Custom Search Widget

Indeks

Judul Kitab

Risalatul Qusyairiyah

Penulis Kitab

Sayyidi Syekh Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairy (qs.)

Durasi Baca

79 Menit

Bagikan

Facebook
WhatsApp

Indeks

Pengantar Penyadur

Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lebih banyak berbicara persoalan-persoalan batin, kondisi-kondisi ruhani, dan hal-hal lain yang bersifat esoteris. Pengalaman-pengalamannya yang dibentuk melalui proses implementasi ajaran sufistik bersifat mistis dan hampir selalu mengarah ke dalam, yang sangat pribadi, dan sulit dikomunikasikan kepada orang lain, sehingga selamanya hampir menjadi milik pribadi. Kenyataan ini dalam perkembangannya sering memunculkan tingkah laku aneh, eksentrik, dan terkadang terkesan keluar dari batasan syar’i, yang oleh kaum sufi justru akan dipahami sebagai bentuk pencapaian suatu maqam (tingkatan pendakian ruhani) sufi tertentu, sedangkan oleh ahlu zhawahir yang berpegang teguh pada ajaran standar (golongan syari’at) akan dianggap sebagai perbuatan bid’ah, tidak bermakna, dan bahkan tidak jarang dikatakan sesat. Perbedaan ini kebanyakan disebabkan oleh perbedaan pemahaman dasar-dasar Islam dan sudut pandang kajian yang pada gilirannya juga melahirkan perbedaan pemakaian istilah dan ungkapan-ungkapan keilmuan dari masing-masing kelompok.

Karena kecenderungan mereka dalam mengungkapkan dunianya yang lebih mengarah kepada hal-hal mistis, maka pesan-pesan al-Qur’an dan hadits oleh mereka tidak dipahami dari sudut makna lahiriah tekstualnya, tetapi dari sisi tafsir batini dan diungkapkan dalam kata-kata kiasan dan perlambang, seperti sakr, syarb, fana’, baqa’, dan masih banyak lainnya. Sehingga, pada gilirannya mengalami benturan pemahaman yang tidak jarang melahirkan clash sosial dan politik dengan kelompok syar’i yang memang lebih banyak menekankan pemahaman keagamaan dari aspek bentuk makna lahiriah tekstual nash.

Barangkali faktor inilah yang melatarbelakangi Imam al-Qusyairi menyusun sebuah buku, yang akhirnya dinamakan “Ar-Risalatul Qusyairiyah”, dengan tujuan meluruskan pemahaman keagamaan Islam tentang konsep-konsep tasawuf, akidah tasawuf, pengalaman-pengalaman mistis, terminal-terminal spiritual Islam, dan kaitannya dengan konsep-konsep tauhid dan syari’at.

Al-Imam berusaha membongkar dan menata kembali kekeliruan-kekeliruan ini untuk dikembalikan pada posisinya semula, sebagaimana yang pernah diajarkan para sahabat dan ulama salaf. Untuk mencapai tujuan yang mulia ini, Al-Imam membagi bukunya, setelah disistematisasikan oleh dua penyunting naskah aslinya, dalam 5 bab. Dalam bab pertama, Al-Imam memaparkan prinsip-prinsip tauhid dalam pandangan kaum sufi, kemudian disusul bab berikutnya yang mengetengahkan beberapa terminologi tasawuf. Khusus dalam bab tiga, Al-Imam menjelaskan panjang lebar berikut dasar-dasar nash nya tentang tahapan-tahapan pendakian spiritual atau maqam-maqam para penempuh jalan sufi. Menurut al-Imam, untuk mencapai ke hadirat Allah dan bertemu dengan-Nya, ada beberapa tahapan spiritual yang harus dilalui para salik. Setiap tahapan harus dirampungkan secara sempurna sebelum memasuki tahapan berikutnya. Sedangkan pada bab empat dan lima, masing-masing menyingkapkan beberapa kondisi ruhani dan karamah (hal dan karamah) dan para tokoh sufi berikut biografi singkat mereka.

Adapun di antara makna penting dari buku ini adalah kejelasan pemaparan konsep-konsep sufinya. Hampir setiap poin disajikan secara lengkap dan utuh. Kita tahu bahwa banyak manusia yang cenderung memperdalam ajaran sufi, tetapi mereka terganggu oleh kesulitan-kesulitan dalam memahami konsep-konsep sufi dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya. Insya Allah buku ini bisa menjembatani jarak yang dimaksud. Gagasan dan dasar-dasar pemikiran tasawuf al-Qusyairi disajikan dengan gamblang dan penuh pesona.

Mengapa pemikiran tentang pengalaman mistis dan konsep tasawuf al-Qusyairi penuh pesona? Barangkali terdapat tiga sebab utama. Pertama, Beliau dalam membahas sesuatu sangat hati-hati. Wilayah bahasan pemikiran keagamaan dan sufisme dimasuki secara mendasar kemudian ditampilkan dalam rumusan pemikiran yang komprehensif. Kedua, berkaitan dengan karakteristik bahasa sufisme. Bahasa adalah fenomena budaya, dan ketika digunakan untuk mengekspresikan kebenaran realitas al-Haqq, Wujud Absolut yang ditangkap para perambah jalan sufi, maka Wujud Yang Absolut itu tidak mungkin dihadirkan secara utuh, tuntas, dan persis dengan nalar batin pemiliknya. Masih banyak kebenaran tentang al-Haqq yang tersimpan dalam batin para sufi, sehingga bagaimanapun sempurnanya suatu buku (aktualisasi pengalaman mistis pengarang) tidak akan sampai mengangkat kebenaran realitas al-Haqq secara utuh dan tuntas. Meski demikian, paling tidak buku ini telah menampilkan muatan pengalaman mistis al-Imam secara maksimal yang Insya Allah, meski tidak mungkin tuntas karena keterbatasan bahasa, mendekati kebenaran yang dimaksud. Ketiga, figur dan tradisi tasawuf al-Qusyairi cukup populer di lingkungan masyarakat sunni, dan bahkan buku-bukunya banyak dijadikan rujukan para sufi, seperti, Zakaria bin Muhammad al-Anshari, Syaikh Musthafa al-Arusy, Sadiduddin Abu Muhammad, dan lain-lainnya.

Terlepas, apakah seseorang bersimpati atau tidak terhadap dunia sufistik, yang jelas dalam buku ini al-Qusyairi “berhasil” merumuskan konsep-konsep dan dasar-dasar pemikiran tasawuf. Pembaca, Insya Allah akan banyak menemukan gambaran pemahaman sufi dalam menangkap kehidupan. Jika masih ditemukan banyak kesulitan dan kekaburan, tentunya kesalahannya tidak bisa ditimpakan pada disiplin keilmuan tasawuf itu sendiri atau Ar-Risalatul Qusyairiyah, tetapi pada kekurangan penyadur yang belum secara optimal mentransfer gagasan-gagasan kaum sufi dalam karya-karya. Kami menyadari betul atas kekurangan ini, dan semoga Allah menutupi dan membetulkannya serta memaafkan kita.

Umar Faruq

Pengenalan Penyusun Buku (Riwayat Hidup Singkat Imam al-Qusyairi)

Identitas

Nama : Abdul Karim
Nasab : Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Nama kunyah¹ [¹ Nama yang dinisbatkan pada kata Abu] : Abul Qasim
Nama panggilan : jumlahnya banyak, di antaranya:

1. An-Naisaburi

Sebuah nama panggilan yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, ibukota Propinsi Khurasan yang merupakan kota terbesar dalam wilayah pemerintahan Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh, Harrat, dan Marw. Di kota ini pula dua ilmuwan kaliber dunia dilahirkan, yaitu Umar al-Khayyam dan Fariduddin al-Atthar. Kota ini roboh akibat perang dan bencana alam. Abdul Karim seorang guru spiritual Islam terbesar di zamannya, tumbuh, dan meninggal di kota ini pula.

2. Al-Qusyairi

Dalam kitab al-Ansab² [² al-Ansab, Abdul Karim as-Sam’ani, juz 10, halaman 152] disebutkan bahwa nama al-Qusyairi merupakan penisbatan pada kata Qusyairi. Sementara dalam kitab Tajul ‘Arusi³ [³ Tajul ‘Arusi, Murtadha az-Zubaidi, juz 3, halaman 493] nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok manusia yang tinggal di pesisiran Hadramaut. Sedangkan dalam kitab Mu’jamu Qobailil Arab⁴ [⁴ Mu’jamu Qobailil Arab, Umar Ridha Kuhhalah, juz 3, halaman 954] —ensiklopedi suku-suku Arab— disebutkan bahwa Qusyairi adalah putra Ibnu Ka’ab bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakar bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Dari sini lahirlah keturunan yang akan menjadi sesepuh klan-klan baru. Di antaranya kelompok al-Qusyairi yang merupakan pelopor dari orang-orang yang interes terhadap Islam. Mereka memasuki wilayah Khurasan di zaman pemerintahan Bani Umayyah dan terlibat dalam beberapa pertempuran, penaklukan kota Syam dan Iraq. Di antara keturunan mereka ada yang menjadi penguasa kota Khurasan dan Naisabur, sementara yang lain merintis kehidupan yang baru di Andalusia (Spanyol).

3. Al-Istiwa’i

Asalnya dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di daerah pesisiran Naisabur. Daerah ini memiliki banyak desa yang batasan teritorialnya saling bertemu di wilayah Nasa. Dari kota ini pula beberapa ulama dilahirkan.

4. Asy-Syafi’i

Sebuah penisbatan nama pada Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh al-Imam Muhammad bin Idris bin Syafi’i pada tahun 150-204 H./767-820 M.

5. Beberapa Panggilan Kehormatan

Seperti: al-Imam, al-Ustad, asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina syari’ati wa al-haqiqah (penghimpun antara nilai syari’at dan hakikat), dan lain sebagainya. Panggilan ini merupakan penghormatan atasnya karena posisinya yang luhur dan agung dalam ilmu-ilmu Islam dan tasawuf.

Garis Keturunan Dari Pihak Ibu

Al-Ustadz asy-Syaikh (untuk selanjutnya penyebutan pada penyusun buku ini memakai nama asy-Syaikh, suatu panggilan bagi seseorang yang tingkat keilmuannya sangat tinggi) dari pihak ibu memiliki garis keturunan yang berporos pada moyang atau marga Sulami. Paman dari pihak ibu, Abu Aqil as-Sulami termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga as-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu dua Bangsa, yaitu:

  1. As-Sulami yang dinisbatkan pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang masyhur. Kelengkapan silsilahnya adalah Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashar.
  2. As-Sulami yang dinisbatkan pada Bani Salamah, satu suku dan golongan Anshar. Silsilah ini ada beberapa versi di mana masing-masing memiliki dasar analogi yang berbeda-beda.

Kelahiran dan Wafatnya

Al-Ustadz asy-Syaikh pernah ditanya tentang kelahirannya, lalu dijawab, sesungguhnya ia dilahirkan di bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H./986 M. di kota Ustawa. Syuja’ al-Hazali pernah memberikan keterangan tentang kewafatannya. Menurutnya, al-Ustadz meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H./1073 M. Ketika itu Beliau mencapai umur 87 tahun. Jenazah Beliau disemayamkan di sisi makam Gurunya, asy-Syaikh Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmati keduanya. Selama 60 tahun dari kewafatannya, tidak seorang pun yang memasuki ruang pustakanya. Semua itu merupakan bentuk penghormatan kepada Beliau.

Belajar dan Mengajar

BELAJAR DAN MENGAJAR

Guru-guru asy-Syaikh

  1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an-Naisaburi, dikenal dengan sebutan ad-Daqaq, guru spiritualnya.
  2. Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husin bin Muhammad al-Azdi as-Sulami an-Naisaburi (325 H./936 M-412 H./1021 M.), seorang sejarawan, ulama sufi sekaligus pengarang.
  3. Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi (385 H./990 M.-460 H./1067 M.). Kepadanya Beliau belajar ilmu fiqih dan itu terjadi pada tahun 408 H./1017 M.
  4. Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H./1015 M. Beliau ini seorang imam ushul fiqih. Kepadanya asy-Syaikh belajar ilmu kalam.
  5. Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 H./1027 M., seorang cendekiawan bidang fiqih dan ushul fiqih yang besar di daerah Isfarayain. Untuknya dibangunkan lembaga pendidikan yang besar di Naisabur, sehingga asy-Syaikh bisa belajar disana. Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Jami’ dan ar-Risalah. Ide-idenya banyak yang segaris dengan pandangan golongan Mu’tazilah. Kepadanya asy-Syaikh belajar ushuluddin.
  6. Abul Abbas bin Syarih, guru asy-Syaikh bidang ilmu fiqih.
  7. Abu Manshur alias Abdul Qahir bin Muhammad al-Baghdadi at-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H./1037 M. Beliau lahir dan besar di Baghdad, menetap di Naisabur, dan meninggal di Asfarayaini. Di antara karangannya, kitab Ushuluddin, Tafsir Asma’ul-Husna, dan Fadhaih al-Qadariyah. Asy-Syaikh belajar banyak kepadanya tentang mazhab Syafi’i.

Penguasaan Ilmu Keagamaan

  1. Ushuluddin, yang diperolehnya dari guru-guru bermazhab Abu Hasan al-Asy’ari, seorang imam teologi sunni.
  2. Ilmu fiqih yang beraliran mazhab Syafi’i.
  3. Ilmu tasawuf. Asy-Syaikh adalah seorang sufi sejati, murni dalam laku sejatinya, dan tulus dalam perjuangannya mempertahankan ajaran tasawuf sejati dari praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Perjuangan dan laku sejatinya ini banyak dimuat dalam bukunya, ar-Risalah al-Qusyairiyah. Hal itu seperti yang pernah dilakukan Imam al-Asy’ari dalam mempertahankan dan mengajarkan ajarannya, terutama tentang ruh Islam sejati. Asy-Syaikh menyusun sebuah buku khusus berjudul Syikayah Ahlus Sunnah bi Hikayati ma Nalahum minal Mihnah, suatu pembahasan tentang ajaran Asy’ari.

Di samping itu, asy-Syaikh juga seorang yang ahli bidang filosofis ketuhanan, penghafal hadits yang kuat, sastrawan yang menguasai bidang gramatika susastra Arab, penulis sekaligus penyair, dan seorang penunggang kuda yang tangkas dan berani. Namun, ilmu tasawuf merupakan keahlian yang paling dikuasai dan dia lebih dikenal dengan atribut ini.

Majelis Imla’

Asy-Syaikh memang seorang imam yang pengajarannya banyak memakai sistem majelis imla’. Beliau mengadakan majelis imla’ (pengajaran dengan metode pendiktean) bidang hadits di Baghdad pada tahun 432 H./1040 M. Beberapa paradigma yang dibuatnya dilampiri sejumlah gubahan puisi religius. Kemudian Beliau menghentikan kegiatan ini dan pulang ke Naisabur tahun 455 H./1063 M. untuk merintis kegiatan semacamnya.

Majelis Tadzkir

Di zamannya, asy-Syaikh adalah seorang imam dalam majelis tadzkir. Pembicaraannya amat berpengaruh hingga meresap ke dalam sanubari para jama’ahnya. Abu Hasan Ali bin Hasan al-Bakhirizi yang hidup di tahun 462 H./1070 M., sering menyebut-nyebut kehebatanya, bahkan memujinya dengan sanjungan yang amat istimewa. Beliau mengatakan, “Seandaimya sebuah batu cadas diketuk dengan ‘tongkat peringatan’-nya, niscaya akan meleleh menangis, dan seumpama iblis tetap aktif mengikuti majelis tadzkir nya, niscaya dia akan tobat. Ungkapan-ungkapan yang terlepas dari lidah yang mulia ini amat mengesankan dan bila Beliau berkehendak, tentu terkabulkan permohonannya.”⁵ [⁵ Tabyinu Kadzbil Muftari, Ibnu ‘Asakir, halaman 274.]

Seorang penceramah terkenal dalam kitab sejarahnya menyebutkan, “Asy-Syaikh mendahului kami atas kedatangannya ke Baghdad. Beliau memberi pengajaran disana dan kami mencatatnya.

Ajaran-ajarannya benar-benar terpercaya, berbobot, dan isyaratnya sedap.” Begitu pula Ibnu Khalkan dalam kitab Wafiyatul A’yan banyak menyebut-nyebut kehebatannya, juga dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyah, Tajuddin as-Subki seringkali menyinggung kelebihan-kelebihannya.

Murid-muridnya

  1. Abu Bakar — Ahmad bin Ali bin Tsabit, secrang penceramah Baghdad, hidup tahun 392-463 H./1002-1072 M.
  2. Abu Ibrahim — Ismail bin Husin al-Husaini, meninggal tahun 531 H./1137 M.
  3. Abu Muhammad — Ismail bin Abi al-Qasim al-Ghazi an-Naisaburi.
  4. Abul Qasim — Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshari yang meninggal tahun 512 H./1118 M.
  5. Abu Bakar — Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhi.
  6. Abu Muhammad — Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khiwari.
  7. Abu Bakar bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahin.
  8. Abu Muhammad — Abdullah bin Atha’ al-Ibrahimi al-Hiwari.
  9. Abu Abdullah — Muhammad bin Afdhal bin Ahmad al-Firawi, hidup tahun 441-530 H./1050-1136 M.
  10. Abdul Wahab bin asy-Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhi an-Naisaburi.
  11. Abu Ali — al-Fudhail bin Muhammad bin Ali al-Qashbani, meninggal tahun 444 H./1052 M.
  12. Abul Fatih – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimi.

Referensi Penyusunan Biografi al-Imam

Ada empat sumber yang menjadi acuan penulisan riwayat hidup Imam al-Qusyairi, yaitu:

  1. Naskah yang ditulis Ali bin al-Hasan al-Bakhirizi dalam kitabnya yang berjudul Damiyatul Qashri wa ‘Ashratu Ahilil ‘Ahsri. Beliau meninggal tahun 467 H./1074 M.
  2. Salah seorang anak keturunannya yang bernama Ibnu Hafidah alias Abdul Ghafir bin Ismail. Dia menulis biografi asy-Syaikh dalam kitab yang berjudul as-Siyaq. Kitab ini merupakan referensi utama penulisan tentang kehidupan al-Qusyairi dari sisi pendapat Ibnu ‘Asakir, as-Subki, dan Ibnu al-’Amad.
  3. Sejarawan Abu Bakar yang nama lengkapnya Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi telah menulis banyak tentang kehidupan al-Qusyairi dalam kitabnya, Tarikhu Baghdad juz dua halaman 83. Beliau meninggal tahun 463 H./1070 M.
  4. Kitab Kasyful Mahjub susunan al-Hujauwiri. Penyusun kitab ini hidup sezaman dengan al-Qusyairi.

Karya-karyanya

Asy-Syaikh adalah seorang ulama terkenal yang menguasai berbagai bidang ilmu, namun jiwa kesufiannya lebih menonjol dan sangat dominan. Karyanya banyak mengupas masalah tasawuf dan ilmu-ilmu Islam. Di bawah ini kami sebutkan beberapa karangannya yang tertulis menurut urutan abjad (alpabet Arab, yaitu alif, ba’, ta’, tsa’, dan seterusnya):

  1. Ahkamus Syar’i.
  2. Adabus Shufiyah.
  3. Al-Arba’un fil-Hadits (dalam kitab ini asy-Syaikh memaparkan 40 hadits Rasulullah Saw. yang Beliau dengar dari Gurunya, Abu Ali ad-Daqaq dengan sanad yang muttashil, yakni bersambung-sambung hingga ke Nabi Saw.).
  4. Istifadhah al-Muradat.
  5. Balaghatul Maqashid fit-Tasawwuf.
  6. At-Tahbir fit-Tadzkir.
  7. Tartibus Suluk fi Thariqillahi Ta’ala. (Berupa artikel).
  8. At-Tauhid an-Nabawi.
  9. At-Taisir fi ‘Ilmit Tafsir. (Dinamakan at-Tafsir al-Kabir, merupakan kitab pertama yang disusun asy-Syaikh pada tahun 410 H./1019 M. Tiga ulama besar: Ibnu Khalkan, Tajuddin as-Subki, dan Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan, “Kitab tafsir susunan asy-Syaikh merupakan sebuah kitab tafsir yang paling bagus dan jelas.”
  10. Al-Jawahir.
  11. Hayatul Arwah dan ad-Dalil ila Thariqus-Shalah.
  12. Diwanus Syi’ri.
  13. Adz-Dzikru wadz-Dzakir.
  14. Ar-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tasawuf. (Disusun tahun 438 H./1046 M.).
  15. Siratul Masyayikh.
  16. Syarah Asmaul Husna.
  17. Syikayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati ma Nalahum minal-Mihnah. (Sebuah artikel yang memuat pendapat-pendapat Beliau dalam mempertahankan kebenaran mazhab Asy’ari. Menurutnya Asy’ariyah merupakan kajian yang amat mendasar mengenai hakikat ruh Islam. Dalam bahasan tersebut, Beliau sudah berupaya mengangkat dan menjernihkan ajaran Asy‘ariyah dari tuduhan-tuduhan orang-orang yang memusuhinya. Beliau memberi suatu argumentasi yang menyatakan bahwa para musuh asy-Syaikh sengaja memalsu ajaran kebenaran, melontarkan pikiran-pikiran yang salah, dan menisbatkan semua kebohongan itu kepada asy-Syaikh. Padahal Beliau bebas dari semua tuduhan itu).

Demikian pula terhadap kelompok teologi (ahli debat dalam masalah ketuhanan – mutakallimin) yang melukai mazhab Asy’ari dalam masalah sifat-sifat Tuhan, pembalasan di akhirat, hakikat perbuatan manusia, dan kemakhlukan al-Qur’an, asy-Syaikh juga mengadakan penangkalan. Semua bentuk penyanggahannya ini termuat dalam kitab Syikayah.

Dua kitab: ar-Risalah al-Qusyairiyah dan Syikayah Ahlis Sunnah ditujukan untuk mendukung mazhab yang benar di dalam Islam, yaitu suatu mazhab yang sarat dengan ruh dan konstruksi filosofis ketuhanan. Keduanya memaparkan mazhab moderat yang diambil dari Asy’ari. Pendapat ini menengahi dua pemikiran ekstrim: rasionalisasi ketuhanan yang diprakarsai golongan Mu’tazilah dan asosiasi penyerupaan ketuhanan secara personifikasi (Panteisme).

Kitab Risalah terdapat dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyah juz dua, halaman 275 yang diterbitkan bersama dua kitab lainnya: Tartibus-Suluk dan Ahkamus-sima’. Dua kitab yang terakhir ini dijumpai dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah. Semuanya itu terbit setelah mengalami proses editing bahasa yang ditangani oleh DR. Muhammad Hasan, terbitan Shaida, Libanon.

  1. ‘Uyunul Ajwibah fi Ushulil Asilah.
  2. Lathaiful Isyarat. (Merupakan sebuah kitab tafsir sufistik tentang ayat-ayat hakikat dan makrifat yang diambil dari beberapa ayat al-Qur’an pilihan. Penafsirannya memakai pendekatan yang dipergunakan dalam tafsir Abu Abdurrahman as-Sulami. Penyusunannya setelah tahun 410 H./1019 M. Proses editingnya ditangani DR. Ibrahim Basuni, diterbitkan di Kairo tahun 1917 M. dalam jumlah halaman 363 dengan ukuran kertas tiap halaman 28 cm.
  3. Al-Fushul fil-Ushul.
  4. Al-Luma’ fi al-I’tiqad.
  5. Majalis Abi Ali al-Hasan ad-Daqaq.
  6. Al-Mi’raj.
  7. Al-Munajah.
  8. Mantsuru al-Khithab fi Syuhudil Albab.
  9. Nasikhu al-Hadits wa Mansukhuhu.
  10. Nahwal Qulub ash-Shaghir.
  11. Nahwal Qulub al-Kabir.
  12. Nukatu ulin-Nuha.

Studi Tentang al-Qusyairi

Studi ini kami ketengahkan berdasarkan lima karya:

  1. DR. Muhammad Hasan, edarannya dalam kitab ar-Rasailah al-Qusyairiyah.
  2. Seorang orientalis bernama Arberie, edaran tahun 1953 M. dengan berbagai studi tentang ketimuran di Lobsoun.
  3. DR. Qasim as-Samirai, edarannya termuat di majalah al-Majma’ al-’Ilmi al-‘Iraqi, edisi 17 dan 18, tahun 1969 M.
  4. DR. Ibrahim Basuni dalam susunan kitabnya al-Imam al-Qusyairiyah: Siratuhu, Atsaruhu, Madzhabuhu, terbitan Mesir tahun 1392 H./1972 M., jumlah halaman: 336 dalam ukuran besar.
  5. DR. Ahmad Timuddin al-Jundi, publikasi kajiannya termuat di majalah Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, Mesir, juz pertama, tahun 1393 H./1973 M.
  6. DR. Abdul ‘Ala ‘Afifi, pembahasannya tentang al-Qusyairi termuat dalam edaran yang berjudul Mausu’atu Turatsil Insaniyah.

Risalah Qusyairiyah

RISALAH QUSYAIRIYAH

Makna Risalah

Secara terminologi, kata risalah berarti suatu pembahasan, tema bahasan atau kajian. Keberadaannya mungkin sebagai jawaban suatu pertanyaan, pemecahan suatu masalah, atau jalan keluar dialog kajian. Ukurannya (jumlah halaman dan ukuran kertas) terkadang kecil, seperti Risalah al-Qadhi al-Fadhil milik Hasan Basri, terkadang pula berukuran besar, seperti Risalah Ghufran milik al-Ma’ari.

