهُ عَبْدًا، وَهُوَ لَا يُحِبُّ أَنْ تَكُوْنَ لِغَيْرِهِ عَبْدًا.
Tidaklah kau mencintai sesuatu melainkan kau menjadi hamba baginya dan Allah tidak ingin kau menjadi hamba bagi selain-Nya.
Hati itu bila mencintai sesuatu pastilah selalu menghadap dan tunduk pada sesuatu tersebut, dan selalu taat pada semua perintahnya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Celakalah hamba dinar, dirham, baju, permadani dan istri, celaka dan rugi, dan umpama terkena duri semoga tidak keluar.”
Syaikh asy-Syibli qs. dan seorang muridnya yg diberi pakaian jubah seseorang, sedangkan Syaikh asy-Syibli sedang memakai kopiyah di kepalanya, sehingga terbersit dalam hati si murid senang dengan kopiyahnya, untuk dikumpulkan dengan jubahnya. Melalui kasyafnya, Syaikh asy-Syibli mengetahui keinginan hati si murid, lalu oleh Syaikh dilepaskannya jubah si murid lalu dikumpulkan dengan kopiyahnya, lalu dilemparkan keduanya ke api, Syaikh asy-Syibli lalu berkata: “Sekarang sudah tidak ada lagi dalam hatimu ketertarikan selain Allah.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bila kau mencintai dunia, kau akan menjadi budaknya karena kecintaanmu terhadap sesuatu membuatmu tunduk dan terikat kepadanya. Bahkan, kau juga tidak akan mau lepas dan mencari gantinya. Sebagaimana dikatakan, “Cintamu kepada sesuatu akan membutakan matamu dan membuatmu bisu.” Artinya, apa yg kau cintai akan memperbudakmu. Jika kau mencintai selain Allah Ta’ala, yg kau cintai itu, apa pun bentuknya, akan memperbudakmu.
Sementara itu, Allah Ta’ala tidak mau kau menjadi budak bagi selain-Nya. Allah Ta’ala tidak rela dengan hal itu. Dalam hadits disebutkan, “Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham ….”
Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. berkata, “Sesungguhnya, kau tidak akan benar² menjadi hamba Allah yg sebenarnya selama kau masih mencari selain-Nya. Kau pun tidak akan sampai pada kebebasan yg sesungguhnya karena kau harus menunaikan hak² ‘ubudiyah (penghambaan) kepada-Nya. Wallaahu a’lam
222. Taat Dan Maksiat Itu Tidak Berguna Bagi Allah (1)
Hikmah 222 dlm Al-Hikam:
“Taat Dan Maksiat Itu Tidak Berguna Bagi Allah”
لاَ تَنْفَعُكَ طاَعَتُكَ ولاَ يَضُرُّهُ مَعْصِيَّتُكَ، وَاِنّمَا اَمَرَكَ بِهٰذِهِ وَنَهَاكَ عَنْ هٰذِهِ لماَ يَعُودُ عليْكَ.
Ketaatanmu tidak bermanfaat untuk-Nya dan maksiatmu tidak mendatangkan bahaya kepada-Nya. Allah memerintahkan ini dan melarang itu tidak lain hanyalah untuk kepentinganmu.
Allah Ta’ala itu Dzat yg Maha Kaya dari segala sesuatu, dan semua makhluk itu butuh kepada Allah Ta’ala. Hanya sebab rahmat dan belas kasih Allah Ta’ala, dan kepentingan dan kebaikan hamba itu sendiri sehingga Allah Ta’ala memerintahkan untuk taat dan melarang maksiat, perintah dan larangan itu sama sekali tidak berguna atau merugikan Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ketaatanmu tidak bermanfaat bagi Allah Ta’ala karena Dia Maha Kaya, tidak membutuhkan alam semesta dan amal ibadah makhluk. Maksiatmu juga tidak mendatangkan bahaya apa² kepada Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala Maha Jauh dari perbuatan bahaya yg dilakukan makhluk-Nya.
Allah Ta’ala memerintahkanmu taat dan melarangmu bermaksiat, tak lain untuk maslahat dan manfaat dirimu sendiri di dunia dan akhirat. Namun, perlu diingat bahwa memberi manfaat bukan kewajiban yg harus ditunaikan-Nya, tetapi hanya sebuah bentuk karunia dari-Nya. Wallaahu a’lam
223. Taat Dan Maksiat Itu Tidak Berguna Bagi Allah (2)
Hikmah 223 dlm Al-Hikam:
لاَيَزِيدُ فِى عِزِّهِ اِقبَالُ مَنْ اَقْبَلَ عليهِ، ولاَ يَنْقُصُ من عِزِّهِ اِدْبارُ مَنْ اَدْبَرَ عَنْهُ.
Ketaatan seseorang tidak menambah kemuliaan-Nya dan pembangkangan seseorang tidak mengurangi kemuliaan-Nya.
Kemuliaan dan kejayaan Allah Ta’ala itu sifatnya azali dan langgeng, yakni: Allah Ta’ala Dzat yg mulia sebelum adanya makhluk, dan tetap mulia sesudah menjadikan makhluk, jadi kemuliaan Allah Ta’ala itu tidak dapat bertambah atau berkurang.
Dalam hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman:
لوأنّ اولكم واَخركم واِنسكم وجِنكم كانوا على أتقى قلب رجل واحد مازاد ذالك فى ملكى شيئاً، ولو أن اولكم واَخركم واِنسكم وجِنكم كانوا على أفجَرِ قلب رجلٍ واحدٍ مانقص ذالك من ملكى شيئاً
“Hai hamba-Ku, andaikan orang yg pertama hingga yg terakhir dari kamu, dari bangsa manusia dan bangsa jin, semua berbuat taqwa sebaik-baik hati seorang di antara kamu, maka yg demikian itu tidak menambah kekayaan-Ku sedikitpun, dan sebaliknya jika semua itu berbuat sejahat-jahat perbuatan seorang di antara kamu, maka yg demikian itu tidak mengurangi kekuasaan kerajaan-Ku sedikitpun.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ketaatan seseorang tidak menambah kemuliaan-Nya karena kemuliaan Allah Ta’ala sudah menjadi salah satu sifat-Nya yg mencakup ketuhanan, kesombongan, dan kebesaran-Nya. Sifat² Allah Ta’ala itu amat sempurna dan terbebas dari penambahan atau pengurangan. Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa tidak ada manfaat dan bahaya untuk Allah dari hamba²Nya. Wallaahu a’lam
224. Sampai Kepada-Nya Artinya Mengetahui-Nya (1)
Hikmah 224 dlm Al-Hikam:
“Sampai Kepada-Nya Artinya Mengetahui-Nya”
وُصُوْ لُكَ إِلَى اللهِ وُصُوْلُكَ إِلَى الْعِلْمِ بِهِ، وَ إِلَّا فَجَلَّ رَ بُّنَا أَنْ يَتَّصِلَ بِهِ شَيْءٌ، أَوْ يَتَّصِلَ هُوَ بِشّيْءٍ.
Sampaimu kepada Allah (wushul) adalah sampaimu kepada pengetahuan tentang-Nya karena mustahil Allah disentuh atau menyentuh sesuatu.
Sampai kepada ilmu yaqin/makrifat berarti: dengan mengetahui/meyakini bahwa Allah Ta’ala itu satu dalam Dzat, Sifat dan Af’al-Nya, Sempurna dalam kesempurnaan-Nya, dan meyakini kalau Allah Ta’ala itu lebih dekat kepadamu daripada dirimu.
Maksud dari muhal kalau sesuatu itu bertemu (bersambung) dengan Allah Ta’ala yaitu: seperti bertemu/bersambungnya sebagian bentuk/benda dengan bentuk lainnya, atau Allah Ta’ala itu bertemu (bersambung) dengan sesuatu: tidak ada dekat kepada Allah, dan sampai (wushul) kepada-Nya, seperti dekat, bertemu/sampainya bentuk/jisim.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sampaimu kepada Allah Ta’ala, seperti yg di isyaratkan ahli tarekat, adalah sampaimu kepada penyaksian-Nya dengan mata batinmu. Inilah yg disebut dengan penyaksian langsung atau ‘ilmul yaqin (ilmu yakin) terhadap tajalli (penampakan) Allah Ta’ala dan limpahan kasih sayang-Nya.
Penyaksian ini juga disebut sebagai perkenalan langsung dengan mata dan perasaan fitrah. Para ahli syuhud berbeda-beda dalam mendapatkannya. Ada yg mendapatkan tajalli perbuatan Allah Ta’ala. Di sini, perbuatan mereka dan perbuatan selain mereka sirna melebur dalam perbuatan Allah Ta’ala. Mereka tidak melihat sosok pelaku sebuah perbuatan, kecuali Allah Ta’ala. Pada kondisi ini, mereka akan keluar dari ikhtiar dan usaha. Ini adalah tingkatan pertama sampainya seseorang kepada Allah Ta’ala (wushul).
Ada pula yg mendapatkan tajalli sifat² Allah. Di sini mereka akan berdiri penuh pengagungan dan kerinduan terhadap apa yg dilihat mata hati mereka, berupa keagungan dan keindahan Allah Ta’ala, Ini adalah tingkatan kedua sampainya seseorang kepada Allah Ta’ala.
Di antara mereka ada yg sampai kepada maqam kefana’an. Batinnya berisi cahaya keyakinan dan musyahadah. Ketika syuhud ia tidak lagi merasakan wujud dirinya. Ini adalah tajalli dzat yg berlaku pada kaum khusus dan orang² muqarrabin. Ini adalah tingkatan ketiga dalam wushul (sampainya seseorang kepada Allah Ta’ala).
Di atasnya lagi adalah tingkatan haqqul yaqin. Di dunia, tingkatan ini terjadi dalam bentuk lamh (pandangan sekilas), yaitu mengalirnya cahaya musyahadah di sekujur tubuh seorang hamba sampai ruhnya pun turut mendapatkannya, demikian pula hati dan jiwanya. Ini adalah tingkatan tertinggi wushul.
Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif disebutkan, “Jika segala hakikat telah diraih, seorang hamba dengan ahwal yg mulia ini akan mengetahui bahwa dirinya masih berada di tingkatan pertama. Lantas bagaimana dengan wushul haqiqi ( wushul secara fisik)? Mustahil, karena jalan wushul tidak akan pernah terputus selamanya, sepanjang usia akhirat yg abadi. Lantas, bagaimana mungkin wushul haqiqi itu terjadi di umur dunia yg pendek ini?”
Yg dimaksud dengan wushul adalah sampainya kita kepada pengetahuan tentang Allah dengan media perasaan dan fitrah. Jika pengertiannya tidak demikian, berarti wushul kita tidak benar karena Allah Ta’ala tidak mungkin menyentuh atau disentuh sesuatu secara lahir maupun batin. Bagaimana mungkin Dzat yg tidak ada bandingannya akan bersentuhan dengan sesuatu yg memiliki bandingan. Padahal, syarat terjadinya persentuhan adalah adanya kesamaan sifat di antara keduanya. Sementara itu, secara mutlak, tak ada kesamaan antara Yang Maha Sempurna dengan sesuatu yg amat kurang sempurna. Wallaahu a’lam
225. Sampai Kepada-Nya Artinya Mengetahui-Nya (2)
Hikmah 225 dlm Al-Hikam:
قُرْ بُكَ مِنْهُ أَنْ تَكُوْنَ مُشَا هِدًا لِقُرْ بِهِ، وَإِلَّا فَمِنْ أَيْنَ أَنْتَ وَوُجُوْ دُ قُرْ بِهِ؟
Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketika kau menyaksikan-Nya mendekatimu, karena mana mungkin kau bisa mendekati-Nya?
Hakikat dekatmu kepada Allah Ta’ala itu jika engkau selalu sadar melihat dekatnya Allah Ta’ala kepadamu. Dan Allah Ta’ala itu tidak ada tubuh dan benda, akan tetapi Allah Ta’ala itu Tuhan yg suci dari sifat² yg berubah, Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat yg luhur dan sempurna. Dan bagaimana kau bisa dekat dengan Allah Ta’ala seperti dekatnya jisim/tubuh?
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketika kau menyaksikan-Nya mendekatimu secara maknawi sehingga kau merasa amat diawasi-Nya. Buahnya, kau akan terdorong untuk senantiasa bersikap sopan saat ada di hadirat-Nya. Jadi, yg penting di sini adalah bagaimana kau menyaksikan kedekatan-Nya. Dengan penyaksian ini, kau merasa diawasi dan dikuasai oleh rasa takut yg akan mendorongmu untuk bersikap sopan saat bertamu kepada-Nya. Inilah pengertian kedekatan seorang hamba dengan Tuhan; tidak mungkin makhluk bisa mendekati-Nya secara nyata. Wallaahu a’lam
226. Hakikat Hati Orang ‘Arif Masih Bersifat Global, Detailnya Akan Diketahui Kemudian
Hikmah 226 dlm Al-Hikam:
“Hakikat Hati Orang ‘Arif Masih Bersifat Global, Detailnya Akan Diketahui Kemudian“
اَلْحَقَا ئِقُ تَرِ دُ فِي حَا لِ التَّجَلِّي مُجْمَلَةً، وَبَعْدَ الْوَعْيِ يَكُوْ نُ الْبَيَانُ. (فَإِذَا قَرَأْ نَا هُ فَا تَّبِعْ قَرَآ نَهُ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَا نَهُ)
Di saat tajalli (penampakan Tuhan), hakikat² datang secara global. Setelah selesai, barulah terdapat penjelasan. “Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kami yg akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 18-19)
Yg dimaksud hakikat dalam hikmah ini yaitu ilmu ladunni yg Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya yg makrifat billah, yg datangnya ilmu itu langsung dari Allah Ta’ala, tanpa lewat proses belajar seperti umumnya ilmu.
Maksud tajalli yaitu: Allah Ta’ala memperlihatkan Diri-Nya secara jelas dalam hati hamba-Nya (manifestasi Ketuhanan). Dan ketika hakikat (ilmu ladunni) itu sudah menetap dalam hati hamba barulah jelas keterangan (penjelasan dan perincian)nya, dan semua cocok dengan ilmu syari’at, baik dengan dalil Aqliyyah maupun dalil Naqliyyah.
Syaikh Abu Bakar al-Warraq qs. berkata: “Ketika saya sedang berada di hutan bani Isra’il, tiba² tergeraklah dalam hatiku bahwa ilmu hakikat itu berlawanan dengan ilmu syari’at, mendadak terlihat olehku seorang yg berada dibawah pohon dengan menjerit dan memanggil: ‘Hai Abu Bakar, tiap² hakikat yg bertentangan dengan syari’at itu kekufuran.’”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Berbagai hakikat atau ilmu ladunni yg dimasukkan Allah Ta’ala ke dalam batin orang² ‘arif saat mereka terbebas dari perbudakan makhluk dan mata batin mereka mendapatkan hembusan kebenaran akan datang saat Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya dalam hati mereka. Tajalli Tuhan secara global maksudnya adalah, belum ada penjelasan tentang makna dan arah tajalli tersebut karena kebesaran tajalli -Nya dalam hati mereka. Setelah mereka sadar dan setelah tajalli Allah Ta’ala itu usai, barulah datang penjelasan sehingga akal mereka mengetahui makna tajalli itu dengan mengkaji dan memperhatikannya. Dengan demikian, tampaklah bagi mereka bahwa tajalli Allah Ta’ala itu benar² sesuai dengan ilmu² aqli dan naqli yg mereka miliki.
Bahkan mungkin, sebagian dari mereka ada yg banyak membicarakannya tanpa peduli. Jika ia selesai mengingat dan mengamatinya, barulah ia mendapatinya benar. Seperti yg terjadi pada Al-Hallaj, ia pernah mengucap, “Di jubah ini hanya ada Allah.” Ia mengatakan kalimat ini karena kebesaran tajalli Allah Ta’ala pada dirinya.
Jika tajalli itu hilang darinya dan ia telah sadar kembali, ia akan mendapati bahwa maknanya benar. Makna tajalli yg benar itu ialah, tak ada yg berdiri tegak pada segala sesuatu, kecuali Allah Ta’ala. Inilah yg sesuai syari’at.
Contoh tentang hal ini adalah ucapan seseorang, “Aku adalah Lauh” atau “Aku adalah Qalam.” Kalimat itu terucap karena keagungan tajalli Allah Ta’ala terjadi pada dirinya dan ia tak sadarkan diri. Ia merasa bahwa dirinya adalah inti dari kedua benda itu (lauh dan qalam). Jika tajalli itu usai dan ia kembali sadar, ia akan mendapati maknanya benar, yaitu bahwa yg ber- tajalli pada dirinya adalah Allah Ta’ala dan rahasia-Nya terjadi pada lauh dan qalam.
Menanggapi hal ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah mengisyaratkan masalah yg cukup populer di kalangan mereka, yaitu tentang kesesuaian hakikat dengan syari’at. Mereka berkata, “Hakikat tanpa syari’at bathil dan syari’at tanpa hakikat akan terhenti.” Kemudian, ia mendasari hal itu dengan firman-Nya:
فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ ۗ
“Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kamilah yg akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 18-19)
Maksudnya, Kami membacakannya melalui lisan Jibril, maka dengarkanlah bacaannya, lalu ikuti bacaan itu. Selanjutnya, Kami yg berkewajiban menjelaskan makna²nya kepadamu.
Di sini, Syaikh Ibnu Atha’illah menganggap penjelasan makna² setelah membaca ayat²Nya itu sama halnya dengan tajalli Ilahi yg penjelasan maknanya terjadi setelah orang yg mengalaminya tersadar kembali. Wallaahu a’lam
227. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (1)
Hikmah 227 dlm Al-Hikam:
“Karunia Ilahi Yang Di Ilhamkan Ke Dalam Hati Akan Menyalahi Kebiasaan”
مَتَى وَرَدَتِ الْوَارِ دَاتُ اْلإِلَهِيَّةُ إِلَيْكَ هَدَ مَتِ الْعَوَائِدَ عَلَيْكَ. (إِ نَّ الْمُلُوْ كَ إِذَا دَ خَلُوْ اقَرْيَةً أَفْسَدُ وَهَا)
Ketika berbagai limpahan karunia Ilahi datang kepadamu, lenyaplah semua kebiasaan burukmu karena, “Sesungguhnya raja² apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakan negeri itu dan membuat penduduknya yg mulia menjadi hina.” (QS. An-Naml [27]: 34)
Yg dimaksud al-Waridatul Ilahiyyah dalam hikmah ini yaitu: rasa cinta dan rindu yg sangat, yg diberikan Allah Ta’ala ke dalam hati hamba-Nya, atau juga rasa ketakutan yg sangat, sehingga bisa menghancurkan dan mengeluarkan kebiasaan dan kesenangan hawa nafsu, dan bergegas menuju makrifat dan ridho-Nya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
“Limpahan karunia Ilahi” dalam hikmah tersebut adalah manifestasi Allah Ta’ala atau ahwal. Ketika semua itu masuk ke dalam hatimu dan menciptakan ahwal, ia akan melenyapkan kebiasaan² dan perkara² buruk jiwamu. Karunia Ilahi memiliki kekuatan besar. Jika meresap ke dalam hati yg banyak berisi keburukan dan kekotoran, ia akan membersihkannya dan menggantinya dengan ahwal yg berisi sifat² yg diridhai-Nya.
Biasanya, para raja dengan bala tentaranya, jika masuk ke sebuah negeri, akan memusnahkan negeri itu dan menghancurkan semua kenikmatan yg biasa didapat oleh penduduknya. Demikian pula karunia Ilahi, ia di umpamakan dengan bala tentara raja. Jika ia memasuki hati, ia akan memusnahkan semua yg ada di dalamnya.
