Hikmah 1: Sikap Orang ‘Arif Ketika Khilaf
Hikmah 1 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Sikap Orang ‘Arif Ketika Khilaf”
من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود ازلل.
“Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Amal yang dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah Ta’ala secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah Ta’ala. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (‘arif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah Ta’ala semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah Ta’ala.
Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah Ta’ala secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Ta’ala Yang Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan ‘abid atau murid. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan ‘arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah Ta’ala atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan ‘arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.
Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) ‘arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah Ta’ala; termasuk bergantung pada amal ibadah. (Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi). Wallāhu a’lam
Hikmah 2: Sikap Orang ‘Arif Ketika Di Anugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal
Hikmah 2 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Sikap Orang ‘Arif Ketika Di Anugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal”
إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من الشهوة الخفية، وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العالية.
“Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tajrid adalah sebuah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi di mana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud dengan kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang. Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah Ta’ala telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.
Dianggap “syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, namun keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang-orang ‘arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan dzikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.
Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah Ta’ala telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khaliq.
Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) ialah tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah Ta’ala untuknya, sampai Allah Ta’ala sendiri yang akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah Ta’ala, na’udzubillāh. Wallāhu a’lam
Hikmah 3: Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (1)
Hikmah 3 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah”
سوابق الهمم لاتخرق أسوار الأقدار.
“Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tekad adalah kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah Ta’ala.
Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala di dalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil. Wallāhu a’lam
Hikmah 4: Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (2)
Hikmah 4 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
ارح نفسك من التدبير، فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك.
“Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.
Dengan menggunakan lafadz “istirahat”, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, “Perencanaan adalah setengah dari kehidupan.”
Urusan-urusan yang telah diatur Allah Ta’ala hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah Ta’ala karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyah (kepengaturan) dan takdir Allah Ta’ala, selain juga bisa melalaikan ibadah.
Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir-dzikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berdzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan dzikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih. Wallāhu a’lam
Hikmah 5: Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (3)
Hikmah 5 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
اجتهادك فيما ضمن لك، وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك.
“Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Maksud dari “apa yang telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَاَيِّنْ مِّنْ دَاۤبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَاۖ اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Ankabūt [29]: 60)
Sementara itu, maksud dari “kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt [51]: 56)
Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir-dzikir kepada Allah Ta’ala dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.
Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.
Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafadz “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya. Wallāhu a’lam
Hikmah 6: Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta (1)
Hikmah 6 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta”
لايكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح في الدعاء موجبا ليأسك؛ فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك و في الوقت الذي يريد، لا في الوقت الذي تريد.
“Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang di inginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir [40]: 60)
Doa yang pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang murid daripada doa yang pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah Ta’ala. Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikinya, “Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk, dan mewujudkan segala keinginanmu.” Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya.
Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murid yang terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yang lama, sehingga mujahadah dan riyadhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa-doanya.
Orang-orang ‘arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil-kecil, sedikit, dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang _murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu yang lama dan berakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu. Wallāhu a’lam
Hikmah 7: Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta (2)
Hikmah 7 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لايشككنك في الوعد عدم وقوع الموعود وإن تعين زمنه لئلا يكون ذلك قدحا في بصيرتك، وإخمادا لنور سريرتك.
“Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya qalbumu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika Allah Ta’ala menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantaraan malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan, lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah Ta’ala yang tahu hikmah di balik itu.
Contohnya, yang terjadi pada beberapa wali Allah, yang dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yang dijanjikan itu, orang-orang justru banyak yang menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yang terjadi pada Rasulullah Saw. di tahun Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah Saw. dijanjikan Allah Ta’ala mendapat kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi di tahun sesudahnya.
Jika seorang murid mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya (‘arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhannya, memiliki pandangan yang rusak, dan berhati gelap. Wallāhu a’lam
Hikmah 8: Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya dengan Amalmu
Hikmah 8 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya dengan Amalmu”
إذا فتح لك وجهة من التعرف فلا تبال معها إن قل عملك، فإنه ما فتحها لك إلا وهو يريد أن يتعرف إليك، ألم تعلم أن التعرف هو مورده عليك، والأعمال أنت مهديها إليه! وأين ما أنت مهديه إليه مما هو مورده عليك؟
“Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau pertanyakan amalmu yang sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Dalam perjalanan menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan-dorongan nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah Ta’ala. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber- mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela-sela itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yang diharuskan. Sehingga ia pun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yang sama, ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah.
Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah menasehatinya bahwa jika Allah Ta’ala membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat —seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah Ta’ala atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah Ta’ala dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya— maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah Ta’ala mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Ta’ala Maha Melakukan apa yang Dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.
Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat-sifat dan asma-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan dengan amalan-amalan lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan dengan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.
Kesimpulannya, amal ibadah yang sedikit namun di iringi makrifat, lebih baik daripada amal ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih mempedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan-amalan lahir yang dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para ‘arif yang dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan. Wallāhu a’lam
Hikmah 9: Ruh Amal adalah Ikhlas (1)
Hikmah 9 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Ruh Amal adalah Ikhlas”
تنو عت أجناس الأعمال، لتنوع واردات الأحوال.
“Jenis amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Yang dimaksud asupan hati di sini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan. Ada pula yang memupuk kedermawanan.
Kerapkali kau dapati sebagian murid yang rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yang mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai dengan kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari Gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan Guru, ia tidak boleh beramal, kecuali dengan izin Sang Guru.
Kesimpulannya, beragamnya wirid dan dzikir yang dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai dengan asupan hatinya atau sesuai bimbingan Guru. Ia tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yang dilakukannya. Wallāhu a’lam
Hikmah 10: Ruh Amal adalah Ikhlas (2)
Hikmah 10 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
الأعمال: صور قائمة، وأرواحما: وجود سرالإخلاص فيها.
“Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para ‘abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat riya’ yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah Ta’ala, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.
Sementara itu, bentuk keikhlasan para muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah Ta’ala; yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya.
Oleh sebab itu, Rabi’ah Al-Adawiyah berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu.”
Sementara itu, keikhlasan para ‘arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah Ta’ala semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah Ta’ala, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para ‘arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.
Kemudian, dalam hikmah berikut, Syaikh Ibnu Atha’illah memberi tips bagaimana cara meraih dan menumbuhkan keikhlasan. Wallāhu a’lam
Hikmah 11: Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid
Hikmah 11 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid”
ادفن وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه.
“Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Maksud “tanah kerendahan” adalah tanah yang di sana popularitas tak tumbuh subur. Maksud “kuburlah dirimu di sana” adalah kau tidak usah menempuh sebab-sebab popularitas, seperti dengan cara menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yang membuatmu terkenal. Seandainya kau terpaksa terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan memandang jabatan yang sedang kau sandang sebagai hal yang besar. Yakinlah bahwa kebaikan akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun, jangan kau tinggalkan semua itu, kecuali atas bimbingan Gurumu atau atas izin Tuhanmu.
Syaikh Ibnu Atha’illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, “Sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna.” Maksudnya, benih yang tidak ditanam dalam-dalam hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tak bisa dimanfaatkan. Bahkan, mungkin benih itu akan mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman.
Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yang berhasil di akhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari makhluk, tidak mau dikenang, tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak dikenal.
Abu al-Abbas rahimahullah berkata, “Siapa yang menginginkan popularitas, ia adalah budak popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa, ia akan menjadi budak penguasa. Siapa yang menyembah Allah Ta’ala, baginya sama saja, terkenal ataupun tidak.” Wallāhu a’lam
Hikmah 12: Manfaat ‘Uzlah
Hikmah 12 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Manfaat ‘Uzlah”
ما نفع القلب شيء مثل عزلة، يدخل بها ميدان فكرة.