Latar Belakang Penyusunan

Risalah ini oleh penyusunnya, Imam Qusyairi sengaja ditujukan kepada kelompok masyarakat yang berkecimpung dalam dunia tasawuf secara taklid; suatu kelompok yang mempraktekkan ajaran tasawuf tanpa pengetahuan tentang hakikat dasar-dasar thariqah; mereka yang mengamalkan ritual sufistik di tengah kekeliruan-kekeliruan sebagian kaum yang mendakwakan diri sebagai kelompok sufi; atau di dalam kungkungan paham-paham sufistik yang seolah memiliki dasar keagamaan, tapi sebenarnya tidak memiliki landasan hukum (nash al-Qur’an dan hadits), akal, dan argumen.

Inilah salah satu permasalahan tiap mazhab, pemikiran dan thariqah. Di antara pengikut-pengikut paham-paham itu, ada yang memperbaiki pemahaman dan pemaparannya, ada pula yang justru memperburuknya dengan berbagai tindakan amoral dan penyimpangan. Karena itu, kehadiran risalah ini merupakan sebuah “teriakan” kebenaran yang murni, dan lahir dari hati yang diterangi cahaya cinta pada Allah dan Rasul-Nya; suatu kebenaran yang menerangi jalan Islam dan orang-orang yang menyalahgunakan ajaran tasawuf atau memang tidak mengerti tentang tasawuf; serta membukakan mata mereka tentang hakikat tasawuf dari sisi amalan, ruh, halusinasi, dan praktek ritual dalam Islam. Sesungguhnya ruh Islam sebagaimana yang tergambar dalam beberapa ayat berikut ini:

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ (٧) فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ (٨) قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ (٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ (١٠)

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa, dan sesungguhnya amat merugilah orang yang mengotori jiwa.” (QS. asy-Syams [91]: 7-10)

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ (١٤) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ (١٥)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS. al-A‘la [87]: 14-15)

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)

وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ

“Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut serta tidak dengan mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf [7]: 205)

وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 282)

Sabda Rasulullah Saw.,

الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك (رواه مسلم والترمذي وابو داود والنسائي)

“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau belum mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.”⁸ [⁸ Dikeluarkan oleh Imam Muslim tentang “iman”, bab penggambaran Jibril as. pada Nabi Saw. tentang Islam dan iman, nomor 8; juga oleh at-Turmudzi tentang “iman” nomor 2738; Abu Dawud tentang “sunnah” bab Qadar, nomor 4695; dan an-Nasa’i tentang “iman”, bab sifat Islam, juz VIII, nomor 97.]

Imam Qusyairi bermaksud memberitahukan mereka bahwa kebenaran yang sebenarnya bukan seperti yang mereka ketahui; bahwa pengikut thariqah yang sesungguhnya adalah mereka yang berjalan di atas dasar al-Qur’an dan hadits; tidak keluar darinya, meski seujung jari. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan ulama salaf, baik dalam keimanan, akidah, maupun praktek ritual.

Risalah Qusyairiyah juga dihadapkan pada kaum sufi untuk menjelaskan tentang hakikat thariqah sekaligus beberapa penyimpangan dan kekeliruan; mempertegas kebenaran thariqah hingga mereka tidak sesat atau disesatkan. Sesungguhnya tasawuf bukan sesuatu yang bersifat tambahan atau pengadaan kandungan al-Qur’an dan hadits, tetapi justru merupakan bentuk abstraksi konkrit tentang keagungan Islam yang selama itu tidak diperhatikan para ulama fiqih setelah periode ulama salaf. Mereka sibuk dalam pertikaian perbedaan pendapat, terpecah-pecah dalam berbagai pendapat, sehingga kurang memperhatikan praktek ritual (dunia sufistik) yang pernah dipraktekkan periode sahabat dan ulama salaf.

Generasi Islam dewasa ini seandainya mengikuti jejak para ulama salaf yang shaleh yang hidup di kurun-kurun pertama, tentu kehidupan keagamaan mereka berada di garis nilai kebenarannya meliputi aspek pendidikan, praktek ritual, dan pemahaman; mereka tidak mungkin menafsirkan secara negatif bahwa kecenderungan kemunduran umat Islam abad ini (masa kehidupan asy-Syaikh) disebabkan oleh keberadaan “madrasah sufi” yang terpisah dari “madrasah ulama fiqih dan kaum teolog”. Asumsi ini didasarkan pada satu sebab bahwa generasi Islam periode pertama mengambil Islam secara utuh; menjadikan pemikiran, pendidikan, ritual, dakwah, dan fiqih dalam satu kesatuan yang utuh; menggabungkan kejernihan hukum dan nilai ketakwaan dalam keutuhan dunia sufistik; dan memahami aspek hukum tanpa harus meninggalkan aspek lain. Inilah yang disebut Islam.

Sejarah Penyusunan Risalah

Demikian itu terjadi di tahun 438 H./1046 M. ketika asy-Syaikh memasuki usia 62 tahun, saat-saat di mana kematangan pemikiran seeorang mencapai puncaknya.

Transkrip Naskah

Ada sembilan naskah (risalah) tulisan yang kami dapati di Kepustakaan al-Asad, Damaskus. Naskah-naskah tersebut antara yang satu dengan lainnya berbeda-beda, yaitu:

  1. Naskah pertama ini diawali dengan kalimat pujian pada Tuhan yang berbunyi: “Alhamdu lillāhi alladzī tafarrada bijalālihi malakūtihi, wa tawahhada bijamāli jabarūtihi wa ta‘azzaza bi-’uluwwi ahadiyyatihi … dan berakhir dengan pasal: “…wa min sya’nil murīdi at-tabā’udu ‘an abnāid-dunya fainna shuhbatahum sammun mujarrabun …” Jumlah halamannya 187 lembar. Ukuran kertas per lembar relatif panjang, yaitu 18×23 cm. Setiap lembar memuat 20 baris dan setiap baris terdiri dari 12 kata. Lampiran catatan pinggirnya berukuran 2 cm.

Tinta yang dipakai berwarna hitam dengan tulisan naskhi yang memang lazim digunakan. Sedangkan sejarah penulisannya pada hari Sabtu bulan Muharram tahun 595 H./1198 M. Naskah ini diperoleh dari wakaf al-Muradiyah nomor 1445, tasawuf: 127.

  1. Naskah kedua, awal dan akhirnya seperti naskah pertama. Bilangan halamannya ada 159. Ukuran tiap halaman 22×12,5 cm. Tiap halaman memuat 31 baris dengan 9 kata untuk per baris. Lampiran catatan pinggirnya berukuran 4,5 cm. Tinta berwarna hitam dan untuk kata-kata tertentu menggunakan tinta warna merah. Tulisannya jelas. Lembaran pertama dihiasi dengan tinta emas. Sejarah penulisannya pada hari Ahad 27 Dzulhijah 1128 H./1715 M. dengan nomor pustaka 4126.
  2. Naskah ketiga, awal dan akhirnya juga seperti naskah-naskah di atas. Jumlah halaman 153 lembar; ukuran tiap halaman 22,5×14,5 cm. Tinta warna hitam dan sebagian yang lain berwarna merah. Tulisan standar. Tiap baris memuat sepuluh kata. Penulisnya Hafizh Abdullah bin Ahmad Ali. Waktu penulisannya pada tahun 1238 H./1822 M. dengan nomor pustaka 5145.
  3. Naskah keempat, pembuka dan penutupnya juga sama dengan naskah-naskah di atas. Halamannya berjumlah 315 lembar. Ukuran per lembar 16,5×10,5 cm. Tiap lembar tersusun 18 baris dan tiap baris mengandung 9 kata. Ukuran lampiran catatan pinggirnya 1,5 cm. Tinta yang digunakan warna hitam, sebagian warna merah dengan ciri tulisan yang lazim dipakai. Nama penulisnya Utsman bin Muhammad bin Hamid Shaufi bin Abdurrahman. Tercatat pada hari Kamis tanggal 1 Jumadil Akhir tahun 1169 H./1755 M. dengan nomor pustaka 1412, tasawuf 94.
  4. Naskah kelima diawali kalimat seperti di atas dan ditutup dengan kata-kata: “…wa min ādābil murīdīn katsratul aurād bidz-dzāhir…” Jumlah halamannya 151 lembar. Ukuran per kertas 23,5×15 cm. Tiap halaman memuat 27 baris dengan sepuluh kata tiap baris. Cacatan pinggir berukuran 1 cm. Tinta warna hitam dan sebagian warna merah. Tulisan naskhi yang dikerjakan oleh Yusuf bin Muhammad al-Anshari dengan nomor pustaka 8492.
  5. Naskah keenam ini awalnya yang asli sobek sehingga pembukanya diawali dengan kalimat: “…ahlus-sunnah qālū; Syartus shihhatit-taubah…” Halamannya berjumlah 293 lembar. Ukuran per lembar 11×16 cm. Tiap lembar memuat 12 baris dan tiap baris tersusun dari 6 kata. Catatan pinggirnya berukuran 2 cm. Tinta yang dipakai warna merah. Tulisan naskhi dengan nomor pustaka 1003.
  6. Awal dan akhirnya seperti naskah pertama. Jumlah halaman 235 lembar. Ukuran kertas tiap lembar 16×25 cm. Tiap lembar memuat 21 baris dan tiap baris terdiri dari sepuluh kata. Catatan pinggirnya berukuran 6,5 cm. Tinta warna hitam dengan dilapisi warna biru. Tulisan naskhi. Lembaran pertama dihiasi tinta emas. Penulisnya Husin bin Muhammad asy-Syahidi yang dilakukan pada tanggal 12 Dzul Qa’dah, tahun 1270 H./ 1853 M. dengan nomor pustaka 7764.
  7. Awal dan akhir naskah kedelapan ini juga seperti yang pertama. Halamannya ada 274 lembar. Ukuran tiap lembar 13×20 cm dengan 15 baris untuk tiap lembar dan 13 kata dalam tiap baris. Catatan pinggirnya berukuran 3 cm. Tinta merah gelap, tulisan naskhi, masa penulisannya tanggal 26 Rajab 652 H./1254 M. dengan nomor pustaka 9721.
  8. Awal dan akhirnya juga sama dengan naskah yang tersebut di atas. Jumlah halamannya 190 lembar, ukuran per lembar lebih panjang dari lainnya: 25,5×16,5 cm dengan 23 baris untuk tiap lembar dan 10 kata tiap baris. Catatan pinggir berukuran 2,5 cm, tinta hitam, sedangkan untuk judul-judul memakai tinta merah. Tulisan jenis naskhi yang dikerjakan oleh Ali bin Abdul Ghaffar ar-Rasyidi al-Asy’ari; tertulis pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 742 H./1341 M. dengan nomor pustaka 9581.

Beberapa Syarah Risalah Qusyairiyah

Kitab Risalah Qusyairiyah semenjak kemunculannya telah dijadikan sandaran pembahasan para pengkaji. Banyak ulasan yang dihasilkan oleh mereka setelah mengadakan pengkajian kitab ini. Ulasan-ulasan itu hampir diberi judul berbeda meski tema utamanya sama, antara lain:

  1. Ulasan Syaikhul Islam al-Qadhi Zakaria bin Muhammad al-Anshari, meninggal tahun 916 H./1510 M., dalam judul Ihkamud-dilalah ‘ala Tahririr Risalah. Penulisan ini terjadi pada tanggal 14 Jumadil Ula 893 H./1487 M.
  2. Ulasan asy-Syaikh Musthafa al-’Arusi yang hasyiyah-nya (ulasan catatan pinggir) diberi judul Nataijul Afkar al-Qudsiyah fi Bayani Ma’ani Syarhir Risalah al-Qusyairiyah. DR. Abu al-‘Ala ‘Afifi mengomentari hasyiyah ini, “Ini hasyiyah yang panjang dan nilainya tidak sebanding atau tidak proporsional dengan naskah aslinya, bahkan merupakan bentuk ulasan yang menyesatkan pembaca dengan mengait-ngaitkan pada beberapa pemikiran Ibnu Arabi (paham wihdatul wujud – panteisme). Beberapa istilah yang digunakan tidak tepat, baik karena terlalu dekat atau terlalu jauh dengan maksud teks aslinya, Risalah Qusyairiyah.” Apa yang dipaparkan oleh Musthafa al-‘Arusi merupakan hasil terjemahan sebagian ulama sufi yang sebagian besar diambilnya dari kitab Thabaqat karya Abdurrauf al-Munadi.⁹ [⁹ Turatsul Insaniyah, bahasan DR. Abdul ‘Alā Afifi, juz awal, halaman 469.]
  3. Ad-Dilalah ‘Ala Fawaidir Risalah, ulasan Sadidduddin Abi Muhammad dan Abdul Mu’thi bin Mahmud bin Abdil ‘Ali al-Lukhmi al-Iskandari; tercatat di pustaka Murad Mala dengan nomor 1241 pada tahun 743 H./1242 M. Dalam ulasan ini, tiupan sufistik tidak ada sebagaimana yang kita dapati di naskah aslinya, Risalah Qusyairiyah. Ulasan-ulasannya justru banyak didominasi paham-paham fiqhiyah yang gemar dengan pembagian-pembagian, penyusunan-penyusunan, pendefinisian, debat, adu argumen baik dengan sandaran akal maupun ayat, dan pernyataan-pernyataan hukum. Tasawuf daiam hal ini seakan tidak diizinkan masuk dalam berbagai kesatuan aspek keagamaan Islam, baik sebagai dasar, paradigma maupun prinsip-prinsip teoritik. Tetapi sebaliknya, keberadaannya diharuskan tunduk pada garis-garis standar fiqih Islam. Inilah perbedaan besar yang mendasar antara tinjauan fiqhiyah dan keruhanian sufistik Imam al-Qusyairi.¹⁰ [¹⁰ ibid, halaman 470.]
  4. Tahdzibud Dilalah ‘ala Tanqihir Risalah, ulasan ringkas seorang pengarang yang tidak diketahui identitasnya. Bukti otentiknya tercatat di pustaka azh-Zhahiriyah, Damaskus 69,167 Lihat di Kasyfudz Dzunun, juz 1 halaman 328.
  5. Irsyad al-Muridin yang tidak diketahui pengarangnya. Data-datanya di Maktabah al-Hindi 1259-60, Rambour, juz 1, halaman 328.

Edisi Kitab Risalah Qusyairiyah

  1. Terbitan as-Saniyah al-Khudaiwiyah, Bulaq, Mesir, tahun 1284 14/1867 M. Jumlah halaman 242 lembar, ukuran kertas per lembar 26×19 cm.
  2. Terbitan Bulaq, Mesir, tahun 1287 H./1870 M dengan halaman 219.
  3. Terbitan Abdurrazaq, Mesir, tahun 1304 H./1886 M.; jumlah halaman 244 dengan ukuran kertas per lembar 24×16,5 cm.
  4. Terbitan al-Maimuniyah, Mesir, tahun 1350 H./1911 M. dengan halaman 186 lembar.
  5. Terbitan at-Taqaddum al-Ilmiyah, Mesir, tahun 1346 H./1927 M. dengan halaman 186 lembar, per lembar berukuran 29×30 cm.; memiliki lampiran catatan pinggir yang ditulis Zakaria al-Anshari.
  6. Diterbitkan di Mesir (nama penerbit tidak diketahui) tahun 1358 H./1938 M., dengan halaman 220 lembar.
  7. Diterbitkan di Damaskus dalam satu jilid dengan 2 juz; jumlah halaman 418 lembar dengan ukuran kertas per lembar 29 cm.; tahun penerbitan tidak ada.
  8. Terbitan Beirut, publikasi Darul Kitab al-Arabi, tahun 1367 H./1947 M., jumlah halaman 190, ukuran kertas per halaman 19×27 cm.; memilki lampiran catatan pinggir yang disusun Zakaria al-Anshari.
  9. Terbitan Pustaka Muhammad Ali Shabih, Kairo, tahun 1377 H./1972 M.; jumlah halaman 190; ukusan per lembar 29×27 cm; juga diberi catatan pinggir ulasan Zakaria al-Anshari.
  10. Terbitan Pustaka Muhammad Ali Shabih, Kairo, tahun 1392 H./1972 M.; jumlah halaman 328 dengan ukuran kertas per halaman 17×24 cm.; ditambah catatan pinggir ulasan Zakaria al-Anshari.

Penerjemahan

Risalah Qusyairiyah telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya ke dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan dan diterbitkan di Roma tahun 1329 H./1911 M.

Penilaian

Risalah Qusyairiyah merupakan sebuah kitab tunggal yang pengarangnya mengarahkan pada sasaran khusus. Ulasan dengan penggambaran yang sempurna tentang tasawuf dan kaum sufistik yang oleh penulisnya digarap dari semenjak kemunculannya di pertengahan abad kedua Hijriah hingga masa kehidupan sang pengarang, yang memang merupakan satu kajian yang ditujukan untuk membantu kita. Keabsahan nilai sejarah keilmuan buku ini oleh beberapa ulama tidak bisa disejajarkan dengan kitab-kitab lain dalam tema yang sama. Karena itu, dalam bidang tasawuf kitab Risalah Qusyairiyah menduduki tingkat keabsahan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pengantar Pentahqiq Manuskrip Risalah Qusyairiyah

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Sayyidina Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

Berkat pertolongan Allah dan keutamaan-Nya, persiapan dan penyuntingan naskah Risalah Qusyairiyah telah rampung, meski terlebih dahulu harus melalui kerja keras yang lama dan melelahkan. Perbaikan, penyuntingan, dan penyusunan ulang naskah Risalah Qusyairiyah yang sebelumnya berupa transkrip-transkrip mentah, oleh penyusun diarahkan ke dalam pola dan struktur buku yang mengikuti sistematika buku ilmiah modern. Semua itu sebatas pada pembentukan format sistematika buku, tidak menyangkut masalah isi.

Sesungguhnya upaya ini cukup sulit dan memayahkan, sehingga kami hampir membiarkannya berhenti di tengah jalan ketika begitu banyaknya kesulitan yang merintanginya. Lebih-lebih saat menangani teks sufistik yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran penyusun untuk menemukan kembali apa hakikat dan maksud sesungguhnya teks tersebut. Karena itu, penyusun tidak heran bila banyak pengkaji yang menghindar dari penelitian Risalah ini. Hal itu terbukti dengan ditemukan, sejumlah kajian terbitan lama yang sifatnya mengulang dan menukil kesalahan yang sama dari kajian yang sebelumnya. Di samping belum ada orang yang secara total memberanikan diri untuk mengadakan pengkajian ulang secara menyeluruh dalam bentuk buku yang baru. Justru pemaparan ulang dalam gambaran kesalahan yang sama akan menjebak pembaca dalam jeratan kesulitan pemahaman makna sesungguhnya tentang Risalah. Banyak kajian yang kering tentang kitab Risalah, terutama dalam cetakan lama. Penyusun pernah bertanya kepada salah seorang pengkaji, “Apakah kalian telah membacanya?” “Belum …,” jawabnya. Kebanyakan mereka ini baru membaca sebagian, sementara sebagian yang lain dibiarkan terlantar tanpa dipelajari. Inilah salah satu sebab mengapa penerbit Darul Khair mengajak penyusun untuk mengadakan pengkajian ulang secara menyeluruh dan mensistematisasikannya dalam bentuk buku ilmiah dan utuh.

Ajakan itu amat logis, mengingat kitab Risalah Qusyairiyah merupakan sebuah kitab yang penekanan utamanya mencakup bidang tema-tema tasawuf, konsep-konsep, istilah-istilah, isyarat-isyarat, dan kesamaran-kesamaran dunia sufistik. Dengan penelitian yang menyeluruh ini diharapkan akan mampu menghilangkan kekacauan pemahaman dan ketertutupan ajaran sufi; menghadirkan satu pemaparan yang tepat tentang tasawuf; dan memberi batasan rumusan ilmiah tentang ketinggian dan kelembutan ajaran tasawuf di mana dewasa ini kondisinya terlempar di kancah perdebatan antara yang menerima dan menolaknya.

Imam Qusyairi adalah seorang guru sufi yang besar. Karangannya mengarahkan pada tujuan sufi yang benar; membebaskan manusia dari kesulitan memahami tasawuf; menghadirkan rumusan jalan sufi yang lurus; menyelamatkan bagi siapa saja yang senang dengan ajaran sufi; dan menghantam atau memusuhi orang-orang yang mengaku dirinya sebagai seorang sufi padahal kenyataannya adalah orang bodoh.

Hanya bagi Allah segala puji dan ucapan syukur tersampaikan. Sungguh kami telah bekerja keras untuk menghasilkan jerih payah yang terbaik. Meski begitu, kami tidak berani mengaku-ngaku bahwa kami telah mencapai hasil yang sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya milik Allah semata. Kesungguhan kami baru bisa menghasilkan buku seperti ini. Jika usaha kami ada yang salah, kami tentunya tetap memperoleh pahala, dan jika benar, pahala yang kami peroleh menjadi ganda, Insya Allah. Kami bersyukur sesyukur hati seorang yang ikhlas dan mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang dengan senang hati mau memberi petunjuk kepada kami dalam perbaikan pengkajian ini sehingga kami memperoleh kebenaran yang lebih benar, dan Allah adalah Dzat Yang Maha pemberi taufik.

Rujukan Suntingan

Suntingan (kajian, seleksi naskah, peredaksian, dan pensistematisasian naskah mentah) kami didasarkan pada tiga naskah. Naskah pertama berupa tulisan dan dua naskah lainnya berupa cetakan. Naskah tulisan tangan kami jadikan sentral perbandingan.

  1. Naskah tulisan tangan terpelihara rapi di perpustakaan Nasional Rakyat al-Asad, Damaskus, dengan nomor pustaka 1445; merupakan wakaf dari pustaka al-Muradiah. Kami memberinya label dengan huruf alif hamzah (a, huruf perbandingannya).
  2. Naskah cetakan tahun 1377 H., terbitan Muhammad Ali Shabih, dengan catatan pinggir yang ditulis Syaikh Zakaria al-Anshari. Jumlah halamannya 190 lembar dengan ukuran kertas per halaman 19×27 cm.
  3. Naskah cetakan tahun 1392 H., terbitan pustaka Muhammad Ali Shabih dengan catatan pinggir yang ditulis Syaikh Zakaria al-Anshari. Jumlah halamannya 328 lembar dengan ukuran kertas per lembar 17×24 cm. Ada beberapa kekurangan di bagian depan dan sedikit tambahan di dalamnya.

Kami belum mementingkan pendataan tentang perbedaan antara naskah tulisan dan cetakan berkaitan dengan kepentingan dalam rangka penyajian kitab Risalah Qusyairiyah dalam bentuk buku yang mudah dipahami dan benar. Sekalipun begitu, kami bukan berarti menelantarkannya secara keseluruhan.

Sistematika Penyajian Suntingan Buku

  1. Pengarang (Imam Qusyairi) memberi judul kitab ini ar-Risalah. Keberadaannya diarahkan pada kaum sufi, golongan yang berkepentingan dengan tasawuf, dan para penentang ajaran tasawuf. Kemudian datang para pembahas dan menisbatkan ar-Risalah pada pengarangnya sehingga kitab tersebut memperoleh tambahan atribut baru, yaitu ar-Risalatul Qusyairiyah. Maka, jadilah sebutan ini sebagai penamaan kitab tersebut. Akibatnya, para pembaca tidak mengetahui lagi nama asli kitab yang saat ini sudah lazim disebut ar-Risalatul Qusyairiyah. Dan, kami menegaskan dengan nama itu pula hanya karena pertimbangan kepopuleran nama saja.
  2. Kami awali kitab ini dengan pembahasan ilmiah tentang diri pengarang secara lengkap dan mencakup segala sisinya, sehingga pembaca memperoleh gambaran yang utuh tentang diri pengarang. Kemudian kami susul dengan kajian pengenalan Risalah Qusyairiyah. Di sini kami paparkan sebab-sebab penyusunan, transkrip-transkrip tulisan tangan, penjelasan-penjelasan, dan beberapa catatan yang ditulis secara periodik, sehingga terbentuk suatu gambaran yang lengkap.
  3. Penyusun memaparkan materi ilmiah kitab ini dengan pola sistematika pembahasan sebagai berikut:

(1). Keyakinan sufi tentang masalah dasar-dasar tauhid. Ini sudah masuk materi pembahasan dan kami namai (bab) Dasar-Dasar Tauhid Menurut kaum Sufi.

(2). Para guru thariqah berikut perjalanan kehidupannya dan pendapat-pendapatnya tentang syari’at. Bab ini kami namai A’lamut-Tasawuf – konsep-konsep tasawuf.

(3). Penafsiran kata-kata seputar masalah tasawuf dan segala sesuatu yang membentuknya. Bab ini kami namakan Musthalahat at-Tasawuf – istilah-istilah tasawuf.

(4). Beberapa bab yang menjelaskan maqam-maqam religius dan penjelasannya.

(5). Pasal tentang kelakuan sufistik dan beberapa karamah.