Ini adalah jawaban dari ungkapan yg menyatakan bahwa kebiasaan adalah sesuatu yg selalu dilakukan oleh watak dan tabiat sehingga sulit untuk dihilangkan meski oleh limpahan karunia Ilahi. Namun, limpahan karunia Ilahi itu memiliki sifat menghancurkan dan memusnahkan, seperti halnya bala tentara raja². Dengan demikian, ia mampu menghapus kebiasaan² buruk dalam hati. Wallaahu a’lam
228. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (2)
Hikmah 228 dlm Al-Hikam:
الْوَارِدُ يَأْ تِي مِنْ حَضْرَ ةِ قَهَّارٍ، لِأَ جْلِ ذَ لِكَ لَا يُصَا دِمُهُ شَيْءٌ إِلَّا دَ مَغَهُ. (بَلْ نَقْذِ فُ بِا لْحَقِّ عَلَى الْبَا طِلِ فَيَدْ مَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ)
Limpahan karunia datang dari sisi Dzat Yang Maha Mengalahkan (Al-Qahhar). Oleh karena itu, semua yg berbenturan dengannya pasti hancur. “Sebenarnya Kami melemparkan yg haq kepada yg bathil, lalu yg haq itu menghancurkannya. Maka dengan serta-merta yg bathil itu lenyap.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 18)
Dalam hikmah ini dijelaskan tentang warid yg datang ke dalam hati hamba dari asma’ Allah Al-Qahhar (Maha Perkasa), maka semua yg ada dari hawa nafsu, aghyar (semua selain Allah Ta’ala) yg ada dalam hati akan dimusnahkan dengan keperkasaan-Nya. Sehingga hamba yg diberi warid itu semuanya menjadi haq. Yg dimaksud al-Bathil yaitu segala sesuatu selain Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Limpahan karunia datang dari Dzat Yang Memiliki kemampuan untuk mengalahkan dan menguasai karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengalahkan dan tak bisa dikalahkan. Oleh sebab itu, semua sifat buruk yg berbenturan dengan-Nya akan hancur. Selain itu, karunia Ilahi adalah kebenaran yg datang melawan kebathilan. Kebathilan takkan ada jika dihancurkan oleh kebenaran.
Allah Ta’ala berfirman, “Sebenarnya Kami melemparkan yg haq kepada yg bathil, lalu yg haq itu menghancurkannya. Maka dengan serta-merta yg bathil itu lenyap.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 18). Wallaahu a’lam
229. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (3)
Hikmah 229 dlm Al-Hikam:
كَيْفَ يَحْتَجِبُ الحَقّ ُبِشىءٍ والَّذِى يَحتَجِبُ بِهِ هُوَ فِيهِ ظَاهِرٌ وَمَوجُودٌ حَاضِرٌ.
Bagaimana mungkin Allah terhijab oleh sesuatu, sedangkan Dia tampak, ada, dan hadir pada sesuatu yg dijadikan hijab.
Bagaimanakah Allah Ta’ala akan terhijab dengan sesuatu, padahal sesuatu yg terlihat itu semata-mata nur Ilahi, dan pada segala tempat Allah Ta’ala berada dan hadir, tidak pernah ghaib. Karena itu disebut dalam hadits qudsi: “Hijab Allah ialah nur yg apabila dibuka niscaya dapat membakar apa saja yg diperlihatkannya, janganlah manusia akan dapat bertahan sedang bukit hancur, dan Nabi Musa pingsan sebelum melihat langsung.” Demikianlah rahmat Allah Ta’ala menghijab kita untuk keselamatan kita sendiri menurut hikmah-Nya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bagaimana mungkin Allah Ta’ala terhijab oleh sesuatu, sedangkan pada sesuatu yg menjadi hijab itu, Allah Ta’ala tampak dan hadir serta bisa disaksikan oleh para pemilik mata batin.
Bagaimana mungkin sesuatu yg menjadi objek penampakan Allah Ta’ala menjadi hijab bagi-Nya. Keterhalangan Allah Ta’ala hanya terjadi bagi orang² yg dibutakan mata hatinya sehingga tidak bisa melihat-Nya pada segala sesuatu. Wallaahu a’lam
230. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (4)
Hikmah 230 dlm Al-Hikam:
لاَ تيأَسْ من قَبولِ عملٍ لَمْ تجِدْ فِيهِ وجوْدُ اْلحُضَُورِ، فَرُبَّماَ قبِلَ من العملِ مالم تُدْرِكْ ثمْرَتَهُ عاجِلاً.
Jangan putus asa terhadap amal yg kau kerjakan dengan tidak khusyuk; apakah diterima atau tidak. Bisa jadi, Dia menerima amal yg buahnya tidak kau dapatkan secara langsung.
Sudah diterangkan dalam hikmah² terdahulu, bahwa buahnya amal (yakni: merasakan manis dan enaknya amal dalam hati ketika mengerjakan amal), itu bagian tanda diterimanya amal tersebut.
Walaupun demikian terkadang Allah Ta’ala itu menerima amal yg belum bisa merasakan buahnya, yg terpenting kau selalu berusaha taqwa kepada Allah Ta’ala lahir dan batin, ikhlas Lillah dalam beramal, dan kau jangan putus asa karena buahnya amal itu hanya sebagian alamat/tanda diterimanya amal, sedangkan tanda itu tidaklah pasti terjadi.
Dan jangan kau meninggalkan amal sebab belum bisa hadirnya hati kepada Allah Ta’ala, atau belum bisa merasakan buahnya, tapi kewajiban bagimu yaitu dawam/selalu mengerjakan amal itu sampai bisa mendapatkan buahnya amal, barang siapa yg mau selalu mengetuk pintu, pastilah dia akan masuk ke pintu tersebut.
Adalah seorang ‘Abid yg selama empat puluh tahun berada di Makkah, dan selalu berdoa: Labbaika Allahumma Labbaik, lalu ada hatif yg mengatakan: ‘Tidak, kamu tidak hadir dan tidak beruntung, dan hajimu ditolak (tidak diterima)’, dan ‘Abid tersebut selalu mengerjakan amalan tersebut, dan tidak meninggalkannya, suatu hari ada seorang laki² datang kepadanya dan memanggilnya: ‘Ya ‘abid labbaik (kesini)’, lalu ada jawaban hatif: ‘La Labbaik’, lalu lelaki tersebut berdiri dan terbesit dalam hatinya: ‘Orang ini ditolak.’ Lalu ‘Abid memanggil tuannya, ‘Hai tuanku, engkau mengatakan Labbaik, dan ada jawaban La labbaik’, si ‘Abid menerangkan: ‘Ini yg terjadi padaku selama empat puluh tahun, aku selalu mendengar perkataan tersebut, tetapi aku selalu bertahan di depan pintu-Nya, walaupun aku ditolak seribu kali aku tidak akan meninggalkan pintu tersebut, sampai Allah menerimaku.’ Maka ketika ‘Abid mengatakan Labbaik, lalu ada jawaban dari Allah: ‘Labbaika, wa sa’daika.’
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan putus asa terhadap diterimanya sebuah amal yg kau kerjakan dan saat mengerjakannya hatimu tidak merasakan kehadiran Allah Ta’ala atau tidak merasa seakan melihat Allah Ta’ala. Bisa jadi, hal itu merupakan bukti bahwa amalmu diterima karena ketiadaan bukti tidak mesti meniadakan yg dibuktikan.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bisa jadi, Dia menerima amal yg buahnya tidak kau rasakan secara langsung.” Maksudnya, buah penerimaan atau bukti²nya tidak kau sadari secara langsung saat kau melakukannya. Di antara bukti amalmu diterima adalah adanya rasa manis dan nikmat hati saat kau melakukan sebuah amal. Wallaahu a’lam
231. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (5)
Hikmah 231 dlm Al-Hikam:
لاتُزَكِّيَنَّ واَرِداً لاَتَعلَمُ ثَمرَتهُ فلَيسَ المرَادُمن السَّحابةِ وجودُ الاَمطاَرِ انّما المُرَادُ وجَُودالاَثْمَارِ.
Jangan membanggakan datangnya warid yg buahnya tidak kau ketahui karena tujuan bergumpalnya awan bukanlah turunnya hujan, melainkan tumbuhnya buah-buahan.
Apabila warid datang dari Allah Ta’ala ke dalam hatimu, akan tetapi tidak menjadikanmu cinta kepada Tuhanmu, semangat melaksanakan taat kepada-Nya dengan memenuhi hak²Nya, jangan kamu merasa bangga/senang dengan warid seperti ini, karena buah dari pada warid dalam hati itu bisa merubah sifat² hati yg jelek menjadi terpuji, seperti keterangan hikmah yg terdahulu.
Sebagaimana isyarah dari Syaikh Ibnu Atha’illah tentang datangnya awan, tujuan utamanya bukan sekedar hujan, tapi hasilnya bumi setelah datangnya hujan yakni berupa buah dari tanaman. Begitu juga dengan datangnya warid/ahwal bukan sekedar amal yg hudhur, tapi yg lebih utama hasilnya yaitu ridha, syukur, dan masuk ke dalam An-Nur, dan kemuliaan berjumpa Allah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun).
Ingatlah!! terkadang warid/ahwal itu bisa menjadi hijab, bagi orang yg berhenti dan bangga pada warid tersebut. Sebagian ulama mengatakan: Takutlah kamu dengan rasa manis/enaknya taat, karena itu bagaikan racun yg membunuh, bagi orang yg berhenti pada rasa tersebut, janganlah kamu menjadi hambanya hal/warid, tapi jadilah hambanya yg memberi hal/warid (yakni Allah Ta’ala).
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan kau senang dengan datangnya warid jika buah dari warid itu tidak kau ketahui. Jangan kau bangga dengan datangnya warid jika hatimu tidak terdorong untuk lebih dekat, taat, dan melaksanakan semua hak rububiyah-Nya. Buah sesungguhnya dari warid ialah terpengaruhnya hatimu oleh warid itu sehingga sifat² burukmu berubah menjadi terpuji. Jika hal ini tidak kau alami, jangan kau senang dan bangga terlebih dahulu dengan datangnya warid. Bisa jadi, kau tertipu olehnya.
Ketahuilah, awan mendung datang untuk menumbuhkan buah-buahan, bukan untuk menurunkan hujan. Demikian pula warid, yg penting adalah buahnya karena banyak orang yg mendapatkan warid atau mengalami ahwal, namun justru mereka tertipu sehingga meninggalkan amalan² lahir. Wallaahu a’lam
232. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (1)
Hikmah 232 dlm Al-Hikam:
“Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah”
لاَتَطْلُبَنَّ بَقَاءَ الوَرِدَاتِ بعدَ انْبَسَطَتْ اَنْوَارَهاَ واَوْدَعَتْ اسْرَارهَا فلكَ فى اللهِ غِنىً عَنْ كُلِّ شَىءٍ وليسَ يُغْنيْكَ عنهُ شىءٌ
Jangan sekali-kali mengharapkan kekalnya warid yg telah selesai membentangkan cahayanya dan menyingkapkan seluruh rahasianya. Semua yg kau butuhkan ada pada Allah dan kau tidak memerlukan yg lain.
Maksud dari mendapatkan anwar/nurnya warid yaitu: rusak dan hancurnya kebiasaan hawa nafsumu, sehingga hati menjadi bersih dari syahwat jasmaniyyah dan kebiasaan nafsu sehingga lahir dan batinnya hanya menghamba kepada Allah Ta’ala. Maksud dari: setelah tertangkap rahasia² warid, yaitu adanya yaqin, thuma’ninah dan makrifat dalam hatimu, dan adanya zuhud, ridha, dan taslim, dan munculnya rasa khusyuk, tawadhu’ dan hinanya diri dalam hati. Itu semua sebagai tanda Al-Warid Al-Ilahiyyah.
Dan ketahuilah bahwa semua warid, adanya anwar (cahaya²), tingkat² maqam kewalian, dll, itu semua semata-mata anugerah dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, karena itu hamba tidak boleh bergantung kepada semua itu, tapi cukuplah bergantung pada Allah Ta’ala, dan mengabdi kepada-Nya.
Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani qs. ditanya apakah paling utamanya perkara yg bisa mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah? Beliau menjawab: “Supaya Allah mengetahui bahwa dalam hatimu tidak mengharapkan sesuatu kecuali hanya Allah, baik itu di dunia maupun di akhirat.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan sekali-kali mengharapkan kekalnya ahwal qalbu yg telah selesai membentangkan cahayanya kepadamu, yakni dengan mengajari lahir dan batinmu cara² beribadah dan melaksanakan ‘ubudiyah atau yg telah selesai menyingkapkan rahasia²nya kepadamu, yaitu berupa keagungan² rububiyah yg tampak jelas di hadapan hatimu. Sekalipun kau telah merasakan faedah yg diberikan warid itu, hendaknya kau jangan sekali-kali berharap warid itu kekal bercokol dalam dirimu, lalu kau bersedih bila ia pergi meninggalkanmu karena yg sebenarnya kau butuhkan adalah Allah Ta’ala, bukan yg lain.
Seseorang berkata, “Setiap hal yg hilang darimu akan ada gantinya. Akan tetapi, jika Allah hilang darimu, takkan ada pengganti-Nya.”
Allah Ta’ala menempatkanmu ke dalam satu keadaan batin agar kau mengambil manfaat yg berupa perkenalan dengan-Nya. Jika manfaat tersebut telah sampai ke tanganmu, jangan kau harap ia tetap ada padamu, sebagaimana keberadaan seorang Rasul tidak lagi diperlukan setelah risalahnya tersampaikan. Keberadaan seorang penjaga amanat tidak lagi dibutuhkan setelah amanatnya terlaksana. Jika kau meminta agar Rasul dan penjaga amanat itu tetap ada, berarti kau menjadi budak mereka. Wallaahu a’lam
233. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (2)
Hikmah 233 dlm Al-Hikam:
تَطَلُّعُكَ اِلٰى بقاءِ غَيرِهِ دَلِيلٌ علٰى عدمِ وِجْدَانِكَ لهُ واسْتِحياَشُكَ لفِقدَانِ ماَسوَاهُ دليلٌ علٰى عدمِ وُصْلتكَ بهِ
Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.
Mengharap tetapnya sesuatu itu berarti cinta pada sesuatu tersebut, dan barang siapa mencintai sesuatu pasti dia menjadi hamba sesuatu yg dicintai, begitu juga mengharap tetapnya warid, maqam, dan lain² itu menunjukkan kalau dia belum menemukan Allah Ta’ala, dan barang siapa masih berhajat kepada selain Allah Ta’ala itu berarti ia belum makrifat kepada Allah Ta’ala, dan barang siapa masih risau/susah sebab kehilangan ahwal atau warid atau lainnya, itu berarti ia belum sampai/wushul kepada Allah Ta’ala.
Karena orang yg sudah sampai itu tidak akan merasa risau/susah sebab kehilangan sesuatu selain Allah Ta’ala. Dan itulah bukti ia telah mencapai derajat yg tinggi, akan tetapi selama masih menginginkan tetapnya sesuatu atau susah dengan hilang/tidak adanya sesuatu, maka itu suatu bukti bahwa ia belum mencapai derajat hakikat.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah, seperti kekalnya warid yg berupa karunia Ilahi dalam bentuk cahaya, maqam, dan kenikmatan lahir dan batin, adalah bukti bahwa kau ada bukan untuk-Nya dan kau belum menemukan-Nya. Jika kau menemukan Allah Ta’ala di hatimu dan seluruh batinmu berkumpul untuk-Nya, kau tidak akan menginginkan kekekalan segala sesuatu selain-Nya.
Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain-Nya, seperti karunia² di atas, adalah bukti bahwa kau belum terhubung dengan-Nya dan belum sampai kepada-Nya. Jika kau telah sampai kepada-Nya, niscaya kau akan melupakan segala sesuatu selain-Nya dan tidak risau saat kehilangan sesuatu selain-Nya.
Jika hati seorang salik telah mendapatkan warid, lalu ia mengaku telah sampai kepada Allah Ta’ala, namun masih mencari dan menghendaki suatu benda yg dicintai atau resah karena kehilangannya, itu adalah bukti bahwa ia belum mendapatkan maqam mulia seperti itu.
Syaikh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi qs. berkata, “Kau tidak akan menjadi hamba Allah yg sejati sebelum kau memerdekakan diri dari segala sesuatu selain-Nya. Kau pun tidak akan mendapatkan kemerdekaan sejati sebelum kau menjadi hamba-Nya.” Wallaahu a’lam
234. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (3)
Hikmah 234 dlm Al-Hikam:
النَّعِيْمُ وَ إِنْ تَنَوَّ عَتْ مَظَا هِرُهُ إِنَّمَا هُوَ بِشُهُوْدِهِ وَاقْتِرَابِهِ، وَالْعَذَابُ وَإِنْ تَنَوَّعَتْ مَظَا هِرُ هُ إِنَّمَا هُوَ بِوُجُوْدِ حِجَا بِهِ، فَسَبَبُ الْعَذَابِ وُجُوْ دُ الْحِجَابِ وَ إِتْمَامُ النَّعِيْمِ بِا النَّظَرِ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِ يْمِ.
Walaupun bentuknya beragam, nikmat terwujud lantaran penyaksian dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, meski bentuknya beragam, siksa terwujud lantaran keberadaan hijab-Nya. Jadi, sebab siksa adalah keberadaan hijab dan sebab kesempurnaan nikmat adalah dengan memandang wajah-Nya yg mulia.
Nikmat dekat Allah Ta’ala, lebih² melihat kepada Allah Ta’ala itu memang tiada bandingannya, sehingga apabila manusia di surga ditanya oleh Allah Ta’ala: “Apakah yg kamu rasa kurang, dan yg akan kamu minta?” Jawab mereka: “Kami cukup puas dan tidak ada hasrat untuk minta apa² lagi, sebab sudah cukup puas.” Tiba² dibukakan oleh Allah Ta’ala hijab untuk melihat wajah (Dzat) Allah Ta’ala, maka di situlah mereka merasa tidak ada nikmat yg lebih besar daripada melihat kepada Dzat Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Walaupun nikmat dunia dan akhirat bermacam-macam bentuknya, entah berupa pakaian, makanan, bidadari, ataupun surga, kenikmatan saat menikmati semua itu terwujud lantaran kita menyaksikan Allah Ta’ala dan merasakan kedekatan-Nya. Maksudnya, semua kenikmatan itu akan menjadi nikmat yg sesungguhnya apabila saat mendapatkannya, kau tetap merasa menyaksikan Allah Ta’ala dan hadir bersama-Nya.
Jika tidak, semuanya bukanlah kenikmatan hakiki, melainkan derita dan azab karena derita dan azab, walaupun bentuknya beragam, bisa berupa siksaan fisik, neraka, atau rantai belenggu. Semuanya adalah akibat keberadaan hijab yg menghalangimu dari-Nya sehingga Dia tak tampak di hadapanmu. Jika kau menyaksikan-Nya, yg kau rasa bukan lagi azab sebenarnya, melainkan kenikmatan. Azab terasa akibat adanya hijab dan kesempurnaan kenikmatan terasa dengan melihat wajah-Nya Yang Mulia atau menyaksikan-Nya dengan mata batin di akhirat.
Kesimpulannya, kenikmatan sejati hanya dapat kita rasakan saat melihat Tuhan. Sementara itu, penderitaan yg sesungguhnya, terjadi ketika kita terhalang dari-Nya. Adapun sesuatu yg secara lahir dinikmati seseorang atau menjadi azab baginya, sesungguhnya itu bukanlah kenikmatan jika ia tidak melihat-Nya, bukan azab hakiki jika ia melihat-Nya. Wallaahu a’lam
235. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (4)
Hikmah 235 dlm Al-Hikam:
مَا تَجِدُهُ الْقُلُوْ بُ مِنَ الْهُمُوْ مِ وَالْأَحْزَا نِ فَلِأَجْلِ مَا مُنِعَتْ مِنْ وُجُوْدِ الْعِيَا نِ.