“Tiada yang lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah, hati memasuki lapangan tafakkur.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
‘Uzlah (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tafakkur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yang berpacu di sebuah arena pacuan. Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yang kemudian tampak jelas di hadapannya hanyalah hal-hal yang bersifat materi dan fana. Tidak demikian jika ia ber’uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal-hal ghaib.
Dalam sebuah khabar disebutkan, “Bertafakkur sesaat lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun.”
Ada seseorang yang bertanya kepada Ummu ad-Darda’, “Amalan apa yang paling diutamakan Abu Darda’?”
Ummu ad-Darda’ menjawab, “Tafakkur.” Dengan bertafakkur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah Ta’ala, dan mengutamakan segala hal yang diridhai-Nya. Dengan bertafakkur, ia bisa menganggap hina semua hal yang dibenci Allah Ta’ala sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mengetahui keburukan-keburukan jiwa yang terselubung, kejahatan musuh, dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkannya.
Dengan menyendiri dan merenung, seorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini, bagi murid yang menempuh jalan tarekat sendirian.
Adapun bagi murid yang berada di bawah bimbingan Guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan Gurunya, juga dengan saudara-saudara yang turut membantunya dalam menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi ‘arif, tak masalah baginya untuk bergaul dengan manusia mana pun karena saat itu di matanya hanya Allah Ta’ala yang terlihat. Perlu dicamkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah tafakkur, sedangkan ‘uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung. Wallāhu a’lam
Hikmah 13: Hati Tidak Mungkin Bersinar Manakala Keduniaan Menutupinya
Hikmah 13 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Hati Tidak Mungkin Bersinar Manakala Keduniaan Menutupinya”
كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة في مرآته؟ أم كيف يرحل إلى الله، وهو مكبل بشهواته؟ أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله، وهو لم يتطهر من جنابة غفلاته؟ أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار، وهو لم يتب من هفواته؟
“Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertaubat dari kekeliruannya?”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat dan bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu di andalkannya!
Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah Ta’ala? Orang yang dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah Ta’ala, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?
Di sini, Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seorang yang sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan di izinkan menemui Allah Ta’ala.
Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum ‘arif, sedangkan ia belum bertaubat dari kesalahan atau maksiat yang tidak disengaja dilakukannya?
Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yang di inginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.
Perjalanan menuju Allah Ta’ala hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah Ta’ala hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah Ta’ala. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu melakukan maksiat.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Dalam sebuah khabar disebutkan, “Siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya.”
Keempat hal di atas sebenarnya saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilnya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati. Wallāhu a’lam
Hikmah 14: Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (1)
Hikmah 14 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu”
الكون كله ظلمة، وإنما أناره ظهور الحق فيه، فمن رأى الكون ولم يشهده فيه، أوعنده، أوقبله، أوبعده فقد أعوزه وجود الأنوار، وحجبت عنه شموس المعارف بسحب الآثار.
“Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Di mata para ahli syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah Ta’ala dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah Ta’ala semata, persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah Ta’ala pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.
Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah Ta’ala di sana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah Ta’ala) yang membuatnya mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.
Di sini Syaikh Ibnu Atha’illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah Ta’ala. Di antara mereka ada yang menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Maha Benar dan bahwa hanya Dia yang menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbersit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.
Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Ada pula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu.
Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Wallāhu a’lam
Hikmah 15: Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (2)
Hikmah 15 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
مما يدلك على وجود قهره — سبحانه — أن حجبك عنه بما ليس بموجود معه.
“Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Para ‘arif sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah Ta’ala adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah Ta’ala dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujud-Nya.
Seorang ‘arif berkata, “Para muhaqqiq (peraih maqam makrifat) menolak untuk memandang selain Allah Ta’ala karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah Ta’ala dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu.”
Semua hal selain Allah Ta’ala dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah Ta’ala? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yang mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena yang mewujudkannya hanyalah Allah Ta’ala. Inilah yang amat mengherankan.
Kemudian, pada hikmah berikutnya, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa seorang ‘arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang-orang awam. Wallāhu a’lam
Hikmah 16: Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (3)
Hikmah 16 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي أظهر كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر بكل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر في كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر لكل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الظاهر قبل وجود كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أظهر من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أظهر من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الواحد الذي ليس معه شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أقرب إليك من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، ولولاه ما كان وجود كل شيء يا عجبا! كيف يظهر الوجود في العدم!؟ أم كيف يثبت الحادث مع من له وصف القدم!؟
“Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (‘adam)?! Atau, bagaimana bisa sesuatu yang baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menampakkan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan “menampakkan” meniscayakan penampakan Dzat yang melakukannya. Allah Ta’ala lah yang menampakkan segala sesuatu agar orang-orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)
Menurut ahli syuhud, Allah Ta’ala tampak pada segala sesuatu dengan penampakan Dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asma‘ dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yang mulia, tampaklah sifat Maha Mulia (‘Aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang yang hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (Mudzill) milik-Nya.
Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (Muhyi) milik-Nya. Saat Allah Ta’ala mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (Mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (Mu‘thi). Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (Mani). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (Karim). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (Mujib). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (Dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (Nafi’), dan sebagainya.
Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua makhluk di alam ini, baik itu yang bernyawa maupun yang tidak, mengenali Allah Ta’ala, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah Ta’ala yang dilihatnya. Jika ada makhluk yang tidak mengagungkan Allah Ta’ala sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali.
Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Dzahir sebelum wujud segala sesuatu? Karena asma-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah Ta’ala sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (Dzahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana dengan sifat Dzahir -Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?
Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada ‘adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yang bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yang di akibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat daripada kemunculan yang fana.
Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang-orang lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa-apa. Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yang menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.
Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu.
Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi Allah Ta’ala, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yang bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah Ta’ala tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, bukan milik selain-Nya.
Bagaimana mungkin Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16)
Menurut ahli syuhud, Dzat Allah Ta’ala amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain.
Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai-sampai para musyahidun (yang merasa menyaksikan Allah Ta’ala) menjadikan Allah Ta’ala sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.
Allah Ta’ala berfirman:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)
Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam (ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.
Bagaimana bisa sesuatu yang baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yang baru muncul bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam. Yang baru itu bathil, sedangkan Allah Ta’ala itu Haq (Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.
Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
“Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81)
Sosok yang lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah Ta’ala, bukan alam semesta. Tak ada yang berwujud, kecuali Allah Ta’ala karena Dia yang tampak dan menampakkan, yang mawjud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yang pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yang dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya. Wallāhu a’lam
Hikmah 17: Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah (1)
Hikmah 17 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah”
ماترك من الجحل شيئا من أراد أن يحدث في الوقت غير ما أظهره الله فيه.
“Alangkah bodohnya orang yang menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah Ta’ala dengan merelakan diri untuk tetap berada pada keadaan tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan: keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at.
Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yang memindahkannya ke keadaan yang lain. Jika terbersit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.
Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, “Bila Allah Ta’ala menempatkanku pada satu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikit pun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya.” Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah Ta’ala dan ketuhanan-Nya.
Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah Ta’ala kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang “hukum waktu” yang di isyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang “hukum waktu” merupakan dosa paling besar. Wallāhu a’lam
Hikmah 18: Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah (2)
Hikmah 18 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لا تطلب منه أن يحرجك من حالة ليستعملك فيما سواها، فلو أرادك لا ستعملك من غير إخراج.
“Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena jika Allah Ta’ala mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yang dikehendaki Allah Ta’ala), Allah Ta’ala akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu untuk melakukan amal-amal shaleh, dan menyibukkan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.
Jika seorang murid berada dalam satu kondisi yang tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syari’at, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dan menentang “hukum waktu” —sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas. Ia juga tidak layak meminta Tuhannya untuk segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah Ta’ala dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini.
Yang patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan demikian, ia pun beramal sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Akan lebih baik lagi baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.
Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan syara’. Dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke kondisi yg lebih diridhai-Nya. Wallāhu a’lam
Hikmah 19: Menunda Amal Saleh Termasuk Sikap Bodoh
Hikmah 19 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Menunda Amal Saleh Termasuk Sikap Bodoh”
إحالتك الأعمال على وجود الفراغ — من رعونات النفس.
“Menunda amal karena menunggu waktu yang luang termasuk tanda kebodohan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika seorang murid menunda-nunda amal yg bisa mendekatkannya kepada Tuhannya karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela-sela kesibukan dunianya, tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih-alih mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru ajal yang menjemputnya tiba-tiba. Bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling berkaitan.
Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah. Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal-amal yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, “Waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa menggunakannya, niscaya ia akan menebasmu.” Wallāhu a’lam
Hikmah 20: Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Arif
Hikmah 20 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Arif”
ماأرادت همة سالك أن تقف عند ما كشف لها إلا ونادته هوا تف الحقيقة: الذي تطلب أمامك، ولاتبرجت له ظواهر المكونات إلا ونادته حقائقها: ((إنما نحن فتنة فلا تكفر)) (البقرة: ١٠٢)
“Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara hakikat pun memperingatkannya, “Yang kau cari ada di depanmu!” Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar, “Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur!” “
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tekad seorang salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia, dan cahaya-cahaya Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal, dan maqam yang telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan-bisikan hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai disitu, “Karena apa yang kau cari ada di depanmu!” Apa yang dicari dan di inginkan seorang salik adalah “sampai kepada Tuhannya”, bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.
Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yang tak kau dengar, “Kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah Ta’ala karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi nikmat.”
Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yang sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri di hadapan Tuhan. Wallāhu a’lam
Hikmah 21: Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (1)
Hikmah 21 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya”
طلبك منه اتهام له، وطلبك له غيبة منك عنه، وطلبك لغيره لقلت حيائك منه، وطلبك من غيره لوجود بعدك عنه.
“Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti mengghibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala, seorang murid harus sibuk melakukan amal-amal shaleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah Ta’ala.
Bila kau meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.
Bila kau mencari-cari Allah Ta’ala agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan ghibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Maha Hadir tidak perlu lagi dicari-cari.
Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yang lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.
Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk-makhluk-Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.
Bagi kalangan murid, meminta kepada Sang Khaliq adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang ‘arif hanya memandang kepada Allah Ta’ala. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada Sang Khaliq. Wallāhu a’lam
Hikmah 22: Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (2)
Hikmah 22 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
ما من نفس تبديه إلا وله قدر فيك يمضيه.
“Pada setiap desahan napas yang kau hembuskan terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Setiap nafas yang keluar darimu telah ditakdirkan Allah Ta’ala, baik yang terkandung di dalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap nafas yang keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah Ta’ala untukmu, siapa pun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan nafasmu. Dengan begitu, di setiap nafas, kau menjadi seorang salik yang ingin meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah makna ungkapan “jalan menuju Allah Ta’ala sebanyak desahan napas seluruh makhluk.” Wallāhu a’lam
Hikmah 23: Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (3)
Hikmah 23 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لاتترقب فراغ الأغيار، فإن ذلك يقطعك عن وجود المراقبة له فيما هو مقيمك فيه.
“Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yang telah ditetapkan-Nya untukmu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kecenderungan-kecenderungan kepada dunia memang merupakan kegelapan yang dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecenderungan-kecenderungan itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yang telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa amal-amal yang bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam Pengawasan-Nya.
Yang dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqamah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah Ta’ala. Jangan kau sibuk dengan segala hal yang masuk ke dalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.
Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, “Kalau benar aku ini ahli iradah, tentunya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk ke dalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yang sudah kulakukan selama ini.” Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yang menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal shaleh.
Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini adalah kotoran-kotoran keduniaan yang menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yang mau tidak mau harus kau hadapi. Wallāhu a’lam
Hikmah 24: Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia
Hikmah 24 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia”
لا تستغرب وقوع الأكدار ما دمت في هذا الدار فإذا ما أبرزت إلا ماهو مستحق وصفها، وواجب نعتها.
“Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan-penderitaan selama kau masih hidup di dunia ini karena dunia hanya akan menampakkan apa yang mesti ditampakkannya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Di antara hal yang lazim terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana.
Imam Ja’far ash-Shadiq ra. berkata, “Siapa yang mencari apa yang belum diciptakan berarti menyiksa dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yang tak akan pernah didapatkannya.”
Ia lalu ditanya, “Apa gerangan yang tak akan pernah didapatkannya itu?” Ia menjawab, “Kenyamanan di dunia.”
Oleh karena itu, seorang murid yang tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda-benda duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatannya melihat Tuhan Yang Maha Mulia dan Pengampun. Wallāhu a’lam
Hikmah 25: Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (1)
Hikmah 25 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul”
ما توقف مطلب أنت طالبه بربك، ولا تيسر مطلب أنت طالبه بنفسك.
“Apa yang kau minta tak akan terhalang selama kau memintanya kepada Tuhanmu. Namun, apa yang kau minta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Permintaan yang dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan, baik itu yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yang kau minta dan inginkan tidak akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memperhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusanmu. Namun, permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang-orang sekitarmu atau pada kekuatanmu sendiri.
Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepada Allah Ta’ala, berlindung dan bertawakkal kepada-Nya, Allah Ta’ala akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yang jauh darinya, dan memudahkan segala yang sulit baginya. Barang siapa yang mengandalkan ilmu dan akalnya serta bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah Ta’ala akan mempersulitnya dan membuatnya gagal. Apa yang di inginkan dan dibutuhkannya itu tidak akan mudah didapatkan dan sulit diwujudkan. Wallāhu a’lam
Hikmah 26: Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (2)
Hikmah 26 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
من علامات النجح في النهايات الرجوع إلى الله في البدايات.
“Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Langkah awal seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yang memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya dengan kembali kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan bergantung pada amalnya yang kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yang tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat pemberangkatannya semula.
Seorang ‘arif berkata, “Siapa yang mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah Ta’ala tanpa bantuan-Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yang memohon bantuan dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah Ta’ala maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri.” Wallāhu a’lam
Hikmah 27: Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (3)
Hikmah 27 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
من أشرقت بدايته أشرقت نهايته.
“Siapa yang bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Siapa yang awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu-waktunya dengan bermacam ketaatan, wirid, dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir perjalanannya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya.
Demikian pula sebaliknya, siapa yang usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah daripada yang lain. Bisa jadi, pengertian “bersinar di awal” di sini ialah kembali kepada Allah Ta’ala dan bertawakkal kepada-Nya. Adapun makna “bersinar di akhir” ialah berhasil sampai kepada-Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya. Wallāhu a’lam
Hikmah 28: Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya di Wajah
Hikmah 28 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya di Wajah”
ما استودع في غيب السرائر ظهر في شهادة الظواهر.
“Apa yang tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Makrifat dan cahaya Ilahi yang ditetapkan Allah Ta’ala di dalam hati seseorang pasti akan muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk mengenali keadaan seorang murid menuju Allah Ta’ala, karena tampilan lahir adalah cermin dari keadaan batin. Bagi orang-orang yang ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid, penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda. Wallāhu a’lam
Hikmah 29: Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah
Hikmah 29 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah”
شتان بين من يستدل به، أو يستدل عليه: المستدل به عرف الحق لأهله؛ فأثبت الأمر من وجود أصله، والاستدلال عليه من عدم الوصول إليه، وإلا فمتى غاب حتى يستدل عليه، ومتى بعد؛ حتى تكون الآثار هي التي توصل إليه؟
“Betapa jauh bedanya antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yang menyatakan bahwa “adanya Allah menunjukkan adanya alam” adalah orang yang telah mengenal al-Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yang membuatnya ada. Sementara itu, yang berdalil bahwa “adanya alam menunjukkan adanya Allah” adalah orang yang belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu ghaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang-orang yang dekat kepada Allah Ta’ala ada dua golongan, yaitu murad (yang dikehendaki Allah Ta’ala) atau majdzub (yang ditarik Allah Ta’ala untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yang menghendaki Allah Ta’ala) atau salik (yang meniti jalan menuju Allah Ta’ala). Para murad atau majdzub adalah ahli syuhud.