Semua materi pembahasan di sini kami tertibkan secara sistematis menurut kaidah logika dan teori penulisan buku ilmiah modern sehingga wujud akhirnya seperti berikut:

(a). Pendahuluan: Dasar-Dasar Tauhid Menurut Kaum Sufi.

(b). Pasal Pertama: Istilah-Istilah Tasawuf.

(c). Pasal Kedua: Penjelasan tentang Maqam-Maqam Sufi atau Hal-Hal Seputar Laku Spiritual.

(d). Pasal Ketiga: Beberapa Kelakuan dan Karamah.

(e). Pasal Keempat : Konsep-Konsep Tasawuf.

  1. Kami berpijak di atas garis logika ilmu yang jujur dan jernih.
  2. Sebagian kata asing yang samar dalam transkrip aslinya kami tafsirkan dengan gamblang dan kami paparkan maknanya dari sisi bahasa, hukum, dan filsafat. Tujuannya untuk menambah pemahaman yang utuh bagi pembaca. Juga beberapa penjelasan, komentar-komentar para ahli, dan beberapa kritikan kami sertakan untuk menambah kejelasan maksud pemikiran pengarang, sehingga terwujud rumusan makna yang utuh.
  3. Pengarang telah memaparkan konsep-konsep tasawuf dengan bentuk yang lazim. Beberapa kaum sufi yang mempraktekkan ajarannya secara benar dan umum kami paparkan di pasal keempat dengan pemaparan mengikuti urutan abjad dari julukan-julukan yang masyhur sehingga memudahkan pembahasan.
  4. Buku ini tidak mencantumkan judul-judul bab dan sub bab-sub bab, tetapi berpegang pada penjelasan yang disampaikan secara sambung-menyambung dan berkelanjutan. Ini cara penyusunan buku yang mengikuti pola lama, suatu pola penyajian yang mengundang kebosanan pembaca. Dan, sekarang penyajian buku ini kami ubah dengan cara memberi judul-judul yang jelas, tepat, dan batasan-batasan masalah yang terfokus pada tema tertentu. Setiap pembahasan satu tema kami rumuskan dalam beberapa bagian terpisah yang sambung-menyambung dan integral, sehingga tercipta sebuah buku yang ilmiah, jelas, dan tegas.
  5. Dalam buku ini beberapa ayat dan hadits Nabi yang mulia kami konkritkan dalam tulisan yang jelas.
  6. Bahasa buku lebih diperjelas dan pemakaian kata-kata yang tepat. Demikian itu kami lakukan dengan:

(a). Merujuk pada beberapa referensi dan penjelesan kitab Risalah Qusyairiyah yang terpelihara di pustaka al-Asad, Damaskus.

(b). Merujuk pada naskah cetakan Risalah dalam beberapa tahun edisi yang berbeda.

(c). Pengkajian per kata dalam rumusan-rumusan istilah yang dipakai, dibahas secara ilmiah.

  1. Buku kami tutup dengan bahasan tentang kumpulan tempat atau referensi yang bisa dikaji ulang, ditelusuri, dan dideteksi kebenarannya, yaitu mencakup beberapa teori, lingkungan, tempat-tempat, negara-negara, beberapa arah mata angin, kelompok-kelompok, buku-buku referensi, dan beberapa pembahasan.

Akhirnya, tak ada yang lebih patut kami lakukan selain bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya ini dan hanya untuk-Nyalah segala puji dipanjatkan.

Kami Pentahqiq
Ma’ruf Zariq & Ali Abdul Hamid Balthajy

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah yang menguasai keagungan kerajaan-Nya; memanunggali keelokan kemahaluasan kekuasaan-Nya; mendikdayani dengan keluhuran keesaan-Nya; dan meng- qudusi dengan ketinggian fungsi sebagai pusat penghambaan. Dia Agung dalam Dzat-Nya. Keagungan-Nya mengecilkan segala bentuk keserupaan dan penyerupaan. Suci Yang Maha Suci bagi Dzat dalam segala sifat-Nya dari segala bentuk penggambaran.

Bagi-Nya beberapa sifat khusus dengan Al-Haqq-Nya. Semua ayat berbicara bahwa Dia benar-benar tidak serupa dengan makhluk-Nya. Maha Suci dari segala kesucian. Tidak ada batas yang membatasi-Nya; tidak ada lintasan yang mampu menjangkau-Nya; tak ada hitungan yang mampu menghitung-Nya, meski sekedar mengkhayalkan pembilangan-Nya; tak ada ujung yang mampu memagari-Nya; tak ada satu pun yang menolong-Nya. Dia tidak beranak dan tak akan ada anak yang mensyafa’ati-Nya; tak ada bilangan yang mampu menghimpun-Nya; tak ada tempat yang memaksa-Nya berdiam; tak ada jaman yang mampu menjumpai-Nya; tak ada pemahaman yang mampu mengira-ngirakan-Nya; dan tak ada dugaan yang mampu menggambarkan-Nya.

Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “di mana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa.

Saya panjatkan segala puji untuk-Nya atas apa yang diatur dan dibuat-Nya; saya haturkan sembah syukur pula kepada-Nya atas apa yang dihimpun, digenggam, dan ditolak-Nya; saya juga berserah diri ke hadirat-Nya, puas, dan ridha dengan apa yang diberi dan dicegah-Nya.

Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, Dzat Yang Maha Esa dan tak ada sekutu bagi-Nya; suatu kesaksian orang yang yakin dengan keesaan-Nya dan orang yang minta perlindungan dengan kebagusan perlindungan-Nya. Dan, saya bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya yang terpilih, terpercaya yang terkasih, dan seorang Rasulullah yang terutus untuk semua makhluk. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan salam kepada Beliau, keluarga, dan para sahabatnya.

Al-Faqir ilallah (Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi menyebut dirinya al-faqir sebagai sikap pengakuan atas segala kekurangannya) menulis kitab ini dipersembahkan untuk kaum sufi di berbagai negara Islam, pada tahun 437 H. (bertepatan dengan tahun 1045 M.).

Kaum Sufi

Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hamba-Nya setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam pada mereka; menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasia-Nya; dan mengkhususkan mereka lebih dari umat-Nya yang lain dengan pantulan cahaya-Nya. Mereka bagai hujan bagi makhluk-Nya yang selalu berputar dan berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatan-Nya di tengah keumuman tingkah laku manusia. Allah menjernihkan mereka dari segala kotoran sifat manusia; melembutkan hati dan ruhani mereka pada pencapaian tempat-tempat musyahadah (persaksian ruhani pada kebesaran dan rahasia keghaiban Allah) dengan penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaan-Nya; menempatkan mereka untuk tetap tegak dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan. Karena itu, mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan pada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkan-Nya berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali pada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran peran serta Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat apa yang dikehendaki-Nya; bebas memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada-Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah, sebab pahala-Nya adalah awal keutamaan dan siksaan-Nya adalah hukum keadilan-Nya; perintah-Nya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.

Pergumulan Spiritual

Ketahuilah, sesungguhnya ahli hakikat sebagian besar telah punah; tidak ada yang tersisa di masa kita dari kelompok ini kecuali hanya bekas-bekasnya.

Sungguh, kelemahan telah terjadi di kelompok ini, bahkan mereka terkikis dari peran kehidupan. Para guru sufi yang memberikan petunjuk kebenaran telah lewat. Sedikit sekali para pemuda yang mengikuti jejak dan perilaku kehidupan mereka. Sehingga, sifat wira’i menjadi tergeser dari nilai kehidupan; kesederhanaan menjadi tergulung; sifat tamak menjadi lebih dominan dan kuat; hati terjauh dari rasa hormat pada syari’at, dan sedikit yang bisa dihitung dari mereka yang benar-benar menaruh perhatian pada agama, dan akhirnya banyak manusia yang menyepelekan batas ketentuan hukum antara yang haram dan halal.

Sebagaimana sikap mereka yang meremehkan pelaksanaan ibadah, maka terhadap kewajiban puasa dan shalat pun mereka berbuat sama. Manusia ini membiarkan langkah-langkahnya menjelajahi lapangan yang menyebabkan dirinya lupa; menekuni kecondongan yang mengikuti hawa nafsu; sedikit menaruh perhatian pada pemberian yang belum jelas status hukumnya; dan mencari perlindungan dari legitimasi dukungan rakyat, wanita, dan pemegang kekuasaan.

Kemudian, kelompok sufi tidak rela dengan transaksi saling memberi yang bersumber dari kebusukan sikap, sehingga mereka menunjukkan ketinggian nilai hakikat dan perilaku batin. Mereka mengaku telah terbebas dari belenggu perbudakan (nafsu); membuktikan pencapaian hakikat wishal (ketersambungan ruhani suci salik dengan Ruhani Maha Suci). Kaum sufi ini berdiri tegak di atas garis hakikat; hukum-hukum Tuhan mengalir damai di denyut kehidupan mereka; dan tidak ada bagi Allah terhadap mereka tentang sesuatu yang membuat mereka mengutamakan lalu memilih-Nya. Sesungguhnya mereka ini seandainya telah tersingkap rahasia-rahasia keesaan-Nya, tentu semua yang bersifat universal dari keseluruhan alam bagi wujud kehendak keesaan-Nya akan terenggut di genggaman mereka; hukum-hukum kemanusiaan akan tergeser dari mereka; dan mereka akan tetap dengan cahaya perlindungan-Nya setelah peleburan sifat kemanusiaan. Maka, Tuhan yang berbicara tentang mereka ketika mereka bicara dan menggantikan mereka ketika mereka bertindak atau ditindaki. Tuhan telah menyatu dalam gerak tangan, kaki, lidah, dan otak kehidupan mereka.

Motivasi Penulisan

Ketika cobaan hidup yang berat memanjang dalam kehidupan kami, kemudian diiringi cobaan-cobaan lain yang menjadi kisah tersendiri, maka kami merasa tertuntut untuk memaparkan makna tujuan kehidupan kepada lidah yang ingkar dan dengki terhadap aliran thariqah. Kebencian yang didasarkan perasaan iri menyebabkan mereka menyebut para pengikut thariqah dengan sebutan yang jelek dan menimpakan berbagai cacat dan aib sejarah pada kuduk ahli thariqah. Ujian yang berat ini terus menghajar kelompok-kelompok penghuni biara sufistik, bahkan mereka semakin menjadi-jadi.

Dan, ketika berpikir bahwa kelemahan telah pupus, maka saya berharap semoga Allah melimpahi peringatan yang lembut kepada kelompok penentang sunnah dan pelaku pelecehan nilai-nilai etika thariqah.

Ketika waktu menolak kecuali hanya bermuatan tuntutan kesulitan dan kebanyakan para penghuni biara (kaum sufi) di zaman ini hidup dalam teror dan intimidasi secara terus-menerus, maka saya bersimpati dan mengasihi hati mereka yang luka dengan membangunkan sebuah kaidah, tuntunan, dan petunjuk-petunjuk cara bermunajat, yang semua itu didasarkan atas nilai-nilai keislaman zaman sahabat dan para tabi’in (yang bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah Saw.). Karena itu, kehadiran Risalah ini sengaja saya persembahkan kepada kalian, wahai hamba-hamba yang dimuliakan Allah. Di dalamnya juga disebutkan beberapa otobiografi para guru thariqah (kaum sufi) menyangkut perilaku, akhlak, sikap, kebiasaan, dan akidah mereka; juga beberapa penemuan keruhanian yang mereka dapatkan dan cara-cara penapakan pencapaian tingkat kewalian dari awal hingga batas akhir. Semua itu saya lakukan dengan tujuan supaya para pengikut thariqah (pendaki ruhani) menjadi kuat. Dari kalian saya memiliki bukti dengan pembetulan; penularan pengaduan batin hamba yang dicinta Allah adalah kesenangan yang saya miliki. Hanya dari Allah Dzat Yang Maha Mulia segala kemuliaan dan ganjaran berasal. Kepada-Nya saya minta pertolongan tentang apa yang saya tuturkan dan apa yang saya minta untuk dicukupi. Saya juga minta perlindungan untuk dipelihara dari kesalahan; memohon ampun dan kesertaan-Nya dalam segala yang saya mohon. Dia dengan segala keutamaan adalah patut dan terhadap apa yang dikehendaki-Nya berkuasa.

438 H./1046 M.

Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi

🟢 Bab I: Dasar-Dasar Tauhid Menurut Kaum Sufi

Ketahuilah, wahai hamba-hamba yang dikasihi Allah, sesungguhnya para guru kaum sufi telah membangun kaidah-kaidah ajaran sufi yang didasarkan atas prinsip ketauhidan yang benar. Mereka menjaganya dari bid’ah; mendekatkannya dengan sesuatu yang mereka dapatkan dari para salaf (satu istilah pengelompokan umat secara periodik yang merujuk pada golongan terdahulu, yaitu generasi para tabi’in yang mengikuti jejak para pendahulunya) dan ahli sunnah (Rasulullah Saw. dan para sahabat). Ajarannya tidak didapati unsur-unsur penyerupaan pada Al-Haqq (panteisme) dan peniadaan (ateisme). Mereka mendefinisikan segala sesuatu dengan penyandaran kepemilikan tunggal kepada Haqqul-Qadam (alam yang baru adalah kepunyaan Dzat Yang Terdahulu); menyatakan sesuatu yang ada dengan sifat ketiadaan (ada yang bersifat nisbi).

Oleh karena itu, seorang guru sufi terbesar, Imam al-Junaid, semoga Allah selalu merahmatinya, berkata, “Tauhid adalah pengesaan pada Yang Lama dari yang baru.” Beberapa ketentuan dasar hukum tentang akidah oleh sejumlah pembesar kaum sufi telah digariskan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan kesaksian-kesaksian yang tampak.

Dalam hal ini Imam Ahmad bin Muhammad aI-Jariri, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Barangsiapa (yang keagamaannya) belum berdiri di atas (prinsip) ilmu tauhid dengan satu kesaksian dari berbagai kesaksian (pembuktian keesaan Tuhan yang didasarkan pada keyakinan dan sikap yang nyata setelah memasuki alam logika yang benar), maka tapak-tapak kaki penipu pasti akan menggelincirkannya ke lembah nafsu kerusakan.” Artinya, barangsiapa yang berlindung pada prinsip taklid (pengekoran pada suatu pendapat tanpa didasari pengertian dasar dan tujuannya) dan tidak berpikir tentang dalil-dalil tauhid, maka dia akan jatuh dari jalan yang dapat menyelamatkannya, yaitu sunnah Nabi, dan tertawan di lembah kerusakan. Sedangkan bagi orang yang mau merenungkan beberapa kalimat dan ucapan para guru sufi lalu menelitinya dengan seksama, merenungkannya dengan sungguh-sungguh, maka pada beberapa pendapat, kesepakatan, dan perbedaan di antara mereka akan dijumpai sesuatu yang akan memperkuat perenungannya, dengan satu kesimpulan bahwa suatu kaum tidak dapat melalaikan hakikat kebenaran (dalam proses pencarian hakikat) dari tujuan akhir dan tidak dapat mi’raj (ruhaninya) ke langit dalam pencariannya dengan berpijak pada kelalaian.

1. Ma’rifatullah

Abu Bakar asy-Syibli pernah berkata demikian, “Allah Dzat Yang Esa diketahui keesaan-Nya sebelum ada batasan dan huruf. Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi Dzat-Nya dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya.”

Berkaitan dengan ini, Imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang permulaan kewajiban yang diwajibkan Allah pada hamba-Nya yang oleh beliau dijawab, “Ma’rifat.” Hal itu didasarkan pada firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku).” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Oleh Ibnu Abbas “illā liya’ budūn” (kecuali untuk menyembah-Ku) diartikan “illā liya’ rifūn” (kecuali untuk berma’rifat yaitu mengetahui, sadar, dan yakin akan keberadaan Allah).

Imam al-Junaid berkata, “Sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui Sang Pencipta atas keterciptaan dirinya; kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya; sifat keperbedaan Sang Pencipta dari sifat makhluk; sifat keperbedaan “Dzat Yang Lama” dari “yang baru” (alam); menurut pada ajakan-Nya; dan mengetahui keharusan diri untuk bertaat kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat Sang Penguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk siapa.”

Menurut Abu Thayib al-Maraghi, setiap unsur dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada Allah. Akal, menurutnya, memiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi isyarat, dan ma’rifat memberi kesaksian secara utuh. Akal menunjukan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata Imam al-Junaid, tauhid berarti pengesaan Dzat Yang Esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-Nya. Sesungguhnya Dia Dzat Yang Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-Nya juga dengan peniadaan terhadap sesuatu yang berlawanan, kesamaan, dan keserupaan. Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiasian, dan penyimbolan. Tak satu pun di semesta alam ini yang menyamai-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.

Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar az-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama; artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap atheis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada Tuhan dari keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan).

2. Sifat-sifat Allah

“Tauhid adalah pengetahuan Anda bahwa bagi Dzat Allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifat-Nya,” kata Abu Hasan al-Busyanji.

Sementara Husin bin Manshur mendefinisikannya dengan rumusan berbeda, meski nuansa artinya sama. Menurutnya sifat “Lama” adalah bagi-Nya. Karena itu, sesuatu yang dengan jasad penampakannya dapat menjadi, maka penampakan untuk menjadi adalah keharusan; sesuatu yang dengan berbagai perangkat keterkumpulannya dapat menjadi, maka perangkat yang memperkuat keberadaannya untuk menjadi adalah keharusan, yaitu suatu keharusan menjadi atau mengada yang sifatnya untuk mempertahankan keberadaannya; sesuatu yang waktu merajutnya, maka pemisahan waktu adalah lawannya; sesuatu yang tegaknya berkaitan dengan lainnya, maka perekatan di situ menjadi keniscayaan; dan sesuatu yang khayalan mampu menerkamnya, maka penggambaran harus lebih mengunggulinya. Barangsiapa mencari dan memberi perlindungan di mana tempat-Nya berada, maka Tuhan tidak berlindung di tempat atas, tidak di bawah, tidak menerima pembatas, tidak didesak dengan keterhimpitan selain-Nya di sisi-Nya, tidak dijangkau oleh yang belakang, tidak dipagari oleh yang depan, tidak dimunculkan oleh yang sebelum-Nya, tidak dikumpulkan oleh yang terkumpul, tidak diadakan oleh yang ada, tidak ditiadakan oleh yang tidak ada. Sifat-Nya tidak bersifat (bergambar), perbuatan-Nya tidak bersebab, keberadaan-Nya tidak berbatas, segala-Nya terbebas dari tingkah laku makhluk. Kemahapenciptaan-Nya tidak ada pasangan-Nya, perbuatan-Nya tidak ada alasan. Keterdahuluan-Nya jelas dan kebaruan makhluk juga jelas.

Jika kamu mengatakan, “waktu telah berlalu”, maka keberadaan-Nya sungguh melampaui waktu yang berlalu; jika kamu mengatakan, “Huwa” – kata ganti tunggal untuk Allah yang berarti Dia, maka huruf “Ha’” dan “Wawu” itu sendiri adalah makhluk; dan jika kamu bertanya, “Di mana?”, maka keberadaan-Nya telah mendahului tempat.

Huruf-huruf adalah ayat-ayat-Nya (tanda-tanda-Nya); keberadaan-Nya adalah ketetapan-Nya; ma’rifat-Nya adalah pengesaan terhadap-Nya; pengesaan-Nya adalah membedakan-Nya dari makhluk-Nya. Apa yang tergambar dalam khayalan adalah berbeda dengan keberadaan-Nya. Bagaimana sesuatu yang dari-Nya bertempat adalah permulaan sesuatu itu, atau kembali kepada-Nya apa yang telah disusun-Nya. Persangkaan-persangkaan tidak mampu menerima Tuhan. Kedekatan-Nya adalah karamah-Nya dan keterjauhan-Nya adalah penghinaan-Nya. Ketinggian-Nya tanpa naik; kedatangan-Nya tanpa berpindah. Dia adalah Dzat Yang Pertama, Terakhir, Tampak, Tersembunyi, Dekat, Jauh, dan tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.

Yusuf bin Husin bercerita, “Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Dzun Nun al-Mishri lalu bertanya, ‘Beritahukan padaku tentang makna tauhid?’ Lalu oleh Beliau dijawab, “Hendaknya engkau mengetahui bahwa kekuasaan Allah dalam segala hal tanpa kerja sama; penciptaan-Nya tanpa sebab atau alasan; penyebab keterciptaan sesuatu itu sendiri juga ciptaan-Nya. Karena itu, tidak ada sebab yang melatarbelakangi penciptaan-Nya. Tak ada yang di langit dan di bumi menjadi tinggi dan rendah sebagai bentuk pengaturan alam yang diatur selain Allah. Apa yang terlukis di khayalan manusia adalah berbeda dengan keberadaan Allah.’”

Bagi Imam al-Junaid, tauhid berarti pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah Dzat Yang Tunggal dalam keabadian dan keterdahuluan-Nya; tak ada pihak kedua yang menyertai-Nya. Apa pun yang bergerak di alam tidak bekerja dengan sendirinya.

3. Iman

Iman menurut Abu Abdullah bin Khafif adalah pembenaran hati terhadap sesuatu yang telah dijelaskan oleh Al-Haqq tentang masalah-masalah ghaib.

Dalam hal ini lmam Abu Abbas as-Sayyari berkata bahwa pemberian Allah ada dua: karamah (kemuliaan) dan istidraj (pengluluan, Jawa). Apa yang tetap dan ditetapkan Al-Haqq kepada kamu adalah karamah; dan apa yang lenyap darimu adalah istidraj. Karena itu, katakan, “Saya adalah orang mukmin Insya Allah.”

Sahal bin Abdullah at-Tustari memandang bahwa orang mukmin dalam memandang Allah dengan penglihatan tanpa pagar dan pangetahuan yang tak berakhir. “Hati adalah sejumlah kesaksian Al-Haqq,” kata Abu Husin an-Nuri, “dan kami belum pernah melihat hati yang lebih rindu kepada Al-Haqq melebihi hati Muhammad Saw. Karena itu, Allah memuliakannya dengan mi’raj yang bergerak dengan sangat cepat. Kehadiran dalam mi’raj nya untuk memandang Dzat dan kesempurnaan-Nya.”

Abu Utsman al-Maghribi pernah menuturkan pengalaman spiritualnya. “Suatu saat,” tuturnya, “saya pernah mempercayai keberadaan sesuatu di sisi yang baru. Ketika saya tiba di Baghdad, kepercayaan itu hilang dari hati saya, lalu saya menulis surat kepada teman-teman saya di Mekkah dan mengatakan, ‘Sesungguhnya sekarang saya menjadi seorang muslim yang baru.’ Pada kali kesempatan lain, dia pernah ditanya oleh seseorang tentang penciptaan, lalu menjawab, “…perubahan-perubahan (evolusi) dan bayangan-bayangan terdapat hukum Tuhan yang berlaku kepada mereka.”

Al-Wasithi pernah berkata, “Ketika sejumlah ruh dan jasad berdiri berjajar di sisi Allah, keduanya nampak tidak dengan zatnya. Demikian pula halnya dengan getaran-getaran hati dan gerakan-gerakan organ tubuh yang berdiri dengan Allah tanpa keberadaan zatnya, karena gerakan dan getaran hati merupakan perpanjangan bagian dari jasad dan ruh.”

4. Rezeki

Sesungguhnya rezeki yang diterima setiap hamba adalah makhluk Allah. Segala sesuatu di alam ini, baik yang bersifat fisik atau non fisik, memiliki jasad atau tidak adalah ciptaan Allah. Tidak ada pencipta selain-Nya.

“Yang Dicari” (Allah) akan sampai Kepada-Nya, maka pelakunya itu adalah orang yang payah; dan jika pencarian untuk sampai kepada-Nya itu tanpa upaya yang keras, maka pelakunya adalah orang yang dianugerahi.” Al-Maqamat (sesuatu yang dicari), menurut al-Wasithi, terbagi dalam beberapa bagian dan sifat-sifat atau tempelan-tempelan yang diganjarkan. Maka, bagaimana perolehannya tergantung dengan gerakan-gerakan dan upaya-upaya yang panjang dan sungguh-sungguh.

5. Kufur

Seorang ulama besar, al-Wasithi suatu saat ditanya tentang arti kufur pada Allah. Ia menjawab bahwa kufur dan iman, dunia dan akhirat adalah dari, menuju, dengan, dan bagi Allah. Dari Allah segala permulaan dan susunan; kepada-Nya tempat kembali dan berakhir; bersama-Nya sesuatu yang tetap dan lenyap dan bagi-Nya semua kerajaan dan ciptaan.

Menurut al-Junaid, ada seorang ulama ditanya tentang tauhid, dia menjawab, “keyakinan”. Penanya itu minta kejelasan lagi, lalu dijawab oleh beliau, “Yakni, ma’rifatmu (pengetahuanmu) bahwa semua gerak dan diamnya makhluk merupakan perbuatan Allah semata, tak ada yang menandingi-Nya. Karena itu, jika kamu berbuat demikian, berarti kamu benar-benar telah meng-Esakan-Nya.”

Pernah seseorang datang dan meminta Dzun Nun al-Mishri, seorang ulama sufi Mesir untuk mendoakanya, “Doakanlah aku,” katanya. Kemudian dijawab, “Jika engkau telah memperkuat ilmu ghaib (pengetahuan tentang masalah ghaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, akhirat, dan lain-lain) dengan kebenaran tauhid, maka doa pasti terkabulkan. Jika tidak, maka doa tidak akan menyelamatkan orang yang tenggelam.”