Bila hati masih merasa risau dan sedih berarti masih terhalang untuk menyaksikan-Nya.
Firman Allah menceritakan ketika Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. bersama Rasulullah Saw. di gua Tsur, dimana Sayyidina Abu Bakar ra. risau dan sedih hati, langsung oleh Rasulullah Saw. di ingatkan: “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.”
Syaikh Abu Bakar asy-Syibli qs. berkata: “Siapa yg benar² mengenal Allah tidak akan risau atau berduka cita untuk selama-lamanya.”
Firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, sesungguhnya para waliyullah itu tidak merasa takut dan tidak merasa duka cita.”
Dan sabda Rasulullah Saw. kepada Sayyidina Abu Bakar ra. ketika di gua Tsur: “Ya Abu Bakar, ma dhannuka bi isnain allahu tsalitsu huma.” (Bagaimanakah perasaanmu hai Abu Bakar terhadap dua orang yg disertai/dilindungi oleh Allah.)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bila hati masih merasakan sedih dan risau terhadap hal² yg bersifat duniawi, berarti hati tersebut masih terhalang dari melihat Allah Ta’ala dengan mata batinnya. Jika tidak, tentu ia tidak akan merasakan risau dan sedih atas hilangnya sesuatu dari dunia ini.
Perasaan risau dan sedih tersebut adalah akibat dari sikap memandang diri sendiri dan mengedepankan maslahat pribadi. Sekiranya seseorang tidak melihat dirinya sendiri dan hanya menyaksikan Tuhannya, tentu ia akan selalu senang dan bahagia. Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kau bersedih. Sesungguhnya Allah senantiasa bersama kita.”
Siapa yg hatinya bersinar dengan cahaya makrifat, ia tidak akan bersedih selamanya. Akan tetapi, jika orang yg mencapai maqam ini masih merasakan kesedihan dan kerisauan yg tak tertahankan, ketahuilah bahwa di dalam kesedihan dan kerisauan itu masih ada faedah yg mulia. Kesedihan dan kerisauan dapat menjernihkan hati dan memadamkan hawa nafsu serta mengurangi kesenangan dunia.
Kerisauan selalu berhubungan dengan sesuatu yg akan datang dan kesedihan berhubungan dengan sesuatu yg sudah lampau. Keduanya bisa terjadi terhadap perkara² ukhrawi.
Seorang ahli neraka tidak mengalami kerisauan dan kesedihan, kecuali ia tidak bisa menyaksikan Tuhannya. Jika ia sudah melihat Tuhannya, ia tidak lagi mengalami dua perasaan itu. Azab akan terasa manis dan nikmat dalam pandangannya. Wallaahu a’lam
236. Kenikmatan Sempurna Adalah Rezeki Yang Mencukupi
Hikmah 236 dlm Al-Hikam:
“Kenikmatan Sempurna Adalah Rezeki Yang Mencukupi”
مِنْ تَمَا مِ النِّعْمَةِ عَلَيْكَ أَ نْ يَرْ زُقَكَ مَا يَكْفِيْكَ وَ يَمْنَعَكَ مَا يُطْغِيْكَ.
Di antara bentuk kesempurnaan nikmat atasmu adalah ketika Dia memberi sesuatu yg mencukupimu dan menahan sesuatu yg akan mencelakakanmu.
Sa’ad bin Abi Waqqash ra. berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sebaik-baik rizqi yg mencukupi, dan sebaik-baik dzikir yg samar.’”
Abu Darda’ ra. berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Tiada terbit atau terbenam matahari melainkan di sisinya ada dua malaikat berseru, seruan itu dapat didengar oleh semua makhluk kecuali manusia dan jin: Hai sekalian manusia silahkan kembali kepada Tuhan, sesungguhnya yg sedikit tetapi mencukupi itu lebih baik dari yg banyak hingga melalaikan (menyesatkan).’”
Firman Allah: “Pergunakan semua yg diberikan Allah kepadamu (yaitu yg berupa hidup, panca indera, akal pikiran, tenaga dan harta kekayaan) untuk mencapai kebahagiaan dan keuntungan akhirat, dan jangan kau lupakan bagianmu daripada dunia.”
Kepentingan yg pertama dan utama ialah keselamatan akhirat. Sebab siapa yg sungguh beramal untuk akhirat maka dunianya terjamin, sebaliknya jika amal usahanya hanya untuk dunia maka baginya tidak bertambah dari ketetapan Allah Ta’ala dan akhirat rugi tidak dapat apa².
Rasulullah Saw. bersabda: “Bukannya kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yg sesungguhnya ialah kaya hati/tenang jiwa.”
Tersebut dalam kitab² yg dahulu, Allah berfirman: “Sesungguhnya seringan-ringan hukuman-Ku terhadap seorang alim jika ia condong kepada keduniaan, akan Aku cabut daripadanya kelezatan bermunajat kepada-Ku.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Di antara bentuk kesempurnaan nikmat Allah Ta’ala atasmu adalah ketika Dia memberimu sesuatu yg dapat mencukupi kebutuhanmu dan menahan sesuatu yg akan mencelakakanmu atau menjerumuskanmu ke dalam tindakan berlebihan (thughyan), terutama dalam urusan harta.
Allah Ta’ala berfirman, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar² melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 6-7)
Di dalam hadits disebutkan, “Apa yg sedikit dan cukup lebih baik daripada yg banyak, tetapi melenakan.”
Pemberian yg tidak mencukupi kebutuhan, biasanya, akan membuat seseorang sibuk dan melalaikan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Pemberian semacam itu tidak disebut sebagai kesempurnaan nikmat. Wallaahu a’lam
237. Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan (1)
Hikmah 237 dlm Al-Hikam:
“Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan”
لِيَقِلَّ مَا تَفْرَ حُ بِهِ , يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ عَلَيْهِ.
Tatkala berkurang apa yg membuatmu senang maka berkuranglah pula apa yang kau sedihkan.
Seseorang ditanya: “Mengapakah engkau tidak pernah risau?”
Jawabnya: “Karena saya tidak menyimpan barang yg akan merisaukan/menyusahkan bila hilang, sebab yg menyenangkan itulah pula yg menyusahkan, jika sedikit maka sedikit pula, dan bila banyak yg disenangi tentu banyak pula yg akan menyusahkan.”
Hikayat:
Seseorang memberi hadiah kepada raja sebuah gelas dari pirus yg bertaburkan permata yg sangat berharga, maka karena sangat gembira raja menerimanya. Ia menunjukkan hadiah itu pada seorang Hakim (ahli hikmah): “Bagaimana pendapatmu tentang gelas ini?” Jawab Hakim: “Pendapatku, itu suatu bala’ dan kefakiran.”
Tanya raja: “Bagaimana pendapatmu itu?” Jawabnya: “Jika pecah berupa bala’ sebab tidak dapat ditembel, dan tidak ada gantinya, jika perlu kau sangat butuh kepadanya sehingga menjadi fakir kepadanya.” Maka tidak lama tiba² gelas itu pecah, maka benar raja merasa mendapat bala’ dan sangat menyesal, lalu berkata: “Benar kata hakim itu.”
Syaikh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi qs. berkata: “Seorang yg berakal sehat itu ialah yg menyelidiki segala sesuatu, mencari yg lebih utama untuk dikerjakan dan didahulukan dari lain²nya, dan selalu mengikuti petunjuk Allah dan Rasulullah Saw., dalam membedakan apa yg berguna atau mudharat baginya di dunia dan akhiratnya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ketika harta dan hal lainnya berkurang padamu, berkurang pula apa yg membuatmu bersedih. Siapa yg darinya Allah Ta’ala singkirkan kelebihan dunia, lalu ia ridha atas hal itu, puas dengan yg sedikit, dan tidak mencari tambahan, baik berupa harta maupun kedudukan, berarti akalnya sempurna dan pandangannya terhadap dirinya baik. la telah mampu menghindarkan kerusakan akibat kesedihan dari dirinya dengan meninggalkan kesedihan itu. Ia juga tidak melihat kepada maslahat berupa kebahagiaan yg timbul dari sesuatu yg bisa cepat hilang.
Menurut orang yg berakal, “Menghindarkan kerusakan lebih di dahulukan daripada mencari maslahat. Dan sesuatu yg disenangi adalah juga yg disedihkan. Jika yg disenangi sedikit, kesedihannya pun sedikit. Jika yg disenangi banyak, kesedihannya pun banyak.” Wallaahu a’lam
238. Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan (2)
Hikmah 238 dlm Al-Hikam:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ لَا تُعْزَلَ فَلَا تَتَوَ لَّ وِلَا يَةً لَا تَدُوْمُ لَكَ.
Jika kau tidak ingin dipecat, jangan memangku jabatan yg tidak kekal.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Jabatan selalu akan berakibat pada kesedihan. Kesedihan yg timbul adalah akibat hilangnya jabatan itu, baik disebabkan oleh kematian, dipecat, maupun karena faktor lain. Orang yg berpandangan baik dan berakal sehat selalu meninggalkan jabatan yg disenangi agar ia tidak dipecat atau kehilangan jabatan itu sehingga bersedih dan menderita. Wallaahu a’lam
239. Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan (3)
Hikmah 239 dlm Al-Hikam:
إِنْ رَغَّبَتْكَ الْبِدَا يَا تُ زَهَّدَتْكَ النِّهَايَاتُ، إِنْ دَعَا كَ إِلَيْهَا ظَا هِرٌ نَهَا كَ عَنْهَا بَا طِنٌ.
Jika awalnya memikat, akhirnya akan menjemukan. Jika lahirnya memanggilmu, batinnya akan mencegahmu.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika pada awalnya jabatan itu memikatmu karena tampilan lahirnya indah dan orang yg menjabatnya tampak berwibawa serta hidup sejahtera, ketahuilah bahwa ujungnya akan berakhir dengan bahaya dan kerugian di dunia dan akhirat. Hal itu dikarenakan, akhir dari jabatan adalah, kau meninggalkan jabatan itu dengan dipecat atau dengan kematian sehingga kau akan mengalami kerugian duniawi dan ukhrawi. Dengan jabatan, amat sedikit orang yg agamanya selamat. Hal itulah yg mendorong orang yg berakal untuk meninggalkan dan menghindari jabatan.
Jika tampilan lahir jabatan itu berupa pakaian indah, makanan enak dan rumah mewah yg merayumu untuk mendudukinya, batinnya sebenarnya melarangmu untuk itu karena jabatan selalu membuatmu lalai dari Allah Ta’ala dan mendatangkan kerugian dan bahaya bagi mereka yg menjabatnya. Wallaahu a’lam
240. Orang Bodoh Mencari Zahir Perkara² Dunia, Sedang Orang ‘Arif Menghindari Batin Perkara² Dunia (1)
Hikmah 240 dlm Al-Hikam:
“Orang Bodoh Mencari Zahir Perkara² Dunia, Sedang Orang ‘Arif Menghindari Batin Perkara² Dunia”
إِ نَّمَا جَعَلَهَا مَحَلًّا لِلْأَ غْيَا رِ وَمَعْدِ نًا لِلْأ َ كْدَارِ تَزْ هِيْدًا لَكَ فِيْهَا.
Allah sengaja menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan agar kau tidak terpaut dengannya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Jauhkan dirimu dari tipuan dunia, niscaya Allah suka/kasih kepadamu. Dan jauhkan dirimu dari hak² orang, niscaya disukai orang.”
Sayyidina Ali kw. menulis surat kepada Sayyidina Salman al-Farisi ra.: “Sesungguhnya dunia ini bagaikan ular licin pegangannya, namun membunuh bisanya (racunnya), karena itu abaikanlah (berpalinglah) daripadanya, dan dari apa yg mengagumkan engkau, karena sedikitnya yg dapat engkau bawa sebagai bekal, dan jangan risau terhadapnya karena engkau yakin akan berpisah padanya, dan letakkan kesenanganmu dalam kewaspadaanmu terhadap apa² yg ada di dalamnya, sebab orang di dunia apabila ia mulai senang, maka langsung dibawa ke jurang bahaya dan binasa.”
Seorang hakim berkata: “Dunia ini bagaikan impian orang tidur, kesenangannya bagaikan bayangan awan, kejadian² bagaikan anak panah yg mengenai sasarannya, sedang syahwat²nya bagaikan sesuatu yg beracun yg godaannya bagaikan gelombang yg besar.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menjadikan dunia sebagai tempat perubahan berbagai keadaan, seperti penyakit, ujian dan petaka, serta membuatnya sebagai sumber kekeruhan, agar kau menjauhinya. Hal itu dikarenakan, hal yg mendorong keinginanmu di dunia tak lain adalah apa yg kau duga dapat mewujudkan tujuan dan keinginanmu di sana tanpa penderitaan atau kepahitan, padahal itu tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, yg patut bagimu adalah kau harus berzuhud dan meninggalkan dunia karena akibat perkaranya adalah kefana’an dan kemusnahan. Terkadang pula ia dapat menyibukkanmu dari mengingat Allah Ta’ala. Perlu diketahui juga bahwa zuhud dari dunia ini tidak serta-merta terjadi dengan nasehat dan peringatan para da’i saja, tetapi juga dengan musibah dan ujian di dalamnya. Wallaahu a’lam
241. Orang Bodoh Mencari Zahir Perkara² Dunia, Sedang Orang ‘Arif Menghindari Batin Perkara² Dunia (2)
Hikmah 241 dlm Al-Hikam:
عَلِمَ أَ نَّكَ لَا تَقْبَلُ النُّصْحَ الْمُجَرَّدَ، فَذَوَّقَكَ مِنْ ذَوَا قِهَا، مَا يُسَهِّلُ عَلَيْكَ وُجُوْدَ فِرَا قِهَا.
Allah mengetahui bahwa kau sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia membuatmu bisa merasakan pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia.
Sebab manusia bila menderita ujian² dari Allah Ta’ala yg berupa bala’, maka ia tidak senang dunia, lalu ingin mati, ingin berpisah dari dunia yg fana ini. Bala’ yg biasa di ujikan Allah Ta’ala ialah kemiskinan, penyakit, kelaparan, ketakutan, kehilangan harta, kematian dan lain²nya yg menimbulkan kecemasan manusia dan tiada ketenangan hidup.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala mengetahui bahwa kau sulit menerima nasihat baik tanpa terlebih dahulu diberi penyakit, petaka, dan ujian. Hal itu dikarenakan, yg bisa menerima nasihat baik hanyalah orang² yg tidak dikuasai oleh rasa cinta terhadap dunia dan kenikmatannya yg fana. Sementara itu, bagi orang yg amat suka terhadap dunia dan kenikmatannya, nasihat baik semata tidak cukup untuk menyadarkannya dan menerima hidayah. Ia harus diberi tambahan peringatan berupa ujian, petaka, dan penyakit.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala membuatmu merasakan apa yg seharusnya kau rasakan, yaitu penyakit dan petaka serta ujian agar mudah bagimu untuk meninggalkan dunia.
Jika seorang hamba mengalami suatu musibah, biasanya ia akan berharap segera mati dan meninggalkan dunia. Dengan demikian, petaka ini merupakan nikmat dari Allah Ta’ala walaupun ia tidak menyadarinya karena dominasi tabiatnya. Hal ini telah dijelaskan dalam butir hikmah, “Siapa yg tidak mendekati Allah dengan kelembutan kebaikan-Nya, ia akan diseret kepada-Nya dengan belenggu ujian.” Wallaahu a’lam
242. Buah Ilmu Yang Bermanfaat (1)
Hikmah 242 dlm Al-Hikam:
“Buah Ilmu Yang Bermanfaat”
الْعِلْمُ النَّا فِعُ هُوَ الَّذِي يَنْبَسِطُ فِي الصَّدْرِ شُعَا عُهُ، وَيَنْكَشِفُ بِهِ عَنِ الْقَلْبِ قِنَا عُهُ.
Ilmu yg bermanfaat adalah yg cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai qalbu.
Ilmu yg berguna (bermanfaat) itu ialah mengenal Dzat Allah dan sifat serta asma dan af’al/perbuatan Allah Ta’ala. Juga mengerti bagaimana mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala serta beradab kepada-Nya.
Nabi Dawud as. berkata: “Ilmu di dalam dada bagaikan lampu dalam rumah.”
Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. berkata: “Ilmu itu ialah mengenal Tuhanmu dan tidak melampaui kedudukan dirimu (yakni menyadari kehambaanmu).”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ilmu yg bermanfaat ialah ilmu tentang Allah, sifat²Nya, asma-Nya, dan ilmu tata cara beribadah kepada-Nya dan bersopan santun di depan-Nya. Ilmu inilah yg cahayanya melapangkan dada sehingga mudah menerima Islam dan menyingkap tirai serta selaput penutup qalbu sehingga hilanglah segala macam angan dan keraguan darinya.
Malik ibn Anas ra. berkata, “Ilmu diraih bukan dengan banyaknya periwayatan, melainkan ilmu adalah cahaya yg dipancarkan Allah ke dalam hati.”
Manfaat ilmu ialah mendekatkan hamba kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari pandangan terhadap diri sendiri. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba dan akhir dari keinginan dan pencariannya.
Syaikh Al-Mahdawi berkata, “IImu yg berguna adalah ilmu tentang waktu, kejernihan hati, kezuhudan di dunia, dan ilmu tentang hal² yg mendekatkan diri ke surga, menjauhkan diri dari neraka, membuat takut kepada Allah dan berharap kepada-Nya, serta ilmu tentang kebersihan jiwa dan bahayanya.”
Itulah ilmu yg dimaksud dengan cahaya yg dipancarkan Allah Ta’ala ke dalam hati siapa saja yg dikehendaki-Nya, bukan ilmu lisan, ilmu logika, atau ilmu manqul.
Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. merangkum semua keterangan itu dengan kata², “IImu yg sesungguhnya adalah ilmu tentang Tuhan (makrifat) dan ilmu bersopan santun di hadapan-Nya.” Wallaahu a’lam
243. Buah Ilmu Yang Bermanfaat (2)
Hikmah 243 dlm Al-Hikam:
خَيْرُ الْعِلْمِ مَا كَا نَتِ الْخَشْيَةُ مَعَهُ.
Sebaik-baik ilmu adalah yg disertai rasa takut pada-Nya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yg menuntut ilmu agama itu, Allah menjamin rezekinya.”
Juga sabda Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya pada orang yg menuntut ilmu, karena suka (gemar pada apa yg dituntut).”
Rasulullah Saw. berlindung kepada Allah: “Allahumma inni a’udzu bika min laa yanfa’ (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yg tidak berguna).” Ilmu yg tidak berguna yaitu yg tidak menimbulkan rasa takut kepada Allah Ta’ala.
Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. ketika ditanya: “Apakah ilmu yg berguna?” Jawabnya: “Ialah yg menunjukkan engkau kepada Allah, dan menjauhkan dari menurutkan hawa nafsu syahwatmu.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yg cinta dunia, berbahaya akhiratnya, dan siapa yg cinta akhirat, berbahaya dunianya. Ingatlah kamu harus mengutamakan yg kekal abadi daripada yg lekas rusak hancur.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Rasa takut kepada Allah Ta’ala adalah rasa takut yg disertai dengan pengagungan terhadap-Nya. Ada yg mengatakan, rasa takut yg dimaksud adalah pengagungan yg disertai dengan penghormatan. Ada lagi yg berpendapat, ilmu adalah rasa takut yg harus disertai amal. Dengan kata lain, ilmu yg terbaik adalah ilmu yg disertai rasa takut kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala memuji para ulama dengan ilmunya yg disertai rasa takut kepada-Nya. Dia berfirman, “Sesungguhnya yg takut kepada Allah di antara hamba²Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Setiap ilmu yg tidak disertai rasa takut tidak akan ada gunanya dan tidak mengandung kebaikan sama sekali. Pemiliknya tidak disebut alim sejati.