Adapun para murid atau salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah Ta’ala itu ghaib. Mereka tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktikan wujud Allah Ta’ala.
Sementara itu, para murad atau majdzub, mereka langsung didekati Allah Ta’ala dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan mengenali-Nya. Semua makhluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah Ta’ala adalah bukti dari wujud semesta. Mereka itulah kaum ‘arif. Mereka termasuk orang-orang yang didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya.
Namun, karena sikap istiqamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka kepada Allah Ta’ala (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan, “Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub.”
Manusia yang paling kuat jadzab -nya adalah para Nabi dan Rasul. Inilah perbedaan antara dua kelompok tersebut.
Orang yang menggunakan Allah Ta’ala sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah Ta’ala sebagai wujud yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah Ta’ala semata. Adapun benda-benda yang hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah Ta’ala. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk bersumber dari wujud Khaliq yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.
Berbeda halnya dengan orang yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah Ta’ala. Ia menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yang sudah diketahui (ma‘lum), menggunakan ketiadaan (‘adam) untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkara yang tersembunyi (khafiyy) untuk membuktikan hal yang lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab-sebab daripada mencari Sang Pembuat Sebab.
Sejak kapan Allah Ta’ala ghaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan Allah Ta’ala jauh sehingga alam semesta inilah yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhud.
Sementara itu, orang-orang mahjub (yang terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah Ta’ala. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik yang belum mencapai maqam ahli syuhud. Wallāhu a’lam
Hikmah 30: Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-cahaya Muwajjahah (1)
Hikmah 30 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-cahaya Muwajjahah”
لينفق ذو سعة من سعته (الواصلون إليه)، ومن قدر عليه رزقه (السائرون إليه).
“Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang yang telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 7)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
“Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya.” Ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka di anugerahi rezeki berupa berbagai ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yang luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.
Sementara itu, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah Ta’ala berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yang Allah Ta’ala ajarkan kepada mereka. Wallāhu a’lam
Hikmah 31: Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-cahaya Muwajjahah (2)
Hikmah 31 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
اهتدى الراحلون إليه بأنوار التواجه، والواصلون لهم أنوار المواجهة. فالأولون للأنوار، وهؤلاء الأنوار لهم؛ لأنهم لله، لاشيء دونه: قل الله ثم ذرهم في خوضهم يلعبون (الأنعام: ٩٢)
“Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendatangi cahaya, sedangkan golongan kedua didatangi oleh cahaya. Allah Ta’ala berfirman, “Katakan ‘Allah’, lalu biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya.” (QS. al-An’am [6]: 92)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Cahaya yang didapat golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah Ta’ala karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah Ta’ala.
Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allah Ta’ala lah yang mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah Ta’ala tanpa perjuangan dan susah payah.
Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya.
Adapun maksud firman “Katakan ‘Allah’” ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selain-Nya. Kemudian, maksud “biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya” ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari haqqul yaqin (keyakinan yang kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah Ta’ala hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu adalah sifat orang-orang mahjub (terhalang). Wallāhu a’lam
Hikmah 32: Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-cahaya Muwajjahah (3)
Hikmah 32 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
تشوفك إلى ما بطن فيك من العيوب خير من تشوفك إلى ما حجب عنك من الغيوب.
“Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai ghaib yang terhijab bagimu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Contoh kekurangan diri ialah sifat riya’, tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang Guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Tuhanmu.
Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.
Oleh sebab itu, orang-orang berkata, “Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah.” Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri. Wallāhu a’lam
Hikmah 33: Tidak Ada Sesuatupun yang Menghijabi Allah, Manusialah yang Terhijab dari Allah
Hikmah 33 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Tidak Ada Sesuatupun yang Menghijabi Allah, Manusialah yang Terhijab dari Allah”
الحق ليس بمحجوب، وإنما المحجوب أنت عن النظر إليه، إذلو حجبه شيء لستره ماحجبه، ولو كان له ساتر لكان لوجوده حاصر، وكل حلصر لشيء فهو له قاهر؛ (وهو القاهر فوق عباده) (الأنعام: ١٨)
“Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal, “Dia adalah Maha Kuasa (qahir) atas segala sesuatu.” (QS. Al-An‘am [6]: 18)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Terhijab bukanlah sifat Allah Ta’ala. Yang memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.
Hikmah di atas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah Ta’ala terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah Ta’ala terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah Ta’ala terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah Ta’ala, berdasarkan firman-Nya:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهٖۗ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am [6]: 18)
Wallāhu a’lam
Hikmah 34: Perintah Agama Tentang Sifat-sifat Manusia
Hikmah 34 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Perintah Agama Tentang Sifat-sifat Manusia”
اجرج من أوصاف بشريتك عن كل وصف مناقض لعبوديتك؛ لتكون لنداء الحق مجيبا، ومن حضرته قريبا.
“Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan kehambaanmu agar kau mudah menyambut panggilan Yang Haq (Allah) dan dekat dengan-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Keluarkanlah dari dirimu sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dengan riyadhah dan mujahadah; baik itu sifat-sifat tercela yang lahir (seperti suka melakukan ghibah, mengadu domba, membunuh, dan merampas) maupun yang batin (seperti sombong, ujub, riya’, sum’ah (ingin terkenal), dengki, gila kehormatan, gila harta, dan sebagainya).
Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dengan predikat kehambaanmu agar kau mudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat-sifat tercelamu dan menyisakan sifat-sifat baikmu (seperti tawadhu’ (rendah hati) karena Allah Ta’ala, khusyuk di hadapan-Nya, mengagungkan perintah-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas dalam menyembah-Nya), maka di saat datang seruan kepadamu, “Wahai hamba-Ku!” kau pun akan dengan mudahnya menjawab, “Labbaik, Tuhanku!” Kau pun akan tulus dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuz) dan memudahkan segala amalmu yang kelak akan kau nikmati hasilnya.
Ada perbedaan makna antara mahfuz (terjaga dari dosa) dengan lafadz ma‘shum (terlindungi dari dosa). Bedanya adalah, ma’shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuz terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang yang mahfuz akan langsung bertaubat.
Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yang diberi taufik dan bimbingan Allah Ta’ala untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat-sifat buruknya. Karena siapa yang sudah mengenali dirinya dan sifat-sifat buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat-sifat buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal-hal yang dibenci Tuhannya. Wallāhu a’lam
Hikmah 35: Pangkal Setiap Kelalaian dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri
Hikmah 35 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Pangkal Setiap Kelalaian dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri”
أصل كل معصية وغفلة وشهوة الرضا عن النفس، وأضل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضا منك عنها.
“Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah Ta’ala. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah Ta’ala. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah Ta’ala.
Menurut orang-orang ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah Ta’ala. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat. Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah Ta’ala. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridhai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat.
Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barang siapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yang datang dan menyerang.
Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah Ta’ala dan mentaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah Ta’ala.
Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam itu. Wallāhu a’lam
Hikmah 36: Teman dan Ilmu
Hikmah 36 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
ولأن تصحب جاهلا لا يرضى عن نفسه خير لك من أن تصحب عالما يرضى عن نفسه. فأي علم لعالم يرضى عن نفسه؟ وأي جهل لجاهل لايرضى عن نفسه؟
“Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang bodoh ialah orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
Tidaklah baik berteman dengan seorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki dirinya.
Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya —yang membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya— justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu. Wallāhu a’lam
Hikmah 37: Sinar Mata Hati
Hikmah 37 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
شعاع البصيرة يشهدك قربه منك، وعين البصيرة تشهدك عدمك لوجوده، وحق البصيرة يشهدك وجوده، لاعدمك، ولاوجودك.
“”Sinar mata hati” membuatmu menyaksikan Kedekatan-Nya denganmu. “Penglihatan mata hati” membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. “Hakikat mata hati” membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sinar mata hati sering disebut dengan cahaya akal dan ‘ilmul yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan ‘ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin.
Cahaya-cahaya Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri-sendiri.
Seseorang berkata, “Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya.” Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada Sang Khaliq dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk.
Melalui hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan Allah Ta’ala. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah Ta’ala dan malu kepada-Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah Ta’ala tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya.
Orang yang terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yang wujud karena wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada dan tidak mempedulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Mawjud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah Ta’ala. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang dijadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah, kecuali Allah Ta’ala. Ia hanya akan bertawakkal kepada-Nya, ridha, dan memasrahkan diri kepada-Nya.
Sementara itu, orang yang terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yang suci. Ia akan merasa kefana’an secara total. Kefana’an yang abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya, Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefana’an total itu, ia akan menempati maqam keabadian.
Penulis Al-‘Awarif berkata, “Orang yang abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yang fana’ akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk.” Wallāhu a’lam
Hikmah 38: Allah Kini sebagaimana Ada-Nya Semula
Hikmah 38 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
كان الله ولاشيء معه، وهو الآن على ما عليه كان.
“Allah telah ada dan tiada sesuatu pun di samping-Nya; kini Dia masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ini adalah kondisi orang yang menduduki maqam kefana’an. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.
Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah Ta’ala sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab. Wallāhu a’lam
Hikmah 39: Allah Ta’ala Tidak Mungkin akan Terlampaui oleh Harapan dan Angan
Hikmah 39 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لا تتعد نية همتك إلى غيره، فالكريم لا تتخطاه الآمال.
“Jangan sampai tekadmu tertuju pada selain-Nya karena Tuhan Yang Maha Mulia (Karim) tidak mungkin akan terlampaui oleh harapan dan angan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan sampai kau menuju kepada selain Allah Ta’ala dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yang tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang mulia; dan tak ada yang benar-benar mulia, kecuali Allah Ta’ala. Setiap orang yang mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapa pun yang berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki selain oleh Allah Ta’ala. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya.
Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan ‘ubudiyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah Ta’ala. Lain halnya bila permintaan tersebut di iringi dengan keyakinan bahwa makhluk yang dimintainya itu hanyalah wasilah (perantara), tetapi yang sebenarnya memberi adalah Allah Ta’ala sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan ‘ubudiyah. Wallāhu a’lam
Hikmah 40: Setiap Perkara yang Menimpa Manusia Ditujukan Agar Manusia Bersandar Kepada Allah
Hikmah 40 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Setiap Perkara yang Menimpa Manusia Ditujukan Agar Manusia Bersandar Kepada Allah”
لا ترفعن إلى غيره حاجة هو موردها عليك، فكيف يرفع غيره ماكان هو له واضعا !؟ من لا يستطيع أن يرفع حاجة عن نفسه فكيف يستطيع أن يكون لها عن غيره رافعا ؟
“Jangan mengadukan musibah kepada selain Allah. Karena Allah semata yang menurunkannya. Bagaimana mungkin selain Allah dapat mengangkat musibah yang telah ditetapkan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengangkat musibah dari dirinya sendiri bisa mengangkat musibah dari orang lain?”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jika ada musibah yang menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah Ta’ala untuk menghilangkannya karena yang menurunkan musibah itu adalah Allah Ta’ala. Ingat, Allah Ta’ala lah Yang Unggul dan tak ada yang bisa mengalahkan-Nya.
Orang yang tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah yang menimpa orang lain.
Kesimpulannya, siapa pun selain Allah Ta’ala, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu memberi manfaat kepada orang lain, tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun kenyataannya, ia tidak mampu mendatangkan itu. Perlu diingat, tak ada kelemahan melebihi kelemahan dalam memberi manfaat kepada diri sendiri.
Oleh karena itu, teramat sempit akalmu jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada orang yang juga butuh pertolongan seperti dirimu. Wallāhu a’lam
Hikmah 41: Berbaik Sangka Kepada Allah
Hikmah 41 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Berbaik Sangka Kepada Allah”
إن لم تحسن ظنك به لأجل حسن وصفه فحسن ظنك به لأجل معاملته معك، فهل عودك إلا حسنا !؟ وهل أسدى إليك إلامننا !؟
“Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Dalam hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha’illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah Ta’ala, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam.
Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah Ta’ala atas sifat-sifat-Nya yang baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah Ta’ala atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqam tersebut. Syaikh Ibnu Atha‘illah seakan berkata, “Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yang telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang awam. Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifat-Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakkal yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya.” Wallāhu a’lam
Hikmah 42: Mata Hati
Hikmah 42 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
العجب كل العجب ممن يهرب ممن لا انفكاك له عنه، ويطلب مالا بقاء معه، ((فإنها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور)) (الحج: ٤٦)
“Sungguh aneh! Orang menghindar dari sosok yang tak bisa dihindari, lalu mencari sesuatu yang tidak kekal. “Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada.”” (QS. al-Hajj [22]: 46)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sungguh mengherankan! Orang ingin menghindari Allah Ta’ala dengan tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu.
Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih mengutamakan yang fana daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu. Wallāhu a’lam
Hikmah 43: Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam (1)
Hikmah 43 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam”
لاترحل من كون إلى كون؛ فتكون كحمار الرحى ويسير، والمكان الذي ارتحل إليه هو الذي ارتحل منه، ولكن ارحل من الأكوان إلى المكون. ((وأن إلى ربك المنتهى)) (النجم: ٤٢)
“Jangan kau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga kau menjadi seperti keledai penggilingan yang berputar-putar; tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak. Namun, pergilah dari alam menuju Pencipta alam. “Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.” (QS. An-Najm [53]: 42)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Maksudnya adalah beramal disertai dengan sifat riya’ atau sifat-sifat tercela lainnya dan tidak bernilai syar‘i. Jika seorang murid ber- mujahadah, lalu berhasil menjauhi sifat-sifat tercela, tetapi pada saat yang sama ia mengharapkan pahala dan ketinggian derajat atau maqam, ia masih dianggap tercela di mata para ‘arif. Yang terpuji adalah yang meniatkan setiap amalnya hanya karena Allah Ta’ala semata.
Syaikh Ibnu Atha‘illah mengumpamakan kepergian dari satu alam ke alam lain dengan perjalanan keledai penggilingan yang hanya berputar-putar di tempatnya. Demikian pula dengan amal yang tidak ditujukan karena Allah Ta’ala. Orang yang beramal demi mengharap pahala, misalnya, dianggap sebagai orang yang bepergian dari satu alam, yakni alam riya’, menuju alam lain, yakni alam pahala. Semua alam adalah sama; sama-sama materi.
Yang benar adalah kau harus pergi dari alam menuju Pencipta alam dengan cara mengikhlaskan amalmu hanya untuk-Nya dan tidak berharap balasan, baik langsung maupun tak langsung. Siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan atau maqam tertentu maka dia akan menjadi budak kedudukan itu. Siapa yang beramal karena Allah Ta’ala semata maka dia akan menjadi hamba Allah Ta’ala. Ini sama dengan kepergiannya dari alam menuju Pencipta alam.
“Sesungguhnya, Tuhanmu adalah puncak segala tujuan.” Maksudnya, perjalananmu akan berakhir di hadirat-Nya sehingga keinginanmu terwujud. Sebaliknya, orang yang pergi dari satu alam ke alam lain, perjalanannya tidak akan pernah berujung kepada Allah Ta’ala dan ia tidak pernah akan sampai kepada-Nya. Wallāhu a’lam
Hikmah 44: Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam (2)
Hikmah 44 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
وانظر إلى قوله صلى الله عليه وسلم: فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها، أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ماهاجر إليه، فافهم قوله عليه الصلاة والسلام، وتأمل هذا الأمر، إن كنت ذا فهم والسلام.