Menurut Abu Husin an-Nuri, tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali ar-Rudzabari ketika ditanya tentang tauhid menjawab demikian, “Tauhid adalah ketetapan hati secara kontinu dan stabil akan keesaan-Nya dengan penetapan pemisahan pengingkaran Tuhan (atheisme) dan penyerupaan (penyekutuan Tuhan). Tauhid mengkristal dalam satu kalimat, yaitu setiap apa yang bisa digambarkan khayal dan akal adalah bukan Tuhan Allah. Allah Maha Suci dari semua itu.

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“tak ada keserupaan sedikit pun bagi-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syura [42]: 11)

Abul Qasim an-Nashr Abadzi berkata, “Surga itu tetap dengan penetapan-Nya; penyebutan-Nya bagimu, rahmat, dan kecintaan-Nya untukmu adalah tetap juga dengan penetapan-Nya. Keduanya ada antara ketetapan dan penetapan-Nya, dan penetapan yang ditetapkan-Nya.”

Ahlul Haqq (kaum hakikat) mengatakan, “Sesungguhnya sifat-sifat Dzat Yang Qadim (Maha Dahulu) adalah tetap dengan ketetapan-Nya, berbeda dengan yang dikatakan oleh para penentang Al-Haqq.”

An-Nashr Abadzi berkata, “Engkau terombang-ambing antara sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah yang mempertegas kehakikatan-Nya. Jika kelinglunganmu karena kecintaanmu pada Allah berada di maqam (tingkat posisi kema’rifatan) perpisahan, maka kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat perbuatan-Nya; dan jika pencapaianmu sampai di maqam jam’i (terkumpul atau penyatuan hamba dengan Allah), maka kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat Dzat-Nya.”

Abu Ishaq al-Asfarayaini, seorang guru spiritual bergelar imam, menuturkan kisah perjalanan spiritualnya, “Ketika tiba dari Baghdad, aku mengajar di mesjid Naisabur tentang masalah ruh. Aku jelaskan bahwa ruh adalah makhluk. Saat itu Abul Qasim an-Nashr Abadzi yang sedang duduk berjauhan dari majelis kami memperhatikan kalimat-kalimatku dan melewatinya beberapa hari hingga batas waktu tertentu yang membuatnya tak kuasa untuk tidak mengatakan perubahan jiwanya kepada Muhammad al-Farra’. ‘Saya bersaksi,’ akunya, ‘bahwa saya telah menjadi seorang muslim yang baru melalui tangan laki-laki itu,’ lanjutnya sambil menunjuk ke arahku.”

“Kabarkan padaku tentang Allah,” tanya seseorang kepada Yahya bin Mu’adz.

“Dia Tuhan Yang Esa.”

“Bagaimana Dia?”

“Dia Raja Yang Berkuasa.”

“Di mana Dia?”

“Di tempat pengintaian.”’

Penanya itu tidak puas dengan jawaban Ibnu Mu’adz. “Aku tidak bertanya kepadamu tentang itu,” katanya kemudian. “Apa ada selain itu.”

Ibnu Syahin pernah bertanya kepada Imam al-Junaid tentang makna ma’a (bersama), lalu oleh Beliau dijawab, “Ma’a mempunyai dua arti. Bersama para Nabi, ma’a berarti pertolongan dan perlindungan, berdasar firman Allah Ta’ala:

اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى

“Sesungguhnya aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.”” (QS. Thaha [20]: 46)

Kedua, ma’a (bersama) umum adalah ma’a yang berarti ilmu pengetahuan Allah dan peliputan, dengan dasar firman-Nya:

مَا يَكُوْنُ مِنْ نَّجْوٰى ثَلٰثَةٍ اِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya.” (QS. al-Mujadalah [58]: 7)

Kemudian Ibnu Syahin berkata, “Orang seperti Anda patut menjadi penunjuk bagi umat menuju Allah.”

6. ‘Arasy

Dzun Nun al-Mishri pernah ditanya seseorang tentang ayat yang berbunyi:

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

“Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas arasy.” (QS. Thaha [20]: 5)

Lalu dijawab, “Dzat-Nya tetap, tempat-Nya tidak ada, sebab Dia ada dengan Dzat-Nya; sedang segala sesuatu ada dengan hukum-Nya menurut kehendak-Nya.”

Sedangkan menurut asy-Syibli firman itu bermakna: ar-Rahman bersifat kesenantiasaan (tidak bergeser), al-Arasy (singgasana-Nya) bersifat baru, dan Arasy pada ar-Rahman bersemayam. Adapun Ja’far bin Nashr mengartikannya bahwa ilmu-Nya menyeluruh dengan segala sesuatu. Karena itu, tak ada sesuatu yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.

Ja’far ash-Shadiq berkata, ’Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah dalam, dari, dan di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik. Karena, jika Dia berada dalam sesuatu, niscaya Dia terkurung; jika dari sesuatu, maka Dia baru (tercipta); dan jika di atas sesuatu, berarti Dia terpikul.”

Kemudian dia melanjutkan dengan mengomentari ayat:

ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۙ

“Kemudian dia mendekat lalu bertambah dekat lagi.” (QS. an-Najm [53]: 8)

Menurutnya, orang yang menduga bahwa dirinya telah dekat (pada Allah) pada hakikatnya dia menciptakan jarak. Sesungguhnya kesalingdekatan seorang hamba dengan Allah adalah ketika kedekatan dari-Nya setelah kejauhan dari macam-macam pengetahuan, karena tak ada yang dekat dan jauh.

“Hakikat kedekatan,” kata al-Kharraz, “adalah hilangnya rasa pada sesuatu dari hati berganti ketundukan nurani kapada Allah.”

Suatu saat Ibrahim al-Khawwash melihat sesuatu yang aneh. “Saat aku berhenti di hadapan seorang laki-laki yang barusan dibanting setan,” kisahnya, “aku bermaksud mengazaninya melalui telinganya. Tiba-tiba setan menegurku dari rongga badannya, “Tinggalkan dia! Aku akan membunuhnya karena ucapannya yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.’”

Menurut Ibnu Atha’ bahwa Allah ketika menciptakan huruf, baginya diciptakan pula rahasia; dan ketika Adam as. telah tercipta, Allah menebarkan rahasianya ke dalam dirinya dan tidak kepada satu malaikat pun. Lalu huruf-huruf itu berjalan di lidah Adam as. dengan hukum pembiasaan dan undang-undang bahasa; lalu oleh Allah dilengkapinya dengan bentuk.

Bagi Ibnu Atha’ huruf adalah makhluk. Karena itu, Sahal bin Abdullah berpendapat bahwa huruf-huruf merupakan lidah perbuatan, bukan lidah zat, karena huruf itu sendiri berbuat yang diperbuat (aktif dalam kepasifan; tidak bergerak dengan sendirinya).

Tawakkal kaitannya dengan tauhid menurut Imam al-Junaid ketika menjawab beberapa pertanyaan penduduk Syam adalah perbuatan hati. “Tawakkal adalah perbuatan hati, sedangkan tauhid ucapan hati,” begitu katanya.

Husin bin Manshur berkata, “Barangsiapa mengetahui hakikat tauhid, pasti akan gugur darinya pertanyaan mengapa dan bagaimana.”

Al-Wasithi berkata, “Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia dari ruh.”

7. Dzat Yang Al-Haqq

Beberapa guru spiritual thariqah (guru sufi yang mengamalkan salah satu aliran thariqah) ini berbicara tentang hakikat tauhid. Tauhid itu berkisar pada pengesaan Allah dan sifat-sifat-Nya. Sesungguhnya Allah, Dzat Yang Maha Suci adalah ada (dengan sendirinya),” kata mereka, “Terdahulu, Satu, Bijak, Kuasa, Maha Tahu, Maha Pemaksa, Pengasih, Penguasa Kehendak, Mendengar, Maha Luhur, Maha Tinggi, Maha Bicara, Maha Melihat, Maha Pembesar, Maha Pemberi ketentuan, Maha Hidup, Esa, Tetap, dan tempat bergantung.”

Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya sendiri, Kuasa dengan kekuasaan-Nya, berkehendak dengan kehendak-Nya, mendengar dengan pendengaran-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berbicara dengan pembicaraan-Nya, hidup dengan kehidupan-Nya, dan tetap dengan ketetapan-Nya.

Dia memiliki dua tangan sebagai sifat-Nya yang dengan keduanya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha Suci Tuhan Allah atas pengkhususan-pengkhususan. Bagi-Nya wajah yang amat indah.

Sifat-sifat Dzat-Nya khusus dengan Dzat-Nya; tidak bisa dikatakan dia (perempuan) adalah dia (laki-laki); tidak juga Dia yang berubah-ubah, bahkan dia (Hiya) itu sendiri adalah Sifat-Nya yang azali (terdahulu). Sifat-sifat-Nya kokoh dan panjang.

Dia sesungguhnya Esa dalam Dzat-Nya; tidak juga Dia menyerupai makhluk-Nya. Dia tidak berjasad, beraga, berjiwa, tak ada sifat-sifat yang lembut, tak tergambarkan dalam khayal, tidak terukur dalam yang masuk akal, tidak berarah dan bertempat; tidak ada waktu dan zaman yang menjalankannya; dan tidak boleh dalam pensifatan-Nya mengurangi dan menambah.

Tidak ada bentuk dan ukuran yang mencirikan-Nya, tidak ada akhir dan batas yang memutuskan-Nya; tak ada kejadian yang menindih-Nya, tidak ada motivator yang membawa-Nya pada perbuatan; tak ada warna dan keberadaan yang boleh mewarnai-Nya; dan tak ada perpanjangan dan bantuan yang menolong-Nya.

Sesuatu yang telah ditentukan tidak bisa keluar dari ketentuan-Nya; yang tercipta tidak bisa terlepas dari hukum-Nya; bagaimana dan apa yang dibuat oleh-Nya tidak tercela. Allah juga tidak boleh dikatakan “di mana dan bagaimana Dia”.

Keberadaan-Nya tidak dimulai; tidak juga bisa ditanyakan kapan keberadaan-Nya. Sifat kekal-Nya tidak berakhir. Karena itu, Dia dikatakan sebagai Dzat yang menyempurnakan ajal dan zaman, dan tidak boleh dikatakan mengapa Dia berbuat dan apa yang diperbuat, karena semua perbuatan-Nya tidak mempunyai sebab atau alasan.

Tuhan, keberadaan-Nya tidak boleh dipertanyakan tentang apa-Nya, karena bagi-Nya tidak berjenis sehingga membutuhkan simbol-simbol dan ciri-ciri pembeda yang menandai bentuk-Nya. Dia dilihat tidak dari sisi berhadapan yang berlawanan; melihat lain-Nya tidak dari persamaan-Nya; dan Dia menciptakan tidak dari hasil persenggamaan, kerjasama dan latihan.

Bagi-Nya nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang luhur. Dia berbuat apa yang dikehendaki dan menundukkan hamba-Nya pada hikmah-Nya. Tidak berjalan dalam kekuasaan-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak akan terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan telah didahului oleh suatu ketentuan.

Dia Tuhan Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, yang baik maupun yang buruk; direproduksi-Nya pula apa yang ada di dalam, baik yang kasat maupun yang tak kasat mata, berujud atau hanya berupa bayang-bayang; para Rasul diutus-Nya kepada seluruh umat tanpa Dia harus terikat dengan kewajiban; diharuskannya manusia menyembah melalui lidah para Nabi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam-Nya, dengan sesuatu yang tak ada bagi siapa saja yang mampu mengecam maupun menentang-Nya (berpaling); diperkuat-Nya Nabi kita Muhammad Saw. dengan beberapa mukjizat yang tampak dan ayat-ayat yang indah, dengan sesuatu yang menyingkirkan uzur, mempertegas keyakinan dan mengidentifikasikan kemungkaran. Allah juga menjaga kecermelangan Islam setelah kewafatan Nabi-Nya yang mulia dengan para khalifah yang diberi petunjuk; kemudian memelihara yang haq dan menolongnya dengan memberi penjelasan berupa argumen-argumen agama melalui lidah para wali-Nya, menjaga umat yang bersih dari masyarakat yang sesat, memotong materi (ajaran) yang salah dengan dalil yang mantap; dan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya berupa kemenangan agama dengan firman-Nya berupa kemenangan agama:

لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

“Agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang orang musyrik benci.” (QS. ash-Shaff [61]: 9)

🟢 Bab II: Istilah-istilah Tasawuf

Sesungguhnya tiap kelompok ulama memiliki beberapa istilah yang dipakai secara khusus. Pemakaian itu memiliki ciri tersendiri dan terpisah dari lainnya. Mereka menciptakannya melalui kesepakatan pendefinisian yang mufakat untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, seperti pendekatan pemahaman pada sasaran dialog atau mendudukkan makna suatu istilah di atas garis yang sepadan.

Istilah-istilah yang mereka pakai berkaitan dengan permasalahan mereka; ditujukan untuk menyingkap arti suatu masalah bagi kepentingan diri mereka; dan menutup para penentang ajaran mereka, sehingga makna istilah yang terpakai secara khusus itu menjadi tertutup bagi pihak-pihak lain dan sumber kecemburuan penyingkapan rahasia bagi kelompok-kelompok lainnya. Hal itu dikarenakan tak ada hakikat yang terkumpul satu macam beban hukum atau terperoleh dengan hanya dengan satu langkah perjuangan; justru makna itu telah disediakan Allah dalam hati suatu kaum dan menjernihkan hakikat beberapa rahasianya.

Kami di sini ingin menjelaskan makna istilah-istilah itu untuk mempermudah pemahaman bagi orang yang menekuni dan mendalami arti kehidupan orang yang berlaku batin (riyadhah) di dunia thariqah dan tasawuf¹ [¹ Ungkapan sufistik menurut sebagian sufi merupakan cerminan dari kegelisahan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Mereka mengekspresikan keadaan diri, getaran spiritual, lintasan hati, bisikan nurani, rasa kerinduan yang tidak bisa ditangkap atau dipenuhi dengan gambaran kata-kata atau istilah karena gerakannya yang memang sangat cepat, atau tidak ada padanan istilah di alam riil sebagai bentuk gambaran konkret.

– Saya melihat mereka berjalan di jalan kaum setelah tuntas menyelesaikan ilmu-ilmu syari’at dan paham al-Qur’an serta kehidupan Rasulullah Saw. Karena itu, saya lihat ungkapan-ungkapan mereka sangat lembut, detil, dan halus. Apa yang mereka katakan dan nukil lebih menyelamatkan dan sangat proporsional. Mereka banyak memberi faedah bagi dunia ilmu, di antaranya Imam al-Junaid.

– Kaum sufi dalam pemaparan istilah-istilah sufinya tidak perlu memakai gaya bahaya kiasan atau menutupi makna-maknanya. Mereka jika mengatakan kebenaran suatu hal, hampir tidak seorang pun kaum bijak yang menolaknya, baik dari kalangan ulama sufi sendiri, ulama fiqih, ulama al-Qur’an, dan ulama hadits. Mereka jika mengatakan sesuatu tidak pernah lepas dari dalil logika dan tidak bertentangan dengan dalil naqli (al-Qur’an dan hadits).

– Ada kalanya ungkapannya merupakan terjemahan berbagai rasa dan keadaan batin yang sudah matang tetapi belum dipetik, kemudian kami menisbatkannya pada makna hakikat, tasawuf atau kema’rifatan ahlullah (orang yang hidupnya hanya dan selalu diproyeksikan, ditujukan, diperuntukkan, dikorbankan untuk Allah). Inilah yang tidak diterima oleh sebagian besar ahlul ilmi.

– Ketika kalimat-kalimat ahlullah diarahkan pada pemberian hidayah pada manusia atau untuk membuktikan keberadaan rahasia-rahasia kebahagiaan dan kema’rifatan dengan berbagai jalan yang memungkinkan manusia untuk melaluinya, maka mengapa kita harus berpaling atau berlindung pada bentuk-bentuk kalimat kiasan atau sindiran. Lebih-lebih al-Qur’an sendiri diturunkan untuk memberikan hidayah den rahmat kepada seluruh alam. Tidak sesuatu pun setelah Al-Haqq.

– Tidak ada halangan untuk mewujudkan kata-kata baru dan ungkapan-ungkapan yang tidak memungkinkan bagi manusia untuk membaca atau mendengarnya (memahami) dari esensi yang dimaksud. Karena, setiap ilmu, cabang atau bidang pengetahuan apapun pasti memiliki kata-kata, istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan sendiri-sendiri. Dari sisi ini memungkinkan bagi kita untuk menjelaskan dan menafsirinya.

– Akan tetapi, kami tidak akan bermaksud mengatakan bahwa pembicaraan kami terhenti sampai di sini, yaitu pada pos-pos jalan kami yang tercegah bagi orang lain untuk memahaminya. Artinya, kami tidak memaksudkan bahwa penjelasan ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, yaitu kelompok kami.

– Yang jelas para sufi tidak akan memberikan jawaban ketika ditanya dengan mengatakan, “Yang kami maksud seperti ini, tidak seperti itu.” Ini jelas membingungkan yang memungkinkan sekali menciptakan prasangka buruk pada pemeluk Islam terhadap keseluruhan ahli thariqah. Mereka yang mengatakan demikian bukanlah ahli hakikat. Apa yang dikatakan tidak ada dalam Kitab Suci al-Qur’an atau hadits Nabi Saw. Jika apa yang kami katakan benar, maka kami mengungkapkannya dengan apa yang diungkapkan al-Qur’an dan Nabi Saw.

– Akan tetapi, dengan standar kami bahwa penelaahan istilah-istilah sufi pada tingkatan kematangan yang berbeda harus disentuh secara sempurna, di samping kita harus menyadari bahwa di antara mereka terdapat kaum yang berbicara dan menulis dalam berbagai keadaan batin yang berbeda-beda. Terkadang mereka mengatakan ketika dalam hal al-Mahwu (terhapus), terkadang juga dalam hal sadar.

– Terakhir, Imam Ibnu Taimiyah menafsiri masalah ini dengan tanpa memberi perlawanan. Tanggapannya jernih dan bersifat moderat. Beliau mengatakan, “Di sisi mereka ada yang ‘kurus’ ada juga yang ‘gemuk’. Di antara mereka terdapat ahli kebenaran, hakikat, kepahaman, dan makna-makna yang lembut; ada juga yang jauh dari hal ini (kelompok sesat).” Inilah penafsiran Beliau yang sempat direkam murid tersayangnya Ibnul Qayim dalam kitabnya Syarah Madarijus Salikin. Dia mengambil makna-makna tasawuf dengan ungkapan-ungkapan dan kalimat-kalimat yang diridhai ahli thariqah juga diridhai kelompok lain. Bahkan, dia menjadikan lidah syari’at yang suci dengan dibungkus makna-makan dan rasa batiniah mereka.].

1. Waktu

Hakikat waktu menurut ahli hakikat adalah kejadian atau peristiwa yang akan terjadi. Kejadiannya selalu digantungkan pada yang sedang terjadi. Peristiwa yang sedang terjadi merupakan waktu (sambungan) bagi peristiwa yang akan terjadi. Jika Anda mengatakan, “Penggalan pertama suatu bulan akan mendatangimu”, maka kedatangan itu merupakan sesuatu yang akan datang, sedangkan penggalan pertama suatu bulan adalah kejadian yang pasti sedang terjadi (selalu terjadi). Jadi, penggalan pertama suatu bulan adalah waktu yang akan terjadi.

Saya (asy-Syaikh) pernah mendengar Abu Ali ad-Daqaq (Gurunya), semoga Allah merahmatinya, berkata, “Waktu adalah apa yang engkau sedang di dalamnya.” Berarti, jika Anda di dunia, maka dunia itu waktumu. Jika Anda di ujung akhir waktu, maka di situ pulalah waktumu. Anda bergembira, maka gembira itu sendiri waktumu. Anda bersedih, maka kesedihan itu waktumu. Maksud dari ini semua adalah waktu merupakan sesuatu yang mengalahkan dan menguasai manusia.

Kebanyakan orang mengartikan waktu dengan sesuatu yang berada di putaran zaman. Suatu kaum pernah berkata, “Waktu adalah sesuatu di antara dua zaman.” Yakni, masa lalu dan yang akan datang (mengapit waktu sekarang).

“Seorang sufi adalah anak zaman,” Kata segolongan ulama sufi. Maksudnya, dia adalah orang yang sibuk dengan sesuatu yang diutamakan saat bekerja; menekuni sesuatu yang menjadi tuntutan-tuntutan hidupnya di saat sedang melaksanakannya. Dikatakan pula, “Kesibukan dengan hilangnya waktu lampau menyia-nyiakan waktu kedua.”

Kaum sufi mengartikan, waktu sebagai sesuatu yang mempertemukan mereka secara kebetulan (tanpa rancangan) dari rantai zaman (durasi waktu yang dikendalikan Al-Haqq), tanpa mereka bebas memilihnya untuk diri mereka. “Seseorang dengan hukum waktu,” kata kaum sufi. Artinya, dia pasrah pada sesuatu ghaib yang tampak tanpa punya kemampuan memilihnya. Dia dalam sesuatu yang bagi Allah tidak memiliki masalah; atau ketentuan dengan kebenaran syar’i. Kalau begitu, penyia-nyiaan sesuatu yang engkau telah diperintahkannya, pemindahan sesuatu yang di dalamnya sudah ada ketentuan, dan meninggalkan perhatian pada sesuatu yang terjadi dari dirinya karena pengurangan adalah bentuk sikap keluar dari agama.

Waktu ibarat pedang. Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian dan dengan “sedang” atau “yang akan datang” waktu mengalahkan.

Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika seseorang memperlakukannya secara lembut, ia akan selamat; dan jika sebaliknya, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi seseorang yang patuh pada hukum waktu, ia akan selamat; dan bagi yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya.

Barangsiapa yang bekerja sama dengan waktu, maka waktu akan menjadi miliknya; dan jika ia menghabiskannya, maka waktu akan memurkainya.

Saya (asy-Syaikh) pernah mendengar Abu Ali ad-Daqaq berkata, “Waktu adalah sesuatu yang membekukan dan dapat menggundulimu, tapi tidak membantahmu.” Artinya, seandainya waktu menghapus dan melenyapkanmu, maka seketika itu pula kamu pasti telanjang dan sirna. Namun, waktu tidak berbuat demikian. la hanya mengambil sebagian usiamu, tidak menghapus keseluruhan hidupmu.

setiap hari yang lewat
mengambil bagianku
mewariskan hati yang lelah
dan duka kemudian berlalu
sebagaimana penduduk neraka
jika telah matang kulitnya
maka akan dikembalikan seperti semula
agar mereka merasakan pedihnya siksa
tidaklah orang mati beristirahat
dengan kematiannya, tetapi kematian itu
hanyalah sebuah kematian kehidupan
sementara untuk hidup selamanya

Orang yang berakal adalah manusia yang mampu mempergunakan waktunya secara bijak. Jika waktunya cerah dan menegakkan, maka dia akan menegakkannya dengan syari’at; dan jika waktunya terhapus, maka yang mengalahkannya adalah hukum-hukum hakikat (suatu ungkapan yang mengartikan bahwa seseorang yang tenggelam dan hanyut dari kesadaran dirinya dan orang lain, maka dia disibukkan hanya dengan Al-Haqq dan terlepas dari makhluk).

2. Al-Maqam

Al-Maqam (untuk selanjutnya menggunakan kata “maqam” dengan membuang kata “Al”) adalah sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (seorang hamba perambah kebenaran spiritual dalam praktek ibadah) dengan melalui beberapa tingkatan mujahadah secara gradual; dari suatu tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqam berikutnya dengan sebentuk amalan (mujahadah) tertentu; sebuah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Ketika itu, seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk menduduki sebuah maqam (proses pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqam yang sedang dikuasainya. Karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyadhah.

Seseorang tidak akan mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, dan syarat-syarat maqam yang hendak dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersikap qana’ah (maqam qana’ah, yaitu kondisi batin yang puas atas pemberian Allah, meski amat kecil), sikap pasrahnya (tawakkal atau maqam tawakkal), tidak sah; orang yang belum mampu berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totalitas dirinya (kemuslimannya) tidak sah; orang yang belum tobat, penyesalannya tidak sah; dan orang yang belum wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum), ke-zuhud-annya tidak sah. Berarti, maqam zuhud, umpamanya, tidak mungkin tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i (maqam wira’i).

Maqam, arti yang dimaksud adalah penegakan atau aktualisasi suatu nilai moral; sebagaimana al-madkhal (tempat masuk), penunjukan artinya memusat pada makna proses pemasukan; dan al-makhraj (tempat keluar) mengacu pada arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan maqam seseorang tidak dianggap sah, kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqam yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.

Saya pernah mendengar asy-Syaikh Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika al-Wasithi memasuki kota Naisabur, dia bertanya pada para pengibut Abu Utsman, ‘Apa yang diperintahkan guru kalian?’

‘Beliau memerintahkan kami supaya berpegang teguh pada sikap taat dan selalu memandangnya kurang (meski sudah bersikap taat secara optimal).’