IImu yg benar adalah yg harus disertai rasa takut, sikap menjaga hukum Allah Ta’ala, taat dan percaya kepada-Nya, berpaling dari dunia dan para pencarinya, mengurangi kebendaan dan menjauhi pintu²nya, memberi nasehat kepada makhluk dan berakhlak baik terhadap mereka, tawadhu’, menemani orang² fakir, serta mengagungkan para wali Allah.
Lain halnya dengan ilmu yg tidak disertai rasa takut, ia selalu memupuk keinginan terhadap dunia, menciptakan kesombongan pemiliknya, memalingkan tekad untuk mencarinya, menumbuhkan kesombongan, membuat panjang harapan, dan melupakan akhirat. Jika seorang alim mencintai dunia dan para pencarinya, serta mengumpulkannya melebihi kecukupannya, berarti ia lalai dari akhirat dan dari ketaatan kepada Allah Ta’ala sebesar kelalaiannya. Wallaahu a’lam
244. Buah Ilmu Yang Bermanfaat (3)
Hikmah 244 dlm Al-Hikam:
الْعِلْمُ إِنْ قَا رَ نَتْهُ الْخَشْيَةُ فَلَكَ وَإِ لَّا فَعَلَيْكَ.
Jika ilmu disertai rasa takut, ia akan berguna bagimu. Namun, jika tidak, ia akan menjadi petaka bagimu.
Rasulullah Saw. bersabda: “Akan keluar pada akhir zaman orang yg mencari (mencuri) dunia dengan kedok agama, memperlihatkan (memakai) di muka orang bulu domba karena lunak, lidahnya lebih manis dari madu, tetapi hatinya hati srigala. Allah akan berkata kepada mereka: ‘Apakah kamu akan menentang kepada-Ku, atau mempermainkan Aku, maka demi kebesaran-Ku, Aku akan menurunkan terhadap mereka ujian fitnah, sehingga orang yg sabar tenang menjadi kebingungan.’”
Rasulullah Saw. bersabda: “Akan tiba suatu masa pada umat manusia, tiada tinggal dari Al-Qur’an kecuali tulisannya saja dan Islam hanya namanya belaka.”
Hati orang²nya kosong dari petunjuk hidayah, masjid hanya penuh jasad manusia yg tak berhati taqwa, sejahat-jahatnya manusia waktu itu ialah para ulama, sebab dari mereka sumber fitnah dan kepada mereka pula kembalinya.
Abu Hurairah ra. berkata: Bersabda Nabi Saw.: “Siapa yg belajar ilmu agama, tidak untuk mencapai keridhaan Allah, tidak mempelajarinya kecuali untuk mencapai suatu kepentingan dunia, maka ia tidak akan mendapat (merasai bau surga pada hari kiamat.”
Al-Hasan ra. berkata: “Siksa bagi seorang alim itu matinya hati.” Ketika ditanya: “Bagaikan matinya hati itu?” Jawabnya: “Mencari dunia dengan menjual amal akhirat.”
Dan lebih jahat lagi jika ia menjilat-jilat kepada raja (pemerintah) untuk mencari keuntungan dari uang haram atau syubhat, maka yg demikian terang-terangan menentang murka Allah.
Abu Darda’ ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Allah telah menurunkan wahyu pada salah seorang Nabi: ‘Katakanlah kepada orang² yg belajar fiqih agama, tidak untuk kepentingan agama, dan belajar tidak untuk diamalkan, mereka mencari dunia dengan amal akhirat, memakai bulu kambing, tetapi hati mereka hati serigala, lidahnya lebih manis dari madu, dan hatinya lebih pahit dari jadam, apakah mereka akan mempermainkan Aku, atau mengejek kepada-Ku, pasti akan Aku turunkan kepada mereka fitnah ujian, sehingga orang yg tenang sabar menjadi bingung.’”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika ilmu disertai rasa takut, kau akan mendapatkan manfaatnya di dunia dan akhirat. Jika tidak, kau akan mendapatkan bahaya dan petakanya di dunia dan akhirat.
Sufyan Ats-Tsauri ra. berkata, “IImu dipelajari tak lain untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Ilmu lebih diutamakan daripada yg lain karena dengan ilmu akan timbul rasa takut dan takwa kepada Allah.” Jika tujuan ini diabaikan dan niat pencari imu itu telah rusak, misalnya ia meyakini bahwa ilmunya bisa mendatangkan keuntungan duniawi berupa harta, kehormatan, dan kedudukan, pahalanya akan gugur dan amalnya akan jatuh. Kemudian, ia akan mengalami kerugian yg nyata.
Allah Ta’ala berfirman, “Siapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan siapa yg menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syura [46]: 20). Wallaahu a’lam
245. Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya (1)
Hikmah 245 dlm Al-Hikam:
“Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya”
مَتَى آ لَمَكَ عَدَ مُ إِقْبَا لِ النَّاسِ عَلَيْكَ أَوْ تَوَ جُّهُهُمْ بِا لذَّ مِّ إِلَيْكَ، فَا رْ جِعْ إِلَى عِلْمِ اللهِ فِيْكَ، فَإِنْ كَا نَ لَا يُقْنِعُكَ عِلْمُهُ، فَمُصِيْبَتُكَ بِعَدَ مِ قَنَا عَتِكَ بِعِلْمِهِ أَشَدُّ مِنْ مُصِيْبَتِكَ بِوُ جُوْ دِ الْأَذَى مِنْهُمْ.
Ketika kau sedih lantaran tidak disambut oleh manusia atau dicela oleh mereka, kembalilah pada pengetahuan Allah tentang dirimu. Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu puas, deritamu lantaran tidak puas dengan pengetahuan-Nya jauh lebih menyakitkan daripada derita karena disakiti manusia.
Seharusnya seorang hamba hanya memperlihatkan ridha dan murka Tuhannya saja, tidak gembira kecuali jika dirihai oleh Tuhan dan tidak sedih kecuali jika dimurkai oleh Tuhan, adapun pujian dan celaan orang, maka tidak harus dihiraukan, sebab jika engkau tetap baik dan untung, sebaliknya jika engkau busuk di sisi Allah Ta’ala, maka walaupun engkau dipuji-puji oleh semua manusia, maka engkau tetap tersiksa dan binasa. Contohnya para Nabi, Rasul dan wali tidak luput dari makian orang. Karena itu kewajibanmu ialah membereskan dan memperbaiki hubungan dengan Allah Ta’ala, asal sudah beres sudah cukup baik.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ketika manusia menyakitimu dengan tidak menyambutmu dan malah mencelamu, kembalilah kepada ilmu Allah Ta’ala tentang dirimu. Cukup Allah Ta’ala saja yg mengetahui siapa dirimu yg sebenarnya. Jangan pedulikan yg orang² ketahui tentang dirimu. Jika kau telah melakukan semua amalmu dengan tulus di hadapan Allah Ta’ala dan bahkan semua amalmu itu telah diterima-Nya, mengapa harus tertekan dengan celaan manusia yg tidak mengetahui apa² tentang siapa dirimu sebenarnya? Jika kau dihina dan dibenci Allah Ta’ala karena kau beramal tidak ikhlas, apa untungnya sambutan, keridhaan, dan pujian manusia untukmu?
Jika pengetahuan Allah Ta’ala tentang siapa dirimu yg sebenarnya tidak juga membuatmu puas, misalnya kau ingin juga manusia mengetahui siapa sebenarnya dirimu, bagaimana amalmu, dan seberapa hebat keikhlasanmu agar manusia menyambut dan mengagungkanmu, kau akan menderita. Kenapa? Karena kau tidak pernah puas dengan pengetahuan-Nya tentangmu. Bahkan, derita itu jauh lebih berat daripada deritamu ketika disakiti manusia. Celaan dan penolakan manusia memang merupakan sesuatu yg menyakitkan, namun di sisi lain, hal itu terkadang justru bisa membuatmu kembali kepada Allah Ta’ala.
Secara lahir, celaan mereka terhadapmu adalah musibah bagimu, namun secara batin, itu adalah nikmat. Oleh karena itu, tak patut bagi seorang murid untuk mempedulikan selain Allah Ta’ala. Janganlah kau merasa berbahagia bila kau tidak merasakan kedekatan-Nya denganmu dan kau tidak boleh merasakan kesedihan, kecuali kesedihan karena jauhnya Dia darimu. Kau tidak boleh mencari perhatian makhluk. Kau tidak layak mempedulikan penyambutan, pengabaian, celaan, atau pujian mereka karena mereka tidak pernah bisa mencukupi kebutuhanmu sedikit pun.
Siapa yg merasa tertekan dengan penolakan atau celaan manusia, hendaknya ia kembali kepada Tuhannya. Cukup baginya apa yg Allah Ta’ala ketahui tentang dirinya. Ia tidak boleh menyertakan pengetahuan Allah Ta’ala tentang dirinya itu dengan pengetahuan manusia dengan tujuan agar mereka memuji dan mengagungkannya.
Ibrahim At-Taimi ra. berkata kepada salah seorang temannya, “Apa yg dikatakan orang² tentangku?” Temannya menjawab, “Kata mereka, kau riya’ dalam amalmu.” Ibrahim berkata, “Sekarang amalku semakin baik.” Temannya menjawab, “Bagus! Cukup Allah saja yg mengetahui siapa dirimu sebenarnya.” Setelah itu, Ibrahim pun hanya mencukupkan diri dan puas dengan apa yg Allah Ta’ala ketahui tentang dirinya. la tidak pernah mempedulikan apa yg diketahui dan dikatakan manusia tentang dirinya.
Basyar Al-Hafi ra. berkata, “Menerima pujian dari manusia lebih berat rasanya bagi hati daripada melakukan maksiat.” Wallaahu a’lam
246. Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya (2)
Hikmah 246 dlm Al-Hikam:
إِنَّمَا أَجْرَى الْأَذَى عَلَى أَيْدِ يْهِمْ، كَيْ لَا تَكُوْن سَا كِنًا إِلَيْهِمْ، أَرَادَ أَ نْ يُزْ عِجَكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ، حَتَّى لَا يُشْغِلَكَ عَنْهُ شَيْءٌ.
Allah mendatangkan gangguan lewat tangan manusia agar kau tidak merasa tenteram bersama mereka. Dia ingin membuatmu kesal terhadap segala sesuatu agar tidak ada yg melalaikanmu dari-Nya.
Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili qs. berkata, “Larilah dari kebaikan (bantuan orang, melebihi dari larimu dari kejahatan orang kepadamu, sebab kebaikan orang itu langsung membahayakan hatimu sedang kejahatan mereka hanya membahayakan jasmanimu, dan bahaya jasmani itu lebih ringan dari bahaya hati. Bahaya kebaikan orang kepadamu, jika kamu jinak, senang, menyandar, berharap kepada mereka.”
Sesungguhnya jika ada musuh yg mendekatkan engkau kepada Allah Ta’ala, hal itu lebih baik dari teman/kawan yg memutuskan engkau dari Allah Ta’ala.
Syaikh Abdussalam bin Masyisy qs. berdoa, “Ya Allah, ada orang² yg minta kepada-Mu supaya semua orang jinak kepadanya, maka telah Engkau perkenankan dan mereka puas dengan itu, sebaliknya saya minta supaya makhluk menjauh daripadaku sehingga tidak ada bagiku berlindung dan berharap kecuali kepada-Mu.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yg memberi kepadamu kebaikan (hadiah), maka lekas engkau balas dengan yg seimbang, jika tidak dapat kamu membalas, maka doakanlah orang itu. (Yakni supaya tidak merasa berhutang budi padanya). Doanya: Jazaka Allahu Khaira (Semoga Allah membalasmu kebaikan).”
Muhammad bin al-Hasan ra. berkata, “Ketika saya sedang berputar-putar di bukit Lubnan, tiba² ada seorang pemuda yg keluar dari bukit, hangus badannya oleh serangan angin samum, maka ketika pemuda itu melihat kepadaku, tiba² melarikan diri, lalu saya kejar, dan ketika ia telah berhenti saya minta nasehat kepadanya, maka ia berkata, ‘Berhati-hatilah dari Allah, karena Allah itu sangat cemburu, ia tidak suka melihat dalam hati hamba-Nya sedikitpun dari syirik. Jangan sampai ada perasaan dalam hati, ‘Barangkali orang akan menolong atau membantuku.””
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala mendatangkan gangguan manusia kepadamu agar kau tidak merasa tentram bersama mereka dan tidak bergantung kepada mereka dalam mendapatkan manfaat atau menghindari bahaya. Dia juga ingin membuatmu kesal dengan perlakuan manusia kepadamu agar kau tidak lalai dari dzikir kepada-Nya.
Dalam Latha’if Al-Minan disebutkan, “Aku mengetahui bahwa para wali pada awalnya dikuasai oleh makhluk. Itu terjadi agar mereka bisa menyucikan diri dari sisa² kotoran hati dan menyempurnakan keistimewaan mereka agar selanjutnya mereka tidak lagi merasa tentram dengan makhluk, cenderung kepada mereka, dan bersandar kepada mereka. Penguasaan makhluk atas para wali Allah di awal langkah mereka ini adalah sunnatullah bagi para kekasih-Nya dan bagi orang² pilihan-Nya.”
Siapa yg menyakitimu, berarti ia telah membebaskanmu dari perbudakan utang budimu atas kebaikan yg telah diberikannya kepadamu. Siapa yg berbuat baik kepadamu, berarti ia telah memperbudakmu dengan kebaikan²nya.
Syaikh Abu Al-Hasan asy-Syadzili qs. berkata, “Orang² menyakitiku sehingga aku merasa tertekan karenanya. Setelah itu, aku tidur dan bermimpi. Di dalam mimpi itu, ada orang yg berkata kepadaku bahwa di antara tanda ketulusan seseorang adalah banyaknya musuh yg membencinya, namun ia tidak mempedulikan mereka.” Wallaahu a’lam
247. Jangan Lengah dengan Setan Yang Selalu Mengintai (1)
Hikmah 247 dlm Al-Hikam:
“Jangan Lengah dengan Setan Yang Selalu Mengintai”
إِذَا عَلِمْتَ أَ نَّ الشَّيْطَا نَ لَا يَغْفُلُ عَنْكَ، فَلَا تَغْفُلْ أَنْتَ عَمَّنْ نَا صِيَتُكَ بِيَدِهِ.
Jika kau mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepadamu, jangan kau lalai terhadap Dzat yg menggenggam nasibmu.
Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya setan itu musuhmu, maka nyatakanlah dia sebagai musuh.”
Yakni waspadalah darinya, karena ia sebagai musuh yg tidak ada damainya.
Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Dalam memahami ayat ini adalah suatu kaum yg berpaham bahwa mereka diperintah untuk memusuhi setan maka mereka mengerahkan segala tenaga untuk memusuhi, tetapi golongan lain mengartikan: Sesungguhnya setan itu musuhmu, dan Aku (Allah) kekasihmu, maka orang² ini sibuk kepada yg dicintai dan lupa pada musuhnya, akhirnya Allah sendiri yg melindungi kekasihnya dari gangguan setan sebagai musuh itu.”
Abu Hasim ra. berkata, “Siapakah setan itu sehingga harus ditakuti, demi Allah ia sudah pernah di ikuti tetapi sama sekali tidak berguna menurut padanya, begitu pula ketika dilanggar maka juga tidak dapat berbuat apa².”
Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, “Tidak ada makhluk yg lebih rendah dari setan, dan andaikan Allah tidak menyuruh kamu berlindung kepada Allah dari setan, niscaya saya tidak merasa gentar sama sekali dari setan.”
Malik bin Dinar ra. berkata, “Suatu musuh yg dapat melihat padamu sedang kau tidak dapat melihatnya, sungguh sukar berlawanannya, kecuali jika dilindungi oleh Allah.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika kau mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepadamu, juga tidak bosan menyesatkan, menggoda, dan memerangimu, jangan kau lalai terhadap Dzat yg memegang ubun²mu karena setan takkan pernah berhenti menjerumuskanmu. Setan telah berjanji akan terus menggoda manusia, seperti yg tertulis dalam firman-Nya, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf [7]: 17)
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa setiap manusia memiliki setan yg menaruh belalainya di hati manusia. Jika manusia lupa berdzikir kepada Allah Ta’ala, setan akan membisikinya. Sebaliknya, jika manusia berdzikir, setan akan mundur dan menutup diri. Oleh karena itu, jangan lupa kepada Dzat yg menentukan nasibmu, yaitu Allah Ta’ala. Jangan kau lupa untuk berlindung kepada-Nya karena Dialah yg akan mencukupi dan melindungimu.
Allah Ta’ala berfirman kepada setan, “Sesungguhnya hamba²Ku tidak ada kekuasaan bagimu (setan) terhadap mereka, kecuali orang² yg mengikuti kamu, yaitu orang² yg sesat.” (QS. Al-Hijr [15]: 42)
Dalam ayat lain, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang² yg beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl [16]: 99)
Siapa yg memiliki sifat² keimanan, ‘ubudiyah, tawakkal, dan selalu berlindung kepada Allah Ta’ala, pasti Allah Ta’ala akan menolongnya dalam mengalahkan musuhnya.
Dzun Nun Al-Mishri ra. berkata, “Jika setan bisa melihatmu dari tempat yg tak bisa kau lihat, Allah bisa melihat setan itu dari tempat setan tak bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, mintalah pertolongan Allah atas gangguan setan ini.”
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Iblis berkata kepada Tuhannya: Demi keagungan dan kebesaran-Mu, aku tidak akan berhenti menggoda anak Adam selama ruh mereka masih dalam jasad mereka. Maka Allah berkata kepada Iblis: Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama mereka meminta ampun kepada-Ku.’” Wallaahu a’lam
248. Jangan Lengah dengan Setan Yang Selalu Mengintai (2)
Hikmah 248 dlm Al-Hikam:
جَعَلَهُ لَكَ عَدُوًّا لِيَحُوْ شَكَ بِهِ إِلَيْهِ، وَحَرَّ كَ عَلَيْكَ النَّفْسَ لِيَدُ وْمَ إِقْبَالُكَ عَلَيْهِ.
Allah menjadikan setan sebagai musuhmu agar kau benci kepadanya dan berlindung kepada-Nya. Dia juga tetap menggerakkan nafsumu supaya kau selalu menghadap kepada-Nya.
Kata pujangga, “Sungguh aku telah di uji dengan empat musuh yg selalu melempar aku dengan anak panah yg dapat menembus. Yaitu: Iblis, dunia, hawa nafsu dan syahwat. Ya Tuhanku, hanya Engkau yg dapat menyelamatkan aku.”
Allah Ta’ala menjadikan setan sebagai musuh manusia ini suatu nikmat besar bagi manusia, sebab dengan demikian manusia harus selalu berlindung dan mendekat kepada Allah Ta’ala, untuk menjaga keselamatan diri dari setan (musuhnya) yg kawakan dan sangat samar itu, kecuali dengan perlindungan Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menjadikan untukmu musuh, yaitu setan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian.” Hal itu dimaksudkan agar kau benci padanya sehingga kau terdorong untuk berlindung kepada Allah Ta’ala. Jika kau menyadari bahwa kau tak mampu melawan setan sendirian, tentu kau akan terdorong untuk meminta bantuan kepada Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa. Kau pasti akan berlindung dan bertawakkal kepada-Nya untuk melawan setan.