“Dengarlah sabda Rasulullah Saw., “Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya atau kepada perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” Pahamilah sabda Rasulullah Saw. ini dan perhatikan hal tersebut jika kau memiliki kecerdasan dan pemahaman.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Hadits ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadits ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Seakan Rasulullah Saw. memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.
Sabda Rasulullah Saw., “maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya” bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan “maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” adalah tetap berada di alam, tidak kemana-mana, dan hanya berputar-putar di tempat.
Kesimpulannya, kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Haq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum ‘arif yang mengenal Allah Ta’ala. Wallāhu a’lam
Hikmah 45: Persahabatan dan Orang yang Pantas Dijadikan Sahabat (1)
Hikmah 45 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Persahabatan dan Orang yang Pantas Dijadikan Sahabat”
لا تصحب من لا ينهضك حاله، ولا يدلك على الله مقاله.
“Jangan kau temani orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seorang murid dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan berteman dengan orang yang membuatmu bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan Allah Ta’ala.
Misalnya, orang yang tekadnya tinggi yang senantiasa bergantung kepada Allah Ta’ala, jauh dari makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah Ta’ala dan dalam setiap perkara tidak bertawakkal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti apa-apa, tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara’, tanpa melebih-lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang-orang ‘arif yang mengenal Allah Ta’ala.
Menemani orang-orang seperti itu, walaupun ibadahnya sedikit dan amalan sunnahnya tidak banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain.
Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, kita hanya diperbolehkan bergaul dengan mereka secara lahir, tidak lebih, karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan mereka tidak akan mendatangkan bahaya apa-apa bagimu. Namun, jika derajat mereka berada di bawahmu, Syaikh Ibnu Atha‘illah memberikan nasihatnya melalui hikmah berikut.
Hikmah 46: Persahabatan dan Orang yang Pantas Dijadikan Sahabat (2)
Hikmah 46 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
ربما كنت مسيئا، فأراك الإحسان منك صحبتك من هو أسوأ حالا منك.
“Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik di matamu karena persahabatanmu dengan orang yang lebih buruk daripada dirimu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Artinya, berteman dengan orang yang kualitas kebaikannya berada di bawahmu amat berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan-kebaikanmu. Itu adalah pangkal segala keburukan.
Boleh saja kau berteman dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah Ta’ala asalkan orang itu sederajat denganmu agar pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu.
Di sini Syaikh Ibnu Atha‘illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang-orang ‘arif terbagi menjadi dua: pertemanan yang didasari keinginan dan pertemanan yang mengharap berkah.
Pertemanan yang didasari keinginan ialah pertemanan yang harus memenuhi syarat-syaratnya. Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan Syaikh atau Gurunya seperti seonggok mayat di tangan para pemandi mayat.
Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yang tujuannya masuk ke satu kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak perlu ada syarat-syarat pertemanan. Yang paling penting adalah bagaimana ia berpegang pada batasan-batasan syara’. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqam yang telah mereka raih. Wallāhu a’lam
Hikmah 47: Zuhud adalah Faktor Terbesar dalam Menumbuhkan Amal (1)
Hikmah 47 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Zuhud adalah Faktor Terbesar dalam Menumbuhkan Amal”
ما قل عمل برز من قلب زاهد، ولا كثر عمل برز من قلب راغب.
“Amal sedikit dari hati yang zahid tidak bisa dikatakan sedikit. Amal banyak dari hati yang tamak tidak bisa dikatakan banyak.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seorang zahid adalah orang yang tidak bergantung pada dunia. Amalnya, walaupun secara kasat mata tampak sedikit, secara maknawi amatlah banyak karena terbebas dari cacat dan kekurangan yang membuat amal itu tidak diterima, seperti berniat riya’, pura-pura di hadapan manusia, mengharap keuntungan duniawi, atau tanpa kehadiran hati di hadapan Tuhan.
Sementara itu, amal yang bersumber dari hati yang tamak terhadap dunia, walaupun secara kasat mata amal itu terlihat banyak, secara maknawi amal itu dianggap sedikit karena tidak terbebas dari hal-hal yang mengotori dan mengurangi nilainya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., “Dua raka’at (shalat sunnah) dari seorang zahid yang alim lebih baik daripada ibadah para ‘abid dan mujtahid sepanjang hidup mereka.” Wallāhu a’lam
Hikmah 48: Zuhud adalah Faktor Terbesar dalam Menumbuhkan Amal (2)
Hikmah 48 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
حسن الأعمال نتائج حسن الأحوال، وحسن الأحوال من التحقق فى مقامات الإنزال.
“Sebaik-baik amal adalah amal yang dihasilkan dari sebaik-baik ahwal (keadaan batin) dan sebaik-baik ahwal adalah ahwal yang dihasilkan dari kemapanan maqam-maqam yang diraih.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Amal terbaik adalah amal yang terbebas dari faktor-faktor yang membuat sebuah amal tidak diterima, seperti riya’ dan mengharap keuntungan duniawi. Amal yang lebih baik lagi adalah amal yang dikerjakan dengan hati yang senantiasa hadir di hadapan Allah Ta’ala dan tidak peduli dengan bisikan-bisikan setan.
Ahwal (keadaan batin) terbaik adalah ahwal yang tergambar dalam bentuk sikap zuhud terhadap dunia dan ikhlas kepada Allah Ta’ala. Misalnya, dengan meniatkan amal untuk ‘ubudiyah kepada-Nya semata, bukan untuk mencari pahala. Ahwal ini didapat dari kemapanan maqam-maqam yang diturunkan ke dalam hati yg bentuknya berupa makrifat ilahiah yang menyebabkan seseorang mengabaikan segala keinginan, baik itu keinginan masuk surga maupun keinginan selamat dari neraka.
Jika seorang murid berhasil meraih itu, ia akan merasa melihat Tuhannya dengan hatinya. Dengan begitu, dalam amalnya, ia tidak berharap selain Allah Ta’ala. Buahnya, amalnya akan terbebas dari segala faktor yang membuat amal tidak diterima. Hikmah ini merupakan dalil dan penegas hikmah sebelumnya.
Karena sifat-sifat terpuji, biasanya, tidak tumbuh kecuali dari banyaknya dzikir, Syaikh Ibnu Atha‘illah menyampaikan demikian. Wallāhu a’lam
Hikmah 49: Dzikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah
Hikmah 49 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Dzikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah”
لا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه، لأن غفلتك عن وجود ذكره — أشد من غفلتك في وجود ذكره، فعسى أن يرفعك من ذكر مع وجود غفلة — إلى ذكر مع وجود يقظة، ومن ذكر مع وجود يقظة إلى ذكر مع وجود حضور، ومن ذكر مع وجود حضور — إلى ذكر مع وجود غيبة عما سوى المذكور. ((وما ذلك على الله بعزيز)) (إبراهيم: ٢٠)
“Janganlah kau meninggalkan dzikir (mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah saat berdzikir! Kelalaianmu dari dzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berdzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari dzikir yang disertai kelalaian menuju dzikir yang disertai kesadaran; dari dzikir yang disertai kesadaran menuju dzikir yang disertai hadirnya hati; dari dzikir yang disertai hadirnya hati menuju dzikir yang mengabaikan selain yang diingat (Allah). “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.” (QS. Ibrahim [14]: 20)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Biasakan selalu berdzikir karena dzikir adalah jalan terdekat menuju Allah Ta’ala dan tanda wujud kekuasaan-Nya. Siapa yang diberi kesempatan berdzikir berarti ia telah diberi sebagian kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, jangan tinggalkan dzikir. Jangan kau tinggalkan dzikir lantaran merasa tidak bisa berkonsentrasi saat dzikir akibat terlalu disibukkan dengan bisikan-bisikan setan dan hal-hal duniawi. Kelalaianmu untuk berdzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu saat berdzikir. Karena meninggalkan dzikir sama saja menjauhkan diri dari Allah Ta’ala, baik secara hati maupun lisan. Berbeda halnya dengan lalai saat berdzikir, meski hatimu jauh dari-Nya, lisanmu tetap dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, kau tetap harus berdzikir kepada Allah Ta’ala walaupun hatimu lalai saat dzikir.