‘Sebenarnya guru kalian hanya memerintahkan ajaran Majusi,’ sanggah al-Wasithi, ‘Mengapa dia tidak memerintahkan kalian peniadaan diri pada pengakuan aktualisasi ketaatan (al-ghibah) dengan memandangnya sebagai pertumbuhan yang wajar dan tempat proses aliran ketaatan yang ternisbatkan hanya pada Allah.'”

Sesungguhnya maksud al-Wasithi berbicara demikian adalah untuk menjaga mereka dari sikap heran pada dirinya sendiri (karena sudah merasa menjalankan nilai-nilai ketaatan, yaitu ujub dalam ibadah); supaya tidak tenggelam dalam perasaan selalu kurang atau membiarkan gangguan kelembutan etika ibadah tetap berjalan. Itu adalah peniadaan diri dengan pengadaan Diri Allah dalam segala aktivitas.

3. Al-Hal

Al-Hal atau Hal (keadaan) menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan, seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lainnya. Keadaan-keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal (keadaan) datang dari Yang Ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus-menerus; pemilik maqam memungkinkan menduduki maqam nya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik-turun (berubah-ubah) keadaan hatinya.

Salah seorang guru sufi berkata, “ Hal ibarat kilat, jika hal itu tetap, maka dia menjadi suara hati.”

Para guru sufi menyatakan bahwa hal, sebagaimana namanya menunjukkan arti tentang sesuatu (rasa, nilai, getaran) yang menguasai hati kemudian hilang.

seandainya hal tidak menguasai hati
maka dia tidak dinamakan hal
setiap yang bersifat keadaan (hal)
maka dia pasti hilang (bergeser)
lihatlah bayang-bayang
ketika sesuatu berhenti
dia selalu menjadikannya berkurang ketika sesuatu itu memanjang

Sementara kaum lain memberi isyarat tentang ketetapan dan kestabilan hal. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya hal ketika tidak bersifat tetap dan berturut-turut, maka dia disebut kilasan cahaya. Pemiliknya tidak sampai pada hal. Ketika sifat itu menjadi kesenantiasaan, maka dia dinamakan hal.”

Sedangkan Abu Utsman aI-Hiri berpendapat bahwa apa yang didirikan Allah kepadaku dalam suatu hal, lalu aku tidak menyukainya, maka itu menunjukkan adanya kesenantiasaan ridha, sementara ridha termasuk jumlah hal.

Dalam hal ini perlu dikatakan adalah seseorang yang apabila menunjukkan adanya ketetapan hal, maka benar apa yang dikatakannya; maknanya (kandungan hal) menjadi “minuman”nya sehingga dia terdidik dalam makna tersebut. Namun, bagi pemiliknya, hal itu justru merupakan cobaan yang tidak konstan, di mana pelampauannya itu akan menjadikan hal sebagai minumannya (tidak lagi bersifat cobaan, tapi pakaian atau sifat). Jika beberapa hal tersebut masih tetap merupakan cobaan, maka pemilik hal akan terus mendaki ke tingkat beberapa hal lain yang lebih halus, sehingga dia akan selalu dalam proses pendakian.

4. Al-Qabdhu dan Al-Basthu

Dua istilah tersebut merupakan dua keadaan (hal) setelah seorang hamba terjauhkan (telah melampaui dalam pendakiannya) dari dua keadaan (hal) yang lain, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Al-qabdhu (tercekam yang melebihi ketakutan seorang hamba membuat dirinya seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah) bagi seorang yang telah mencapai derajat ma’rifat (al-‘arif), kedudukannya sama dengan al-khauf bagi seorang musta’nif (pemula, yaitu istilah bagi seorang hamba yang baru menjalani laku batin atau memasuki dunia sufi atau thariqah). Begitu juga dengan al-basthu bagi al-‘arif kedudukannya sederajat dengan ar-raja’ bagi al-musta’nif.

Adapun perbedaan antara al-qabdhu dan al-basthu dengan al-khauf dan ar-raja’ terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas pendakian seorang hamba dalam pencapaian derajat ma’rifatullah. Al-khauf merupakan sesuatu yang hanya terjadi di masa yang akan datang. Mungkin ketakutannya (al-khauf) itu berupa kekhawatiran akan kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang ditakutinya. Demikian pula dengan ar-raja’, kejadiannya berupa keinginan (cita-cita) akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaspadai (dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpeliharaan al-musta’nif dari yang dibencinya.

Sedangkan al-qabdhu merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan masa yang akan datang dan lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu. Orang yang mengalami al-khauf dan ar-raja’, hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi atau yang dimaksudkannya. Sedangkan orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan kehadiran al-warid (yaitu, sesuatu yang datang atau kehadiran suasana batin yang mendominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu dan al-basthu itu sendiri). Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu berbeda-beda menurut perbedaannya dalam al-hal. Barangsiapa yang kehadiran al-warid, maka dia diwajibkan menjadi genggaman, namun masih tetap terbenam pada sesuatu yang lain, karena dia belum memenuhinya; sementara orang yang terkondisikan dalam genggaman (tercekam dalam ketakutan yang sangat karena Allah), maka dia tidak terbenam (terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid) dalam hatinya karena keseluruhan dirinya sudah terambil (terkuasai) dengan kehadiran yang “hadir” (berupa rasa ketakutan atau al-qabdhu yang menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya terkuasai oleh sifat “Qabidh”-Nya, yaitu Sang Penggenggam).

Demikian pula dengan hamba yang terlapangkan (al-mabsuth). Dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).

Saya pernah mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Sejumlah orang pernah mengunjungi Ali Abu Bakar al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang putra laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak (berupa sesuatu yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia tenggelam dalam permainan bersama kawan-kawannya, pengunjung tersebut terenyuh dan prihatin melihat keadaan al-Qahthi, lalu bergumam, ‘Miskin…. Guru ini benar-benar miskin. Bagaimana dia sampai tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’ Begitu masuk di kediaman al-Qahthi, pengunjung itu tidak menemukan satu pun alat penghibur (sarana dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan berkata, ‘Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (al-Qahthi) yang gunung pun tidak akan mampu mempengaruhi.’ Kemudian al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati) sesuatu.’”

Di antara unsur-unsur terdekat yang mengharuskan kehadiran suasana al-qabdhu adalah kehadiran al-warid (mungkin berupa kesadaran emosi keagamaan atau suasana batin yang menyiratkan kesan makna khauf, segan, dan tercekam terhadap Allah) pada hati seorang hamba yang memunculkan isyarat kecaman (teguran dan kritikan terhadap diri sendiri dalam rangka penyempurnaan kehidupan keagamaannya) atau lambang (isyarat perbaikan moral) kritikan diri yang melangkah pada perbaikan diri hamba, sehingga dalam hati tidak terjadi lagi keharusan al-qabdhu(mengalami peningkatan maqam setelah al-qabdhu).

Kadang-kadang beberapa al-warid yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada Allah, atau kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan terjadinya al-basthu (kelapangan) dalam hati. Karena itu, dalam rantai kesatuan rasa, kehadiran al-qabdhu bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthu nya; begitu juga dengan al-basthu, kehadirannya tergantung al-qabdhu.

Terkadang pula al-qabdhu yang terbentuk berdasarkan suatu sebab, oleh pemiliknya (salik yang mengalaminya) tidak diketahui apa bentuk sebab dan yang mewajibkannya (kehadiran al-qabdhu). Maka, bagi salik yang mengalami semacam ini seharusnya bersikap pasrah pada keadaan (membiarkan rasa al-qabdhu mengkondisikan hatinya) hingga waktu berlalu. Karena jika dia memaksa untuk menghilangkannya atau melompati waktu (berpindah pada maqam berikutnya, sementara maqam yang sedang terjadi belum terkuasainya) sebelum kehancuran al-qabdhu dengan penentuan alternatif yang dikehendakinya sendiri, maka rasa al-qabdhu semakin bertambah. Bahkan, sikap pemaksaan semacam ini termasuk etika sufi yang buruk. Sebaliknya, jika dia pasrah pada hukum waktu, maka secara pelan dan pasti al-qabdhu itu akan hilang karena Allah telah berjanji dalam firman-Nya:

وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

“Dan, Allah Dzat Yang Menggenggam (Al-Qabidh), dan Melapangkan (Al-Basith). Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. al-Baqarah [2]: 245)

Maqam al-basthu seringkali datang secara tiba-tiba dan spontan. Dia datang dan menubruk salik secara tak terduga sehingga tidak diketahui apa sebabnya. Dia bergerak, menguasai, dan memberi inspirasi salik yang didatanginya. Karena itu, bagi salik yang mengalami semacam ini sebaiknya diam dan menjaga serta meniti-niti perilaku batinnya (juga zhahirnya). Pada saat demikian, dia mengalami goncangan batin dan kekhawatiran yang sangat besar. Karena itu, ajaran sufi mengajarkannya supaya hati-hati dan waspada pada tipu daya (hati atau rasa) yang halus dan samar; sebagaimana yang pernah dikatakan oleh segolongan kaum sufi, “Telah dibukakan padaku pintu al-qabdhu, lalu aku tergelincir pada kekeliruan sehingga menutupi maqam ku. Karena itu, diamlah di maqam al-bisath dan waspadailah kegembiraan yang meluap (tak terkontrol).”

Ahli hakikat mengkategorikan dua keadaan, al-qabdhu dan al-basthu sebagai bentuk gangguan (proses penyucian diri yang mesti dilalui) yang dimohonkan kepada Allah supaya dilindungi dari bahaya keduanya. Karena, keduanya bersandar pada apa yang di atasnya (proses kelanjutannya) berupa leburnya diri salik dan masuk dalam alam hakikat yang penuh krisis dan bahaya (tipu daya hati yang amat lembut).

Imam al-Junaid berkata, “Al-Khauf yang hadir dari Allah menggenggamku dalam ketercekaman dan ar-raja’ dari-Nya melapangkanku (khauf menjadikan al-qabdhu dan raja’ membentuk al-basthu). Sedangkan hakikat mengumpulkan aku (penyatuan diri), dan Al-Haqq memisahkanku (basthu) dengan raja’ (berharap karena-Nya), maka Dia menolakku (melemparkanku) kepadaku. Jika Dia mengumpulkanku dengan hakikat, maka Dia menghadirkanku (menghadiriku). Dan jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (kebenaran Tuhan adalah Tuhan sendiri), maka Dia mempersaksikanku pada selainku sehingga menutupiku. Dia adalah Allah Dzat Yang Maha Luhur, Tuhan dalam segala hal yang menjadi Penggerakku tanpa memegangiku, juga mampu berbuat kasar kepadaku tanpa berjinak-jinak. Saya dengan kehadiranku merupakan selezat-lezatnya makanan akan keberadaanku. Maka, kelenyapanku dariku akan menjadikan kenikmatanku dan kesirnaanku menjadikan kelegaanku.”

5. Al-Haibah dan Al-Anasu

Posisi kedua maqam ini berada di atas derajat (maqam) al-qabdhu dan al-basthu, sementara al-qabdhu berada di atas al-khauf dan al-basthu di atas tingkatan ar-raja’. Al-haibah lebih tinggi daripada al-qabdhu. Al-anasu lebih sempurna daripada al-basthu.² [² Al-anasu lebih sempurna dari al-basthu. Artinya, lebih tinggi tingkatannya. Haibah tumbuh dari al-qabdhu yang tumbuh dari khauf. Sedangkan al-anasu tumbuh dari raja’. Orang yang takut (khauf) Allah dan mengetahui kekurangan dirinya di dalam pemenuhan hak Allah, hatinya pasti tercekam seperti tergenggam dalam genggaman-Nya. Yang tersisa dalam dirinya hanya kesibukan rabbani bersama Allah. Hal ini menghasilkan haibah yang tumbuh dalam dirinya. Seseorang yang angan-angan kebaikannya sampai kepada-Nya, hatinya menjadi terlapangkan (basthu) sehingga yang tersisa dalam dirinya hanya kesibukan rabbani bersama Allah. Hal ini menghasilkan Al-Anasu.]

Hakikat haibah adalah kesirnaan, dan setiap salik yang mengalami haibah (haib) pasti sirna (ghaib). Orang-orang yang mengalami haibah, ke-haibah-annya berbeda-beda menurut perbedaan mereka dalam ke-ghaib-annya.

Hakikat al-anasu adalah muncul, bangun, sadar bersama Al-Haqq. Setiap salik yang mengalami kesadaran (al-anasu) akan bersinar dan bangkit, seperti bunga yang sedang mekar; kemudian mereka berbeda-beda (tingkatan kesadarannya) menurut perbedaan mereka dalam “minuman” (serapan keruhanian). Oleh karena itu, tidaklah heran bila kaum sufi mengatakan bahwa paling rendahnya tingkat kedudukan al-anasu apabila yang mengalaminya dilemparkan ke api neraka (apalagi api dunia), kemesraannya (al-anasu) bersama Allah tidak akan terkeruhkan (terpengaruh) oleh panasnya api itu.

Imam al-Junaid berkata, “Saya pernah mendengar as-Sirri berkata, ‘Seorang salik akan sampai ke batas al-anasu (ditandai dengan) jika wajahnya dihantam sebilah pedang, maka dia tidak akan merasakan apa-apa. Di dalam hatiku ada sesuatu sehingga tampak bagiku bahwa semua perkara harus seperti demikian (yaitu, sekiranya rasa dan kesadaran menunjukkan bahwa kesempurnaan ketenggelaman diri, bersama Allah, akan menghilangkan semua rasa yang berkaitan dengan nafsu).’”

Ahmad bin Muqatil al-’Aki mengatakan, “Saya pernah mengunjungi asy-Syibli. Ketika itu, Beliau sedang mengelupasi rambutnya dari arah alis dengan penjapit logam yang kasar dan tumpul, lalu saya katakan kepada Beliau, ‘Wahai Tuan, memang Anda sendiri yang melakukan ini, tetapi rasa pedihnya memantul kepadaku.’ Kemudian asy-Syibli menjawab, ‘Celakalah kau! Hakikat yang tampak (entitas kepedihan semu) padaku tidak saya rasakan, dan hakikatku yang zhahir itu sepert ini (pengelupasan rambut); sedangkan saya masuk dan tenggelam dalam kepedihan di hatiku, sehingga saya hanya merasakan kepedihan batin (pedih karena cinta, rindu, dan takut pada Allah) yang membuat kepedihan zhahir tertutup dariku, maka saya tidak menemukan kepedihan. Kepedihan tidak tertutup dariku dan aku tidak mempunyai kemampuan untuk merasakannya.’”

Al-haibah dan al-anasu mempunyai keadaan. Jika keduanya tampak (muncul), maka ahli hakikat mengkategorikannya sebagai kekurangan karena adanya perubahan pada diri salik. Sementara ahli tamkin (golongan yang telah mencapai kestabilan ruhani, tidak terpengaruh oleh berbagai rasa, seperti rasa haibah dan anasu), posisinya lebih tinggi di atas ahlu taghayyur (golongan yang hatinya belum stabil dan masih terpengaruh oleh kemunculan berbagai rasa, seperti khauf, haibah, anasu, dan lain-lain). Mereka, “ahlu tamkin” keberadaannya menjadi sirna di mata keberadaan yang ada (sirna di mata ahli zhahir), maka baginya tidak ada haibah, tidak pula anasu. Mereka tidak memiliki kesadaran dan rasa. Sebuah hikayat terkenal dari Abu Said al-Kharraz menuturkan, “Ketika saya di tengah gurun sahara yang sepi, saya mendendangkan tembang kerinduan:

saya datang, tapi tidak tahu
di padang mana saya berada (bingung)
selain apa yang dikatakan manusia
tentang (diri) dan jenis saya
saya datang ke negeri jin dan manusia tapi tidak saya jumpai seorang jiwa pun
yang mampu mendatangi jiwa saya

Kemudian saya (Abu Said al-Kharraz) mendengar suara (tanpa ujud) yang membisiki telinga batin saya dengan mengatakan:

wahai orang yang melihat sebab-sebab
yang lebih tinggi keberadaannya bergembira di padang sesat
yang dekat dan di (alam) manusia
seandainya kamu hakikatnya masuk
ahli “wujud”, niscaya kamu pasti
lenyap dari alam semesta,
arasy (singgasana gaib), dan kursi
kamu tanpa hal bersama Allah
pasti jumeneng (stabil) sehingga kamu
terpelihara dari kenang-kenangan
yang dimiliki bangsa jin dan manusia.

6. At-Tawajud, Al-Wijdu, dan Al-Wujud

Tawajud adalah panggilan rasa cinta yang diperoleh melalui cara ikhtiyar (usaha). Orang yang memilikinya atau mengalami tawajud tidak mendapatkan wijdu (rasa cinta yang sesungguhnya) karena jika dia mendapatkan wijdu, berarti dia adalah seorang al-wajid atau pecinta (pecinta Allah sejati).

Bab tafa’ul (bentukan kata yang dianalogikan pada kata tafa’ul) dalam tata bahasa Arab kebanyakan menunjukkan arti penampak-nampakan suatu sifat. Padahal sifat yang ditampak-tampakkan bukan sifatnya yang sesungguhnya, sebagaimana yang digambarkan dalam syair ini:

jika saya menutup kelopak mata saya
tidaklah saya berarti menyempitkan
lebarnya pandangan mata saya
kemudian saya memecahkan
sebelah mata saya yang
sebenarnya tidak picak

Sekelompok orang (sebagian kaum sufi) mengatakan, “Tawajud bukanlah orang yang memasrahkan nilai ke-tawajud-annya (kepura-puraan cintanya) yang memang mengandung unsur pemaksaan (dibuat-buat) dan jauh dari kenyataan.”

Sekelompok sufi yang lain mengatakan, “Sesungguhnya tawajud adalah pemasrahan (rasa cinta) untuk orang-orang polos yang memang butuh dan menunggu-nunggu kehadiran arti cinta (menunggu kehadiran cinta juga termasuk ikhtiyar dan ikhtiyar masuk kategori pemaksaan).”

Abu Muhammad al-Jariri, semoga Allah merahmatinya, menuturkan hikayatnya yang terkenal:

“Ketika saya (datang untuk) bersama (dalam majelis) Imam al-Junaid yang di sebelahnya Ibnu Masruq (sudah lebih dulu) menemaninya, tiba-tiba Ibnu Masruq dan lainnya berdiri menyambut (karena kehadiran sesuatu), sementara Imam al-Junaid diam dalam posisi semula. Saya heran lalu bertanya, ‘Wahai Tuanku, tidakkah Tuan punya sesuatu yang bisa dipakai untuk mendengar?’ Imam Junaid menjawab (dengan menyitir sebuah petikan ayat): ‘Dan kamu melihat gunung-gunung yang kamu kira (diam) membeku (tidak bergerak), padahal dia bergerak (seperti) gerakan awan.’ (QS. an-Naml: 88). Kemudian dia melanjutkan, ‘Dan engkau, wahai Abu Muhammad, tidakkah kamu (juga) punya sesuatu yang bisa dipakai untuk mendengar?’ Saya pun menjawab, ‘Wahai Tuanku, jika saya hadir di suatu tempat yang di dalamnya ada (sesuatu) yang bisa didengar juga terdapat orang-orang yang merasa nikmat dengan ketidaktahuan dirinya (tidak tahu malu, yaitu orang-orang yang mencari perhatian), maka saya mencegah wijdu (rasa cinta) saya untuk tidak menguasai saya. Jika saya sendirian (kosong), maka saya mengirimkan wijdu saya sehingga saya menjadi tawajud (orang yang pura-pura punya rasa cinta).’ Pada kesempatan tersebut, saya mengucapkan istilah tawajud, dan al-Junaid diam tidak mengingkarinya (berarti, dia membenarkan secara diam).”

Saya pernah dengar Ustadz Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika manusia menggembala (memelihara) dalam kondisi kependengarannya, lalu merawat anugerah-anugerah-(Nya), maka Allah pasti (ganti) memeliharanya pada waktu bersamaan karena keberkatan perawatannya.”

Sedangkan wijdu (rasa cinta) adalah apa yang menubruk hatimu dan datang kepadamu (kedatangan rasa cinta ke dalam hati) dengan tanpa unsur sengaja dan pemaksaan (dibuat-buat). Oleh karena itu para guru sufi mengatakan, “Wijdu adalah tubrukan (hantaman atau sentuhan rasa yang datang dari luar). Wijdu-wijdu itu merupakan buah dari wirid-wirid (amalan bacaan ayat tertentu atau dzikir). Setiap orang yang tugas-tugasnya (jumlah pengamalan wirid) bertambah, maka akan bertambah (pula) kelembutan-kelembutannya (rahasia-rahasia wirid) yang diperolehnya dari Allah.”

Ustadz Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Kehadiran waridat (sesuatu yang datang berupa rasa atau prestasi batin dan warid adalah bentuk mufradnya) berkaitan dengan wirid-wirid (yang diamalkan). Barangsiapa secara zhahir tidak punya (tidak melakukan) wirid, maka secara batin tidak ada warid yang datang. Setiap wijdu dari pemiliknya yang memiliki sesuatu bukanlah wijdu. Sebagaimana seorang salik yang membebani dirinya dengan berbagai amalan zhahir (bacaan wirid) yang nantinya akan memperoleh manisnya taat. Maka dari itu, apa-apa yang membuat seorang salik turun (untuk memposisikan batinnya) dari hukum-hukum batin menjadikan dia harus mendapatkan sejumlah wijdu. Dengan demikian, rasa manis adalah buah dari amalan-amalan wirid, sedangkan wijdu merupakan hasil dari posisi (batin) yang diraihnya.”

Adapun wujud keberadaannya setelah kenaikan wijdu. Tidak ada wujud Al-Haqq kecuali setelah padamnya sifat kemanusiaan, karena tidak ada sifat kemanusiaan yang tetap (eksis atau muncul) ketika kekuasaan yang sesungguhnya (sultan Al-Haqq) muncul. Inilah arti ucapan Abu Husin an-Nuri: “Saya semenjak dua puluh tahun antara wijdu dan faqdu (sirna). Artinya, jika saya mendapati Tuhanku, maka saya tidak mendapati hatiku (sirna atau faqdu). Jika saya mendapati hatiku (eksistensi diri dalam batin), maka saya tidak mendapati Tuhanku.” Pengertian ini pararel dengan pendapat Imam al-Junaid: “Ilmu tauhid berbeda-beda menurut keberadaan wujud (seseorang). Wujud-nya (juga) berbeda-beda menurut ilmunya.”³ [³ Artinya, seorang hamba yang memahami tauhid dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadits tidak dapat menemukan wujud-Nya, karena wujud-Nya tidak ditetapkan pada hamba yang bersamanya rasa keberadaan dirinya masih kental. Hal itu dikarenakan penganggapan lebih atas kemampuan ilmu dan proyeksi dalil-dalilnya.]

Seorang penyair sufi mengatakan:

wujud-ku (mengada ketika)
saya melenyapkan Wujud
dengan sesuatu yang tampak padaku berupa persaksian-persaksian

Berarti, tawajud adalah permulaan, wujud adalah pungkasan, dan wijdu merupakan penengah antara permulaan dan pungkasan.

Saya pernah dengar Ustadz Abu Ali ad-Daqaq mengatakan, “Tawajud mengharuskan salik sadar penuh (paham hukum-hukum Tuhan). Wijdu mengharuskannya tenggelam, dan wujud mengharuskannya binasa (kehancuran unsur-unsur kemanusiaannya). Hal ini seperti orang yang menyaksikan lautan, kemudian mengendarai laut, dan akhirnya tenggelam dalam lautan. Urutan-urutannya adalah ketertujuan (pelurusan arah tujuan), kemudian kedatangan, kemudian kesaksian, kemudian ke-wujud -an, dan akhirnya kesirnaan. Dengan standar kepenguasaan wujud, kesirnaan akan berhasil.”

Salik yang mengalami wujud mempunyai dua keadaan: shahwun (sadar) dan mahwun (sirna, tak sadar). Kondisi shahwun-nya (kesadarannya) merupakan ketetapannya bersama Al-Haqq. Kondisi mahwun-nya (tak sadar) merupakan kesirnaannya bersama Al-Haqq. Dua keadaan ini berlawanan dan datang secara silih berganti. Jika maqam shahwun-nya mendominasi dirinya, maka bersama Al-Haqq dia sampai dan dengan-Nya pula dia bicara. Rasulullah Saw. pernah bersabda ketika mengabarkan tentang Al-Haqq: “Maka denganku Dia mendengar dan denganku (pula) Dia melihat.”

Manshur bin Abdullah menuturkan pengalamannya, “Seorang lelaki datang berdiri di majelis asy-Syibli, lalu bertanya, ‘Apakah tampak tanda-tanda kesehatan wijdu pada pemiliknya (wajid)?’ Kemudian dijawab, ‘Benar. Cahaya itu bersinar, menyertai pencaran rindu, lalu tanda-tandanya menerangi ujud fisiknya.'”