Permusuhan setan itulah yg mengembalikanmu kepada Allah Ta’ala. Inilah tujuan utama dijadikannya setan sebagai musuh manusia. Namun demikian, bagi orang² yg mengarahkan tekadnya kepada Yang Maha Haq, mereka tidak lagi membutuhkan musuh untuk mereka benci karena ketergantungan mereka kepada Allah Ta’ala sudah menjadi kebiasaan. Mereka tidak akan menoleh kepada Iblis. Sekiranya Allah Ta’ala tidak memerintahkan mereka untuk berlindung kepada-Nya dari Iblis itu, mereka tidak akan berlindung darinya. Memangnya siapa Iblis sampai harus ditakuti?
Allah Ta’ala juga menggerakkan nafsumu atau membuatmu selalu mengikuti hawa nafsumu agar kau selalu menghadap kepada-Nya. Kau takkan sanggup melawan hawa nafsumu dan mengekang geloranya yg sudah menyatu dengan darah dan dagingmu, kecuali kau berlindung kepada Dzat yg lebih kuat darimu, yaitu Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala menggerakkan nafsumu agar kau selalu berlindung kepada-Nya karena nafsu adalah musuh bebuyutanmu. Nafsu seumpama musuh dalam selimut. Musuh dalam selimut lebih berbahaya daripada musuh yg nyata. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. menganggap jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar. Wallaahu a’lam
249. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (1)
Hikmah 249 dlm Al-Hikam:
“Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong”
مَنْ أَ ثْبَتَ لِنَفْسِهِ تَوَا ضُعًا فَهُوَا الْمُتَكَبِّرُ حَقًّا، إِ ذْ لَيْسَ الْتَّوَاضُعُ إِلَّا عَنْ رِفْعَةٍ، فَمَتَى أَ ثْبَتَّ لِنَفْسِكَ تَوَا ضُعًا فَأَ نْتَ الْمُتَكَبِّرُحَقًّا.
Siapa yg merasa dirinya tawadhu’, berarti ia sombong karena tawadhu’ tidak muncul dari orang yg merasa mulia. Maka dari itu, ketika kau merasa mulia, berarti kau telah sombong.
Seseorang yang merasa bertawadhu’ (merendah diri) itu disebabkan ia merasa besar dan tinggi, hanya saja ia merendah dan perasaan besar dan tinggi diri itulah hakikat kesombongan, dan itu pula arti takabbur yg di sabdakan oleh Rasulullah Saw., “Sombong itu ialah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” Menghina orang lain disebabkan merasa diri besar dan tinggi, serta mulia.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Siapa yg merasa dirinya rendah hati (tawadhu’), berarti ia sombong karena pengakuan diri sebagai orang yg tawadhu’ itu bersumber dari perasaan ketinggian kedudukan yg sebenarnya layak ia dapatkan, namun ia rendahkan.
Ketika kau merasa tinggi dan mulia seraya merasa ber- tawadhu’, berarti kau benar² telah sombong. Sifat sombong ini tidak akan sirna darimu, kecuali dengan adanya perasaan ketidakberartian, misalnya dengan melihat kedudukan itu sebagai sesuatu yg tidak ada nilainya sama sekali. Wallaahu a’lam
250. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (2)
Hikmah 250 dlm Al-Hikam:
لَيْسَ الْمُتَوَا ضِعُ الَّذِي إِذَا تَوَاضَعَ رَ أَى أَنَّهُ فَوْقَ مَا صَنَعَ، وَ لَكِنَّ الْمُتَوَاضِعَ إِذَا تَوَا ضَعَ رَأَى أَنَّهُ دُوْ نَ مَا صَنَعَ.
Orang tawadhu’ bukanlah orang yg ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuat. Namun, orang yg tawadhu’ ialah orang yg melihat dirinya lebih rendah daripada yg diperbuat.
Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, “Seorang hamba tidak dapat bertawadhu’ kepada Allah, hingga mengetahui kedudukan dirinya (letak dirinya).”
Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, “Selama seseorang itu merasa ada orang yg lebih jahat darinya, maka ia sombong.” Dan ketika ditanya, “Bilakah seorang itu bertawadhu’?” Jawabnya, “Jika tidak merasa ada kedudukan atau kemuliaan, dan tawadhu’ seseorang itu menurut kadar makrifatnya terhadap Allah dan dirinya.”
Muhammad bin Muqatil ra. ketika dimintai doa oleh orang², ia menangis sambil berkata, “Semoga bukan sayalah yg menyebabkan kamu menderita bala bencana ini. Dan tanda bahwa ia benar² bertawadhu’, jika ia tidak marah ketika dihina atau dicela.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang yg merendah hati bukanlah orang yg saat melakukan sikap tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yg tawadhu’ ialah orang yg jika melakukan perbuatan tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia melihat bahwa dirinya lebih rendah daripada yg diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.
Kesimpulannya, seorang yg tawadhu’ adalah orang yg tidak menyatakan bahwa dirinya tawadhu’ karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yg memiliki sifat tawadhu’ sejati adalah orang yg jika melakukan perbuatan² tawadhu’, ia tidak menetapkan sikap tawadhu’ bagi dirinya dan tidak mengaku tawadhu’ karena melihat dirinya lebih rendah daripada yg telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu. Sifat tawadhu’ seperti itulah buah dari syuhud yg diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawadhu’ dan merasa lebih tinggi daripada yg telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu, berarti ia sombong.
Oleh sebab itu, Asy-Syibli berkata, “Siapa yg melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yg tawadhu’.”
Di antara tanda seseorang bersifat tawadhu’ ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka. Wallaahu a’lam
251. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (3)
Hikmah 251 dlm Al-Hikam:
التَّوَاضُعُ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ مَا كَا نَ نَا شِئًا عَنْ شُهُوْدِ عَظَمَتِهِ وَ َتَجَلِّي صِفَتِهِ.
Tawadhu’ yg sebenarnya bersumber dari syuhud (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sikap rendah hati sesungguhnya adalah sikap yg timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah Ta’ala yg tampak di mata seorang hamba itu yg menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.
Allah Ta’ala tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.
Ada pula sikap tawadhu’ yg tidak hakiki, yaitu yg bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah dan serba kekurangan. Tawadhu’ ini bukan rendah hati yg sesungguhnya karena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. berkata, “Tawadhu’ menurut ahli tauhid bukanlah takabbur.”
Imam Al-Ghazali mengomentari ucapan Imam Al-Junayd ini dengan berkata, “Mungkin maksudnya, seorang yg bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga tak perlu merendahkannya lagi.”
Orang yg rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana’ setelah melihat kebesaran Allah Ta’ala. Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif disebutkan, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yg bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub.” Wallaahu a’lam
252. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (4)
Hikmah 252 dlm Al-Hikam:
لَا يُخْرِ جُكَ عَنِ الْوَصْفِ إِلَّا شُهُوْ دُ الْوَصْفِ.
Yang membuatmu keluar dari sifat angkuh adalah penyaksianmu terhadap sifat agung Tuhan.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tak ada yg membuatmu keluar dari sifat² burukmu, seperti sombong dan ujub, kecuali setelah kau menyaksikan sifat² Allah Ta’ala, seperti kemuliaan dan keagungan-Nya. Seorang hamba tak bisa terbebas dari sifat² dirinya, kecuali setelah ia menyaksikan sifat² Tuhannya.
Siapa yg melihat kesombongan Tuhannya, ia tidak akan sombong lagi. Siapa yg melihat kekayaan-Nya, ia tidak akan merasa kaya lagi. Siapa yg melihat kuasa-Nya, ia tidak akan merasa memiliki kekuasaan dan kemampuan apa². Dengan begitu, ia akan hidup dengan Tuhannya, bukan dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, siapa yg menyaksikan sifat² Tuhannya, tak ada lagi keangkuhan dalam dirinya. Wallaahu a’lam
253. Orang Mukmin Sibuk Memuji Allah dan Lupa Dengan Dirinya Sendiri
Hikmah 253 dlm Al-Hikam:
“Orang Mukmin Sibuk Memuji Allah dan Lupa Dengan Dirinya Sendiri”
الْمُؤْ مِنُ يُشْغِلُهُ الثَّنَا ءُ عَلَى اللهِ تَعَلَى عَنْ أَنْ يَكُوْنُ لِنَفْسِهِ شَا كِرًا، وَتُشْغِلُهُ حُقُوْقُ اللهِ عَنْ أَنْ يَكُوْنَ لِحُظُوْظِهِ ذَا كِرًا.
Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga lupa menyanjung diri sendiri. Ia juga disibukkan dengan menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga tidak ingat kepada kepentingan dirinya.
Memuji diri, ialah merasa telah berbuat amal kebaikan. Sedang hakikat mukmin itu apabila tidak merasa mempunyai kebaikan sendiri, semua itu semata-mata hanya pemberian karunia Allah Ta’ala, sebagaimana ia lupa kepentingan diri sendiri karena sibuk menunaikan kewajiban²nya terhadap Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Mukmin yg sempurna adalah mukmin yg selalu disibukkan oleh puji-pujian terhadap sifat² indah Allah Ta’ala sehingga ia tidak bangga dengan sifat² baik dirinya. Jika dia berkata, “Saya sudah shalat atau puasa,” lalu menisbatkan semua amal terpuji itu kepada dirinya, berarti ia belum menjadi mukmin sesungguhnya karena sebenarnya, kedua amal itu adalah perbuatan Allah Ta’ala. Sementara itu, manusia hanyalah media penampakannya. Oleh karena itu, tak ada gunanya memuji manusia yg kemampuannya hanya menampakkan perbuatan Allah Ta’ala. Seharusnya, ia memuji Pelaku sesungguhnya, yaitu Tuhan Yang Maha Memberi dan Menganugerahi.
Mukmin yg sejati tidak akan menisbatkan perbuatan baik dan ahwal -nya kepada dirinya sendiri dan tidak pernah memandang dirinya atau mengagungkannya. Mukmin sejati adalah mukmin yg merasa hampa dari semua perbuatan dan ahwal tersebut karena menisbatkannya kepada Pelaku sesungguhnya dan sumber utamanya, yaitu Allah Ta’ala.
Mukmin sejati juga lebih disibukkan dengan menunaikan hak² Allah Ta’ala daripada menunaikan hak² dirinya. Bahkan, ia tidak pernah mengingat keuntungan pribadinya sama sekali. la menyembah Allah karena Dzat-Nya, bukan karena mengharap surga-Nya atau ingin selamat dari neraka-Nya. Wallaahu a’lam
254. Konsekuensi Pecinta Sejati
Hikmah 254 dlm Al-Hikam:
“Konsekuensi Pecinta Sejati”
لَيْسَ الْمُحِبُّ الَّذ ِي يَرْ جُوْ مِنْ مَحْبُوْ بِهِ عِوَضًا، أَوْ يَطْلُبُ مِنْهُ غَرَضًا، فَإِ نَّ الْمُحِبَّ مَنْ يَبْذُ لُ لَكَ، لَيْسَ الْمُحِبُّ مَنْ تَبْذُ لُ لَهُ.
Pecinta bukanlah orang yg mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya. Sejatinya, pecinta adalah yg mau berkorban untukmu, bukan yg menuntut pengorbanan darimu.
Syaikh Abu Abdullah al-Quraisy qs. berkata, “Hakikat kasih/cinta itu, bila engkau telah dapat memberikan keseluruhanmu kepada yg engkau cinta, sehingga tidak ada sisa apa² bagimu.”
Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Nabi Isa as., “Apabila Aku melihat hati hamba-Ku, tidak ada padanya cinta dunia dan akhirat niscaya Aku penuhi hati itu dengan cinta kepada-Ku.”
Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud as., “Hai Dawud, sungguh Aku telah mengharamkan cinta-Ku untuk masuk ke dalam hati dimana dalam hati itu ada cinta kepada selain-Ku.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Pecinta sejati bukanlah orang yg mengharapkan imbalan dari kekasihnya atas pengorbanan yg diberikannya. la tidak berniat mengharap surga dan selamat dari neraka dengan amal shaleh yg dilakukannya atau tidak meminta upah berupa materi duniawi dan ukhrawi atas amalnya itu.
Pecinta sejati adalah orang yg mau berkorban untukmu, bukan orang yg menuntut pengorbanan darimu. Sesungguhnya, cinta sejati adalah selalu mengenang sifat² kekasihnya di dalam hati sehingga pada diri pecinta tak ada keinginan sama sekali untuk menoleh kepada selain kekasihnya. Siapa yg menyembah Allah Ta’ala untuk mengharap surga-Nya, berarti ia tidak mencintai Allah Ta’ala, tetapi hanya mencintai surga-Nya. Wallaahu a’lam
255. Perjalanan Menuju Allah dan Apa yang Tidak Layak Dilakukan Seorang Penempuh Jalan Menuju Allah
Hikmah 255 dlm Al-Hikam:
“Perjalanan Menuju Allah dan Apa yang Tidak Layak Dilakukan Seorang Penempuh Jalan Menuju Allah”
لَوْ لَا مَتَا دِيْنُ النُّفُوْ سِ مَا تَحَقَّقَ سَيْرُ السَّائِرِ يْنَ، إِ ذْلَا مَسَا فَةَ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ حَتَّى تَطْوِ يَهَا رِحْلَتُكَ، وَلَا قُطْعَةَ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ حَتَّى تَمْحُوْ هَا وُصْلَتُكَ.
Jika bukan karena medan nafsu, tentu tak akan ada perjalanan orang² yg menuju Allah karena tak ada jarak antara dirimu dan diri-Nya yg harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau dan Allah yg harus diselesaikan.
Berjalan menuju kepada Allah Ta’ala ialah memutuskan segala rintangan syahwat hawa nafsu dan adat kebiasaan yg akan menghambat. Tidak mungkin hidup (terang) hati nurani kecuali setelah mematikan pengaruh hawa nafsu. Nikmat yg terbesar ialah bila telah dapat bebas dari pengaruh tipu daya hawa nafsu, sebab hawa nafsu itu sebagai tirai yg tebal antara engkau dengan Allah Ta’ala.
Sahl bin Abdullah ra. berkata, “Rahasia nafsu belum terbukti kecuali dalam pernyataan Fir’aun ketika ia berkata, ‘Ana rabbukumul a’la (Akulah tuhanmu yg tertinggi).’”
Tidak mungkin dapat terlepas dari belenggu hawa nafsu, kecuali dengan memperhatikan dan melaksanakan ajaran² syari’at lahir batin, tanpa mengurangi atau berlebihan, tanpa teledor dan malas.
Sayyidah A’isyah ra. berkata, “Rasulullah Saw. telah bersabda, ‘Laksanakan amal perbuatan itu sekuat tenagamu, sesungguhnya Allah tidak jemu menerima dan memberi pahala, hingga kamu jemu beramal. Dan seutama-utama perbuatan itu ialah yg terus-menerus (dawam) dilakukan meskipun sedikit.’”
Syaikh Abul Qasim al-Qusyairy qs. berkata, “Hakikat membunuh hawa nafsu itu ialah lepas bebas dari tipu dayanya, dan tidak memperhatikan sesuatu yg timbul daripadanya, dan menolak segala pengakuan²nya, dan tidak bingung (sibuk) untuk mengaturnya, dan tetap menyerahkan segala urusan itu kepada Allah Ta’ala dengan melepaskan usaha ikhtiar dan kehendak sendiri, sehingga lenyap dan hapus sama sekali pengaruh hawa nafsu itu terhadap kemanusiaannya. Adapun sisa² yg berupa gambaran kerangkanya, maka itu tidak berbahaya. Demikianlah jalan untuk membunuh hawa nafsu yg dapat segera mencapai hadiratal qudsi (tempat yg suci luhur), yg sesuai dengan tuntutan syari’at dan hakikat yg menjadi pelita bagi tiap salik yg menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah.”
Karena itulah Rasulullah Saw. berpesan kepada Abu Dzar ra. untuk banyak membaca: Laa hawlaa wa laa quwwata illaa billaahi.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sekiranya tidak ada syahwat dan keinginan nafsu, niscaya perjalanan para salik menuju Allah Ta’ala tidak akan pernah ada karena Allah Ta’ala lebih dekat kepada seseorang daripada dirinya sendiri. Jadi, tak ada yg perlu ditempuh para salik untuk menuju Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16)
Jauhnya jarak yg perlu ditempuh menuju yg dicintai telah terbentang di hadapanmu, wahai hamba. Ketahuilah bahwa jarak itu adalah syahwatmu sendiri. Jika syahwat ini tidak ada, kau tidak perlu berjalan jauh atau menempuh jalan menuju Allah Ta’ala karena jarak tersebut tidak ada, sebagaimana di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha’illah dalam hikmahnya, “Karena tak ada jarak antara dirimu dan diri-Nya yg harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau dan Allah yg harus diselesaikan.”
Permusuhan antara dirimu dengan Allah Ta’ala yg harus kau selesaikan juga tidak ada. Permusuhan tidak terjadi, kecuali pada dua hal yg saling berlawanan. Sementara di sini, kau membutuhkan cinta dan hubungan dengan-Nya. Memangnya siapa dirimu sampai berani memusuhi Allah Ta’ala?
Kesimpulannya, saat syahwatmu hilang, kau tidak perlu lagi menempuh perjalanan panjang menuju Allah Ta’ala. Perjalanan kesana bermakna memutus halangan dan rintangan jiwa, menghapus pengaruhnya, serta menyingkirkan watak dan kebiasaan buruknya agar ia bersih dari itu semua, layak dekat dengan-Nya, dan meraih kebahagiaan pertemuan dengan-Nya. Sekiranya tanpa perjuangan dan penderitaan seperti ini, perjalanan menuju Allah Ta’ala tidak pernah ada karena Allah Ta’ala lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri. Jarak yg harus kau tempuh itu adalah syahwatmu sendiri yg menjadi penghalang dan yg harus kau singkirkan. Syahwatmu menjadi hijab terbesar yg menghalangimu dari Allah Ta’ala. Dengan mengekang dan mematikannya, kau akan sampai kepada Allah Ta’ala.
Abu Madyan berkata, “Siapa yg nafsunya belum mati, ia tidak akan melihat Yang Maha Haq.”
Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Tidak ada pintu masuk untuk menemui Allah, kecuali dua: pintu kefana’an yg besar, yakni kematian, dan pintu kefana’an diri dengan mengekang nafsu.”
Hatim al-Asham berkata, “Siapa yg ikut jalan kami ini, hendaknya ia menyimpan pada dirinya empat warna kematian. Pertama, kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu. Kedua, kematian hitam, yaitu tegar menerima penganiayaan manusia. Ketiga, kematian putih, yaitu menahan rasa lapar. Keempat, kematian hijau, yaitu menepis kebodohan dan sifat tak tahu malu.”
Ketika menempuh jalan menuju Tuhan, seorang murid harus ditemani seorang Syaikh dan Mursyid yg sudah berhasil melembutkan jiwa dan menaklukkan hawa nafsunya. Ia harus taat dan patuh kepadanya dalam setiap hal yg di nasehatinya, tanpa bertanya, ragu, atau gamang. Orang² berkata, “Siapa yg tidak memiliki Syaikh (Guru), setan adalah Syaikhnya.” Wallaahu a’lam
256. Manusia Berada di Antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat (1)
Hikmah 256 dlm Al-Hikam:
“Manusia Berada di Antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat”
جَعَلَكَ فِي الْعَالَمِ الْمُتَوَسِّطِ بَيْنَ مُلْكِهِ وَ مَلَكُوْ تِهِ، لِيُعْلِمَكَ جَلَا لَةَ قَدْ رِ كَ بَيْنَ مَخْلُوْ قَا تِهِ، وَ أَنَّكَ جَوْ هَرَ ةٌ تَنْطَوِي عَلَيْكَ أَصْدَافُ مُكَوَّنَا تِهِ.