Semoga Allah Ta’ala menuntunmu dari dzikir yang disertai kelalaian menuju dzikir yang disertai kesadaran dan konsentrasi; dari dzikir yang disertai kesadaran hati menuju dzikir yang mengantarkan hati masuk ke hadirat Ilahi, sehingga kau merasa melihat-Nya saat berdzikir dan tidak lalai dari-Nya; dari dzikir yang disertai kehadiran hati, menuju dzikir yang meniadakan segala hal selain Allah Ta’ala, termasuk dzikir itu sendiri sehingga tanpa disadarinya, ia keluar dari dzikirnya. Pada saat itulah, Tuhannya akan menjadi lisan yang digunakannya untuk berbicara. Saat bergerak pun, tangan Tuhannyalah yang bergerak. Saat mendengar, Tuhannyalah yang menjadi pendengarannya.
Mungkin, kondisi seperti itu tampak tidak masuk di akal, tetapi itu benar-benar terjadi. Kondisi seperti itu hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh para salik. Sekalipun demikian, para ulama sepakat untuk mempercayai dan meyakininya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mendustakannya sehingga kau akan binasa bersama orang-orang yang binasa.
Dalam hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha’illah juga melarang seorang murid untuk putus asa dan merasa tidak mungkin sampai pada maqam semacam itu. Maka dari itu, ia pun menyitir firman Allah Ta’ala, “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.” (QS. Ibrahim [14]: 20) karena Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seorang murid hanya wajib melaksanakan sebab-sebab, sedangkan hasilnya menjadi urusan Allah Ta’ala. Wallāhu a’lam
Hikmah 50: Tanda-tanda Matinya Hati (1)
Hikmah 50 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Tanda-tanda Matinya Hati”
من علا مات موت القلب عدم الحزن على مافاتك من الموافقات، وترك الندم على مافعلته من وجود الزلات.
“Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas ketaatan yang kau lewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas kesalahan yang kau lakukan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tanda hidupnya hati ialah memancarnya cahaya Ilahi dari hatimu meskipun kau belum mendapatkan cahaya itu karena tebalnya hijabmu.
Kesedihanmu atas ketaatan yang terlewatkan dan penyesalanmu atas kesalahan yang telah kau lakukan atau kebahagiaanmu atas amal-amal baikmu dan kesedihanmu atas amal-amal burukmu membuktikan bahwa kau termasuk ahli iradah (orang yang dikehendaki dan dicintai Allah Ta’ala). Oleh karena itu, giatlah dalam beramal shaleh dan jangan malas!
Wallāhu a’lam
Hikmah 51: Tanda-tanda Matinya Hati (2)
Hikmah 51 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لا يعظم الذنب عندك عظمة تصدك عن حسن الظن بالله تعالى؛ فإن من عرف ربه استصغر في جنب كرمه ذنبه.
“Jangan sampai dosa yang kau anggap besar menghalangimu untuk berbaik sangka kepada-Nya. Siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya kecil jika dibandingkan dengan kemurahan-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan kau anggap dosa yang kau lakukan itu besar dan tidak mungkin di ampuni sehingga membuatmu putus asa dari rahmat Tuhanmu. Anggapan semacam itu termasuk sikap tercela dan dapat merusak keimanan. Sikap itu bahkan lebih buruk daripada dosa yang kau lakukan.
Hal itu mencerminkan ketidaktahuanmu tentang Tuhanmu dan memperlihatkan bahwa kau mengandalkan diri sendiri di hadapan Tuhanmu. Siapa yang mengenal Tuhannya dengan baik tentu akan mengetahui dosa apa saja yang tidak ada ampunan dan maafnya.
Lain halnya jika anggapan itu mendorong pelakunya untuk bertobat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini adalah anggapan yang terpuji dan merupakan tanda keimanan seorang hamba.
Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Seorang mukmin melihat dosa seperti melihat gunung yang besar. Ia takut dosa itu runtuh menimpanya. Sementara itu, seorang pendosa melihat dosa seperti melihat seekor lalat yang hinggap di hidungnya. Ketika ia menepisnya, lalat itu pun terbang dan hinggap kembali.”
Ada yang berkata, “Semakin ketaatan seseorang dianggap kecil maka ia semakin besar di sisi Allah. Semakin maksiat dianggap besar maka ia akan semakin kecil di sisi-Nya.”
Wallāhu a’lam
Hikmah 52: Tanda-tanda Matinya Hati (3)
Hikmah 52 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لا صغيرة إذا قابلك عدله، ولا كبيرة إذا واجهك فضله.
“Tidak ada dosa kecil jika kau dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar jika kau dihadapkan pada karunia-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ketika keadilan Allah Ta’ala berbicara, semua dosa adalah besar. Keadilan Allah Ta’ala adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yang bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah Ta’ala muncul di hadapan orang yang dibenci-Nya, kebaikan-kebaikan orang itu akan diabaikan dan dosa-dosa kecilnya akan dipandang besar.
Adapun karunia Allah Ta’ala adalah pemberian-Nya tanpa berharap balasan dan ganti. Jika karunia itu diberikan kepadamu, dosamu akan menjadi kecil. Jika sifat murah hati-Nya muncul di hadapan orang yang dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan diabaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil.
Oleh sebab itu, Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili qs. kerap berdoa, “Ya Allah, jadikan keburukan kami keburukan orang-orang yang Kau cintai dan jangan jadikan kebaikan kami kebaikan orang yang Kau benci!”
Wallāhu a’lam
Hikmah 53: Amal yang Paling Diterima
Hikmah 53 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Amal yang Paling Diterima”
لا عمل أرجى للقلوب من عمل يغيب عنك شهوده، ميحتقر عندك وجوده.
“Tiada amal yang lebih berpeluang diterima daripada amal yang tidak kau sadari dan tidak berarti di matamu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
“Amal yang tidak kau sadari” adalah amalmu yang kau yakini dibimbing dan dilakukan oleh Allah Ta’ala. Tanpa Allah Ta’ala, niscaya amal itu tidak akan kau lakukan.
“Amal yang tidak berarti di matamu” ialah amal yang tidak kau jadikan sandaran untuk meraih sebuah keinginan, seperti keinginan untuk bisa sampai kepada Allah Ta’ala dan dekat dengan-Nya atau keinginan mendapatkan derajat dan kedudukan tinggi. Bahkan, kau masih memandang amal itu kurang sempurna dan tidak terbebas dari cacat yang membuatnya sulit diterima Allah Ta’ala. Wallāhu a’lam
Hikmah 54: Ilham dari Allah (1)
Hikmah 54 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
إنما أورد عليك الوارد؛ لتكون به عليه واردا.
“Datangnya ilham dari Allah kepadamu tak lain agar kau mendatangi-Nya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Yang dimaksud dengan “ilham” adalah ilmu dan cahaya pengetahuan yang datang dari Allah Ta’ala, cahaya yang membuat hati lapang dan bersinar terang. Dengannya, hati bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan melihat kebathilan sebagai kebathilan. Ilham ini juga merupakan penampakan Ilahi yang masuk ke dalam hati meski seorang hamba tidak merasakannya karena keburukan sifat-sifat kemanusiaannya.