Kenyataan ini seperti yang digambarkan Ibnu al-Mu’taz⁴ [⁴ Abdullah bin al-Mu’taz (861-908 M.) lebih tertarik pada dunia sastra, bahkan sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk bidang ini. Pada kurun itu dia di bai’at sebagai khalifah, tetapi tidak menikmatinya kecuali beberapa hari.] dalam syairnya:

gelas dihujani air
dari guci-gucinya
lalu tumbuh mutiara
di bumi berupa emas
kaum bertasbih saat
melihat keajaiban
cahaya dari air dalam
cahaya dari anggur
arak salafah warisan
suku ‘Ad⁵ [⁵ ‘Ad adalah bangsa yang tinggal di al-Ahqaf. Mereka sangat memusuhi Nabi Hud as. sehingga Allah mengirimkan angin panas (al-‘Ashifah) yang melumatkan mereka.] dari Kota Irmi⁶ [⁶ Irmi kota purbakala yang memiliki bangunan yang tinggi.]
merupakan harta simpanan
Kisra⁷ [⁷ Kisra yang bentuk jamaknya akāsirah adalah gelar kebangsawanan raja-raja Bani Sasan, Persi.] dari ayah ke ayahnya

Dilaporkan pada Abu Bakar ad-Daqqi: “Sesungguhnya Jahmu ad-Daqqi memegang sebuah pohon dengan tangannya ketika dalam keadaan mendengar yang meluap (mengalami maqam mahwun), sehingga pohon tercabut sampai ke akarnya. Kemudian keduanya bertemu. Ketika itu Abu Bakar ad-Daqqi matanya buta. Sementara Jahmu ad-Daqqi berdiri sambil berputar-putar dalam kemarahannya. Lalu Abu Bakar ad-Daqqi berkata, ‘Jika dia mendekatiku, kalian perlihatkan dia padaku.’ Padahal Abu Bakar ad-Daqqi dalam keadaan lemah. Jahmu pun lantas berjalan mendekati Abu Bakar. ‘Ini dia,’ teriak orang-orang saat jarak Jahmu sudah dekat. Maka, Abu Bakar ad-Daqqi memegang betis Jahmu, lalu ditancapkannya ke tanah sehingga dia tidak mungkin bergerak lagi. ‘Wahai Tuan Guru,’ rintih Jahmu, ‘tobat … tobat … saya tobat.’ Dan Abu Bakar membiarkannya.”

Ustadz asy-Syaikh Abu Ali ad-Daqaq mengomentari kejadian ini: “Luapan kemarahan Jahmu bersama Al-Haqq. Kemampuan Abu Bakar ad-Daqqi mencegah kemarahan Jahmu juga bersama Al-Haqq. Akan tetapi, ketika Jahmu sadar bahwa maqam ad-Daqqi berada di atas maqam nya, dia kembali sadar dan pasrah.”

Seperti demikianlah keadaan orang yang tidak satu pun hal yang mendurhakainya bersama Al-Haqq. Seseorang yang mengalami mahwun, dia (merasa) tidak punya ilmu, tidak berakal, tidak paham, dan tidak berasa.

Istri Abu Abdullah at-Taraghindi mengisahkan bencana kelaparan yang terjadi di musim paceklik, “Ketika musibah kelaparan menimpa, banyak manusia yang mati kelaparan. Kemudian Abu Abdullah, suaminya, pulang ke rumah, dan di sudut kamar dia melihat dua timbangan gandum. Dia terkejut dan merasa bersalah, bagaimana mungkin gandum bisa ada di rumahnya. ‘Orang-orang mati kelaparan, sementara di rumahku masih tersisa sedikit gandum,’ tangisnya. Hal itu membuat pikirannya kusut. Jiwanya tergoncang. Kesadarannya terbelah. Dia merasa berdosa yang seolah-olah tak terampuni lagi. Keadaan itu membuatnya tidak sadarkan diri kecuali ketika waktu shalat fardhu tiba. Selesai menjalankan shalat, dia kembali tidak sadar (maqam mahwun), dan keadaan ini terus berlangsung hingga maut menjemputnya.”

Ini adalah hikayat yang menunjukkan keberadaan seorang laki-laki yang tetap menjaga hukum-hukum syar’i meski hukum-hukum hakikat sedang menguasai dirinya. Dan, ini merupakan salah satu sifat ahli hakikat. Kemudian sebab kesirnaan dirinya dari kemampuan membelah kesadarannya untuk membantu saudara-saudaranya (umat Islam) yang kelaparan, sehingga membuatnya tak sadar, merupakan bentuk tingkat maqam hakikat yang tinggi.

7. Al-Jam’u dan Al-Farqu

Dua istilah ini berlaku di kalangan ahli sufi⁸ [⁸ Lafal Al-Jam’u diambil dari makna keterkumpulan semangat Al-Haqq, sedangkan lafal Al-Farqu diambil dari makna semangat keterpisahan diri dengan seluruh alam bersama Al-Haqq. Al-Jāmi’ dan Al-Mufarriq hakikatnya adalah Allah.]. Ustadz Abu Ali ad-Daqaq pernah mengatakan, ” al-farqu dihubungkan pada Anda, sedangkan al-jam’u merupakan sesuatu yang dicabut dari Anda.” Artinya, pelaksanaan ibadah yang keberadaannya merupakan hasil upaya salik dan apa-apa yang hanya patut dengan tingkah polah (keadaan) kemanusiaan dinamakan farqu. Sedangkan hal-hal berupa penampakan makna, penguluran kelembutan, dan penuangan kebagusan yang hanya bisa dihubungkan dengan Al-Haqq adalah jam’u. Barangsiapa dirinya dijadikan saksi oleh Al-Haqq untuk mempersaksikan semua perilakunya dengan ketaatan dan penentangan pada yang tidak benar, maka dia adalah seorang salik yang disifati farqu. Dan barangsiapa yang dijadikan saksi oleh Al-Haqq untuk menguasai dirinya berupa penampakan perilaku-perilaku ketuhanan Dzat Yang Maha Suci, maka dia adalah seorang salik yang diberi kesaksian jam’u. Dengan demikian, penetapan kemakhlukan melalui pintu farqu, dan penetapan ke-hakikat-an (ketuhanan Dzat Al-Haqq) melalui sifat jam’u.

Seorang salik harus pernah mengalami jam’u dan farqu. Seseorang yang tidak pernah mengalami farqu, ibadahnya tidak bernilai. Seseorang yang tidak pernah mengalami jam’u, dia tidak mungkin mencapai maqam ma’rifat. Firman Allah yang berbunyi iyyāka na’budu (QS. al-Fatihah: 4) merupakan isyarat akan adanya farqu. Sedangkan iyyāka nasta’īn (QS. al-Fatihah: 5) merupakan gambaran keberadaan jam’u.

Jika salik berdialog dengan Tuhannya melalui bisikan lidahnya dengan meletakkan dirinya dalam posisi sebagai pengadu, pendoa, pemuji, pengucap syukur, atau pemunajat, maka hakikatnya dia dalam posisi farqu. Jika dia memperdengarkan dengan kekuatan rahasianya pada sesuatu yang dimunajatkan kepada Maulanya (maksudnya Allah Dzat yang mengatur dirinya), dan memperdengarkan dengan telinga batinnya pada sesuatu yang didialogkan tentang apa-apa yang dimunajatkan, diserukan, atau yang dipahami kedalaman maknanya, atau isyarat-isyarat hatinya dan kesaksian-kesaksian ruhnya, maka dia dalam posisi jam’u.

Saya pernah dengar Ustadz Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Seorang penyanyi sedang mendendangkan gubahan lagu-lagunya di hadapan Ustadz Abu Sahal ash-Sha’luki. Salah satu gubahannya berbunyi: “Saya menjadikan (ja’altu) kesucian pandanganku kepadamu.” Padahal ketika itu Abul Qasim an-Nashr Abadzi sedang disitu. Maka Abu Sahal menimpalinya, ‘Ja’alta (engkau jadikan),’ dengan di-fathah huruf ta’-nya. Sementara an-Nashr Abadzi mengomentari, ‘Bal ja’altu (bahkan aku jadikan),’ dengan di-dhammah huruf ta’-nya.”

Artinya, seseorang yang mengatakan ja’altu (aku jadikan) dengan di-dhamah ta’-nya, hakikatnya mengabarkan tentang keadaan dirinya. Seakan-akan dia mengatakan “inilah” (saya). Jika mengatakan ja’alta (Engkau menjadikan) dengan di-fathah ta’-nya, seakan-akan dia membebaskan dirinya dari keberadaan “terbebani” (upaya). Bahkan, dia mengatakan pada Maulanya (Allah) “Engkaulah Dzat Yang Mengkhususkanku dengan ini, bukan saya (sendiri yang) dengan (berbagai upaya) membebaniku. Yang pertama berada di atas kegelisahan tuntutan (beban kewajiban). Yang kedua berada dengan sifat “kebebasan” (kosong atau ketiadaan dirinya) dari kekuatan dan pengakuan akan pemilikan keutamaan dan anugerah. Perbedaan dua posisi ini juga bisa dilihat dalam dua pernyataan doa salik. Yang pertama berdoa “dengan kesungguhanku saya berdoa kepada-Mu” (dia dalam maqam farqu). Yang kedua berdoa “dengan keutamaan dan kelembutan-Mu saya mempersaksikan (diriku) pada-Mu” (dia dalam maqam jam’u).

Adapun jam’ul jam’i posisinya berada di atas semua ini. Dalam posisi demikian manusia juga berbeda-beda tergantung pada perbedaan keadaan dan derajat mereka. Barangsiapa menetapkan (mengakui keberadaan) dirinya berarti dia menetapkan (keberadaan) kemakhlukannya (farqu). Jika semua kesaksiannya didudukkan bersama Al-Haqq maka dia di alam jam’u. Akan tetapi, jika dirinya disambar dari kesaksian kemakhlukannya, kemudian didamaikan dan diambil segenap rasa yang menyangkut keseluruhan kemakhlukannya yang tampak, lalu dikuasakan padanya dari wewenang hakikat (Al-Haqq), maka demikian itu dinamakan jam’ul jam’i.

Farqu adalah kesaksian untuk Allah yang berubah-ubah. Jam’u merupakan kesaksian bersama Allah. Sedangkan jam’ul jam’i merupakan kehancuran diri (yang berkaitan) dengan keseluruhan alam dan kelenyapan rasa (yang berkaitan) dengan sesuatu selain Allah ketika nilai hakikat mengalahkan dirinya. Keadaan yang sangat mulia ini (jam’ul jam’i) oleh kaum sufi dinamakan farqu kedua. Maqam ini mengembalikan salik pada keadaan shahwun (sadar) ketika waktu-waktu penunaian kewajiban hadir. Kesadarannya bersamaan kehadiran waktu dimaksudkan untuk memberlakukan baginya pelaksanaan beberapa kewajiban tepat pada saat waktunya tiba. Dengan demikian, salik kembali kepada, untuk, dan dengan Allah, tidak untuk dan dengan hamba. Sehingga, dia memungkinkan untuk mempelajari (meniti-niti) dirinya dalam lingkup gerakan Al-Haqq. Dia menyaksikan tempat penampakan Dzat dan Ujud-Nya dengan qudrat-Nya serta tempat aliran perbuatan-perbuatan dan beberapa keadaan-Nya pada dirinya dengan ilmu dan kehendak-Nya.

Sebagian kaum sufi menjadikan jam’u dan farqu sebagai isyarat (istilah) yang menunjukkan keberadaan peran pengubahan Al-Haqq pada keseluruhan tingkah laku makhluk. Semua makhluk dari sisi pertumbuhan zat dan arus penalaran sifat-sifatnya berada dalam genggaman peran pembolak-balikan dan pengubahan Al-Haqq. Dari situ Al-Haqq membeda-bedakan (memisah-misahkan atau menjadikan beberapa farqu) mereka dalam beberapa macam. Sebagian dibahagiakan, sebagian lagi dijauhkan dan disengsarakan. Sebagian diberi petunjuk, sebagian lagi disesatkan dan dibutakan. Sebagian diberi tabir penutup, sebagian lagi ditarik dan disingkapkan tabir pemisahnya. Sebagian dibelas-kasihi dengan ketersambungan dirinya dengan-Nya, sebagian lagi dibiarkan putus asa dan jauh dari rahmat-Nya. Sebagian dimuliakan dengan taufiq-Nya, sebagian lagi dicabut hingga ke akarnya ketika tercampakkan dari proses pendakian hakikat. Sebagian disadarkan (shahwun), sebagian lagi dihapus kesadarannya (mahwun). Sebagian diakrabkan, sebagian lagi disirnakan. Sebagian didekatkan dan dihadirkan kemudian diberi minum lalu mabuk, dan sebagian lagi disengsarakan, diakhirkan kemudian dijauhkan dan dipisahkan. Macam-macam perilaku-Nya tidak bisa dibatasi. Tidak ada penjelasan dan penyebutan yang mampu memerinci-Nya.

Imam al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, menggubah serangkaian syair tentang arti jam’u dan farqu.

saya nyatakan Kamu
dalam kerahasiaanku
lalu lidahku
bermunajat kepada-Mu
maka kami menyatu (jam’u)
untuk sejumlah makna
Dan berpisah (farqu)
untuk sejumlah makna
jika pengagungan melenyapkan-Mu
dari lirikan mata-mataku
maka sungguh wijdu menjadikan-Mu isian yang mendekatkanku (pada-Mu)

8. Fana’ & Baqa’

Istilah fana’ oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji. Jika pada diri salik tidak ditemukan dari salah satu kelompok sifat ini, maka pasti ditemukan sifat-sifat lain. Barangsiapa kosong (fana’) dari sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji mengada. Barangsiapa dirinya dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji tertutupinya.

Ketahuilah, apa yang menjadi sifat seorang salik pasti mengandung tiga hal, yaitu af’al, akhlak, dan ahwal. Af’al (perbuatan-perbuatan salik) adalah tingkah laku manusia yang diperagakan dengan kemampuan ikhtiarnya. Akhlak merupakan perangainya. Akan tetapi, keberadaannya selalu berubah seiring dengan tingkat penanganannya (pengendalian menuju arah perbaikan) yang berlangsung mengikuti perjalanan pembiasaan. Sedangkan ahwal merupakan awal langkah keberadaan kondisi salik. Ahwal mengembalikan posisi salik pada tahapan awal. Kejernihannya terjadi setelah kebersihan af‘al (pertumbuhan dan perbaikannya).

Dengan demikian, keberadaan ahwal seperti akhlak. Karena, jika salik turun ke gelanggang kehidupan untuk memerangi akhlaknya dengan hatinya, lalu meniadakan (mem-fana’-kan) sifat sifat jeleknya dengan kesungguhan jihadnya (semangat riyadhah), maka Allah menganugerahinya dengan perbaikan akhlak (maqam baqa’).⁹ [⁹ Allah memberi nikmat kepada manusia dengan memperbagusi akhlaknya yang terpuji, seperti tawadhu’, sabar, dan zuhud. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi: “Sesungguhnya Allah mencintai sifat-sifat yang luhur dan membenci sifat sifat yang buruk.”]. Demikian juga jika salik menekuni penyucian af’al-nya dengan (pemanfaatan) curahan (rahmat) yang diperluaskan untuknya, maka Allah pasti akan menganugerahinya pembersihan ahwal-nya, bahkan menyempurnakannya.

Barangsiapa meninggalkan af’al (tingkah laku) tercela dengan lidah syari’atnya, maka dia fana’ (kosong, sirna, tiada atau gugur) dari syahwatnya. Barangsiapa fana’ dari syahwatnya, maka dengan niat dan ikhlasnya dia menjadi baqa’ (tetap, muncul, mengada atau eksis) dalam ibadahnya. Barangsiapa zuhud dalam dunianya dengan hatinya, maka dia fana’ dari kesenangannya. Jika fana’ dari kesenangan dunia, maka dia baqa’ dengan kebenaran tobatnya. Barangsiapa terobati akhlaknya sehingga hatinya fana’ dari sifat hasud, dendam, bakhil, rakus, marah, sombong, dan sifat-sifat lain yang merupakan jenis kebodohan nafsu, maka dia fana’ dari akhlak tercela. Jika fana’ dari ketercelaan akhlak, maka dia baqa’ dengan fatwa dan kebenaran. Barangsiapa telah mampu menyaksikan gerak aliran kekuasaan-(Nya) dalam manifestasi pemberlakuan hukum-hukum (ketuhanan), maka dia dikatakan sebagai orang yang fana’ dari perhitungan dua kejadian (awal kejadian dan proses penggantian atau pengulangan) yang berlaku pada semua makhluk. Barangsiapa fana’ dari bayangan pengaruh-pengaruh sesuatu yang berubah-ubah, maka dia baqa’ dengan sifat-sifat Al-Haqq. Barangsiapa dikuasai oleh kekuasaan hakikat (penampakan Al-Haqq) sehingga tidak bisa menyaksikan hal-hal yang berubah-ubah, baik berupa zat, bekas-bekas, tapak-tapak, catatan-catatan, maupun reruntuhannya, maka dia fana’ dari makhluk dan baqa’ dengan Al-Haqq.

Fana’-nya salik dari af’al yang tercela dan ahwal yang rendah, dan dengan ke-fana’ -an (ketiadaan) af’al dan ke-fana’ -an dirinya dari dirinya dan keseluruhan makhluk dengan ditandai ketiadaan rasa pada dirinya sendiri dan sesuatu yang di luar (makhluk), maka dia menjadi fana’ dari af‘al, akhlak, dan ahwal. Jika salik benar-benar fana’ dari ketiga-tiganya, maka tidak boleh ada sesuatu dari ketiga fana’ tersebut muncul (mengada).

Jika dikatakan seseorang fana’ dari dirinya dan keseluruhan makhluk, maka sebenarnya dirinya masih ada dan keseluruhan makhluk juga masih ada. Akan tetapi, orang yang mengalami demikian sudah tidak lagi memiliki pengetahuan, rasa, dan kabar yang berkaitan dengan dirinya dan semua makhluk. Hakikat dirinya masih ada, keberadaan keseluruhan makhluk pun masih ada, namun dia sudah lupa terhadap dirinya dan mereka. Dia tidak mampu merasakan keberadaan dirinya dan semua makhluk. Hal itu disebabkan kesempurnaan (klimaks) kesibukannya dengan sesuatu (Dzat) yang lebih tinggi dari itu semua.

Barangkali kamu pernah menyaksikan bagaimana gambaran seorang pria yang masuk ke ruangan seorang penguasa atau raja yang bengis (atau yang sangat berwibawa). Tentu dia akan kebingungan dan kehilangan nalar. Dia tidak sadar terhadap keberadaan dirinya dan orang-orang di majelis raja. Bagaimana bentuk ruangan yang yang dimasukinya, apa isinya, dan bagaimana rupa dirinya, dia tidak tahu dan tidak mungkin mengabarkan perihalnya.

Dalam al-Qur’an, gambaran semacam ini pernah diperlihatkan Allah dalam kisah Nabi Yusuf as.

فَلَمَّا رَاَيْنَهٗٓ اَكْبَرْنَهٗ وَقَطَّعْنَ اَيْدِيَهُنَّ

“Maka, ketika wanita-wanita itu melihatnya (Nabi Yusuf as.), mereka mengucapkan takbir (takjub) dan (lalu) memotong tangan mereka (sendiri).” (QS. Yusuf [12]: 31)

Wanita-wanita bangsawan Mesir ini ketika melihat ketampanan wajah Yusuf as. saat melintas di depan mereka, mereka terkejut, malu, segan, kagum, dan amat kesengsem, sehingga tidak terasa pisau yang dipegangnya memotong tangan mereka sendiri. Mereka adalah selemah-lemahnya manusia.

وَقُلْنَ حَاشَ لِلّٰهِ مَا هٰذَا بَشَرًاۗ اِنْ هٰذَآ اِلَّا مَلَكٌ كَرِيْمٌ

“Dan, mereka mengatakan, ‘Maha Sempurna Allah, tidaklah ini manusia melainkan malaikat yang mulia.’” (QS. Yusuf [12]: 31)

Ini merupakan gambaran makhluk yang lupa terhadap keberadaan (kondisi) dirinya ketika bertemu makhluk yang lain. Maka, bagaimana menurutmu jika seseorang tersingkap (mukasyafah) dari tabir yang menutupi Al-Haqq. Jika makhluk saja bisa lupa akan keberadaan rasa terhadap dirinya dan sesama makhluk-Nya, maka apa tidak akan lebih menakjubkan (lupa, tak sadar, dan lalai) jika yang ditemuinya adalah Al-Haqq.

Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, maka dia baqa’ dengan ilmunya. Barangsiapa fana’ dari syahwatnya, maka dia baqa’ dengan tobatnya. Barangsiapa fana’ dari kesenangan dunia, maka dia baqa’ dengan zuhudnya. Barangsiapa fana’ dari angan-angannya, maka dia baqa’ dengan kehendaknya, dan demikian seterusnya dalam keseluruhan proses penyempurnaan akhlak. Jika salik fana’ dari sifat-sifatnya yang tersebut di atas, maka dia naik dari ke-fana’-annya yang fana’ dari fana’-nya. Salik yang mengalami fana’ semacam ini sadar akan ke-fana’-annya dan melihat proses ke-fana’-annya. Hal ini seperti yang tergambar dalam syair di bawah ini:

suatu kaum tersesat di
tanah lengang yang sunyi
kaum yang lain tersesat
di medan (gemuruh) cinta
maka mereka fana’ kemudian
fana’ kemudian fana’ (lagi)
dan baqa’ dengan baqa’ dari
(karena) dekatnya dengan Tuhan

Yang pertama fana’ dari dirinya lalu muncul sifat-sifatnya, dan ke-baqa’ -an sifat-sifatnya mengada dengan sifat-sifat Al-Haqq, kemudian mengalami fana’ lagi dari sifat-sifat Al-Haqq, lalu muncul kesaksiannya bersama penampakan Al-Haqq, kemudian timbul fana’ berikutnya dari kesaksian ke-fana’-annya bersama kehancuran dirinya dalam wujud Al-Haqq.

9. Ghaibah dan Hadhur

Ghaibah adalah ketiadaan (kekosongan) hati dari ilmu yang berlaku bagi ahwal (kondisi atau pola perilaku) makhluk karena (terhalang oleh) kesibukan rasa dengan “sesuatu yang datang” (warid, kehadiran rasa alam spiritual) kepadanya. Kemudian, keberadaan rasa terhadap diri dan lainnya menjadi ghaibah (ghaib atau hilang) sebab kehadiran warid itu yang berujud dalam bentuk kesadaran akan ingatan pahala dan siksa.

Diriwayatkan bahwa ketika Rabi’ bin Khaitsam berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud ra. dan lewat di depan kedai seorang pandai besi, dia melihat sepotong besi yang dibakar di tungku ubupan besi dalam keadaan merah membara. Tiba-tiba matanya tidak kuat memandang lalu pingsan seketika. Setelah siuman, Rabi’ ditanya, lalu menjawab, “Saya ingat keadaan penduduk neraka (yang sedang dibakar) di neraka.”

Sebuah kejadian yang sangat aneh pernah menimpa Ali bin Husin. Rumah yang ditempatinya terbakar saat dia menjalankan shalat, dan dia tidak bergeming sedikit pun dari sujudnya ketika api mulai menjalar ke tempatnya shalat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para tetangganya heran, lalu menanyakan keadaannya. “Api yang amat besar sangat menggelisahkanku daripada api ini,” jawabnya.

Terkadang kondisi ghaibah disebabkan oleh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda menurut perbedaan ahwal-nya.

Keadaan (hal) yang mengawali Abu Hafsh an-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai pandai besinya dimulai dari petistiwa pembacaan ayat suci al-Qur’an yang dia dengar dari seorang qari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya lupa tentang “rasa” saat suatu warid datang menguasai jiwanya. Kemudian tangannya dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas yang sedang membara tanpa merasakan panas sedikit pun. Seorang muridnya melihatnya dengan heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu Hafsh sendiri heran, lalu melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia bangun dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi.

Saya pernah mendengar Abu Nasher, seorang mu’adzin Naisabur yang sangat shaleh, menuturkan pengalaman spiritualnya, “Saya pernah baca al-Qur’an di majelis Abu Ali ad-Daqaq ketika Beliau di Naisabur. Beliau banyak mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat mempengaruhi hati saya. Pada tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan meninggalkan pekerjaan dan semua aktivitas keduniaan. Ustadz Abu Ali sendiri, semoga Allah merahmatinya, juga berangkat menunaikan haji pada tahun itu pula. Ketika Beliau masih tinggal di Naisabur, sayalah yang melayani keperluan Beliau juga membacakan al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari saya melihat Beliau di padang sahara sedang bersuci dan lupa (meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi dibawanya. Lalu saya ambil dan mengantarkannya ke binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan ini,” sambutnya sederhana. Kemudian Beliau memandang saya cukup lama, seakan-akan belum pernah melihat saya sama sekali. “Saya baru melihatmu, siapakah Anda?”

“Subhanallah! Permohonan bantuan memang hanya pada Allah. Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan meninggalkan rumah dan harta bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang sangat luas kemudian memutusku, dan sekarang Tuan mengatakan, saya baru melihatmu…!”

Adapun hadhur adalah keberadaan “hadir” bersama Al-Haqq karena jika seseorang mengalami ghaibah (ghaib) dari keberadaan semua makhluk, maka dia “hadir” (hadhur) bersama Al-Haqq. Artinya, keberadaannya seakan-akan “hadir” dikarenakan dominasi ingatan Al-Haqq (dzikir) pada hatinya. Dia hadir dengan hatinya di hadapan Tuhannya. Dengan demikian, ke-ghaibah-annya dari keberadaan makhluk menjadikannya hadhur (hadir) bersama Al-Haqq. Jika semua yang ada ini pada sirna, maka keberadaan hadhur mengada menurut tingkat ghaibah-nya. Jika dikatakan “fulan hadir,” artinya dia hadir dengan hatinya keharibaan Tuhannya dan lupa pada selain-Nya, kemudian dalam ke-hadhur-annya segalanya menjadi tersingkap menurut derajatnya dengan curahan sejumlah makna (pengertian, kesadaran, dan kerahasiaan ketuhanan) yang dikhususkan Allah untuknya.