Allah menjadikanmu berada di alam pertengahan antara alam materi dan malakut-Nya guna memperkenalkan tingginya kedudukanmu di antara makhluk. Kau adalah mutiara yg tersembunyi dalam kulit ciptaan-Nya.
Tersebut dalam kitab² Allah Ta’ala yg terdahulu, “Hai anak Adam, Akulah (Allah kepentinganmu/kebutuhanmu) yg tidak dapat engkau abaikan, karena itu tetaplah engkau pada apa yg engkau butuhkan itu.”
Allah Ta’ala juga berfirman, “Hai anak Adam, Aku jadikan segala sesuatu untukmu dan aku jadikan engkau untuk-Ku, karena itu jangan sibuk dengan apa yg pasti datang kepadamu, sehingga meninggalkan apa yg engkau dijadikan untuk-Nya.”
Firman Allah Ta’ala, “Dialah Allah yg menjadikan untuk kamu semua apa yg di bumi. Tiadalah Aku menjadikan manusia dan jin kecuali supaya ibadah kepada-Ku.”
al-Wasithy dalam menafsirkan ayat, “Sungguh Kami (Allah) telah memuliakan anak Adam (manusia). Yakni Kami serahkan kepada mereka alam seisinya supaya mereka tidak bingung atau tertipu oleh sesuatu dan supaya beribadah (mengabdikan diri kepada Allah).”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Wahai manusia, Allah Ta’ala menjadikanmu di alam pertengahan antara kerajaan-Nya (materi) dengan malakut-Nya (kerajaan ghaib-Nya). Alam materi adalah alam nyata dan alam malakut adalah alam ghaib. Manusia tidak murni dari alam nyata, tidak pula murni dari alam ghaib. Akan tetapi, ia berada di pertengahan antara keduanya, baik secara indrawi maupun secara maknawi.
Secara indrawi, Allah Ta’ala menciptakannya di antara langit dan bumi. Dia menciptakan makhluk lain, seperti binatang dan tumbuhan, tak lain untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Adapun secara maknawi, Allah Ta’ala menciptakannya dalam bentuknya yg paling sempurna dan menjadikannya sebagai sosok yg mengandung seluruh rahasia benda² yg berwujud, di atas maupun di bawahnya, yg lembut maupun yg kerasnya. Dengan begitu, manusia terdiri dari ruh dan jasad, langit dan bumi. Oleh sebab itu, manusia sering disebut dengan alam terkecil.
Sering pula manusia dikatakan sebagai miniatur dari seluruh alam semesta karena di dalam dirinya terdapat sifat² malaikat, seperti akal, makrifat, dan ibadah; menyimpan sifat² setan, seperti suka menggoda, memberontak, dan melampaui batas; memiliki sifat² hewan, seperti amarah dan nafsu syahwat, tamak dan ganas, serta penuh tipuan. Saat marah, manusia menjadi seperti singa. Saat dikuasai nafsu, ia menjadi seperti babi yg tidak peduli dimana ia berkubang. Saat tamak dan ganas, ia menjadi seperti anjing. Saat menipu, ia menjadi seperti serigala.
Pada diri manusia juga tersimpan sifat tumbuhan dan pepohonan. Pada awalnya, manusia seumpama dahan yg lembut, kemudian tumbuh hingga akhirnya menjadi keras dan berwarna hitam. Manusia juga menyimpan sifat langit, yaitu tempat menyimpan segala rahasia dan cahaya serta tempat berkumpulnya para malaikat. la mengandung sifat bumi, yaitu bahwa ia tempat tumbuhnya akhlak dan tabiat, yg lembut ataupun yg keras. Ia juga menyimpan sifat ‘Arsy, yaitu bahwa qalbunya menjadi tempat penampakan Ilahi. Selain itu, ia memiliki sifat lauh, yaitu menjadi tempat disimpannya ilmu; sifat qalam, yaitu bahwa ia mampu mengatur ilmu itu. Manusia juga menyimpan sifat surga, yaitu jika akhlaknya baik, semua temannya akan merasa nikmat dan nyaman saat bersamanya. Ia juga menyimpan sifat neraka, yaitu jika akhlaknya buruk, semua temannya akan ikut terbakar.
Allah Ta’ala menjadikanmu seperti itu untuk memperkenalkan tingginya kedudukanmu di tengah para makhluk-Nya. Semua makhluk itu diciptakan untukmu agar kau manfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, kau harus meninggikan tekadmu dari semua itu dan hanya sibuk dengan Tuhanmu.
Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Alam semesta (benda) semuanya adalah hamba yg diciptakan untukmu dan kau adalah hamba Allah.” Ini adalah makna pertengahan indrawi, seperti yg disebutkan.
Adapun makna maknawi, Syaikh Ibnu Atha‘illah mengisyaratkannya dengan ucapannya, “Kau adalah mutiara yg tersembunyi dalam kulit ciptaan-Nya.” Bahasa lainnya adalah tersimpan dalam kerang ciptaan-Nya karena sifat² semuanya ada di dalam dirimu. Allah Ta’ala tidak menciptakan makhluk dengan sifat seperti ini, kecuali manusia.
Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menciptakannya sesuai dengan sifat²Nya dan menjadikannya khalifah yg melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allah Ta’ala memberinya dua arah: satu arah menuju Allah Ta’ala dan satu arah menuju makhluk. Adapun malaikat dan makhluk lainnya yg tercipta dari ruh, mereka tidak memiliki kecuali satu arah saja, yaitu menuju Allah Ta’ala.
Semua sifat ini berlaku pada setiap manusia. Namun, sifat² tersebut tidak akan tampak pada dirinya, kecuali setelah ia melakukan olah batin dan mujahadah. Setelah itu, ia akan disebut insan kamil (manusia sempurna). Inilah rahasia² yg tidak diketahui, kecuali dengan dzauq (perasaan) dan tidak terdengar oleh selain pemiliknya. Wallaahu a’lam
257. Manusia Berada di Antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat (2)
Hikmah 257 dlm Al-Hikam:
إِنَّمَا وَ سَعَكَ الْكَوْنُ مِنْ حَيْثُ جُثْمَا نِيَّتُكَ، وَ لَمْ يَسَعْكَ مِنْ حَيْثُ ثُبُوْ تُ رُوْحَانِيَّتِكَ.
Alam dapat menampungmu dari sisi fisik, tetapi ia tak dapat menampungmu dari sisi ruh.
Karena badan jasmani sejenis dengan benda² alam, maka di situlah letak hajat kebutuhan badan jasmanimu, sebaliknya ruhanimu sama sekali tidak sejenis dengan benda² alam ini, bahkan jauh berbeda, maka karenanya tidak usah engkau harus menggantungkan soal dengan kebendaan dan seharusnya hanya berhubungan kepada Allah Ta’ala.
Ahmad bin Khadharawaih ra. ketika ditanya, “Perbuatan apakah yg utama?” Jawabnya, “Menjaga hati jangan sampai condong, menoleh menghadap pada sesuatu selain Allah Ta’ala.
Abu Abdullah al-Jallab ra. berkata, “Siapakah yg hasrat semangat tujuannya lebih tinggi dari alam benda, maka ia pasti sampai kepada Allah yg mencipta alam, tetapi siapa yg tujuannya hanya pada sesama makhluk maka tidak mendapat Tuhan, sebab Allah Maha Mulia untuk dapat menerima persekutuan/dipersekutukan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Alam, yaitu bumi yg kau huni, dapat menampungmu secara fisik karena fisikmu adalah bagian dari alam. Kemaslahatannya pun bergantung pada alam. Namun, alam tidak dapat menampungmu dari sisi ruhani karena ruh bukan berasal dari alam ini dan tidak sejenis dengan alam. Oleh karena itu, ruh tidak layak bergantung kepada sesuatu yg berasal dari alam ini. Ruh hanya layak bergantung kepada Allah Ta’ala.
Kesimpulannya, manusia adalah gabungan dari dua hal: jasad dan ruh. Antara jasad dengan alam terdapat kesesuaian dan kesamaan. Oleh karena itu, jasad pantas bergantung pada alam. Jika jasad mengkonsumsi yg ada di alam ini, jasad akan mampu bertahan di alam ini. Jika tidak, ia akan binasa, sebagaimana yg telah ditetapkan sunnatullah. Namun, antara ruh dan alam tidak terdapat kesesuaian dan kesamaan. Oleh karena itu, ruh tidak layak bergantung pada alam. Ia hanya patut bergantung pada Sang Pencipta alam, yaitu Allah Ta’ala.
Maka dari itu, kita harus berusaha menyempurnakan ruh dengan dzikir² dan olah batin agar semua kotoran kemanusiaannya hilang sehingga ia layak bergantung kepada Tuhan Yang Maha Agung. Adapun untuk jasad, kita tidak perlu mempedulikan apa yg layak baginya karena Allah Ta’ala telah menjaminnya.
Dalam sebuah syair disebutkan:
Wahai pelayan tubuh, betapa kau menderita saat melayaninya.
Kau mengharap keuntungan dari sesuatu yg jelas merugikan.
Sebaiknya, kau memperhatikan ruh dan menyempurnakan kemuliaannya.
Dengan ruh, kau disebut manusia, bukan dengan jasad.
Wallaahu a’lam
258. Orang yang Terpenjara adalah Orang yang Belum Dibukakan di Hadapannya Ruang² Ghaib
Hikmah 258 dlm Al-Hikam:
“Orang yang Terpenjara adalah Orang yang Belum Dibukakan di Hadapannya Ruang² Ghaib”
الْكَا ئِنُ فِي الْكَوْنِ وَلَمْ تُفْتَحْ لَهُ مَيَا دِيْنُ الْغُيُوْبِ مَسْجُوْنٌ بِمُحِيْطَا تِهِ، وَمَحْصُوْرٌ فِي هَيِكَلِ ذَا تِهِ.
Orang yg berada di alam ini dan masih belum mengetahui dunia ghaib berarti terkungkung oleh sejumlah hal yg mengitarinya dan terkepung oleh kerangka dirinya.
Demikianlah keadaan manusia yg belum terbuka nur iman dalam hatinya sehingga tidak mengenal Allah Ta’ala, medan (lapangan) perjuangannya hanya terkurung pada kebendaan belaka untuk pemuasan hawa nafsu dan syahwat semata-mata.
Allah Ta’ala telah berfirman, “Hamba-Ku, jadikanlah perhatianmu sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku cukupi segala hajat kepentinganmu (kebutuhanmu), selama Aku dengan engkau, engkau dalam kedudukan hamba, dan selama engkau dengan Aku, maka engkau di tempat yg dekat, mintalah apa saja untuk dirimu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Semua orang yg ada di dunia dan hatinya belum dibuka untuk menerima ilmu dan pengetahuan ghaib berarti masih terbelenggu dan terpenjara oleh syahwat dan kenikmatannya, serta terikat oleh kebiasaannya, seperti makan, minum, dan berpakaian. Mereka juga terkurung oleh kerangka dirinya, yaitu syahwat dan kenikmatannya. Wallaahu a’lam
259. Perbedaan Antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu (1)
Hikmah 259 dlm Al-Hikam:
“Perbedaan Antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu”
اَنْتَ مَعَ الْأَ كْوَانِ مَا لَمْ تَشْهَدِ الْمُكَوِّنَ، فَإِذَا شَهِدْ تَهُ كَا نَتِ الْأَ كْوَا نُ مَعَكَ.
Kau tunduk kepada alam selama belum melihat Penciptanya. Jika kau telah menyaksikan-Nya maka alam akan tunduk kepadamu.
Selama masih ada hajat kebutuhan kepada alam benda, maka engkau tetap menjadi budak hamba kebendaan, tetapi bila engkau telah sadar bahwa benda ini tidak bergerak sendiri, bahkan tergantung pada Penciptanya, maka ketika engkau sadar yg demikian, engkau tidak berhajat lagi kepada alam benda, dan merasa kaya cukup dengan Pencipta alam benda, sehingga benda itu pun tunduk kepadamu dengan izin Allah Ta’ala Penciptanya.
Syaikh Abu Bakar asy-Syibli ra. berkata, “Tidak pernah tergerak di dalam hati orang yg mengenal kepada Allah pencipta alam ini, sesuatu dari hal alam benda: Yakni seorang yg benar² telah mengenal Allah, sama sekali tidak merasa butuh kepada kebendaan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kau hanya akan terpaku pada alam dan bersandar kepadanya selama kau tidak melihat siapa Pencipta alam itu. Jika kau sudah melihat Sang Pencipta di dalamnya, alam akan bersamamu. Dengan kata lain, kau tidak membutuhkannya, namun kau akan memilikinya. Alamlah yg akan membutuhkan dan melayanimu. Jika kau meminta sesuatu dari alam, permintaanmu akan cepat terwujud. Jika kau katakan kepada suatu benda alam, “Jadilah!”, niscaya ia akan terjadi dengan izin Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, tak heran jika sebagian wali ada yg berkata kepada langit, “Turunkan hujanmu!” atau berkata kepada angin, “Bertiuplah!” maka angin itu pun bertiup dan awan menurunkan hujannya. Sebabnya adalah karena para wali merasa ghaib dari alam dengan menyaksikan Penciptanya. Dalam kondisi syuhud ini, seorang wali akan kehilangan indranya dan kehilangan kemanusiaannya, tetapi tidak mesti ia harus mengalami kefana’an. Wallaahu a’lam
260. Perbedaan Antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu (2)
Hikmah 260 dlm Al-Hikam:
لَا يَلْزَمُ مِنْ ثُبُوْتِ الْخُصُوْصِيَّةِ عَدَمُ وَصْفِ الْبَشَرِيَّةِ، إِنَّمَا مَثَلُ الْخُصُوْصِيَّةِ كَإِشْرَاقِ شَمْسِ النَّهَارِ، ظَهَرَتْ فِي الْأُفُقِ وَلَيْسَتْ مِنْهُ، تَارَةً تَشْرُقُ شُمُوْسُ أَوْصَافِهِ عَلَى لَيْلِ وُجُوْدِكَ، وَتَارَةً يَقْبِضُ ذَلِكَ عَنْكَ فَيَرُدَّكَ إِ َلى حُدُوْدِكَ ,فَالنَّهَارُ لَيْسَ مِنْكَ وَ إِلَيْكَ، وَ لَكِنَّهُ وَارِدٌ عَلَيْكَ.
Adanya keistimewaan tidak berarti lenyapnya sifat² manusia. Keistimewaan tersebut ibarat sinar mentari siang. Ia tampak di cakrawala, padahal bukan bersumber dari cakrawala. Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu. Kadangkala pula Dia mencabutnya kembali darimu dan mengembalikanmu pada batas semula. Siang tersebut bukan berasal darimu dan bukan pula menuju kepadamu. Namun, ia datang dari Allah untukmu.
Sifat² khushusiyah (kewalian) seperti kasyaf terhadap sesuatu hal, atau kekuatan yg istimewa untuk berbuat dan mengadakan sesuatu, itu semua tidak melazimkan lenyapnya sifat² manusia biasa, seperti kebodohan, kemiskinan dan kelemahan. Sama dengan sinar matahari terhadap benda² yg tadinya gelap mendapat cahaya matahari maka berubah menjadi terang, tetapi jika terbenam matahari itu tidak termasuk sifat dzatnya, maka apabila menerima nur tajalli maka tampak keluar dari padanya sifat² Allah Ta’ala yg menerangi dzatnya itu, tetapi bila ditarik kembali nur tajalli itu, maka kembalilah sifat² yg asli pada manusia. Maka sifat² khushusiyah (keistimewaan/kewalian) itu bukan sifat manusia yg asli, hanya menjelma (datang) kepadanya, pada sifat² yg ditentukan Allah Ta’ala sendiri yg memberi itu.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Adanya kelebihan yg diberikan Allah Ta’ala kepadamu yg berupa kekuatan dan kemampuan melakukan apa saja terhadap semua benda dan mengungkap rahasianya tidak berarti hilangnya sifat kemanusiaanmu, seperti sifat tidak memiliki, lemah, tak berdaya, hina, dan bodoh. Sifat² manusia itu merupakan hal yg bersifat inti dan pasti melekat pada diri setiap hamba.
Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelebihan itu dengan mengatakan, “Keistimewaan itu ibarat sinar mentari siang hari.” Keistimewaan seumpama sinar yg amat panas dan terang benderang. Ia muncul di cakrawala langit, tetapi tidak bersumber dari cakrawala itu sendiri. Jika matahari siang muncul di cakrawala yg gelap gulita, kegelapan itu akan bersinar terang. Jika ia tenggelam, cakrawala akan kembali gelap seperti sediakala. Hal itu dikarenakan, benderangnya cakrawala bukan merupakan sifat dasar cakrawala itu, melainkan hanyalah asupan dan pemberian. Tentu sifat² asupan tidak bisa menghilangkan sifat² dasar.
Seperti itulah sifat² manusia yg ada pada dirimu, seperti kemiskinan, kelemahan, dan ketidakberdayaan, persis dengan keadaan di malam hari. Jika matahari muncul di malam hari atau jika Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya pada dirimu dengan sifat² kaya dan kuasa-Nya, dzatmu akan bersinar terang dengan kekayaan dan kekuasaan. Namun, apabila cahaya itu diambil lagi, dzatmu akan kembali seperti semula. Inilah yg di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha‘illah dengan ucapannya, “Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu.”
Maksudnya, sifat² Allah Ta’ala yg di umpamakan dengan matahari akan tampak pada sifat² pribadimu yg di umpamakan dengan malam hari. Dengan demikian, keistimewaanmu akan tampak dan kau pun menjadi mampu dengan kuasa Allah Ta’ala, kuat dengan kekuatan Allah Ta’ala, dan tahu dengan ilmu Allah Ta’ala, demikian seterusnya. Jika Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya padamu dengan sifat² kuasa-Nya, kau akan memiliki kekuatan yg dapat menutupi kelemahanmu. Apabila Dia menampakkan Diri-Nya padamu dengan sifat ilmu-Nya, kau akan memiliki ilmu yg menutupi kebodohanmu, demikian seterusnya.
Terkadang, Allah Ta’ala mencabut sifat²Nya kembali darimu dan mengembalikanmu seperti semula; lemah, tak berdaya, dan bodoh. Dengan begitu, keistimewaanmu menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, terkadang pada diri Rasulullah Saw. tampak sifat² kekuatan dan kemampuan sehingga tak heran jika Beliau bisa memberi makan seribu orang dengan hanya satu sha’ gandum. Namun, sesekali Beliau lemah dan tak berdaya sehingga Beliau harus mengikat batu di perutnya demi menahan rasa lapar yg menderanya. Seperti itu pula yg dialami oleh para wali pewarisnya.
Keistimewaan yg tampak padamu bukan berasal dari dirimu sendiri, bukan sifat² dasarmu. Ia adalah sifat asupan atau pemberian dari Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, Dia akan mengabadikannya padamu. Jika Dia menginginkan sebaliknya, Dia akan menghilangkannya lagi.