Terkadang, ilham disebut juga dengan hal (keadaan batin). Semuanya datang kepadamu agar kau bisa menuju ke hadirat Ilahi. Namun, untuk sampai ke hadirat Allah Ta’ala, hati harus bersih dan suci dari segala kekotoran. Wallāhu a’lam
Hikmah 55: Ilham dari Allah (2)
Hikmah 55 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
أورد عليك الوارد ليستعملك من يد الأغيار، ويحررك من رق الآثار.
“Allah memberimu ilham untuk menyelamatkanmu dari cengkeraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Materi dan hawa nafsu akan merampas kebebasanmu bila kau begitu mencintai dan bergantung padanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberimu ilham yang dapat menyelamatkanmu dari cengkeraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu. Dengan begitu, tak akan ada lagi kesempatan bagi makhluk untuk menguasaimu sehingga kau hanya pasrah kepada Allah Ta’ala dan layak untuk hadir ke hadapan-Nya. Wallāhu a’lam
Hikmah 56: Ilham dari Allah (3)
Hikmah 56 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
أورد عليك الوارد ليخرجك من سجن وجودك إلى فضاء شهودك.
“Allah memberimu ilham untuk mengeluarkanmu dari penjara wujudmu dan membawamu ke angkasa penyaksianmu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Makna “penjara wujud” ialah kungkungan sifat-sifatmu yang menghambatmu menyaksikan Tuhanmu, ibarat penjara yang membatasi gerak para narapidana.
Maksud “angkasa penyaksian” adalah kesempatanmu menyaksikan Tuhanmu. Ia diumpamakan dengan ruang angkasa yang tiada batas dan tanpa ada yang menghalangi pandangan mata.
Seseorang berkata, “Penjaramu adalah dirimu sendiri. Jika kau keluar dari sana, kau akan mengalami kebahagiaan yang abadi.”
Hikmah ini menegaskan bahwa pemilik ilham itu hanya satu. Demikian pula buahnya, yaitu datang ke hadirat-Nya. Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa Allah Ta’ala selalu melimpahkan untukmu ilham agar kau sampai kepada-Nya. Dengan ilham yang datang kepadamu, kau pun sibuk melakukan bermacam ketaatan dan mujahadah. Namun, di saat sifat-sifat burukmu masih bercokol di hatimu, yang menyebabkan kau tidak ikhlas dalam beribadah, Dia akan mengirimkan ilham lain yang akan menyelamatkanmu dari hal itu dan membuatmu ikhlas.
Ketika kau ikhlas, mungkin kau akan mengandalkan keikhlasanmu itu sebagai jaminan diterimanya amalmu dan sampainya dirimu di hadapan Tuhan dengan keikhlasanmu itu. Tentu, tindakan ini adalah salah. Oleh karena itu, ilham berikutnya akan datang. Dengan ilham itu, kau tidak lagi melihat dirimu sendiri dan hanya melihat Tuhanmu dengan mata batinmu. Wallāhu a’lam
Hikmah 57: Cahaya adalah Kendaraan Hati dan Rahasia Jiwa
Hikmah 57 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
الأنوار مطايا القلوب والأسرار.
“Cahaya adalah kendaraan hati dan rahasia jiwa.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Yang dimaksud dengan “cahaya” di sini ialah cahaya Ilahi yang masuk ke dalam hati murid. Biasanya, cahaya ini didapat dengan dzikir dan riyadhah. “Kendaraan hati” dapat membawa hati menuju Allah Ta’ala hingga sampai ke hadirat-Nya dan mendekati-Nya. Adapun “rahasia jiwa” menurut kaum sufi ialah kedalaman hati, bukan mata hati. Wallāhu a’lam
Hikmah 58: Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu
Hikmah 58 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
“Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu”
النور جند القلب، كما أن الظلمة جند النفس، فإذا أرادالله أن ينصر عبده أمده بجنود الأنوار، وقطع عنه مدد الظلم والأغيار.
“Cahaya adalah tentara qalbu dan kegelapan adalah prajurit nafsu. Jika Allah ingin menolong hamba-Nya, Allah akan membantunya dengan bala tentara cahaya dan memutus bantuan prajurit kegelapan dan keduniaan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Dengan iringan tentara qalbu (cahaya), hati bisa sampai ke hadirat Allah Ta’ala dengan mudah dan selamat, sebagaimana seorang raja yang diiringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu mengalahkan musuh. Inilah pengertian yang dapat kita petik dari hikmah di atas. “Kegelapan”, yang merupakan tabiat seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yang mengiringi seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan.
Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang waktu. Jika Allah Ta’ala ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsunya, Dia akan mengirimkan bala bantuan-Nya berupa cahaya. Jika hamba itu mendapat bantuan-Nya, ia akan menyadari keburukan syahwat yang menghambatnya untuk sampai kepada Allah Ta’ala. Selain itu, Allah Ta’ala juga akan membinasakan prajurit kegelapan dan tipuan dunia yang akan membantu nafsu.
Sebaliknya, jika Allah Ta’ala ingin menghinakan seorang hamba, Dia akan memberinya prajurit kegelapan. Hati yang cenderung kepada amal shaleh (misalnya, ingin berpuasa) dan nafsu yang cenderung kepada syahwat (misalnya, ingin berbuka) akan bertempur dan saling membunuh. Saat itu, cahaya dan rahmat Allah Ta’ala akan segera membantu hati, sedangkan kegelapan akan menolong nafsu. Saat kedua barisan pasukan itu bertemu dan pertempuran semakin sengit, tak ada jalan lain bagi seorang hamba kecuali ia harus takut kepada Allah Ta’ala dan bertawakkal kepada-Nya. Seperti itulah yang terjadi dalam setiap amal shaleh yang dikerjakannya hingga ia berhasil sampai ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, kekuasaan nafsu akan terputus dan kalah. Wallāhu a’lam
Hikmah 59: Cahaya, Mata Hati dan Qalbu
Hikmah 59 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
النور له الكشف، والبصيرة لها الحكم، والقلب له الإقبال والإدبار.
“Cahaya bisa menyingkap (kasyaf), mata hati (bashirah) dapat mengetahui/membuat keputusan/penghakiman (al-ḥukm), sedangkan hati (qalbu) bisa menerima dan menolak.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Cahaya yang dipancarkan Allah Ta’ala ke dalam hati seorang murid bisa menyibak berbagai makna dan hal ghaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal ghaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yang membutuhkan bantuan cahaya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Cahaya yang dibutuhkan mata hati itu adalah cahaya batin.
Selanjutnya, yang dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu diikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian diikuti oleh anggota tubuh yang lain.
Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri ghaib, seperti rahasia takdir, atau memprediksikan apa yang akan terjadi di dunia. Setelah itu, mata hati berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna.
Oleh karena itu, seorang mukasyif (yang mampu menyingkap misteri ghaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yang disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksikan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebabnya prediksi sebagian wali ada yang tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu. Wallāhu a’lam
Hikmah 60: Berbahagia atas Ketaatan
Hikmah 60 dalam Al-Hikam:
Karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs.
لا تفرحك الطاعة؛ لأنها برزت منك، وافرح بها، لأنها برزت من الله إليك ((قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفر حوا هو خير مما يجمعون)) (يونس: ٥٨)
“Janganlah senang lantaran kau bisa melakukan ketaatan, tetapi senanglah lantaran ketaatan itu di karuniakan Allah kepadamu. “Katakanlah, ‘Berkat karunia dan rahmat Allah lah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”‘” (QS. Yunus [10]: 58)
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan merasa senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti itu adalah sikap tercela, terlarang, dan dapat membatalkan ketaatan. Yang semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tetapi karena Allah Ta’ala telah menganugerahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yang terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut.
Syaikh Ibnu Atha’illah mendasari hikmah itu atas firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, ‘Berkat karunia dan rahmat Allah lah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]: 58)
Ketaatan yang bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah Ta’ala kepadanya. Oleh karena itu, ia patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu. Wallāhu a’lam
Hikmah –
—