Terkadang dikatakan (bahwa keberadaan hadhur) dikarenakan kembalinya salik pada rasanya dengan ahwal jiwanya, dan ahwal kemakhlukan yang kembali (kepada Tuhannya) dari alam ghaibah-nya. Yang pertama hadhur dengan Al-Haqq, dan yang kedua hadhur dengan makhluk. Ahwal manusia dalam maqam ghaibah berbeda-beda. Sebagian mengalaminya tidak terlalu lama, sebagian lagi dalam masa yang abadi (sampai mati).

Dikisahkan bahwa Dzun Nun al-Mishri, seorang guru sufi besar, pernah mengutus seseorang dari pengikutnya datang ke rumah Abu Yazid al-Busthami untuk mempelajari sifat-sifatnya. Setibanya di Kota Bustham, utusan ini bertanya pada seseorang tentang rumah Abu Yazid, kemudian pergi menuju tempat yang ditunjuk dan bertamu ke rumahnya. Di sana terjadi dialog teologis yang sangat menawan.

“Apa yang kamu kehendaki?” tanya Abu Yazid.

“Tuan Abu Yazid.”

“Siapakah Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Saya sendiri dalam pencarian Abu Yazid?”

Utusan ini keluar seraya berteriak, “Dia gila!” Kemudian dia kembali ke rumah Gurunya, Dzun Nun,dan melaporkan semua yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nun menangis, “Saudaraku, Abu Yazid telah pergi bersama orang-orang yang pergi menuju Allah.”

10. Shahwu dan Sukru

Shahwu (sadar dari kemabukan) adalah kembalinya salik pada rasa setelah mengalami ghaibah. Sedangkan sukru (mabuk cinta karena Allah) adalah proses ghaibah dengan kehadiran warid yang kuat. Artinya, sukru merupakan bentuk lain ghaibah yang lebih kuat. Salik yang mengalami sukru terkadang dimuaikan (dipudarkan, diterangkan, dan dilapangkan) jika sukru-nya belum penuh. Dalam keadaan demikian, terkadang kekhawatiran terhadap hal-hal menjadi gugur (lepas) dari hatinya.

Demikian itu menunjukkan bahwa salik masih dalam maqam mutasakir (pura-pura mabuk atau seolah-olah mabuk) karena warid yang datang belum sepenuhnya (dominasi rasa yang menyebabkan mabuk). Keberadaan rasanya masih tenggelam dalam kemabukan untuk rasanya. Terkadang juga sukru-nya sangat kuat hingga menambah tingkat ghaibah-nya. Terkadang pula salik yang mengalami sukru tingkat ghaibah-nya jauh lebih kuat daripada penapak maqam ghaibah sendiri jika memang tingkat sukru-nya sangat kuat. Terkadang juga penapak ghaibah tingkat ghaibah-nya lebih sempurna daripada penapak sukru jika yang terakhir ini masih dalam takaran mutasakir, pura-pura mabuk atau belum mabuk yang sesungguhnya.

Kehadiran ghaibah terkadang dikarenakan sesuatu yang mengalahkan dan mendominasi hati. Sesuatu ini mungkin berupa paksaan rasa senang dan takut atau permasalahan (bukan masalah duniawi) yang membuatnya takut dan harap. Sukru tidak mungkin terjadi kecuali terhadap salik yang telah mengalami wijdu (lihat pasal wijdu). Jika diri salik telah disingkap dengan sifat keindahan (Al-Haqq dalam penampakan sifat Yang Maha Indah), maka dia akan mengalami sukru, ruhnya bingung (karena susah pada murka Allah dan gembira pada rahmat-Nya) dan hatinya menjadi linglung.¹⁰ [¹⁰ Hamul Qalbi – hati yang bingung adalah gugurnya kemampuan membedakan pada diri salik antara apa yang menyakitkan dan yang melezatkan. Ketersingkapan keindahan-keindahan rabbani dan ketersaksian sifat-sifat sempurna ketika menguasai seorang hamba dengan tidak menyaksikan apapun selain Al-Haqq, segala sesuatu dinisbatkan kepada-Nya, yaitu esensi Yang Esa, maka ketika itu hamba tidak bisa memisahkan atau membedakan hal-hal yang menyelimuti dirinya. Semua ini dikarenakan penglihatannya pada Al-Haqq telah menguasai dirinya.] Tentang sukru yang tumbuh dari ketersingkapan keindahan Al-Haqq, para penyair sufi mengatakan:

Kesadaranmu (shahwu) dari (sebab) lafal-Ku adalah sampai semuanya kemabukanmu (sukru) dari (sebab) lirikan-Ku
adalah membolehkan untukmu semua minuman
kaum mabuk di sekeliling gelas
sedang mabukku dari (sebab) Al-Mudir
saya punya dua kemabukan
sementara peminum hanya satu
sesuatu yang dikhususkan padaku
di antara mereka adalah kesendirianku

Ketahuilah, sesungguhnya keberadaan shahwu tergantung pada sukru. Barangsiapa sukru-nya dengan Al-Haqq, maka shahwu nya juga bersama Al-Haqq. Barangsiapa sukru-nya dicampur dengan nasib baik, maka shahwu-nya pasti dikawani dengan nasib baik pula. Barangsiapa dalam hal-nya keberadaan hakikatnya benar-benar esensi, maka dalam sukru-nya pasti terpelihara. Sukru dan shahwu keduanya menunjukkan ujung perpisahan (lihat maqam farqu). Jika keberadaannya muncul dari kekuasaan hakikat (dominasi Al-Haqq), maka pasti diketahui bahwa sifat salik adalah hancur, celaka, sedih, dan dipaksa. Dalam pengertian ini, para penyair sufi mengatakan:

Jika pagi telah terbit
dengan bintang yang segar
maka akan sama di dalamnya
antara mabuk dan sadar

Allah berfirman:

فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًا

“Ketika Tuhannya menampak pada gunung, gunung menjadi pecah dan Musa jatuh pingsan tersungkur.” (QS. al-A’raf [7]: 143)

Ini menunjukkan ketundukan risalah Musa as. sehingga membuatnya jatuh pingsan dalam posisi tersungkur. Kerasnya gunung dan kekokohan struktur fisiknya menjadi hancur berkeping-keping dan rata dengan tanah ketika Tuhan menampakkan Diri-Nya.

Salik dalam keadaan sukru-nya mampu menyaksikan hal (keadaan mabuk) dan dalam keadaan shahwu nya dapat menyaksikan ilmu, kecuali jika keadaan sukru nya terpelihara, tidak dengan paksaan, dan dalam hal-nya shahwu-nya juga terpelihara dengan pengontrolan perilakunya. Shahwu dan sukru keberadaannya setelah kemunculan rasa dan minum.

11. Dzauq dan Syarab

Di antara kumpulan istilah tasawuf yang berlaku di kalangan kaum sufi adalah dzauq (rasa) dan syarab (minum). Istilah ini mereka gunakan untuk mengungkapkan buah tajalli (penampakan sifat-sifat dan nama-nama Tuhan) dan nilai-nilai kasyaf (ketersingkapan tabir misteri ke-Maha Mutlak-an Tuhan) serta kehadiran kejutan-kejutan yang muncul spontan. Dalam proses penapakan pencarian hakikat dari aspek ini, tahapan pertama adalah dzauq, kemudian syarab, dan akhirnya irtiwa’ (minum sepuas-puasnya).

Kejernihan perilaku salik mengharuskan pelakunya memperoleh dzauq (merasakan kelezatan) makna-makna. Ketepatan pemenuhan atas manazilat (maqam, pos-pos spiritual atau tahapan-tahapan pencapaian makna spiritual, seperti ketepatan pemenuhan pencapaian maqam dzauq) mengharuskan pelakunya memperoleh syarab, dan keberlangsungan yang terus-menerus dalam meminum kandungan makna spiritual (syarab yang sambung menyambung) memastikan pelakunya memperoleh irtiwa’.

Salik yang mengalami dzauq adalah “pemabuk” yang pura-pura. Salik yang mengalami syarab adalah “pemabuk” yang sesungguhnya. Dan, salik yang mencapai irtiwa’ hakikatnya orang yang “sadar”. Barangsiapa kuat cintanya (pada Allah), maka syarab -nya akan berlangsung secara terus menerus. Jika sifat ini yang dimotori kekuatan cinta yang bekerja secara aktif, maka syarab (minuman cinta) tidak akan membuatnya mabuk. Salik yang telah mencapai tingkatan ini, akan selalu dalam kondisi sadar (tidak mabuk) bersama Al-Haqq dan fana’ (lenyap atau tidak terpengaruh sama sekali) dari semua yang bersifat eksis, status, atau nasib keduniaan. Dia tidak akan terpengaruh oleh apa yang datang kepadanya dan tidak berubah dari sesuatu yang dia bersama-Nya. Barangsiapa sirri -nya (sesuatu yang bersifat rahasia) jernih, maka syarab tidak akan mengeruhkan dirinya. Barangsiapa syarab telah dijadikan makanannya, maka dia tidak akan mampu bertahan kecuali dengannya dan tidak bisa stabil (sadar atau tidak mabuk) dengan tanpa kehadirannya (syarab). Mereka bersyair:

Arak adalah minuman kami
jika kami belum merasakannya
kami tidak mungkin bisa hidup
Saya heran terhadap orang yang mengatakan aku ingat Tuhanku
mengapa saya lupa lalu
saya mengingatkannya
tentang apa yang saya lupakan
saya minum cinta
segelas demi segelas
minuman tidak juga habis
dan saya belum juga merasa puas

Yahya bin Mu’adz pernah menulis sepucuk surat kepada Abu Yazid al-Busthami. Isi suratnya sebagai berikut:

“Ya, di sinilah! Dari minum segelas cinta, sesudahnya tidak akan merasa haus lagi.”

Kemudian Abu Yazid membalasnya:

“Dari sinilah, saya heran atas kelemahan keadaanmu, orang yang meminum lautan (cinta) alam. Dia selalu membuka mulutnya lebar-lebar meminta tambah minuman.”

Ketahuilah, sesungguhnya gelas-gelas (minuman atau syarab yang menjadikan) keterdekatan tampak dari yang ghaib, dan tidak akan berputar kecuali di atas rahasia-rahasia gigitan, dan ruh dari kelembutan sesuatu terbebaskan.

12. Mahwu dan Itsbat

Mahwu adalah keterangkatan (tercabut) sifat-sifat yang telah menjadi kebiasaan. Sedangkan itsbat merupakaan penegakan hukum-hukum ibadah. Barangsiapa meniadakan dari ahwal sifat-sifat yang tercela, kemudian diganti dengan sifat-sifat dan ahwal yang terpuji, maka dia mengalami maqam mahwu sekaligus itsbat.

Saya pernah mendengar Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah selalu merahmatinya, menceritakan tentang sekelompok guru yang bertanya pada seorang sufi, “Apa yang kamu maksud mahwu dan itsbat?” Laki-laki sufi itu diam, kemudian menjawab, “Engkau mengetahui bahwa waktu mengalami mahwu dan itsbat, maka sungguh terlantar dan sia-sialah seseorang yang tidak mempunyai (tidak mengalami) mahwu dan itsbat.”

Mahwu dibagi menjadi mahwu zillah (lenyap), mahwu ghaflah (lupa), dan mahwu ‘illah (sebab). Yang pertama merupakan kelenyapan dari sesuatu yang bersifat zhahir. Yang kedua merupakan kelupaan dari yang bersifat batin. Dan yang ketiga keterhapusan pangkal atau sebab dari segala yang bersifat sirri (rahasia). Di dalam mahwu zillah terdapat penetapan perilaku. Di dalam mahwu ghaflah terdapat penetapan manazilat (kedudukan atau pos-pos pencapaian spiritual). Dan di dalam mahwu ‘illah terdapat penetapan keberlangsungan. Mahwu dan itsbat keberadaan keduanya harus disertai syarat ibadah. Hakikat keduanya bersumber dari qudrat. Artinya, mahwu adalah apa yang ditutup dan ditiadakan Al-Haqq, sedangkan itsbat adalah apa yang ditampakkan dan diperlihatkan Al-Haqq. Mahwu dan itsbat keduanya memusat pada kehendak Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ

“Allah menghapus (mahwu) apa yang dikehendaki dan menetapkan (itsbat apa yang dikehendaki).” (QS. ar-Ra’d [13]: 39)

Artinya, menurut suatu pendapat, Allah menghapus (berbuat mahwu) ingatan (dzikir) pada selain Allah dari hati orang-orang ma’rifat, dan menetapkan (berbuat itsbat) ingatan pada Allah di lidah para murid. Mahwu Al-Haqq hanya milik Dzat Yang Satu dan penetapan-Nya (itsbat) terjadi pada sesuatu yang patut dengan keadaannya.

Barangsiapa dihapuskan oleh Al-Haqq dari kesaksian-kesaksian, maka Al-Haqq pasti menetapkannya dengan kekuatan hakikat-Nya (perwujudan Al-Haqq). Barangsiapa dihapuskan oleh Al-Haqq dari penetapan (itsbat) -Nya, maka Al-Haqq pasti mengembalikannya pada kesaksian-kesaksian yang berubah dan menetapkannya di lembah-lembah keterpisahan (farqu).

Seorang pria bertanya pada asy-Syibli, semoga Allah merahmatinya, “Mengapa saya melihatmu gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan kamu bersama-Nya?”

“Seandainya saya bersama-Nya,” jawab asy-Syibli, “tentu keberadaan saya adalah saya. Akan tetapi, saya lenyap dalam sesuatu yang sesungguhnya adalah Dia. Seorang yang ahli hakikat pasti berada di atas mahwu karena mahwu masih meninggalkan bekas, sementara ahli hakikat tidak. Tujuan cita-cita (pencapaian maqam spiritual) kaum adalah keterhapusan mereka oleh Al-Haqq dari kesaksian-kesaksian mereka, kemudian (Dia) tidak mengembalikan mereka (sifat-sifat kemanusiaan) kepada mereka setelah keterhapusan mereka dari mereka (sifat-sifat yang tidak terpuji).”

13. Sitru dan Tajalli

Orang awam dalam ketertutupan sitru (tutup) dan orang khusus dalam keabadian tajalli (tampak). Dalam hadits dijelaskan bahwa Allah jika menampakkan Diri-Nya (sifat-sifat dan nama-nama-Nya) pada sesuatu, maka sesuatu itu pasti tunduk kepada Nya.¹¹ [¹¹ Dalam pengertian ini Allah berfirman: “Kalau sekiranya Kami turunkan al-Qur’an ini pada gunung, niscaya engkau melihatnya tunduk tersungkur terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (QS. al-Hasyr: 21)]

Pemilik sitru (salik yang berada di maqam sitru) berada dengan sifat kesaksiannya, dan pemilik tajalli selamanya berada dengan sifat ketundukannya.

Sitru bagi hamba yang awam adalah siksaan dan rahmat bagi hamba yang khusus (seorang sufi yang telah mencapai tingkatan khusus), karena seandainya Dia tidak menutupi mereka (orang-orang khusus) atas apa-apa yang dengannya mereka menjadi tersingkap, maka mereka pasti musnah ketika berada di kekuasaan Al-Haqq. Akan tetapi, Dia menampakkan (tajalli) pada mereka sebagaimana menutup (sitru) mereka (sehingga mereka tidak musnah).

Manshur al-Maghribi menceritakan tentang seorang fakir yang mendatangi (untuk mencari pertolongan) seorang Arab yang hidup (berkecukupan), lalu seorang pemuda menolongnya. Ketika pemuda ini sedang melayani si Fakir, tiba-tiba dia pingsan (sitru). Si Fakir heran, kemudian bertanya (pada orang-orang di sekitarnya) tentang keadaannya, lalu oleh mereka dijawab, “Pemuda itu mempunyai saudara sepupu wanita yang telah lama dirindukannya. Suatu saat saudaranya itu lewat dan masuk kemahnya (perkemahan wanita). Namun, sebelum masuk ke perkemahan, puncung pakaiannya tersingkap diterbangkan angin dan pemuda itu melihatnya sehingga membuatnya pingsan seketika.”

Beberapa hari kemudian si Fakir mendatangi pintu perkemahan si gadis dan berkata kepadanya dari arah luar, “Seorang pemuda aneh mempunyai kehormatan dan hak pada diri kalian (si anak gadis dan keluarganya). Sekarang saya datang kepadamu meminta belas kasihan untuknya tentang keinginan pemuda aneh itu. Bersimpatilah kepadanya yang dia telah lama sangat mencintaimu.”

“Subhānallah, engkau seorang pria yang berhati bersih, sementara dia seorang pemuda yang tidak mampu menyaksikan ketersingkapan puncung pakaianku, maka bagaimana dia mampu menggauliku?” jawab si gadis.

Kehidupan orang-orang yang awam berada dalam keadaan tajalli dan kesengsaraan mereka dalam keadaan sitru. Adapun orang-orang yang khusus berada di antara kehilangan akal dan hidup karena mereka menjadi linglung ketika Tuhan ber- tajalli dan dikembalikan pada nasib kehidupannya ketika Tuhan menutupi (sitru) mereka.

Dikatakan bahwa ketika Al-Haqq berfirman pada Musa as., “dan apa itu yang berada di tanganmu, hai Musa.” (QS. Thaha: 17) tak lain bertujuan untuk menutupi Musa dengan sebagian sesuatu yang dapat menyebabkannya tertutup dengan sebagian sesuatu yang dapat membuatnya tersingkap secara tiba-tiba saat mendengarkan-Nya.

Minta ampun hakikatnya mencari penutup (sitru) dan ampunan adalah tutupnya. Seakan-akan seseorang yang mohon ampun mengabarkan bahwa dirinya mencari penutup hatinya ketika terkaman Al-Haqq (ketersingkapan hakikat) membersit di hatinya. Dengan demikian, tidak ada ketetapan bagi makhluk saat bersama keterwujudan Al-Haqq. Dalan suatu hadits dijelaskan:

لو كشف عن وجهه لأ حرقت سبحات وجهه ما أدرك بصره (رواه مسلم)

“Seandainya tersingkap wajah-Nya, niscaya keagungan kesucian wajah-Nya¹² [¹² Sabhāt wajhillah maknanya adalah cahaya-cahaya Allah. Hadits dikeluarkan Imam Muslim dalam Sahihnya.] membakar semua yang diketahui penglihatan.”

14. Muhadharah, Mukasyafah, dan Musyahadah

Muhadharah adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan (ketersingkapan), kemudian timbul musyahadah, yaitu kehadiran Al-Haqq (dalam hati) tanpa bingung dan linglung. Jika “langit sirri” (rahasia ketuhanan) bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan.

Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, “Wujud Al-Haqq bersama kelenyapanmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayat-ayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjukkannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.”

Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musyahadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan ‘Amru bin Utsman al-Makki, semoga Allah merahmatinya. Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul menyusulnya kedatangan kilat. Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul menyusul dan sambung menyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang. Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” (kiasan tentang kontinuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari) akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada. Mereka bersyair:

malamku dengan wajah-Mu
terbit bersinar cahaya
kegelapannya pada manusia
berjalan di waktu malam
manusia dalam kepekatan
malam yang gelap gulita
sedang kami dalam cahaya
siang yang terang benderang

An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibutuhkan lagi.”

Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung tafriqah (perpisahan, lihat pasal farqu) karena bab mufa’alah (timbangan kata) dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna. Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan Al-Haqq adalah kehancuran makhluk. Dalam syair dikatakan:

ketika menjadi terang pagi hari
cahayanya memancar dengan
sinar-sinar yang berasal dari
pantulan sinar-sinar bintang meminumkan pada mereka segelas
demi segelas saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang
secepat orang yang pergi menghilang

Gelas apapun akan mencabut mereka dari akarnya dan membuat mereka fana’ (hancur). Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang belulang manusia yang masih membekas dan ada adalah seperti yang dikatakan sufi: “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.”

15. Lawaih, Thawali’, dan Lawami’

Tuan Guru Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Istilah-istilah ini saling berdekatan makna dan hampir tidak ada perbedaan besar di antaranya. Dia merupakan bagian dari sifat-sifat salik pemula yang sedang menapaki jalan sufi dengan hatinya menuju ketinggian ruhani. Setelah itu mereka memperoleh cahaya matahari ma’rifat dan Al-Haqq menganugerahi hati mereka rezeki dalam setiap saat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَهُمْ رِزْقُهُمْ فِيْهَا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا

“Dan bagi mereka rezeki dalam waktu pagi dan sore.” (QS. Maryam [19]: 62)

Ketika langit hati gelap ditutupi dengan mendung keberuntungan, timbullah di dalamnya lawaih (kilatan) cahaya kasyaf (ketersingkapan hati) dan lawami’ (kemilau) kedekatan memantulkan cahaya gemerlapan. Salik pada saat mengalami sitru (ketertutupan), tiba-tiba mereka menjadi dekat dengan kedatangan lawaih yang spontan. Posisinya seperti yang digambarkan dalam syair ini:

wahai kilat yang memantulkan
kemilauan cahaya dari arah sayap-sayap
langit mana saja yang bersinar terang

Dengan demikian, proses pertama adalah lawaih (kilatan sinar), kemudian lawami’ (kemilauan cahaya), dan akhirnya timbul thawali’ (terbitnya cahaya matahari). Lawaih bagaikan kilat yang tampak hingga hilang menutup, sebagaimana ungkapan seorang penyair:

kami berpisah setahun
maka ketika kami bertemu
pengucapan salamnya kepadaku
adalah ucapan selamat tinggal
Wahai orang yang berkunjung
dan sebenarnya tidak berkunjung seakan-akan dia mengambil api
lalu berjalan di depan pintu rumah dengan cepat-cepat, padahal tidaklah berbahaya kalau dia masuk ke dalam rumah

Lawami’ lebih jelas daripada lawaih. Hilangnya tidak cepat dan kemunculannya berlangsung sekitar dua atau tiga waktu (ukuran waktu di sini relatif, entah dalam satuan jam, hari, bulan, atau tahun). Akan tetapi, keberadaannya seperti yang dikatakan para penyair:

tidak sampai mata meneteskan air wajahnya
kecuali di dalam kerongkongannya dengan penjaga
sebelum puasnya mendekat

Ketika terjadi lawami’, kamu akan terputus darimu dan kamu terkumpulkan dengannya. Akan tetapi, cahaya siangnya tidak berjalan hingga sekelompok pasukan malam menyerangnya. Salik yang mengalami demikian berada di antara ruh dan ratapan karena posisinya di antara kasyaf (tersingkap) dan sitru (tertutup). Dalam syair dikatakan:

malam menyelimuti kami
dengan kelebihan dinginnya
sedang subuh menyelimuti kami
dengan selimut yang hilang

Thawali’ waktunya lebih lama lagi. Lebih kuat kekuasaannya, lebih lama tinggalnya, lebih cepat daya penghilangan kegelapan malam, dan lebih mampu peniadaan kebingungan kegelapan malam. Akan tetapi, keberadaannya diposisikan dalam pembenaman kekhawatiran, tidak dengan ketinggian puncak, juga tidak dengan keabadian kediaman. Waktu-waktu kejadiannya berlangsung cepat dan saling berdekatan dalam putaran kepindahannya. Keadaan terbenamnya pengakhirannya juga sangat panjang.

Inilah makna-makna lawaih, lawami’, dan thawali’. Keberadaannya dalam permasalahan yang berbeda-beda. Di antaranya, jika lewat, tidak meninggalkan jejak, seperti bintang timur ketika lenyap seakan-akan malam selamanya mengada. Ada kalanya meninggalkan jejak, maka ketika “stempel”-nya (berupa bencana) hilang, rasa sakitnya membekas, dan jika cahaya-cahayanya terbenam, bekas-bekasnya masih membekas. Karena itu, kepemilikannya (penguasaannya) setelah diamnya dominasi-dominasi batin (mov-mov atau kekuatan-kekuatan ruh yang menguasai batin), lalu hidup dalam cahaya berkahnya, kemudian menuju pemunculan cahaya kedua yang waktunya diharapkan atas penantian pengembaliannya dan hidup dengan sesuatu yang ditemukan ketika adanya.

16. Bawadih dan Hujum

Bawadih adalah sesuatu yang secara tiba-tiba mendatangi hatimu dari alam ghaib melalui jalan rasa yang amat menegangkan.

Ada kalanya berupa dorongan rasa senang atau sedih. Sedangkan hujum adalah sesuatu yang mendatangi hatimu dengan kekuatan waktu melalui jalan yang tidak dibuat-buat dari dirimu.