Oleh sebab itu, pada waktu² tertentu, para wali terlihat memiliki kekuatan. Namun, terkadang mereka lemah dan tak berdaya. Meski demikian, cahaya hati mereka dan rahasia batinnya tetap tidak hilang dan tidak tenggelam. Yg tenggelam dan hilang dari mereka hanyalah keistimewaan yg tampak pada tampilan lahir mereka. Wallaahu a’lam
261. Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah) (1)
Hikmah 261 dlm Al-Hikam:
“Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah)”
بِوُ جُوْ دِ آ ثَا رِ هِ عَلَى وُجُوْ دِ أَسْمَا ئِهِ، وبِوُ جُودِ أَ سْمَا ئِهِ عَلَى ثُبُوْ تِ أَ وْ صَا فِهِ، وَ بِثُبُوْ تِ أَوْ صَا فِهِ عَلَى وُجُوْدِ ذَا تِهِ، إِذْ مُحَا لٌ أَنْ يَقُوْ مَ الْوَصْفُ بِنَفْسِهِ. فَأَ رْ بَا بُ الْجَذْ بِ يُكْشَفُ لَهُمْ عَنْ كَمَا لِ ذَا تِهِ، ثُمَّ يَرُ دُّ هُمْ إِلَى شُهُوْ دِ صِفَا تِهِ، ثُمَّ يَرْ جِعُهُمْ إِلَى التَّعَلُّقِ بِأَ سْمَا ئِهِ، ثُمَّ يَرُ دُّ هُمْ إِلَى شُهُوْ دِ آ ثَا رِهِ. وَ السَّا لِكُوْنَ عَلَى عَكْسِ هَذَا، فَنِهَا يَةُ السَّا لِكِيْنَ بِدَا يَةُ الْمَجْذُ وْبِيْنَ، وَبِدَا يَةُ السَّا لِكِيْنَ نِهَا يَةُ الْمَجْذُ وْبِيْنَ. لَكِنْ لَا بِمَعْنَى وَاحِدٍ، فَرُ بَّمَا الْتَّقَيَا فِي الطَّرِ يْقِ: هَذَا فِي تَرَ قِّيْهِ وَهَذَا فِي تَدَلِّيْهِ.
Dia menunjukkan wujud Nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan Sifat²Nya lewat keberadaan Nama-Nya. Dia menunjukkan wujud Dzat-Nya lewat keberadaan Sifat²Nya. Pasalnya, tidak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya. Orang² yg ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan Dzat-Nya, kemudian dibawa untuk menyaksikan Sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung kepada Nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya. Adapun para salik, mereka mengalami kondisi sebaliknya. Akhir perjalanan para salik adalah awal perjalanan kaum majdzub (yg ditarik kepada-Nya). Sementara itu, awal perjalanan salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub. Hal itu tidak berarti bahwa keduanya sama. Bisa saja keduanya bertemu di jalan. Yg satu sedang naik, sedangkan yg lain sedang turun.
Adanya makhluk alam ini menunjukkan (membuktikan) adanya Nama² Allah Ta’ala: Qaadir, ‘Alim, Hakim, Murid, dan adanya Nama² itu pasti adanya Sifat²: Qudrat, Iradat, Ilmu, dan tiap² Sifat pasti berdiri di atas Dzat Allah Ta’ala. Sedang sifat makhluk (manusia) ada yg majdzub (yakni langsung dibukakan oleh Allah Ta’ala dan sampai kepada ilmu/mengenal Allah Ta’ala) bukan dari bawah/saluran yg umum, dan ada yg melalui jalan biasa dari bawah ke atas yaitu yg disebut salik. Dan keduanya selama belum mencapai puncak akhiratnya belum dapat dijadikan Guru yg dapat ditiru.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menunjukkan Asma-Nya lewat keberadaan jejak² atau ciptaan²Nya yg baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan terwujud, kecuali dari Dzat Yang Maha Mampu, Maha Berkehendak, dan Maha Mengetahui.
Dia juga menunjukkan Sifat²Nya seperti qudrah (Maha Kuasa), iradah (Maha Berkehendak), dan ‘ilmu (Maha Mengetahui) lewat keberadaan Asma-Nya. Lewat Sifat²Nya itu, Dia menunjukkan wujud Dzat-Nya karena tak mungkin sifat ada sendiri tanpa sosok yg memiliki sifat itu.
Inilah kondisi para salik. Hal pertama yg tampak bagi mereka adalah jejak² Allah Ta’ala, yaitu berupa perbuatan-Nya (af‘al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya Asma Allah. Asma tersebut menunjukkan adanya Sifat²Nya. Dengan sifat² itu pula, mereka membuktikan adanya Dzat Allah. Merekalah yg berkata, “Kami tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya.”
Sebaliknya dengan orang² majdzub ¹. Hal itu di isyaratkan oleh Syaikh Ibnu Atha’illah melalui butiran hikmah sebagai berikut:
“Orang² yg ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan Dzat-Nya,” yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya.
“Kemudian, mereka dibawa untuk menyaksikan Sifat-Nya,” bermakna melihat hubungan sifat² itu dengan Dzat-Nya.
“Lalu digiring untuk bergantung kepada Nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya,” misalnya dengan menyaksikan hubungan antara Asma Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari Asma Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.
Hal pertama yg tampak bagi kaum majdzub adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat Sifat²Nya.
Selanjutnya, mereka kembali untuk bergantung kepada Asma-Nya. Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk²Nya. Mereka itulah yg berkata, “Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah.”
Jika akhir perjalanan para majdzub adalah melihat makhluk² Allah setelah melihat Allah, akhir perjalanan para salik berbeda. Di akhir perjalanannya, para salik menyaksikan Dzat Suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya melihat makhluk-Nya.
Dengan demikian, awal perjalanan para salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub, yaitu melihat makhluk dan menyaksikan ketergantungannya kepada Allah Ta’ala. Itu merupakan akhir perjalanan kaum majdzub. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah Ta’ala (jadzab), para salik harus terlebih dahulu memiliki keteguhan dan ilmu tentang kondisi perjalanannya serta pengetahuan tentang hambatan jiwa.
Mereka tidak akan ditarik Allah Ta’ala, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzub, mereka tidak perlu memiliki keteguhan. Oleh sebab itu, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak mengetahui apa yg mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran² syar’i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu karena akal mereka, yg merupakan poros taklif, tengah tertutup oleh cahaya.
Di awal perjalanan para salik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan Dzat, Asma, dan Sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzub, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan Dzat, Asma, dan Sifat-Nya.
Para salik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefana’an dan kesirnaan. Sementara itu, para majdzub dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian dan kesadaran. Jika demikian, bisa saja keduanya bertemu di tengah jalan. Yg satu sedang naik dari makhluk menuju Khaliq, sedangkan yg lain sedang turun dari Khaliq menuju makhluk.
Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli Asma dan Sifat²Nya, yakni masing² dari mereka menyaksikan Asma-Nya. Namun, seorang majdzub, jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan salik berpindah kepada sifat. Tentu salik lebih utama dari majdzub karena ia banyak mengambil manfaat dari perjalanannya. Lain halnya dengan majdzub, jika Allah Ta’ala menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah Ta’ala akan membuatnya sadar.
Masing² dari ilmu salik dan majdzub bersumber dari perasaan walaupun prinsip ilmu salik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yg disimpulkan dari ungkapan, “Dia menunjukkan wujud Nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya ….”
Seorang majdzub, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar “Syaikh” karena ia belum melewati berbagai maqam dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, ia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupakan kondisi lainnya.
Demikian pula seorang salik, jika ia belum mencapai taraf musyahadah dan tajalli, ia tidak layak mendapat gelar “Syaikh” karena ia belum sempurna. Yg layak mendapat gelar “Syaikh” hanyalah orang yg telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan suluk -nya lebih dahulu dari jadzab -nya maupun sebaliknya.
Terkadang seorang majdzub melewati berbagai maqam dengan cepat dan ia juga mengetahui berbagai petaka jiwa sehingga ia layak menjadi Syaikh meski harus tetap dengan kondisi jadzab -nya. Namun, ini terjadi pada beberapa orang majdzub saja, seperti sosok Sayyid Syaikh Ahmad Al-Badawi qs., bukan terjadi pada setiap majdzub. Wallaahu a’lam
¹ Majdzub adalah orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya sehingga ia mendapatkan keistimewaan tanpa bersusah payah menempuh berbagai maqam untuk meraihnya. Adapun salik adalah orang² yg baru mendapatkan keistimewaan dari Allah Ta’ala setelah bersusah payah meniti jalan menuju-Nya.
262. Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah) (2)
Hikmah 262 dlm Al-Hikam:
لَايُعْلَمُ قَدْرُ أَنْوَارِ الْقُلُوْبِ وَالْأَسْرَارِ إِلَّا فِي غَيْبِ الْمَلَكُوْتِ، كَمَا لَا تَظْهَرُ أَنْوَارُ السَّمَاءِ إِلَّا فِي شَهَادَةِ الْمُلْكِ.
Kadar cahaya qalbu dan rahasia jiwa hanya diketahui dalam selubung malakut, sebagaimana cahaya langit hanya tampak di alam dunia ini.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
“Cahaya qalbu atau rahasia batin” ialah ilmu pengetahuan laduni dan cahaya kebenaran yg terkandung di dalamnya. Cahaya qalbu ini tidak diketahui, kecuali dalam selubung malakut-Nya yg ghaib dari kita, yaitu alam akhirat. Maka dari itu, siapa beriman kepada yg ghaib dan berupaya melembutkan jiwanya sampai mendapatkan cahaya itu, ia dapat meraih keuntungan yg banyak di sana walaupun di dunia ia terhina dan terabaikan. Wallaahu a’lam
263. Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah) (3)
Hikmah 263 dlm Al-Hikam:
وُجْدَانُ ثَمَرَاتِ الطَّا عَاتِ عَاجِلًا بَشَائِرُ الْعَامِلِيْنَ بِوُجُوْدِ الْجَزَاءِ عَلَيْهَا آجِلًا.
Buah ketaatan yg dirasakan di dunia adalah kabar gembira bagi orang² yg beramal tentang adanya balasan ketaatan di akhirat.
Rasulullah Saw. bersabda, “Pasti akan dapat merasakan kelezatan iman, siapa yg benar² rela ber Tuhan kepada Allah bernabikan Nabi Muhammad dan beragama Islam.”
Buah iman itu ialah bertambahnya keyakinan, merasa senang melakukan ibadah, bertambah puas menerima segala ajaran tuntunan Allah Ta’ala dan Rasulullah Saw. Maka siapa yg dapat merasakan semua itu sebagai tanda diterima amal dan akan mendapat pembalasan pahala kelak di akhirat, sebagaimana telah mendapat rasa lezat dan enaknya di dunia.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Buah ketaatan yg dimaksud adalah cahaya yg masuk ke dalam hati dan memancar dalam lahir mereka yg beramal. Buah ketaatan yg bisa dirasakan langsung di dunia merupakan kabar gembira dari Allah Ta’ala tentang adanya balasan ketaatan itu di akhirat. Ini juga pertanda bahwa amal itu diterima Allah Ta’ala, sebagaimana dalam bait hikmahnya, “Buah amal di dunia menunjukkan adanya penerimaan Allah.”
Namun demikian, hikmah ini tidak menegaskan bahwa amal boleh ditujukan untuk mendapatkan pahala dan bahwa tujuan tersebut adalah mulia. Wallaahu a’lam
264. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (1)
Hikmah 264 dlm Al-Hikam:
“Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan”
كَيْفَ تَطْلُبُ الْعِوَضَ عَلَى عَمَلٍ هُوَ مُتَصَدِّقٌبِهِ عَلَيْكَ؟ أَمْ كَيْفَ تَطْلُبُ الْجَزَاءَ عَلَى صِدْقٍ هُوَ مُهْدِيْهِ إِلَيْكَ؟
Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yg menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?
Amal yg boleh minta upah, ialah apabila amal ibadah itu semuanya tidak menguntungkan Tuhan, dan tidak menolak mudharat terhadap Tuhan, bahkan semua amal itu kembali kepada yg beramal sendiri. Lebih² amal perbuatan itu sebagai sedekah dari Tuhan, sedang keikhlasan beramal itu suatu hadiah yg sangat berharga dari Tuhan pula.
Syaikh Syu’bah bin al-Hajjaj al-Wasithi ra. berkata, “Menuntut balasan atas amal taat itu disebabkan oleh karena lupa terhadap karunia pemberian Allah.”
Syaikh Abul Abbas bin Atha’ullah ra. ketika ditanya, “Amal perbuatan apakah yg terdekat kepada murka Allah?” Jawabnya, “Melihat diri dan perbuatannya, dan lebih dari itu menuntut upah/balasan atas kelakuan amalnya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bagaimana kau meminta pahala atas amal yg telah Allah Ta’ala sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yg manfaatnya kembali kepada orang itu. Disini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah Ta’ala. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.
Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah Ta’ala untukmu. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”
Disini Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “sedekah dan hadiah” sebagai pengingat atas hal yg disebutkan, yaitu bahwa amal dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal tersebut. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan “bagaimana” yg menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.
Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “menyedekahkan”, sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yg merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, Beliau menggunakan lafal “menghadiahkan”. Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang² kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yg diberi hadiah itu. Wallaahu a’lam
265. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (2)
Hikmah 265 dlm Al-Hikam:
قَوْمٌ تَسْبِقُ أَنْوَارُهُمْ أَذْكَارَهُمْ، وَقَوْمٌ تَسْبِقُ أَذْكَارُهُمْ أَنْوَارَهُمْ، وَقَوْمٌ تتسا وى اذكارهم وانوارهم، وقوم لااذ كار ولا انوار نعوذبالله من ذا لك.
Ada kaum yg cahayanya mendahului dzikir, ada kaum yg dzikirnya mendahului cahaya. Ada kaum yg dzikir dan cahayanya berada dalam posisi yg sama. Ada pula kaum yg tidak memiliki dzikir dan cahaya, na’udzu billaah.. (kami berlindung kepada Allah dari golongan yg tidak berdzikir dan tidak ada cahayanya itu).
Ada yg berdzikir untuk mendapatkan nur terang hatinya, maka disebut berdzikir, dan ada yg telah terang nur hatinya, ini pun juga berdzikir. Sedang orang yg sama/berbanding antara dzikir dengan nurnya, maka dengan dzikirnya dapat hidayah, dan dengan nurnya dapat di ikuti.
Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Manusia ada dua macam, ada yg mendapat karunia Allah Ta’ala, sehingga berbuat taat kepada Allah Ta’ala, dan ada pula yg dengan taatnya kepada Allah Ta’ala mencapai kebesaran karunia Allah Ta’ala.”
Firman Allah Ta’ala, “Allah memilih untuk karunia-Nya siapa yg dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepadanya, siapa yg sungguh² datang/kembali kepada-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kaum yg cahayanya mendahului dzikir adalah kaum majdzubun (orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya) dan muradun (orang² yg dikehendaki Allah Ta’ala untuk dekat dengan-Nya). Ketika mereka menghadapi cahaya, terdengarlah pada mereka dzikir² tanpa beban. Dzikir² itu pun dengan mudah mempengaruhi mereka.
Ada pula kaum yg dzikirnya mendahului cahaya. Mereka adalah para muridun (yg menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala) dan salikun (yg meniti jalan menuju Allah Ta’ala). Mereka adalah orang² yg terbiasa ber- mujahadah dan bersusah payah dalam beribadah. Mereka melakukan dzikir dengan penuh perjuangan. Dengan dzikir itu, mereka bisa mendapatkan cahaya.
Golongan pertama, mereka meraih ketaatan kepada-Nya dengan bantuan karamah Allah Ta’ala. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan Allah menentukan siapa yg dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yg besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 105)
Sementara itu, golongan kedua meraih karamah Allah Ta’ala dengan ketaatan kepada-Nya. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman-Nya, “Dan orang² yg berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar² akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan² Kami. Dan sesungguhnya Allah benar² beserta orang² yg berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69)
Wallaahu a’lam
266. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (3)
Hikmah 266 dlm Al-Hikam:
ذَاكِرٌ ذَكَرَ لِيَسْتَنِيْرَ قَلْبُهُ، وَ ذَاكِرٌ اسْتَنَارَ قَلْبُهُ فَكَانَ ذَاكِرًا، والذي استوت اذكاره وانواره فبذ كره يهتدي وبنوره يقتدي.
Ada orang yg berdzikir agar terang hatinya, lalu dia pun menjadi pedzikir. Ada orang yg terang hatinya, lalu dia pun menjadi pedzikir. Ada pula yg dzikir dan cahayanya sama sehingga dengan dzikirnya itu ia mendapat petunjuk dan dengan cahayanya itu ia melangkah.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ada orang yg berdzikir agar terang hatinya. Mereka adalah para salikun. Kemudian, ada orang yg terang hatinya, lalu ia berdzikir. Mereka itulah para majdzubun. Baginya berdzikir seakan bernapas seperti biasa, bahkan lebih ringan lagi. Beda halnya dengan golongan pertama (salikun).
Seperti telah dijelaskan, salik lebih sempurna daripada majdzub karena salik benar² mengetahui jalan menuju Allah Ta’ala. Mereka mendapatkan karamah dengan perjuangan dan penderitaan, sedangkan majdzub tidak demikian karena mereka tidak pernah meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Mereka mendapat karamah Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala yg menarik mereka untuk didekatkan kepada-Nya. Seperti itulah kondisi mayoritas majdzub. Jika tidak, sebagian dari mereka mungkin akan meniti jalan yg dipersingkat oleh pertolongan Allah Ta’ala untuknya sehingga ia menempuhnya dengan cepat. Di sini mungkin ia tetap menempuh jalan, tetapi ia tidak mengalami liku²nya dan menapaki panjang jaraknya. Wallaahu a’lam
267. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (4)
Hikmah 267 dlm Al-Hikam:
مَا كَانَ ظَاهِرُ ذِكْرٍ إِلَّا عَنْ بَاطِنِ شُهُوْدٍ وَفِكْرٍ .
Dzikir yg terlihat bersumber dari penyaksian batin dan hasil berpikir.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Dzikir yg lahir tak lain bersumber dari musyahadah /penyaksian terhadap Tuhan secara batin dan hasil tafakkur tentang-Nya. Masing² dari majdzub dan salik tidak mengucapkan dzikir secara lahir, kecuali setelah syuhud/menyaksikan Tuhan secara batin dan memikirkan-Nya. Seorang majdzub akan mengalami hal itu, sedangkan salik tidak mengalaminya karena tebalnya sifat kemanusiaannya. Meski demikian, ia tetap tidak kehilangan cahaya secara total. Jika tidak mendapatkan cahaya tersebut, tentu ia tidak akan berdzikir. Seperti telah disebutkan di awal, “Sekiranya tidak ada karunia Ilahi, tidak akan ada dzikir,” atau, “Sekiranya tidak ada tajalli (penampakan ilahi), tidak akan ada tahalli (penyerapan sifat-Nya).”
Maksud dzikir di sini adalah seluruh amal lahir. Disebut dzikir karena dzikir adalah ruh amal² tersebut karena semua amal mengandung dzikir (mengingat Allah). Masing² dari musyahadah /penyaksian dan tafakkur untuk melakukan dzikir dijalani oleh majdzub dan salik. Wallaahu a’lam
268. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (5)
Hikmah 268 dlm Al-Hikam:
أَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَسْتَشْهِدَكَ، فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الظَّوَاهِرُ، وَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدَّيِتَهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَائِرُ.
Allah membuatmu menyaksikan-Nya sebelum memintamu menyaksikan-Nya. Maka dari itu, seluruh anggota tubuh pun mengakui Ketuhanan-Nya dan semua hati serta relung batin menyadari keesaan-Nya.
Allah Ta’ala ber- tajalli ke dalam hati tiap orang, menurut kadar kekuatan/ tingkat orang itu, sehingga iman tiap orang itu pun menurut apa yg diperlihatkan oleh Allah Ta’ala daripada kebesaran kekuasaan-Nya. Apabila Allah Ta’ala telah ber- tajalli kepada seorang hamba-Nya, maka pada orang ini bahwa semua makhluk seolah-olah mengakui Ketuhanan-Nya sebagaimana makin yakin dalam hati sanubarinya (perasaan ke Esaan) Allah Ta’ala yg tidak bersekutu dalam Dzat, Sifat, Af’al, kekuasaan, kebesaran dan hikmah kebijaksanaan semua ajaran, jaminan dan aturan-Nya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya dalam hatimu. Dengan begitu, kau bisa menyaksikan-Nya berdasarkan kadar diri dan kedudukanmu sebelum Dia memintamu untuk bersaksi atas keagungan-Nya dengan dzikir dan ibadahmu karena dzikir dan ibadah adalah sebentuk kesaksianmu atas keagungan Tuhan yg patut disembah dan diingat, serta pengakuan atas keesaan-Nya. Oleh karena itu, semua anggota tubuhmu akan berbicara tentang Ketuhanan-Nya atau berbicara tentang segala hal yg menunjukkan Ketuhanan Allah Ta’ala, sedangkan hati dan batin akan menyadari keesaan-Nya.
Kemungkinan maknanya adalah, di alam ghaib, Allah Ta’ala membukakan hakikat Ketuhanan, keesaan, dan kepengaturan-Nya untuk para arwah. Di alam nyata, Dia juga menampakkannya dengan cara memasukkan hakikat itu ke dalam jasad². Selanjutnya, melalui lisan para Nabi-Nya, para jasad itu dituntut untuk bersaksi atas Ketuhanan-Nya, maka semua jasad pun bersaksi dengan lisan dan ucapannya. Kesaksian itu keluar dari jasad ketika ia dituntut untuk bersaksi berdasarkan apa yg disaksikannya.
Makna ucapan Syaikh Ibnu Atha’illah, “Allah membuatmu menyaksikan-Nya” adalah Allah Ta’ala menampakkan keesaan-Nya di alam arwah. “Sebelum memintamu untuk menyaksikan-Nya” bermakna, Dia memintamu bersaksi setelah menempatkan keesaan-Nya di dalam jasad sehingga jasad berbicara tentang Ketuhanan-Nya dengan lisan dan ucapan. Maksudnya, ketika Allah Ta’ala meminta jasad melalui lisan para Nabi-Nya untuk bersaksi, jasad pun angkat berbicara dan menyaksikan keesaan-Nya. Wallaahu a’lam
269. Karamah² yang diberikan kepada Hamba-Nya (1)
Hikmah 269 dlm Al-Hikam:
“Karamah² yang diberikan kepada Hamba-Nya”
أَكْرَمَكَ بِكَرَامَاتٍ ثَلًاثٍ: جَعَلَكَ ذَاكِرًا لَهُ، وَ لَوْ لَا فَضْلُهُ لَمْ تَكُنْ أَهْلًا لِجَرَيَانِ ذِكْرِهِ عَلَيْكَ، وَجَعَلَكَ مَذْكُوْرًا بِهِ، إِذْ حَقَّقَ نِسْبَتَهُ لَدَيْكَ، وَجَعَلَكَ مَذْكُوْرًا عِنْدَهُ فَتَمَّمَ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ.
Allah memuliakanmu dengan tiga jenis kemuliaan. Pertama, Dia menjadikanmu berdzikir mengingat-Nya. Andai tidak ada karunia-Nya, tentu kau tidak layak untuk berdzikir mengingat-Nya. Kedua, Dia menjadikanmu dikenal lantaran Dia menisbatkan dzikir tadi padamu. Ketiga, Dia menjadikanmu disebut-sebut di sisi-Nya sehingga nikmat-Nya padamu menjadi sempurna.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tuhan — yg membuatmu menyaksikan-Nya, lalu menyuruhmu menyaksikan-Nya — telah memuliakanmu sehingga kau selalu berdzikir kepada-Nya dengan lisanmu, beribadah kepada-Nya, dan mendekati-Nya dengan hati dan batinmu. Allah Ta’ala memuliakanmu dengan tiga karamah yg dengannya kau menghimpun semua sebab kebanggaan dan sifat² terpuji.
Pertama, Allah Ta’ala menjadikanmu berdzikir kepada-Nya dengan lisanmu dan dengan ibadah lahir dan batinmu. Sekiranya bukan karena karunia-Nya, niscaya kau tidak akan layak disebut-sebut Allah Ta’ala karena kau tercipta untuk selalu kurang, malas, dan enggan. Oleh karena itu, dzikirmu kepada-Nya adalah karunia dan anugerah-Nya yg besar kepadamu. Memangnya, siapa dirimu sampai dianggap layak untuk berdzikir kepada-Nya, taat, dan bergantung kepada-Nya?
Kedua, Allah Ta’ala menjadikanmu dikenal orang, yakni kau akan disebut-sebut manusia sebagai wali Allah, makhluk pilihan-Nya, dan ahli dzikir kepada-Nya. Di sini Allah Ta’ala akan memasukkan keistimewaan-Nya pada dirimu, yaitu berupa cahaya² dzikir yg menerangi lahir dan batinmu sehingga kau memiliki keistimewaan itu dan menjadi makhluk pilihan-Nya. Keistimewaan itulah yg mendorongmu untuk selalu berdzikir dan mengingat-Nya.
Orang yg mendapatkan sedikit pemberian dari seorang raja saja biasanya terdorong untuk selalu mengingat kebaikan raja tersebut. Ia akan bahagia, selalu mengingatnya, dan selalu menjaga nama baiknya. Lantas, bagaimana sekiranya kau mendapatkan karunia agung dari Tuhan, Raja seluruh alam semesta, sehingga kau selalu disebut-sebut di sisi-Nya dan dikenal di tengah² kaum mukmin hingga akhir zaman?
Tengok misalnya para ulama dan orang² shaleh yg banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Saat mereka meninggal, pujian terhadap mereka akan terus terngiang. Namanya selalu disebut orang dan tak sedikit yg mendoakan.
Ketiga, Allah Ta’ala menjadikanmu disebut-sebut di sisi-Nya. Kondisi ini sesuai dengan hadits qudsi, “Siapa yg mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun akan selalu mengingatnya dalam Diri-Ku. Siapa yg berdzikir mengingat-Ku di satu tempat, Aku akan mengingatnya di satu tempat yg lebih baik daripada tempatnya itu.” Allah Ta’ala menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dengan menyebut-nyebut namamu di sisi-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya mengingat Allah (dzikrullah) adalah lebih besar.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)
Ada yg berpendapat bahwa makna dzikrullah pada ayat di atas adalah “ingatan Allah”, bukan “mengingat Allah”. Artinya, ketika hamba mengingat-ingat nama Allah Ta’ala, Allah Ta’ala akan jauh lebih mengingat-ingat hamba tersebut. Wallaahu a’lam
270. Karamah² yang diberikan kepada Hamba-Nya (2)
Hikmah 270 dlm Al-Hikam:
رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمَادُهُ وَقَلَّتْ أَمْدَادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍِ قَلِيْلَةٍ آمَادُهُ كَثِيْرَةٍ أَمْدَادُهُ.
Tidak sedikit umur yg panjang, namun kurang manfaat. Tidak sedikit pula umur yg pendek, namun penuh manfaat.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Banyak orang yg berumur panjang, tetapi manfaatnya sedikit, seperti halnya umur orang² yg lalai dari Allah Ta’ala dan hanya sibuk memikirkan nafsu syahwatnya. Walaupun umur mereka panjang, hakikatnya pendek karena kurang bermanfaat.
Banyak pula orang yg berumur pendek, tetapi manfaatnya banyak. Sekalipun umur tersebut terlihat pendek, hakikatnya amat panjang karena banyak manfaatnya. Itulah makna keberkahan dalam umur.
Faedah umur tidak mesti sejalan dengan panjangnya umur karena terkadang pemilik umur pendek mendapatkan manfaat dan faedah lebih banyak daripada yg umurnya lebih panjang. Wallaahu a’lam
271. Umur yang Diberkahi (1)
Hikmah 271 dlm Al-Hikam:
“Umur yang Diberkahi”
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِي عُمُرِهِ أَدْرَكَ فِي يَسِيْرٍ مِنَ الزَّمَنِ مِنْ مِنَنِ اللهِ تَعَالَى مَا لَا يَدْخُلُ تَحْتَ دَوَائِرِ الْعِبَارَةِ، وَلَا تَلْحَقُهُ الْإِشَارَةُ.
Siapa yg usianya diberkahi maka dalam waktu singkat, ia mendapat anugerah Allah yg tidak bisa diungkap dengan kata² dan tidak bisa dijangkau dengan isyarat.
Usia (umur) yg berkah itu ialah jika Allah Ta’ala memberi kesadaran terhadap seseorang untuk mempergunakan kesempatan yg ada padanya untuk amal kebaikan, sebab ada kalanya amal kebaikan jika tepat pada sasarannya dapat mencapai apa yg tidak tercapai dalam masa seribu bulan.
Rasulullah Saw. bersabda, “Amal kebaikan itu menambah umur. Bukan bertambah masanya, tetapi kebesaran hasil yg didapat pada usia itu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Siapa yg ingin Allah Ta’ala berkati usianya, Dia akan memberinya kedekatan dengan-Nya sehingga dengan mudah dan dalam waktu singkat, ia akan mendapatkan anugerah Allah Ta’ala yg tak bisa diungkapkan dengan kata² dan tak bisa dijangkau dengan isyarat.
Jika Allah Ta’ala ingin memberkati umur seorang wali-Nya, Dia akan memberinya kecerdasan dan kewaspadaan tinggi (kesadaran) sehingga ia terdorong untuk selalu menggunakan waktunya dengan baik. Dengan begitu, ia akan tergerak untuk selalu melakukan amal² shaleh setiap saat. Dalam waktu singkat, ia akan mendapatkan karunia Allah Ta’ala yg tak bisa diungkapkan dengan kata² dan isyarat karena anugerah itu terlampau banyak dan mulia baginya.
Ungkapan dan isyarat tak mampu melukiskannya, mengingat betapa berlimpah dan jernihnya anugerah itu. Dalam satu bulan, misalnya, ia akan meraih kedudukan tinggi yg tak pernah dialami oleh seseorang dalam seribu bulan. Seperti halnya orang yg mendapatkan anugerah malam lailatul qadar. Itu lebih baik baginya daripada beramal selama seribu bulan.
Seseorang berkata, “Setiap malam bagi seorang ‘arif sama dengan malam lailatul qadar.”
Syaikh Abu Al-Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Waktu kami seluruhnya adalah lailatul qadar.”
Ada yg mengatakan bahwa inilah makna dan ungkapan “kebaikan terus bertambah sepanjang umur.” Wallaahu a’lam
272. Umur yang Diberkahi (2)
Hikmah 272 dlm Al-Hikam:
الْخِذْلَانُ كُلِّ الْخِذْلَانِ أَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَاغِلِ، ثُمَّ لَا تَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ، وَتَقِلَّ عَوَائِقُكَ، ثُمَّ لَا تَرْحَلُ إِلَيْهِ.
Sungguh amat disayangkan bila kau terbebas dari kesibukan, namun tak juga menghadap kepada-Nya atau bila kau hanya mendapat sedikit rintangan, tetapi tak juga beranjak menuju-Nya.
Siapa yg cukup mendapat kesempatan untuk taqarrub (mendekat) kepada Allah Ta’ala, lalu tidak dipergunakannya, maka yg demikian itu suatu kekecewaan dan kehinaan yg tidak ada bandingnya, sebab tiap detik bagi anak Adam, dapat dipergunakan untuk menebus dosa dan segera masuk surga, karena itu bila kesempatan itu di sia-siakan hingga akhirnya masuk ke dalam jurang neraka, maka itulah contoh kehinaan dan kekecewaan yg sangat rendah.
Sebab ibadah itulah amal manusia yg utama dan terbaik dunia akhirat, dan dengan itu manusia dapat mencapai bahagia dunia akhirat.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kondisi di atas terjadi akibat tidak adanya taufik dan bantuan Allah Ta’ala. Sungguh amat disayangkan bila kau terbebas dari kesibukan duniawi, misalnya kau telah memiliki harta duniawi yg cukup, namun kau tidak juga sibuk menghadap Allah Ta’ala dengan sesuatu yg bisa mendekatkanmu kepada-Nya. Sungguh amat disayangkan!
Amat disayangkan pula jika kau hanya mendapatkan sedikit rintangan dalam menuju Allah Ta’ala, misalnya kau sudah memiliki sandang dan pangan meski agak kurang, namun kau tidak juga menyibukkan diri dengan sesuatu yg mendekatkan dirimu kepada-Nya.
Bagaimana halnya dengan orang yg tidak memiliki harta duniawi yg cukup dan masih membutuhkan usaha dan pekerjaan?
Apakah ia dikategorikan sebagai orang yg merugi bila ia sibuk dengan usaha dan pekerjaannya sehingga tidak menghadap Allah Ta’ala dan tidak segera berangkat menuju-Nya? Ya, tetapi ia hanya mendapat separuh kerugian karena menghadap Allah Ta’ala dan berjalan menuju-Nya amat dituntut dari seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman, “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku.”
Oleh karena itu, yg wajib bagi setiap orang ialah menyingkirkan segala rintangan, meninggalkan kesibukannya, dan segera menghadap Allah Ta’ala. Sebuah nasihat mengatakan, “Berjalanlah menuju Allah meski harus tertatih-tatih. Jangan menunggu masa sehat karena menunggu masa sehat sama dengan pengangguran.”
Allah Ta’ala berfirman:
اِنْفِرُوْا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yg demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 41)
Wallaahu a’lam
273. Dua Macam Tafakkur (1)
Hikmah 273 dlm Al-Hikam:
“Dua Macam Tafakkur”
الْفِكْرَةُ: سَيْرُ الْقَلْبِ فِي مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ.
Tafakkur adalah petualangan hati di medan ciptaan Allah.
Berfikir yg dianjurkan Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya, ialah memperlihatkan kebesaran kekuasaan Allah Ta’ala yg telah dijelmakan pada makhluk yg dijadikan di alam ini.
Rasulullah Saw. melihat suatu kaum, maka ditanya, “Mengapakah kamu?” Jawab mereka, “Kami sedang memikirkan Dzat Allah.” Maka sabda Rasulullah Saw., “Berfikirlah (perhatikanlah) makhluk Allah, dan jangan memikirkan Dzat Allah, maka sungguh kamu tidak dapat memperkirakannya (menjangkaunya), atau membatasi kebesaran-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tafakkur adalah perjalanan hati di ranah kemakhlukan atau di medan makhluk dan ciptaan Allah Ta’ala, berupa langit, bumi, dan seluruh isinya. Dengan kata lain, tafakkur adalah perjalanan hati di tengah berbagai jenis makhluk dan ciptaan Allah Ta’ala untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan pelajaran serta tanda² yg menghantarkan kepada makrifat Allah dan mengenali sifat² kesempurnaan dan keindahan-Nya. Jika hati bertafakkur tentang wujud makhluk, ia akan dituntun kepada wujud sang Pencipta. Inilah tafakkurnya orang² awam.
Jika hati bertafakkur tentang kebaikan dan buahnya — berupa pahala dan kedekatan dengan Yang Maha Mulia— ia akan terdorong untuk melaksanakan kebaikan karena berharap mendapatkan pahala itu. Jika hati berpikir tentang keburukan dan buahnya — berupa azab — ia akan terdorong meninggalkan keburukan dan tidak mau mendekatinya. Inilah tafakkurnya orang² ‘abid.
Apabila hati bertafakkur tentang kefana’an dan ketidakmampuan dunia untuk memenuhi semua keinginan, ia akan bertambah zuhud dan meninggalkannya. Inilah tafakkurnya para zahid.
Bila hati bertafakkur tentang nikmat dan karunia Allah Ta’ala, kecintaannya terhadap sang Pemberi nikmat akan semakin besar. Inilah tafakkurnya orang² ‘arif.
Dalam bertafakkur, yg boleh dipikirkan hanyalah makhluk Allah Ta’ala, bukan Dzat dan hakikat-Nya karena berpikir tentang Dzat Allah Ta’ala dilarang. Rasulullah Saw. bersabda, “Berpikirlah tentang ciptaan-Nya. Jangan berpikir tentang Khaliq karena kalian takkan sanggup memperkirakan-Nya.” Wallaahu a’lam
274. Dua Macam Tafakkur (2)
Hikmah 274 dlm Al-Hikam:
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ، فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَلَهُ.
Tafakkur adalah lentera hati. Jika lenyap, hati pun gelap.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tafakkur seumpama lentera atau lampu yg menerangi kegelapan. Dengan cahaya yg terpancar dari lentera itu, hakikat dan kebenaran segala sesuatu akan tampak sehingga yg benar tampak benar dan yg bathil tampak bathil. Dengan tafakkur, kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala akan dikenali dan dilihat. Dengan tafakkur juga, bencana² dan cacat² jiwa, tipuan musuh, dan tipuan dunia dapat dideteksi secara dini. Dengan tafakkur pula, cara² untuk menghindari semua tipuan itu bisa dipelajari. Jika tafakkur sirna dari hati, hati tidak akan bercahaya. Hati akan hampa dari pikiran dan cahaya, seumpama sebuah rumah yg gelap gulita. Ketika itu, yg ada di hati hanyalah kebodohan dan tipu daya. Wallaahu a’lam
275. Dua Macam Tafakkur (3)
Hikmah 275 dlm Al-Hikam:
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ: فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَ إِيْمَانٍ، وَفِكْرَةُ شُهُوْدٍ وَ عِيَانٍ. فَا لْأُوْلَى لِأَرْبَابِ الْإِعْتِبَارِ، وَالثَّانِيَةُ لِأَرْبَابِ الشُّهُوْدِ وَ الإِسْتِبْصَارِ.
Tafakkur itu dua macam: tafakkur yg timbul dari pembenaran atau iman dan tafakkur yg timbul dari penyaksian atau penglihatan. Yg pertama milik mereka yg bisa mengambil pelajaran, sedangkan yg kedua milik mereka yg menyaksikan dan melihat dengan mata hati.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tafakkur maknanya petualangan hati di medan makhluk Allah Ta’ala. Tafakkur ada dua macam. Pertama, tafakkur ahli iman yg bersumber dari pokok keimanannya. Tafakkur ini bertujuan untuk naik ke kedudukan tinggi dan menambah keyakinan. Oleh sebab itu, tafakur ini disebut dengan fikrat at-taraqqi (tafakkur untuk naik). Tafakkur semacam ini milik para salikun.
Kedua, tafakkur yg bersumber dari penglihatan dan pandangan. Tafakkur ini disebut dengan fikrat at-tadalli (tafakkur untuk turun). Tafakkur ini milik para majdzubun.
Tafakkur pertama milik orang² yg bisa mengambil pelajaran, yakni orang² yg menyimpulkan bahwa keberadaan akibat (makhluk) dilahirkan oleh sebab (Khaliq). Mereka adalah para salikun saat mengalami taraqqi (naik ke atas) karena pikiran mereka bersumber dari pembenaran dan iman.
Adapun tafakkur kedua milik orang² yg menyimpulkan bahwa keberadaan sebab (Khaliq) adalah yg melahirkan akibat (makhluk). Mereka adalah para majdzubun saat mereka mengalami tadalli (turun ke bawah). Pikiran mereka bersumber dari penglihatan dan pandangan mata batin. Pikiran ini diperuntukkan bagi orang² yg dikehendaki Allah Ta’ala agar ahwal mereka semakin sempurna.
Jika tidak, sebagian, bahkan mayoritas majdzub akan tetap terpaku dalam kondisinya dan tak akan bangkit. Adapun selain mereka, yakni orang² awam, tafakkur mereka tak lain hanya untuk mendapatkan pembenaran dan keimanan, bukan untuk menambah pembenaran dan keimanan. Wallaahu a’lam