Macam-macamnya berbeda-beda menurut kuat lemahnya warid (rasa yang datang atau pengaruh rasa dalam hati). Di antara mereka ada yang bawadih-nya berubah-ubah dan begitu juga hujum-nya. Ada pula yang berada di atas sesuatu yang amat mengejutkan yang sifatnya spontan dan kuat. Mereka adalah tuan-tuan penghulu kaum. Sebagaimana dikatakan dalam syair:

janganlah engkau memberi petunjuk
pengganti zaman kepada mereka
(sebab) mereka memiliki kendali
atas setiap ucapan yang agung

17. Talwin dan Tamkin

Talwin adalah sifat pemilik ahwal (salik yang masih terpengaruh dengan keadaan, pengaruh-pengaruh batin atau kondisi-kondisi yang menguasai jiwanya). Sedangkan tamkin adalah sifat orang-orang ahli hakikat. Selama salik masih berada di jalan (tangga-tangga penapakan menuju ketinggian ruhani), dia adalah pemilik talwin karena keberadaannya masih dalam proses penapakan dari satu hal (bentuk tunggal dari kata ahwal yang arti bahasanya adalah keadaan) ke hal yang lain, berpindah dari satu sifat ke sifat yang lain, dan keluar dari satu lingkaran “terminal” ke lingkaran “terminal” yang lain hingga menuju tempat kediaman musim semi. Jika sampai, maka salik telah mencapai maqam tamkin. Mereka bersyair:

selamanya saya tinggal
dalam cinta kasih-Mu
dalam keadaan akal bingung
tanpa bisa tinggal

Salik yang mengalami talwin selamanya dalam penambahan. Salik yang mengalami tamkin telah sampai (di pusat terminal ruhani) kemudian bersambung. Tanda-tandanya bahwa salik telah bersambung adalah dia dengan keseluruhan dari keseluruhannya menjadi batal.

Sebagian guru sufi mengatakan, “Perjalanan salik berhenti hingga pada penguasaan nafsunya. Jika telah mampu mencengkeram nafsunya, maka dia telah sampai.”

Al-Ustadz (maksudnya Abu Ali ad-Daqaq) berkata, “Yang dimaksud dengan tamkin adalah pengakhiran dan pembelakangan hukum-hukum kemanusiaan dan penguasaan penguasa hakikat. Jika keadaan ini selamanya menjadi milik salik, berarti dia telah mencapai maqam tamkin.”

Abu Ali ad-Daqaq berkata, “Musa as. adalah Nabi pemilik talwin, lalu kembali dari penyimakan kalam (saat diajak dialog dengan Allah) dan butuh penutup wajah ketika keadaan ini mempengaruhinya. Nabi Muhammad Saw. adalah pemilik tamkin. Beliau kembali sebagaimana perginya karena apa-apa yang disaksikannya di malam itu (peristiwa-peristiwa luar biasa di malam isra’ dan mi’raj) tidak berpengaruh baginya. Bukti lain dari bab ini adalah kisah Nabi Yusuf as. Ketika para wanita bangsawan Mesir melihat Yusuf as., mereka memotong jari-jari tangan mereka, yaitu pada saat sesuatu yang amat mengejutkan datang kepada mereka berupa kenyataan bentuk Yusuf as. yang sangat menawan. Dan yang paling terpengaruh dengan daya pesona ini adalah permaisuri raja. Keterpengaruhannya itu tidak berubah (tidak hilang) dari hatinya karena dia adalah wanita yang mengalami tamkin dalam peristiwa Yusuf as.”

Al-Ustadz berkata, “Sesungguhnya perubahan sebab sesuatu yang mendatangi salik terjadi karena salah satu dari dua hal: ada kalanya karena kuatnya warid atau lemahnya salik. Sedangkan kediaman (kestabilan atau tamkin atau konstanitas batin) juga terjadi karena salah satu dari dua hal: mungkin karena kuatnya salik atau lemahnya warid yang mendatanginya.”

Saya pernah mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqaq mengatakan, “Dasar-dasar kaum dalam kebolehan (menempati) keberadaan keabadian tamkin keluar di atas dua visi. Salah satunya merupakan sesuatu yang tidak ada jalan menuju kesana, sebagaimana yang tergambar dalam sabda Rasulullah Saw.:

لو بقيتم على ما كنتم عليه عندي لصا فحتكم الملا ئكة

“Seandainya kalian tetap berada di atas sesuatu yang kalian di atasnya terletak di sisiku, tentu para malaikat berjabat tangan denganmu.”¹³ [¹³ Hadits diriwayatkan Hanzhalah bin Rabi’ al-Asidi dan dikeluarkan Imam Muslim dalam bab taubat halaman 2750, bab keutamaan mengabadikan dzikir. Demikian juga at-Turmudzi meriwayatkannya dalam halaman 2516 tentang sifat kiamat, juga dalam bab: Akan tetapi, wahai Hanzhalah, halaman 2454 tentang sifat kiamat, bab wara’ dan takwa.]

Dan ini disebabkan Nabi Saw. pernah mengatakan demikian:

لي وقت لا يسعني فيه غير ربي غز وجل

“Saya punya waktu yang tidak akan menggerakkanku di dalamnya selain Tuhanku.”¹⁴ [¹⁴ Hadits diriwayatkan dalam Kasyfu al-Khifa’ jilid 2 halaman 226, at-Turmudzi meriwayatkannya dalam Syamail, Ibnu Rahawih dalam Musnadnya, al-Khathib meriwayatkannya dengan sanad yang sama dengan yang diriwayatkan al-Hafizh ad-Dimyathi. Hadits-hadits shahih ini banyak disebutkan oleh kaum sufi.]

Hadits ini mengabarkan tentang keberadaan waktu khusus.

Kemudian al-Ustadz melanjutkan, “Sedangkan visi kedua menunjukkan sahnya keabadian atau keajekan ahwal karena (keberadaan) ahli hakikat (yang mampu) naik (bebas) dari (kenyataan) sifat keterpengaruhan (dirinya) oleh cobaan-cobaan. Orang yang datang dalam hadits yang dikatakan ‘niscaya para malaikat akan menjabat (tangan)mu’ bukanlah perkara mustahil. (Bahkan), sentuhan jabat tangan malaikat ini juga terjadi pada salik pemula sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

إن الملا ئكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا بما يصنع

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya pada pencari ilmu sebagai bentuk (ungkapan) ridha terhadap apa yang dia perbuat.”¹⁵ [¹⁵ Hadits diriwayatkan oleh Shafwan bin ‘Asal al-Muradi juga oleh at-Turmudzi. Hadits hasan shahih halaman 96 tentang bersuci dalam bab mengusap dua muzah untuk musafir dan orang yang mukim; halaman 3529 dan 3530 tentang doa-doa dalam bab apa-apa yang terkandung dalam keutamaan tobat dan istighfar. Demikian juga an-Nasa’i meriwayatkannya dalam jilid 1 halaman 83 dan 84 tentang bersuci dalam bab penentuan waktu dalam mengusap dua muzah bagi musafir. Imam Ahmad menyebutkannya dalam jilid 4 halaman 239, juga beberapa imam hadits, di antaranya Ibnu Majjah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi.]

Apa yang dikatakan Beliau “saya punya waktu” tidak lain merupakan ucapan yang ditujukan pada kadar (keterbatasan) pemahaman pendengar. Dalam semua ahwal Rasul, keberadaannya selalu berdiri tegak dengan hakikat. Yang paling utama dikatakan demikian: Bahwa salik selama masih dalam proses penapakan, dia adalah pemilik talwin yang (menjadikan dirinya) sah dalam (perolehan) tambah kurangnya sifat dalam ahwal nya. Jika telah sampai pada Al-Haqq dengan membelakangi hukum-hukum kemanusiaan (bersifat kemakhlukan, bukan ketuhanan), maka Al-Haqq pasti mendudukkannya (meletakkan pada maqam tamkin) dengan tidak mengembalikannya pada penyakit-penyakit nafsu (tidak terasa sakit dengan ketiadaan ketundukan diri pada permintaan nafsu). Dalam posisi demikian, dia adalah pemilik tamkin (salik yang jiwanya sudah stabil bersama Allah) menurut kadar keadaan dan haknya. Kemudian apa yang dihadiahkan Al-Haqq dalam keseluruhan jiwa, maka tidak ada batas bagi perkara yang telah ditentukan. Dia selalu dalam tambahan yang menjadikannya berubah-ubah, bahkan berwarna-warni. Dalam keaslian keadaannya sebenarnya dia adalah tamkin. Dia selamanya menjadi tamkin dalam keadaan yang semakin lebih tinggi daripada keadaan sebelumnya. Kemudian naik lagi hingga mencapai puncak diatas semua puncak. Dalam kondisi demikian bagi ketentuan Al-Haqq tidak ada garis finis.

Adapun orang yang tercabut dari kesaksian yang keseluruhan rasanya ikut terambil secara penuh, maka bagi sifat kemanusiaan tidak ada tempat pembatas. Jika batal keseluruhan diri, jiwa, dan rasanya serta ketentuan-ketentuan Tuhan yang telah ditetapkan, kemudian keghaiban (keadaan kosong, ghaib atau ketiadaan diri dalam arti kemakhlukan) ini berlangsung dalam kurun waktu yang tidak terbatas, maka dia menjadi hilang atau hapus. Kondisi demikian menjadikan dirinya tidak punya tamkin, talwin, maqam, dan hal. Jika sifat ini selamanya integral dengan dirinya, maka tidak ada bimbingan (proses penyadaran) dan pembebanan hukum (sebagai pelaku hukum). Demikian itu merupakan aktivitas aktif dalam persangkaan buruk makhluk yang hakikatnya adalah peran otoritas aktivitas aktif Al-Haqq. Allah Ta’ala berfirman:

وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌ ۖوَّنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ

“Dan engkau menyangka mereka berjaga, padahal mereka tidur, dan kami membolak-balik mereka ke samping kanan dan ke samping kiri.” (QS. al-Kahfi [18]: 18)

18. Al-Qarbu dan Al-Bu’du

Awal tingkatan dalam al-qarbu (kedekatan) adalah kedekatan dari sikap taat dan menetapi semua waktu yang diisi dengan ibadah-ibadah wajib. Adapun al-bu’du (jauh) adalah kekotoran diri sebab penentangan dan menyimpang dari ketaatan. Tingkatan pertama al-bu’du adalah jauh dari taufik, kemudian jauh dari hakikat, bahkan jauh dari taufik hakikatnya adalah jauh dari hakikat (kebenaran yang maha benar). Rasulullah Saw. bersabda tentang Al-Haqq:

ما تقرب إلي المتقربون بمثل أداء ما افترضت عليهم ولا يزال العبد يتقرب إلي باالنوافل حتى يحبني وأحبه وإذا أحببته كنت له سمعا وبصرا فبي يبصر وبي يسمع

“Tidaklah mendekat kepada-Ku orang-orang yang berusaha mendekat hanya dengan sebatas pelaksanaan apa-apa yang Aku wajibkan. (Namun), hamba selalu mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga mencintai-Ku dan Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku baginya adalah pendengaran dan penglihatan. Dengan Aku dia melihat dan dengan Aku dia mendengar.”¹⁶ [¹⁶ Hadits diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan riwayat Imam Bukhari disebutkan dalam jilid 11 halaman 292-295 tentang perbudakan, bab tawadhu’. Ibnu as-Sunni juga meriwayatkannya dalam masalah kesehatan yang diperolehnya dari Samwih, al-Khathib dan Ibnu Asakir memperolehnya dari Ali dan Anas serta Ibnu Abi Dunya yang tersebut dalam Kitab al-Awliya’, al-Hakim, at-Turmudzi, Ibnu Murdawih, dan Abu Na’im menyebutkannya dalam al-Asma’.]

Dekatnya salik pertama kali dengan keimanan dan pembenarannya, kemudian dengan kebagusan dan hakikatnya (kesejatian kebenaran). Kedekatan Al-Haqq terhadap apa yang dikhususkan-Nya sekarang (di dunia) merupakan kebajikan, sedangkan apa yang dimuliakan-Nya di akhirat (sebagai kedekatan) merupakan kesaksian dan ketampakan. Di antara hal-hal tersebut keberadaannya hadir dengan wajah luthfi (kelembutan Tuhan) dan anugerah.

Kedekatan seorang hamba dengan AI-Haqq tidak akan terjadi kecuali dengan kejauhannya dari makhluk, dan ini merupakan sifat-sifat hati, bukan hukum-hukum (yang berlaku bagi) fenomena kehidupan dan alam.

Kedekatan Al-Haqq dengan ilmu dan kemampuan adalah umum bagi manusia yang berkemampuan; dengan kelembutan (dalam hal ilmu dan rasa) dan pertolongan adalah khusus bagi orang mukmin; kemudian dengan kekhususan kelembutan yang sangat lembut (juga dalam hal ilmu dan rasa) adalah khusus bagi wali Allah. Hal ini tergambar dalam beberapa firman-Nya berikut ini:

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher.” (QS. Qaf [50]: 16)

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْكُمْ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada mereka.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 85)

وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْ

“Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada.” (QS. al-Hadid [57]: 4)

مَا يَكُوْنُ مِنْ نَّجْوٰى ثَلٰثَةٍ اِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempatnya.” (QS. al-Mujadalah [58]: 7).

Barangsiapa benar-benar dekat dengan Al-Haqq, maka dia didekatkan-Nya dalam keabadian muraqabah nya (kesadaran diri akan kehadiran Tuhan dalam peran aktivitas pengawasan, pendeteksian, pengendalian, dan pemberian hidayah) di hadapan-Nya karena Dia terhadapnya adalah Peneliti ketakwaan, kemudian menginjak sebagai Peneliti pemeliharan dan pemenuhan, dan akhirnya sebagai Peneliti rasa malu. Kaum sufi melantunkan syair:

seolah-olah Sang Peneliti menggembalakan getaran hatiku
(saat) yang lain menjaga pandangan dan lidahku
tidak lintasan pandangan yang jauh di kedua mataku
yang dapat menjelekkan-Mu
selain Engkau mengatakan
sungguh telah memandang-Ku
tidak ada kemilauan kata yang keluar
dari mulutku tanpa-Mu
selain Engkau mengatakan
sungguh telah (mendengar dengan) pendengaran-Ku
tidak ada getaran yang bergetar di hati (dalam) kejauhan-Mu
melainkan naik dengan pertolongan-Ku
kawan-kawan karib benar-benar
membosankan ucapan mereka
saya menahan pandangan dan lidahku dari mereka
tidaklah zuhud menjauhkan dari mereka
hanya saja (karena) perjumpaanku dengan-Mu
dalam kesaksianku di semua tempat

Dalam suatu kisah diceritakan bahwa seorang guru sufi mengistimewakan salah seorang muridnya karena suatu hal. Dia memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki teman-teman lainnya. Kelebihan ini bermula dari keberhasilannya memahami perintah gurunya. Suatu ketika guru sufi ini memberi seekor burung kepada setiap muridnya sambil berpesan, “Sembelihlah burung ini di tempat yang sekiranya tidak dilihat oleh siapapun.” Kemudian masing-masing murid pergi mencari tempat yang sekiranya sepi dan menyembelih burung yang dipegangnya. Namun, seorang di antara mereka datang menghadap gurunya dengan membawa burung yang masih belum disembelih. Gurunya pun lantas bertanya mengapa tidak disembelih, lalu olehnya dijawab.

“Guru memerintahkan saya untuk menyembelihnya di tempat yang sekiranya tidak diketahui oleh siapapun, dan ternyata tidak sebuah tempat pun kecuali Al-Haqq selalu melihatnya.”

“Karena inilah saya memerintahkan kalian,” jelas sang guru. “Kalian masih dikalahkan oleh kejadian-kejadian atau bisikan-bisikan yang bersifat kemakhlukan (inderawi), sedangkan pemuda ini tidak lupa terhadap kesenantiasaan kehadiran Al-Haqq, dan penglihatan kedekatan adalah hijab dari kedekatan.”

Barangsiapa sadar dengan penuh kesadaran (kesaksian yang nyata atau syuhud) akan keberadaan dirinya yang (merasa) memiliki mahal (tempat atau masa yang menunjukkan keadaan) dan jiwa, maka dia hakikatnya tertipu dengannya. Karena itu, para ahli sufi mengatakan, “Allah melepaskanmu dari kedekatan-Nya.” Artinya, dari (perasaan) kesaksianmu (syuhud) akan kehadiran-Nya karena kedekatan-Nya. Sesungguhnya rasa cinta kasih yang sungguh-sungguh dengan kedekatan-Nya merupakan bagian dan ketinggian kemuliaan dengan-Nya karena Al-Haqq hakikat-Nya di belakang semua yang bersifat cinta kasih yang sejati, dan maqam-maqam hakikat mengharuskan kemunculan rasa bingung dan sirna. Mereka bersyair:

cobaan yang menimpaku dalam Diri-Mu
sesungguhnya aku tidaklah mempedulikan cobaanku
dekatmu seperti jauhmu
maka kapan waktu mendatangiku

Ustadz Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam syairnya:

cinta kasihmu adalah kepergian
cintamu adalah kebencian yang sangat
dekatmu adalah jauh
damaimu adalah perang

Suatu ketika Abu Husin an-Nuri melihat sekelompok teman-teman Abu Hamzah. Kemudian dia mengatakan kepada seorang dari mereka, “Anda adalah salah seorang teman-teman Abu Hamzah yang telah menunjukkan (kalian) akan al-qarbu (kedekatan). Jika bertemu dengannya, sampaikan pesan saya sesungguhnya Abu Husin an-Nuri telah mengirim salam kepadamu. Dia juga berpesan kepadamu bahwa dekatnya dekat dalam suatu hal yang kami di dalamnya adalah jauhnya jauh. Adapun kedekatan dengan Dzat, maka sesungguhnya Allah Dzat Yang Maha Raja dan Al-Haqq adalah Maha Luhur dari itu semua. Sesungguhnya Dia Maha Suci dari batasan-batasan, wilayah-wilayah (yakni maqam-maqam), garis finish, dan ukuran. Tidaklah makhluk bersambung dengan-Nya, juga tidak ada kejadian yang telah lewat dapat terlepas dari-Nya. Tempat (bukan tempat dalam arti fisik yang berdimensi) tinggi-Nya yang agung adalah Maha Agung dari penerimaan kesambungan dan keterpisahan. Kedekatan Dia dalam sifat-Nya adalah muhal adalah kesaling-kedekatan dengan Dzat-Nya. Kedekatan Dia adalah wajib dalam sifat-Nya adalah kedekatan dengan ilmu dan penglihatan. Kedekatan Dia adalah boleh (sifat wenang Tuhan) dalam sifat-Nya adalah kedekatan keutamaan dan kelembutan yang dikhususkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.”

19. Syari’at dan Hakikat

Syari’at adalah perintah yang harus ditetapi dalam ibadah, dan hakikat adalah kesaksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan.¹⁷ [¹⁷ Musyahadah ar-Rububiyah adalah melihat Tuhan dengan hati. Diungkapkan demikian karena syari’at merupakan pengetahuan atau konsep merambah jalan menuju Allah, sedangkan hakikat adalah keabadian melihat-Nya, sementara thariqah merupakan perjalanan hamba meniti jalan syari’at. Artinya, aktualisasi prinsip-prinsip syari’at dengan ketentuan hukum yang sah.] Setiap syari’at yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syari‘at tidak akan berhasil.

Syari’at datang dengan beban hukum dari Sang Maha Pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas Al-Haqq. Syari‘at merupakan penyembahan makhluk pada Khaliq (Sang Maha Pencipta), sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Syari’at adalah penegakan apa yang diperintahkan-Nya, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan.

Ustadz Abu Ali ad-Daqaq mengatakan,

اِيَّاكَ نَعْبُدُ

“Hanya kepada-Mu kami menyembah.” (QS. al-Fatihah [1]: 5) merupakan manifestasi syari’at. Sedangkan

اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

“Hanya kepada-Mu kami memohon.” (QS. al-Fatihah [1]: 5) adalah jelmaan pengakuan (atau penetapan) hakikat.”

Ketahuilah, bahwasanya syari’at adalah hakikat dari sisi mana kewajiban diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga syari’at dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma’rifat.¹⁸ [¹⁸ Al-Ma‘arif adalah kema’rifatan orang-orang yang ahli ma’rifat, yakni hamba-hamba Allah yang mengetahui dirinya.]

20. Nafas

Nafas adalah kelapangan hati sebab (kehadiran) kelembutan (hal-hal) ghaib. Pemilik nafas lebih lembut dan jernih daripada pemilik ahwal. Seakan-akan pemilik (atau orang yang mengalami) waktu adalah seorang pemula, pemilik nafas adalah pengakhir, sedangkan yang di antara keduanya adalah pemilik ahwal. Berarti, ahwal adalah penengah, nafas adalah akhir pendakian, dan waktu adalah milik pemilik hati. Ahwal milik pemilik ruh dan nafas milik ahli rahasia.

Para sufi mengatakan, “Paling utamanya ibadah adalah hitungan nafas (tarikan nafas) bersama Allah.”

Mereka juga mengatakan, “Allah menciptakan hati dan menjadikannya sebagai tambang ma’rifat; menciptakan rahasia-rahasia di baliknya; dan menjadikannya sebagai tempat keadaan bagi ketauhidan. Setiap nafas yang terjadi dari ketiadaan petunjuk ma’rifat dan isyarat tauhid di atas hamparan bahaya, maka pemiliknya adalah mayit dan dimintai pertanggungjawaban.

Ustadz Abu Ali ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Seorang ma’rifat nafasnya tidak tunduk kepadanya karena tidak ada kelapangan yang mengalir bersamanya. Seorang pecinta (Allah) harus mempunyai nafas (nafasnya tunduk). Jika tidak demikian, maka pasti dia musnah.”

21. Al-Khawatir

Al-khawatir (bisikan) adalah informasi atau inspirasi yang mendatangi hati sanubari. Terkadang kedatangannya melalui malaikat, setan, bisikan-bisikan nafsu atau langsung dari Allah.

Jika dari malaikat, maka dinamakan ilham; jika dari nafsu, maka dinamakan angan-angan atau kecemasan; jika dari setan, maka dinamakan was-was; dan jika dari Allah, maka dinamakan inspirasi yang paling benar (haq atau hakikat).

Semua bisikan tersebut melalui formula kalam. Jika seumpama bisikan itu datang dari malaikat, maka pasti diketahui bahwa kebenarannya sesuai dengan ilmu. Karena itu, para sufi mengatakan, “Setiap bisikan (inspirasi) yang zhahirnya tidak menyaksikan (membuktikan kebenarannya), maka hakikatnya batal. Jika kehadirannya dari setan, kebanyakan mengajak pada kemaksiatan. Jika datang dari nafsu, kebanyakan mengajak pada bujukan hawa nafsu atau rasa takabbur.”

Para guru sufi sepakat mengatakan bahwa seseorang yang makanannya dari barang haram, dia tidak bisa membedakan antara ilham dan was-was.

Saya pernah dengar Tuan Guru Abu Ali ad-Daqaq menasehatkan, “Seseorang yang makanannya diketahui (haram), dia tidak bisa membedakan antara ilham dan was-was. Jika seseorang angan-angan nafsunya reda dengan kebenaran mujahadah (memeranginya), maka penjelasan hati akan bicara dengan hukum pengekangan (hawa nafsu).”

Para guru sufi juga menyimpulkan bahwa nafsu tidak bisa membenarkan dan hati tidak bisa berbohong. Seandainya nafsu berjuang sungguh-sungguh untuk membisiki ruhmu, pasti dia tidak akan bisa.

Imam al-Junaid membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan. Bisikan nafsu jika menuntutmu dengan suatu tuntutan, maka kamu binasa. Dia selalu mengulang-ulang bisikannya secara terus-menerus sampai bertemu kehendaknya dan berhasil tujuannya. Ya Allah, tidak ada cara untuk mengatasi kecuali terus-menerus ber mujahadah dengan baik. Adapun setan, ketika mengajakmu pada tindak kejahatan, lalu kamu menentangnya dengan cara meninggalkan bisikannya, maka dia akan membisikimu dengan bisikan (kejahatan) lain. Karena, bagi setan semua perlawanan adalah sama. Dia sepanjang hidupnya hanya ingin menjadi penyeru kejelekan. Tidak sedikit pun ada niatan untuk memperingan godaan, siapa pun orang yang digoda. Dikatakan bahwa bisikan dari malaikat terkadang pemiliknya merealisasikan (tentunya juga menyepakati kebenarannya), terkadang pula menentangnya. Jika bisikan dari Allah, maka pasti tidak ada penentangan dari hamba.

Para guru sufi membahas bisikan yang kedua dengan mempertanyakan, “Jika bisikan dari Al-Haqq, apakah keberadaannya lebih kuat daripada yang pertama?”

“Bisikan yang pertama lebih kuat,” jawab al-Junaid, “karena jika tetap, pemiliknya pasti kembali pada perenungan, dan ini jelas membutuhkan syarat ilmu. Maka dari itu, meninggalkan yang pertama akan memperlemah yang kedua.”

Akan tetapi, Ibnu Atha’ mengatakan, “Yang kedua lebih kuat karena kekuatannya bertambah dengan yang pertama.”

Oleh Abu Abdullah bin Khafif, dua pendapat ini ditengahi. “Keduanya sama,” katanya, “karena sama-sama datang dari Al-Haqq. Tidak ada keistimewaan bagi yang satu atas yang lainnya. Yang pertama tidak akan menetap dalam keberadaan kehadiran yang kedua karena bekas-bekas atau pengaruh-pengaruh tidak diperbolehkan dalam al-baqa’ (tetap atau stabil).”

Apakah Anda menemukan masalah teknis pada website atau aplikasi ini? Mohon hubungi kami melalui link berikut:

Platform Lain: